RADIAN (PREQUEL OF ABANG)

By goresantegas

7.1K 1.2K 451

12 Oktober 2023 - (On Going) Jadwal update silakan lihat di bio! INI HANYA FIKTIF BELAKA! PLEASE, NO PLAGIAT... More

PROLOG
Chapter 1 - Keluarga yang Hangat
Chapter 2 - Hidup Radi yang Sempurna
Chapter 3 - Papah, Mamah, dan Diandra
Chapter 4 - Jatuh Cinta
Chapter 5 - Luka dan Adzan
Goresan Tegas
Chapter 6 - Gundah
Chapter 7 - Akan Aku Temani Prosesmu
Chapter 8 - Langkah Awal
Chapter 10 - The Last Quality Time with My Ell 🤍
Chapter 11 - Hati yang Bergetar
Chapter 12 - Ada yang Salah
Chapter 13 - Tanpa Saya
Chapter 14 - Gue Baik-Baik Ajah
Chapter 15 - Menyakitkan
Chapter 16 - Perlahan Dunia Gue Menghilang
Chapter 17 - Suara
Chapter 18 - Tekad yang Terpatahkan
Chapter 19 - Radian Krisna Prasetya
Chapter 20 - RAD
Chapter 21 - Gentleman
Chapter 22 - VS
Chapter 23 - Ampuni Abang
Chapter 24 - Untuk Hari ini Saja
Chapter 25 - Support System
Chapter 26 - Support System - 2
Chapter 27 - Luka
Chapter 28 - Demi Papah
Chapter 29 - Ayah
Chapter 30 - Orang Asing
Chapter 31 - Pihak Luar
Chapter 32 - Diskusi
Chapter 33 - Juragan Kontrakan

Chapter 9 - Tuhan ... Aku Titipkan Orang-Orang yang Kucinta

156 30 11
By goresantegas

Backsound chapter ini adalah
Rossa - Takkan Berpaling Dari Mu
Silakan putar di platform musik yg kalian pakai dengan mode putar ulang!

Happy Reading!
Enjoy!
.
.
.

Radi mengambil nafas panjang, dia menikmati dinginnya ubin teras masjid pada dini hari. Badannya rebah dengan santai di sana.

"Ini hal yang gue pengen protes tahu!" ujar Radi tiba-tiba. Abidzar yang ada di sampingnya menolehkan kepalanya.

"Protes apaan?" tanya Abidzar.

Radi dan Abidzar kini tengah mampir di sebuah masjid untuk beristirahat, mereka baru pulang dari luar kota. Tapi ada satu hal yang sedikit mengusik benak Radi.

"Kenapa masjid-masjid sekarang selalu di kunci pada tengah malam. Bukankah akan lebih banyak manfaatnya jika dua puluh empat jam dibuka. Contohnya seperti kita sekarang, masjid jadi tempat istirahat dan menjalankan ibadah. Tapi karena kekunci lo malah jadi sholat di teras, kan? Untung tempat wudhunya di luar, jadi lo bisa ambil wudhu." Abidzar tersenyum mendengar keluhan sahabatnya.

"Semua ini terjadi karena seringnya terjadi kejahatan, entah jam dicuri, kotak amal di bobol. Lebih laknat lagi, pernah ada yang berbuat hal tidak senonoh. Jadi kalau banyak masjid yang dikunci pada malam hari jangan heran, Rad!" Radi bangkit dari posisi rebahannya yang diikuti juga oleh Abidzar.

"Empat bulan gue belajar islam, Dzar. Gue memang udah mantap dengan keputusan untuk menjadi mualaf. Tapi harus diakui masih ada beberapa hal yang masih gue resahkan. Salah satunya masjid yang zaman sekarang sudah jarang yang dua puluh empat jam, sekalipun ada pasti selalu sepi, jarang ada yang meramaikan. Hal lainnya adalah soal kajian-kajian yang marak di share di sosmed, entah kenapa selalu soal pasangan dan pencarian jodoh, sampai di titik gue bertanya-tanya apakah anak-anak muda muslim ini yang jadi problem hidup mereka hanya seputar soal jodoh doang? Gue rasa banyak yang bisa dikulik dan ditanyakan dalam sebuah kajian di luar bab soal jodoh. Belum lagi begitu banyak dilapangan orang muslim yang gue temui melakukan hal-hal terlarang, seperti bersetubuh dengan bukan mahromnya. Hal itu yang menurut gue ironis sekali, sangat jauh dari nilai-nilai islam yang gue pelajari dan temukan. Di mata gue islam itu indah, tapi menjadi ironis sekali saat melihat kelakuan oknum-oknum umatnya." Dengan panjang lebar Radi menyampaikan apa yang ada di kepalanya. Abidzar tersenyum mendengar hal tersebut.

"Seperti yang lo bilang, Rad. Muslim yang melanggar aturan agamanya hanya oknum, banyak kok di luar sana muslim yang taat." Radi mengangguk lalu bersila menghadap ke arah sahabatnya.

"Heem, Abi Adi salah satunya, abi lo definisi muslim yang sangat taat. Beliau idola gue, Dzar. Lo beruntung memiliki ayah seperti beliau." Senyuman tercipta kembali di bibir pemuda tampan itu, kali ini senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Dia jadi merindukan abinya itu, padahal baru tiga hari dia tidak bertemu dengan Adijaya.

"Sama seperti Om Krisna, Rad. Beliau juga idola gue sebagai sosok ayah. Lo juga seberuntung itu memiliki ayah seperti Om Kris." Radi juga ikut tersenyum lebar, fakta bahwa papanya adalah papa yang luar biasa memang tidak bisa dielakkan.

"Tapi soal masalah kajian, gue yang muslim ajah heran apalagi lo, Rad." Abidzar terkekeh dibuatnya.

"Tapi gak semua tempat kajian kayak gitu, kan? Lo sendiri kan udah ngerasain gimana," tambah Abidzar meluruskan.

"Ya karena gue masuk circle kajian Abi Adi, udah pasti terjamin, orang dari segi usia ajah beda. Isinya orang-orang seusia Abi." Abidzar kembali terkekeh lalu menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

"Circle kajian juga kan cocok-cocokan, mencari guru juga cocok-cocokkan. Mungkin karena fokus kita saat ini bukan mencari jodoh jadi ngerasa 'apaan dah' ngeliat orang yang lagi resah soal jodohnya." Abidzar memberikan opini yang bijak meski dia juga sama seperti Radi yang punya sisi heran tersendiri.

"Nggak juga, Dzar. Lo emang udah jelas fokus pada Di. Gue juga jelas sangat mencintai Ell. Kita sama-sama sudah menemukan perempuan yang kita cintai, kita juga sama-sama tahu masalahnya adalah perbedaan agama, mengingat gue juga otw mualaf. Tapi kita gak mencoba nyari pembenaran atas masalah kita soal pernikahan beda agama, karena kita sama-sama sepakat atas hukumnya. Kita juga gak memaksakan diri kita sendiri move on buat cari muslimah yang akan kita jadikan istri. Tergantung kepribadian deh kayaknya, Dzar. Ya ... meski opini lo juga bener, bisa juga ini soal prioritas." Abidzar membenarkan hal tersebut, ini tergantung orangnya saja.

"Terkadang gue ngerasa lebih mudah menemukan anak Tuhan yang taat daripada muslimah yang taat," ujar Abidzar dengan mata yang menerawang jauh, dia mengungkapkan isi hatinya.

"Diandra contohnya." Abidzar menyebutkan dengan sungguh nama perempuan yang dia cintai, sekaligus adik dari Radi, sahabatnya.

"Halah! Lo terlalu fokus sama adek gue jadi muslimah-muslimah di sekitar lo tampak blur semua. Cuma ada Di doang di mata lo mah." Radi berdecak tidak habis pikir dengan pikiran sahabatnya itu. Hanya ada adiknya di mata Abidzar, dari mulai Diandra lahir hingga hari ini.

"Lo harusnya dukung gue, Rad! Tapi lo selalu jengah kalau gue bilang gue mencintai Diandra. Terkesan ucapan gue hanya bualan semata di telinga lo!" kesal Abidzar, karena sahabatnya ini terkesan tidak setuju dia dengan Diandra sejak dulu.

"Gue dukung, Dzar. Kapan gue bilang gak dukung lo sama Di?" tanya Radi serius. Abidzar menegakkan duduknya, dia kira Radi benar-benar serius tidak merestuinya untuk mendapatkan hati Diandra.

"Tapi gue mau lo coba cari dulu yang seiman, Dzar! Sebagai seorang abang, gue seneng kalau adek gue dapetin pasangan yang baik kayak lo. Terlebih kita sudah bersahabat sejak kecil, bahkan orang tua kitapun bersahabat. Gue tahu betul bibit bebet bobot lo. Lo sangat memenuhi kriteria adek ipar gue." Radi tertawa kecil menyelingi pembahasan tentang adiknya dan sahabatnya.

"Gue tahu banget kalau bersatu diatas perbedaan keyakinan itu tidaklah mudah. Belum lagi lo harus berjuang mendapatkan restu Abi dan Papah. Dengan perbedaan kalian gue yakin Abi dan Papah tidak akan semudah itu memberikan restu. Beliau berdua sama-sama taat pada keyakinannya." Abidzar menghela nafas dalam, dia memahami apa yang Radi khawatirkan.

"Jalani saja dengan ikhlas, seperti saat ini kita yang tidak terlalu ngebet nyari orang lain untuk kita jadikan pelarian. Gue selalu percaya, hubungan itu harus realistis tapi juga harus ada cinta di hati kedua belah pihak." Abidzar menarik sudut bibirnya lebar, tersemat senyum indah di wajah tampannya.

"Lo selalu dewasa banget, Rad! Lo emang Abang gue yang paling keren." Abidzar langsung merebahkan dirinya kembali, kali ini dia menjadikan pangkuan Radi sebagai bantalannya. Radi tidak menolaknya, dia malah terkekeh dan tangannya secara otomatis mengelus kepala Abidzar sayang.

....

"Papamu pasti protes, Bang. Pulang dari luar kota malah nginep di rumah Abi." Adijaya menyimpan secangkir susu hangat untuk Radi, pagi yang sejuk sangat pas ditemani dengan minuman hangat. Radi tertawa mendengar ucapan tersebut.

"Orang-orang rumah lagi keluar kota, Bi. Besok mereka baru balik, biasalah nurutin Di yang ngambek gara-gara Papah terlalu sibuk seminggu kemarin." Adijaya ikut tertawa, dia bisa membayangkan masnya itu akan pasrah jika sudah berhadapan dengan anak perempuannya.

"Rumah sepi banget yah kalau weekend gini, Bi?" Kediaman Kusuma memang masih sepi pagi ini.

"Seperti tidak tahu Idzar dan Riza saja, Bang. Mereka akan bangun siang kalau libur. Kalau Umi, Abi suruh tidur lagi abis Abi ajak lembur soalnya." Radi sampai tersedak susu yang sedang dia minum mendengar akhir kalimat Adijaya. Sementara sang tersangka tertawa lebar, ya bagaimana lagi itu kegiatan rutinnya.

Setelah tawa keduanya reda, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Radi yang melamun dengan pandangan yang sangat kosong.

"Bang?" panggil Adijaya yang membuat Radi sedikit tersentak dari lamunannya.

"Kamu masih mikirin topik minggu lalu?" tanyanya sambil mengelus kepala Radi sayang.

"Heem, Abang masih sangat kepikiran," jawab Radi membenarkan sambil mengurut keningnya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan dalam, Bang! Kan ustadz sudah menjelaskan bahwa Abang nanti masih boleh ke gereja untuk menemani keluargamu ibadah." Radi mengangguk, tapi tetap saja dia masih kepikiran.

Minggu lalu dalam kajian, Radi bertanya mengenai jika nanti dia mualaf masih bisa atau tidakkah dia menemani keluarganya beribadah ke gereja. Sebelum dia official menjadi mualaf dia ingin memastikan dulu hukum tersebut. Karena Radi tidak akan langsung memberitahu keluarganya saat dia mualaf nanti, jadi kemungkinan dia akan masih sering datang ke gereja, setidaknya menemani mereka beribadah. Meski rasanya dia berdosa karena dia akan berbohong sejauh itu.

Terkait hukum seorang muslim masuk ke dalam gereja. Sebagian ulama di Indonesia (mayoritas) menghukuminya haram jika di dalam gereja ada gambar atau berhala yang diagungkan oleh pemeluknya. Tapi bukan berarti tidak boleh sama sekali, jika berkunjung untuk belajar, bukan saat beribadah tengah berlangsung di sana, dan meminta izin lebih dulu pada pihak gereja sebagian ulama memperbolehkan.

Penjabaran tersebut merujuk pada kitab Nasimur Riyadh Fi Syarhi Syifa Qadhi Iyadh karangan Syihabuddin al-Khafaji. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa pergi dan memasuki gereja itu tidak kufur, tetapi makruh jika tanpa tujuan yang benar.

Pendapat lain mengatakan hukumnya haram dan murtad atau kufur jika memasuki gereja atau kelenteng bersama dengan jamaah gereja memakai atribut jamaah gereja dan mencukur bagian tengah kepala seperti jamaah tersebut.

Pendapat lainnya terkait datang ke gereja saat disana tengah berlangsung kegiatan beribadahan, seperti ibadah pekanan, natal, paskah, maka hal tersebut dihukumi kufur dan murtad.

Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Furqan: 72, "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya."

Sementara bagi mazhab Hambali atau pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, seseorang boleh masuk gereja secara mutlak. Dasar yang digunakan adalah ketika Umar bin Khattab diundang kaum Nasrani ke gereja, lalu Umar meminta Ali bin Abi Thalib untuk menghadirinya bersama Muslim yang lain.

"Kamu masih boleh ke gereja menemani keluargamu, Bang. Selama bukan perayaan besar seperti natal dan paskah. Keimanan itu kan adanya dihatimu. Jangan terlalu stress!" Adijaya mencoba menenangkan Radi sebaik mungkin. Sejujurnya dia cukup terkejut saat Radi bertanya tentang hal tersebut minggu lalu. Ternyata Radi sedetail itu menyiapkan dirinya, dia sama sekali tidak ingin membuat keluarganya terluka. Meski nantinya jelas akan ada banyak hal yang dimana dia tidak membersamai keluarganya beribadah lagi.

"Abang menginap di sini sekalian ingin menyampaikan bahwa Abang sudah memutuskan harinya, Bi." Adijaya langsung menegakkan duduknya.

"Kapan, Bang?" tanyanya.

"Senin kedua yang akan datang," jawab Radi yakin.

"Ok ok, berarti delapan hari lagi yah, Bang?" Radi mengangguk dengan wajah tenang, tidak nampak keraguan sekalipun disana.

"Abang minta Abi dampingi Abang yah untuk siapin semuanya, termasuk dokumen-dokumennya." Adijaya mengangguk dengan senyuman lebarnya.

"Semoga ini menjadi perjalanan baru hidupmu yang tidak akan mengubah banyak hidupmu saat ini yang sudah penuh kebahagiaan. Abi harap perjalanan kedepannya hidup Abang jauh lebih penuh lagi dengan kebahagiaan dan keberkahan, Bang. Doa Abi selalu menyertaimu." Adijaya memanjatkan sebuah harapan sekaligus doa dengan tulus, saking tulusnya dia menggunakan pemborosan kata untuk doanya untuk Radi.

"Terima kasih banyak, Bi." Radi meraih tangan Adijaya lalu segera menciumnya khidmat dengan dada yang penuh dengan rasa haru.

***

SATU MINGGU BERLALU

Sekarang adalah hari sabtu, sejak pagi dia sudah berada di kediaman keluarga Adhyaksa. Selama seminggu ini dia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk quality time dengan kekasihnya sebelum dia menjadi mualaf.

"Kepalamu nanti sakit, Nak. Jangan terlalu stress!" Radi tersenyum saat ditegur demikian, dia segera meringsekkan badannya masuk ke dalam dekapannya Handika Adhyaksa, eyangnya Elliana.

"Radi tidak siap menghadapi kekecewaan Papah, Eyang," adu Radi. Handika tidak menjawab apapun, dia hanya mengelus kepala Radi untuk menenangkan.

"Tapi kamu stress berat begini, Nak! Om khawatir kamu sakit kalau kamu begini terus." Andra duduk di sisi Radi yang lain, dia mengambil alih badan kekasih putrinya itu lalu mendekapnya.

"Radi baik-baik saja, Om. Hanya sedang mempersiapkan diri saja. Mulai senin nanti hidup Radi akan berubah dalam banyak hal." Andra menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, dia merasa dejavu.

"Om?" panggil Radi.

"Kenapa, Nak?" jawab Andra sambil menunduk untuk menatap mata Radi secara langsung.

"Apa nanti Radi masih boleh memeluk Om seperti ini? Apa nanti Radi masih boleh diskusi, golf, atau jalan-jalan dengan keluarga Om seperti biasanya?" Hati Andra mencelos mendengar pertanyaan tersebut mengingat keluarganya sangat menyayangi pemuda yang ada dalam dekapannya ini.

"Lo ngomong apaan sih, Rad!" sentak seorang pemuda tampan yang datang ke ruang tengah membawa jagung bakar, disusul dengan Elliana dan mamanya membawa teh hangat untuk mereka.

"Kita semua itu sayang banget sama lo, seperti apapun nantinya hubungan lo sama Ell. Gue tetep abang lo, kita semua tetep keluarga lo. Kita bisa tetap hangout bareng dengan asyik, meski mungkin nanti tanpa Ell." Ketegasan Juna seketika membuat perasaan Radi menghangat. Elliana tersenyum mendengar ucapan sang abang.

"Benar apa kata Bang Juna, Bang. Sama halnya dengan kesepakatan kita. Semua akan tetap sama, hanya ikatan dan hubungan kita saja yang nanti akan berbeda." Elliana menepuk-nepuk tangan Radi menenangkan sebelum dia mendudukkan dirinya di sisi Andra yang lainnya.

Radi melepaskan dirinya dari dekapan Andra, dia menatap lelaki paruh baya itu dalam. Tidak dia sangka pada akhirnya Andra batal menjadi mertuanya, Radi sudah sangat nyaman dan menyayangi keluarga kekasihnya ini. Bahkan, selain sahabatnya dan keluarga Kusuma, keluarga Adhyaksa juga menjadi list yang Radi beri tahu dengan jujur terkait rencananya menjadi seorang mualaf.

"Terima kasih banyak, Om."

"Tidak perlu berterima kasih, Nak." Andra merapikan rambut Radi dengan sayang. Dia pun menatap Radi dalam, dia akan susah move on karena gagal menjadikan Radi menantunya.

"Diminum dulu teh hangatnya, Sayang. Biar rileks!" Riana, mamanya Elliana menyerahkan secangkir teh hangat pada Radi. Pemuda itu menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Riana menatap Radi hangat, dia sangat menyayangi kekasih putrinya itu.

"Terima kasih Tante sayang," ujar Radi mengulang ucapan terima kasihnya. Riana tersipu mendengar panggilan sayang dari Radi.

"Halah Mamah lebay, sini-sini Abang peluk! Dipanggil sayang sama Abang ajah Mamah gak pernah tersipu kayak gini. Giliran dipanggil sayang sama Radi kayak orang kasmaran." Juna menarik sang mama lalu memeluknya dengan gemas. Dia protes sekaligus merajuk.

"Argh! Lepas, Jun! Kamu belum mandi sore! Jorok!" protes Riana, tapi putra sulungnya tidak mau melepaskannya. Riana tidak kehabisan akal, dia menggelitik pinggang Juna agar dia bisa terbebas dari kukungan putra sulungnya itu. Tawa dan suasana ceria menguar hangat di ruang tengah kediaman Adhyaksa. Radi juga ikut tertawa, dia terhibur sekali berada di tengah-tengah keluarga mereka.

"Assalamualaikum?" terdengar salam dari seseorang memecah fokus mereka semua. Masuklah seorang perempuan dewasa yang sangat cantik dengan balutan abaya hitam yang begitu elegan, tidak lupa dengan jilbab berwarna khaki yang membuat auranya terasa tenang.

"Waalaikumsalam," jawab mereka semua. Perempuan itu langsung berjalan menghampiri mereka semua.

"Kak, Anin kangen banget sama Kak Riri." Perempuan yang memanggil dirinya sendiri Anin tersebut menghampiri Riana dan saling memeluk hangat.

"Kakak juga, kamu sih! Betah banget di KL." Dua perempuan itu terkekeh namun aura bahagia sangat terpancar dari keduanya.

"Abang ...." Andra langsung berdiri dari duduknya lalu memeluk adiknya erat.

"Anindyanya Abang gak berubah manjanya meski udah punya anak." Andra memeluk Anindya gemas. Radi tersenyum melihat pemandangan itu, seperti melihat dia dan Diandra.

"Anin kangen Abang pake banget banget banget!" Andra mengecup puncak kepala Anindya dalam dan lama. Setelahnya Elliana dan Juna segera mencium tangan tante mereka dengan sopan, Anin langsung memeluk keduanya dengan perasaan rindu yang membuncah.

"Rad, apa kabar ganteng?"

"Alhamdulillah baik, Tan." Radi ikut mencium tangan Anindya dengan sopan. Anindya mengelus kepala Radi lembut, dia menatap Radi dengan pandangan yang mata yang lembut namun dalam, ada banyak perasaan yang dia rasakan terhadap Radi saat ini.

"Ayah ... Anin rindu sekali." Anindya segera mendudukkan dirinya disamping Handika lalu mencium tangan ayahnya berkali-kali. Lalu segera dia memeluk tubuh tua itu erat nan hangat.

"Ayah juga rindu pada putri Ayah yang manja ini." Anindya terkekeh renyah, tidak protes sama sekali saat kerudungnya kusut karena ulah sang ayah yang mengusak puncak kepalanya gemas.

Dialah Anindya Felisya Adhyaksa, putri dari Handika Adhyakan dan Almh. Hana Rengganis; adik dari Andra Fernand Adhyaksa; sekaligus tante dari Arjuna Reevan Adhyaksa dan Elliana Reena Adhyaksa. Anindya sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki, tapi dia dan keluarga sedang menetap di KL untuk tahun ini karena suami dari Anindya sedang melebarkan bisnisnya ke sana.

"Jadi gimana, Rad? Apa yang mau ditanyakan ke Tante?" tanya Anindya saat sesi melepas rindu mereka selesai. Radi memang sengaja dari pagi di rumah kekasihnya karena tahu Anindya akan pulang.

"Mungkin Om Andra udah cerita soal Radi yang Insya Allah lusa akan bersyahadat, Tan. Radi mau mendengar kisah Tante dan Eyang dulu. Mengingat Eyang juga sosok yang tegas dan taat beragama seperti Papah, Radi rasa pasti tidak akan jauh beda dengan reaksi Papah nantinya. Radi ingin mempersiapkan diri, Tan, Eyang." Anindya dan Handika saling tatap, setelahnya Anindya mengelus lengan sang ayah saat melihat raut wajah ayahnya sedikit berubah.

"Tante mualaf saat masih SMA, Rad. Saat itu Tante langsung diasingkan oleh Eyang pada Eyang Tuti, adiknya Eyang. Hingga Tante kuliah semester empat, barulah Eyang berkenan membuka hati Eyang dan menerima Tante kembali." Radi termenung mendengar cerita Anindya. Apakah dia akan mengalami hal serupa? Ataukah lebih parah? Tanya Radi dalam benaknya.

"Lalu bagaimana perasaan Eyang saat tahu Tante Anin mualaf? Boleh Eyang sharing secara jujur pada Radi?" Handika menghela nafas panjang lebih dulu sebelum bercerita. Tangan tuanya meraih bahu Radi dan mendekap bahu itu lembut agar Radi tidak terkejut menyimak ceritanya.

"Perasaan Eyang saat itu hancur, ingat sekali pada hari jumat kala itu Tante Anin pulang sekolah langsung mengurung dirinya di kamar. Eyang yang mengira Tante Anin galau soal cowok membiarkan saja, namanya juga remaja. Tapi malamnya, saat waktu makan malam tiba, Tante Anin turun ke ruang makan mengenakan kerudung. Eyang tidak terlalu terkejut, karena Tante Anin kerap memakainya jika memang dia ingin menghadiri acara-acara teman muslimnya. Eyang pun demikian, bukan hal tabu memakai kopiah saat ada acara di masyarakat." Radi dan semua orang menyimak dengan seksama cerita tersebut. Meski semua orang sudah mengetahuinya, hanya Radi yang baru mendengarnya.

"Selesai makan malam Eyang tanya, malam itu Tante Anin ada acara kemana, tapi jawaban Tante Anin adalah tidak mau kemana-mana. Dari sana hati Eyang mulai resah, lalu malam itu juga, di meja makan Tante Anin memberitahukan bahwa dirinya telah mualaf tadi siang. Dunia Eyang rasanya berhenti, Eyang merasa gagal menjadi seorang Ayah. Pikiran Eyang kosong saat itu, tapi yang pasti amarah mendominasi dada Eyang yang rasanya ingin meledak saat itu juga." Jantung Radi berdetak kencang, dia membayangkan hal itu akan dirasakan oleh papanya juga.

"Eyang memang sangat toleransi dengan keberagaman di negara kita. Sahabat-sahabat Eyang pun semuanya muslim, tapi bukan berarti Eyang dapat menerima dengan mudah putri yang Eyang cintai berpindah keyakinan, dalam konteks ini bukan cuma islam, tapi berpindah pada keyakinan yang lainnya juga." Handikan tersenyum pahit sambil mengelus surai Radi lembut.

"Eyang marah besar saat itu dan seperti yang tadi Tantemu bilang, Eyang mengasingkannya ke rumah Eyang Tuti." Radi merenung sejenak, sebelum kembali melontarkan pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Apa yang membuat Eyang membuka hati Eyang dan menerima Tante Anin kembali?" tanya Radi ingin tahu.

"Karena Eyang takut kehilangan Tante Anin." Radi merasa tersentuh dengan alasan Handika.

"Tante Anin yang mandiri berhasil membangun sebuah cafe pada tahun pertama dia kuliah. Lalu pada tahun kedua Tante Anin berhasil membuka dua cabang cafe baru. Di sanalah hati Eyang tersentil, Eyang itu ayahnya, satu-satunya orang tua yang saat itu Tante Anin punya. Tapi dengan teganya Eyang diam saja melihat Tante Anin berjuang sendirian, padahal kekayaan Eyang tidak akan habis untuk anak-anak bahkan cucu-cucu Eyang. Entah sudah berapa fase perkembangan Tante Anin Eyang lewatkan, Tante Anin bertumbuh begitu indah tanpa Eyang. Rasanya Eyang tidak rela putri Eyang yang biasa selalu bergantung pada Eyang kini seolah tidak membutuhkan Eyang lagi. Tante Anin terasa begitu jauh dari jangkauan Eyang. Hingga akhirnya Om Andra sebagai putra tertua menegur Eyang dengan sangat keras yang akhirnya membuka mata Eyang dan hal itu berhasil membuat Eyang mau menurunkan ego Eyang untuk menerima dengan lapang dada keputusan Tante Anin menjadi seorang mualaf." Radi mengangguk-mengangguk paham, matanya berkaca-kaca karena terharu.

"Itu bukan pertama kalinya Om bersitegang dengan Eyang terkait Tante Anin, kami memang sering ribut masalah hal tersebut. Tapi syukurlah pada tahun ketiga Eyang hatinya luluh." Andra kali ini yang membuka suara dari point of you nya.

"Berbeda dengan Eyang yang dengan keras menentang Tante Anin, Om justru sangat support. Karena Om percaya kebahagiaan Tante Anin segalanya, saat Eyang lepas tangan atasnya, Om yang mengambil alih tanggung jawab tersebut. Tante Anin itu adek kesayangan Om, Om tidak rela ada yang melukainya, sekalipun itu ayah Om sendiri. Karena Om saksi betapa kerasnya Almh. Eyang Uti dulu saat melahirkan Tante Anin." Kini mata semua orang basah, bukan perjalanan yang mudah tapi mereka hebat bisa melaluinya dengan baik sebagai keluarga.

"Nak, Papahmu sepertinya akan jauh lebih keras dari Eyang, Om mengenal betapa kerasnya Mas Krisna. Om harap kamu bisa menyiapkan dirimu." Untuk kesekian kalinya Andra membawa Radi ke dalam dekapannya.

"Jika nanti Papahmu menutup pintu rumah kediaman Prasetya, rumah ini akan selalu terbuka untukmu pulang, Nak. Datanglah kapanpun, kami akan dengan senang hati menyambutmu seperti ini entah seperti apapun nantinya hubunganmu dengan Ell." Radi memejamkan matanya saat merasakan belakang kepalanya diusap hangat oleh Andra. Semua orang terharu, Andra memang sangat menyayangi Radi layaknya dia menyayangi putranya sendiri.

"Om akan susah move on buat dapetin menantu laki-laki baru yang setara denganmu, Rad," ujar Andra yang berhasil memunculkan tawa renyah dari Radi.

"Radi bahkan belum sempat menjadi menantu Adhyaksa, Om." Radi meralat pernyataan Andra. Dia juga mengeratkan tangannya pada badan Andra, wajahnya dia tenggelamkan pada bahu lelaki paruh baya itu, seperti yang sering dia lakukan dengan Krisna juga Adijaya.

"Bagi Om kamu sudah menjadi putra Om, Nak. Love you so much Radian Krisna Prasetya, putranya Om." Andra mengecup puncak kepala Radi penuh kasih sayang. Matanya memanas, dia tidak dapat membayangkan Radi akan menghadapi dunia yang sulit, rasanya dia tidak rela.

"Danke, Om." Mata Radi semakin basah, dia beruntung berada di tengah keluarga ini dan sangat bersyukur akan hal itu.

Elliana mengalihkan pandangannya dari pemandangan papa dan kekasihnya. Rasanya dia ingin menangis kejer saat ini juga. Juna segera menghampiri adik kesayangannya, dia memeluk Elliana erat untuk menguatkan. Mereka satu keluarga sudah tahu apa yang akan Elliana dan Radi putuskan untuk kedepannya terkait hubungan mereka. Sungguh keputusan yang sangat berat untuk keduanya. Sementara Riana bergabung memeluk Radi erat, jadilah kini Radi dipeluk hangat oleh orang tua kekasihnya.

Anindya memandang Handika dalam, kini keduanya berpelukan erat. Keduanya berhasil melalui perjalanan panjang terkait penerimaan Handika terhadap keputusan Anindya menjadi mualaf. Mereka berharap Radi dan Krisna juga dapat melaluinya dengan baik juga.

....

KEESOKAN HARINYA

Radi menatap pantulan dirinya di depan cermin, dia mengenakan celana bahan abu-abu gelap dan kemeja putih yang lengannya dia gulung hingga siku. Rambutnya sudah dia tata rapi dengan kening terbuka. Kakinya berjalan menuju tempat penyimpanan koleksinya jam tangannya. Pilihannya hari ini jatuh pada Rolex dial blue.

Radi menghembuskan nafasnya perlahan, hari ini akan menjadi hari yang penting untuknya. Hari dimana dia terakhir beribadah minggu, juga hari terakhir dia dengan Elliana sebagai sepasang kekasih.

"Pagi, Pah? Mah? Di?" Radi menyapa anggota keluarganya yang sudah berkumpul lebih dulu di meja makan. Pemuda itu mengecup pipi mereka satu per satu.

"Rapi banget, Bang?" Emily sedikit heran karena penampilan Radi lebih rapi dari biasanya.

"Namanya juga mau ibadah, baiknya memang rapi, Mah." Bukan Radi yang menjawab, melainkan Krisna. Radi sendiri hanya mengangguk dan tersenyum.

Mereka mulai sarapan dengan tenang tanpa banyak keributan. Apalagi Diandra yang sebenarnya hari ini sedang dalam mode malasnya.

"Mas Tio, bawa mobil saya yah! Soalnya selepas beribadah saya mau jalan dengan Elliana. Jadi nanti pulangnya Papah, Mamah, dan Di disopiri Mas seperti biasa pakai mobil Papah. Untuk berangkat sekarang saya ingin saya yang mengemudi." Radi menyerahkan kunci mobil miliknya lalu menukarnya dengan kunci mobil milik papanya.

"Hmm lagi sweet banget nih Abang. Papah kan jadi terharu." Krisna menggoda Radi dengan mencolek-colek bahu Radi, lengkap pula dengan mata yang mengerling.

"Papah ini, mau tiap hari Abang sopiri juga Abang bersedia." Radi terkekeh lalu segera masuk ke dalam mobil.

"Gaya banget Papah disopiri pembalap pro segala." Krisna tertawa ringan. Dia menemani putra sulungnya duduk didepan, sementara para perempuan duduk di kursi belakang.

"Kalau Papah gak mau, Di ajah dong Bang yang Abang sopiri tiap hari." Diandra dengan segera memanfaatkan keadaan.

"Maunya kamu itu mah! Ambil kesempatan!" Krisna mendelik kesal pada putrinya yang selalu tidak mau kalah dari siapapun.

Obrolan demi obrolan terus mengalir, hingga perjalanan ke gereja terasa menyenangkan serta dilingkupi kehangatan.

Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk mereka sampai di gereja dimana mereka biasa beribadah. Begitu mereka turun dari mobil, mereka bertemu dengan keluarga Adhyaksa yang akan beribadah juga.

"Shalom, Dra? Tumben ibadah minggu di sini?" tanya Krisna pada Andra.

"Shalom. Iya, Mas. Pengen cari suasana baru ajah." Tidak ada kejanggalan atau keanehan yang Krisna tangkap. Karena hal itu wajar dimatanya, apalagi putranya menjalin kasih dengan putri bungsu Andra. Padahal kenyataannya keluarga Adhyaksa memang sengaja ibadah minggu di sana demi Radi. 

"Pagi, Ell?" sapa Krisna dan Emily bersamaan. 

"Pagi, Om, Tan." Elliana segera mencium tangan Krisna lalu memeluknya hangat seperti biasa. Begitupun dengan Emily dia memeluk Elliana erat dan lama. Elliana tidak protes, dia menikmati saja perlakuan kedua orang tua laki-laki yang dia cintai itu, karena mulai besok statusnya akan berbeda.

"Ya sudah, mari masuk, Mas, Mbak!" ajak Andra. Akhirnya kedua keluarga itu masuk ke dalam gereja untuk beribadah. Radi sengaja memilih duduk diantara kedua orang tuanya, mengingat ini adalah ibadah minggu terakhirnya.

Ibadah minggu kali ini terasa begitu mengharukan bagi Radi, meski hatinya tidak lagi tertaut pada Tuhannya, tapi dia tetap beribadah dengan khusyuk dan khidmat. Radi meraih tangan Krisna dan Emily, dia menautkan jari-jari tangan kanan kirinya dengan tangan mereka. Selalu terasa syahdu jika dia beribadah bersama-sama dengan keluarganya, air mata Radi menetes karena mulai besok dia harus terbiasa beribadah sendirian.

Ibadah hari minggu itu telah usai, tapi Radi meminta waktu sendiri dulu, dia masih ingin berdoa. Mereka semua mengangguk, tapi mereka tidak meninggalkan Radi, mereka malah duduk di bangku-bangku belakang Radi. Andra meraih bahu Elliana dan mengusap bahu sang putri menenangkan.

"Tuhan ... hari ini adalah hari terakhirku beribadah pada-Mu, aku pamit Tuhan. Terima kasih atas segala berkat luar biasa yang Engkau berikan." Radi menautkan jari-jarinya kuat dengan mata memejam. Dia berdoa dalam hatinya dengan khusyuk.

"Tuhan ... aku tahu kau Maha Kasih, aku harap Engkau tidak marah atas pilihanku. Tuhan ... tidak ada yang aku khawatirkan atasku, tapi aku sangat mengkhawatirkan orang-orang yang sangat aku cintai." Air mata menetes dari sudut mata pemuda tampan itu.

"Tuhan ... aku titipkan orang-orang yang kucinta. Aku titipkan Papah dan Mamah, aku harap Engkau berkenan melapangkan hati mereka menerima keputusanku; Aku titipkan Diandra, aku sangat menyayanginya, lukanya adalah lukaku juga dan bahagianya adalah bahagiaku juga; Aku titipkan Oma, Opa, Om, dan Tante, aku ingin mereka selalu bahagia; Aku titipkan Elliana, aku teramat mencintainya Tuhan, semoga Engkau mengirimkan padanya sosok pendamping yang terbaik, bahkan lebih baik dariku yang akan segera melepaskannya; Aku titipkan Jodi sahabatku, aku yakin dia tidak akan sepertiku berpaling dari-Mu; Aku titipkan keluarga Adhyaksa, mereka selalu menemaniku dalam proses pencarianku. Aku berharap bahagia, damai, dan sejahtera selalu menyertai mereka semua, aku berharap berkatmu selalu melimpah ruah dalam hidup mereka." Radi dengan sungguh mendoakan semua orang sekelilingnya yang seiman dengannya, menitipkan mereka pada Tuhannya, meski dia tahu betul tanpa Radi menitipkannya pun Tuhan akan menjaga anak-anaknya. Mata Radi semakin basah, air mata semakin mengalir deras.

"Tuhan ... aku titipkan juga dia yang jauh disana. Tolong jaga dia dari segala marabahaya, tolong berkati setiap langkahnya, dan tolong limpahi banyak kebahagiaan dalm hidupnya. Aku begitu menyayanginya sekalipun dia berada jauh dari tempatku berada." Radi menambahkan satu doa khusus untuk seseorang yang sama spesialnya di hidupnya.

"Amin." Radi mengaminkan doanya, berharap Tuhan mengabulkan semua doa-doanya. Dadanya kini sangatlah sesak, rasanya dia ingin berteriak sekeras yang dia bisa. Tapi Radi sadar dia harus dapat mengendalikan dirinya dengan baik karena ada orang-orang yang menyayanginya disini.

Radi bangkit dari duduknya, dia membersihkan wajahnya dari air mata lebih dulu sebelum membalikkan badannya untuk berhadapan dengan orang-orang yang tengah menunggunya. Begitu membalikkan dirinya, mata Radi kembali memanas dan dadanya semakin sesak.

"Semuanya, boleh Abang minta foto bersama disini sebelum pulang?" pinta Radi pada keluarganya juga keluarga Elliana.

"Tentu saja, Nak." Andra menjadi orang pertama yang berdiri dan menampilkan senyuman teduhnya.

"Kamu ini kenapa, Bang? Kaya selesai pemberkatan pernikahan saja pakai foto-foto segala, apalagi keluarga Ell dan kita ada lengkap disini." Krisna terkekeh mendengar permintaan putranya.

"Emang kalian sudah ada rencana nikah yah? Segerkan lah, Bang! Papah dan Mamah dukung," lanjutnya dengan wajah cerah.

"Di juga dukung, Di kan sayang banget sama Kak Ell." Diandra juga ikut-ikutan mendukung, gadis remaja itu langsung memeluk erat kekasih abangnya yang ada di sebelahnya. Radi dan Elliana saling tatap, keduanya hanya tersenyum tipis saja menanggapi hal tersebut.

"Mohon doa yang terbaik saja untuk kami," ujar Radi secara general meminta doa yang terbaik pada semua orang yang ada di sana.

"Benar kata Bang Radi, mohon doa yang terbaik saja untuk kami," sahut Elliana mendukung pernyataan Radi.

"Ayo foto dulu! Kan tadi Abang minta foto." Radi tersenyum lebar dengan ceria yang disambut anggukan dari semua orang.

Mereka berfoto di depan altar secara lengkap dengan formasi Radi dan Elliana di tengah-tengah. Dari mulai berfoto dua keluarga berfoto full team; berfoto hanya dengan keluarga Prasetya saja, berfoto hanya dengan keluarga Adhyaksa saja; berfoto hanya dengan saudara saja, yaitu Juna dan Daindra; terakhir Radi dan Elliana hanya berfoto berdua saja.

Radi menatap Elliana dalam, kini mereka saling berhadapan. Mereka tengah berkomunikasi lewat tatapan mata satu sama lain.

"Di hadapan Tuhan, hari ini aku melepaskanmu Elliana Reena Adhyaksa,batin Radi dengan dada yang sesak.

"Radian Krisna Prasetya, namamu akan selalu tersimpan rapi dalam hatiku, Bang," batin Elliana dengan sama sesaknya. 

Tbc ....

With Love,
Al-Fatihah
.
.
.

Maaf jika ada typo. 🙏🏻
Maaf jika ada kekeliruan dalam hal penjabaran kelilmuan.

Makasih udah mampir dan membaca chapter ini.
Follow me in other platforms! Linknya di bio!

goresantegas
22 April 2024

Continue Reading

You'll Also Like

119K 9.1K 6
"Nana... Ayah bekerja dulu ya?" "Ugh? No! No! No!" °Start 26.02.20 [Up jika ada keuwuan] copyright 2020 by fielitanathh
1.2M 134K 52
[MOHON DIFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR!] Pertemuan kolega bisnis berubah menjadi pertemuan antar kedua keluarga yang...
140K 7.4K 35
Ceritanya enggak recomended buat kamu yang perfect. Seorang mahasiswi falkutas keperawatan bernama Hanna yang menyukai seorang mahasiswa falkutas ke...
28.8K 317 12
Kim Taehyung, seorang kakak laki laki dari pemuda bernama Kim Changkyun, yang di diagnosis menderita Kardiomiopati Dilatasi (DCM) ketika umurnya yang...