Three Words Theory

By pearsnpearls

3.7K 522 124

Eros, Ludus, Storge. Tahun 1973, seorang psikolog bernama John Lee menyebutkan tiga warna utama dari cinta da... More

INFATUATION ‒ the first glance
🎞
Ludus - The First Theory
01 - Recontre
02 - Grand-père
03 - Une Âme Brisée
04 - Les Commérages
05 - Compliquée
06 - Avouer Ses Sentiments
07 - La Famille
08 - Roméo et Juliette
Eros - The Second Theory
09 - Vision Trompeuse
10 - Je Ne Vais Pas Lâcher
11 - Maintenant, Je Me Rends
12 - Le Début De Tout

13 - Les Embûches Se Présentent

146 22 10
By pearsnpearls

__________

the thirteenth part

©pearsnpearls, april 2024

__________


"Untuk request saya tempo hari by phone gimana, Mbak? Kami akan di-handle dokter terbaik di sini, kan?" Sandro menggenggam tangan istrinya lembut. Mereka sedang melakukan hospital tour untuk melihat fasilitas dan kelebihan yang dimiliki rumah sakit ini.

Ada alasan kenapa Janitra Group bisa menjadi raksasa bisnis di negara ini, keluarga itu memang sepertinya dianugerahi tangan besi yang cakap mengolah pundi-pundi dari generasi ke generasi. Janitra Medical Center hanya salah satu di antaranya. Rumah sakit yang memang menyasar pasar kelas A ini tidak dijalankan dengan sembarangan. Semua dibuat agar pelanggan yang rata-rata stratanya tidak beda jauh dari keluarga Sadewo sendiri merasa nyaman dan yang paling penting, dihargai.

Rich people want to be respected, and boy, the miles you have to go to make them feel that way.... Fortunately, Marla knows how to handle them. Of course, because she's speaking from experience.

"Tentu, Pak... Setelah hospital tour nanti, saya akan antar Bapak dan Ibu untuk bertemu dengan service director kita. Beliau yang akan menjelaskan langsung secara detail perihal program fertility kami termasuk kompetensi dokter-dokter kami serta biaya-biayanya. Setelah itu bisa langsung bertemu dengan dokter Shaqila di ruangannya untuk pertemuan pertama."

"Tuh, kan, benar dokter Shaqila Aziz yang nanti handle kita. Aku udah browsing, she's the best here," bisik Bimala Rahajeng, istri Sandro, semangat. Shaqila memang sudah mahsyur namanya di kalangan atas orang-orang berduit Indonesia sebagai salah satu dokter obgyn terbaik yang ada.

"Kalau sudah pasti sama dokter Shaqila, kenapa harus dikenalkan lagi dengan tim dokter lainnya, ya?" tanya Sandro pada staff yang mendampingi mereka. "Saya nggak mau, ya, kalau sudah di awal dengan dokter satu, lalu dipindah-pindah dengan dokter lain lagi." Nadanya tidak tinggi, tapi pegawai itu tahu bahwa jika kalimat tersebut keluar dari orang ternama, bantahan adalah bumerang yang akan berbalik menjadi tuntutan. Taruhannya nama baik rumah sakit.

"Bapak dan Ibu tetap akan di-handle langsung oleh dr. Shaqila. Beliau yang jadi dokter utamanya." Pegawai itu berusaha tersenyum ramah. "Tapi memang untuk program kesuburan, perlu dilakukan secara tim. Selain dr. Shaqila sebagai dokter obgyn dan lead doctor, akan ada dokter spesialis andrologi kami untuk konsultasi dan analisis kesuburan pria dan nanti juga akan dikenalkan dengan tim khusus dari laboratorium kami yang akan handle proses analisis sampai penyimpanan embrio nanti."

Sandro hanya mengangguk sekilas sebelum melangkah melanjutkan perjalanan mereka. Pasangan itu tidak mendatangi semua sudut rumah sakit, karena tempat ini terlalu luas dan mereka tetap perlu menyesuaikan dengan jam kerja Shaqila yang terbatas. Setelah selesai melihat fasilitas kamar bayi ketiganya pun langsung menuju ruang tunggu VIP.

Ajeng, panggilan akrab istri Sandro terlihat sudah mantap dengan pilihannya untuk menjalani program di rumah sakit ini. Ia tidak terlalu peduli dengan percakapan Sandro dan staff rumah sakit tadi. Di kepalanya, dia sudah tidak sabar untuk bercerita ke teman-teman satu pergaulannya tentang ini.

Mendapatkan tempat untuk menjadi pasien Shaqila memang hampir mustahil dan somehow para sosialita itu berhasil membuat hal ini jadi salah satu bragging rights terbaru mereka. Bagi orang biasa, antrian untuk bisa konsultasi ke anak sulung Marla ini sudah mencapai setidaknya tiga bulan, namun JMC punya program layanan VIP tersendiri yang rupanya laris manis ketika dijual ke kalangan atas.

Shaqila sebenarnya kurang setuju kalau harus menyisihkan waktu lebih di luar jam praktik regulernya hanya untuk melayani orang-orang yang menurutnya, pada kebanyakan waktu, lebih terasa seperti sok penting. Tapi sekeras-kerasnya Shaqila, dia tetap tunduk oleh mandat dari Marla.

Dari sudut pandang bisnis, program ini sebenarnya tidak seberapa menguntungkan. Namun Marla tetap mempertahankannya just for the sake of keeping the exclusivity. And it works. It keeps the rich people's ego afloats and at the same time, it makes them want more. People love to chase something they can barely have.

"Silakan ditunggu sebentar Bapak, Ibu. Service director kami, dr. Masayu, sebentar lagi akan ke sini untuk ngobrol lebih lanjut dengan Bapak dan Ibu," jelas staff tersebut.

Otot wajah Sandro seketika menegang. Ajeng yang sudah terlanjur senang masih sibuk merekam suasana ruangan yang menghadap langsung ke jajaran gedung-gedung tinggi di pusat Jakarta itu, tidak menghiraukan perubahan air muka sang suami.

Sandro sebenarnya tahu kalau Yuna bekerja di sana. Dia juga tahu kalau rumah sakit ini dipimpin oleh Marla Sadewo istri dari lawan politiknya–Arizal Aziz–sekaligus ibu dari Shaqila Aziz. Itu semua tidak seberapa mengganggu pikirannya karena toh kedua wanita itu tidak pernah ikut campur urusan politik Arizal. Ditambah, Ajeng sudah merengek kalau dia hanya mau diperiksa oleh Shaqila dan tidak mau kalau harus datang ke rumah sakit lain di luar negeri.

Tapi mendapati Masayu Ilana sebagai orang utama yang akan membimbing mereka selama perawatan, itu di luar perhitungannya. Terakhir Sandro bertemu Yuna, dia berada di departemen berbeda yang tidak terlalu banyak bersinggungan dengan pasien. Rumah sakit ini besar, jumlah karyawannya pun ribuan. Pria itu kira, kemungkinannya bertemu Yuna cenderung tipis. Kalaupun harus berpapasan sesekali, itu juga bukan masalah untuknya.

Tapi ini? Sandro tidak suka berada di situasi yang tidak masuk dalam perhitungannya.

"Selamat pagi, Bapak Sandro, Ibu Bimala." Yuna menyapa pasangan itu dengan tenang begitu masuk ke ruangan. Ekspresinya ramah namun sulit terbaca oleh Sandro yang memperhatikannya dalam diam.

"Pagi, dok. Apa kabar?" Sandro mengulurkan tangannya. Yuna membalas ajakan jabat tangan itu dengan santai. Sementara itu, Ajeng memperhatikan interaksi ini dengan tanda tanya tergambar di wajah.

"Dokter Masayu ini sebenarnya temanku juga, Sayang. Kami sama-sama ambil master di Sydney waktu itu," jelas Sandro. Pria itu benar-benar politikus ulung. Tidak ada sedikitpun jejak gugup di wajahnya padahal dia sedang menyampaikan kebohongan besar di depan istrinya sendiri.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita punya teman secantik ini?" Dan cara Sandro berhasil. Ajeng terlihat terpesona dengan sosok Yuna yang tidak hanya ayu, tapi juga memancarkan kharisma tidak biasa, seolah bisa menyedot semua perhatian orang di ruangan yang dimasukinya.

"Terima kasih, Ibu Bimala, tapi sepertinya saya masih kalah, deh, kalau dibanding sama Ibu," canda Yuna. Nada bicaranya ringan, membuat Sandro semakin penasaran.

"It's Ajeng, dok. Ajeng aja panggilnya supaya lebih akrab...," sahut Ajeng tersenyum lebar disambut anggukan kecil Yuna.

"Kami kenalnya waktu ada acara di KJRI, setelah ngobrol baru sama-sama tau kalau ternyata satu almamater di USYD," lanjut pria itu, setengah memancing percakapan dari mantan kekasihnya. Sialnya usahanya belum juga berhasil. Perempuan itu hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman sembari sibuk menyiapkan berkas yang akan ditunjukkan pada dua kliennya ini.

"Dokter Masayu sudah menikah?" tanya Ajeng. "Maaf, ya, dok, kalau pertanyaan saya terlalu personal," lanjutnya setelah menyadari ada tatapan tajam dari sisi kiri, tempat suaminya berada.

Yuna menjawab singkat dengan gelengan dan senyum yang membalut perasaan malasnya saat ini. Kalau boleh jujur, saat dia tahu kalau pasien VIP yang harus ditangani hari ini adalah Sandro dan pasangannya, Yuna serasa ingin menyublim, menghilang dari dunia tanpa jejak tersisa. Biar bagaimanapun pria itu punya kontribusi besar terhadap rasa benci Yuna kepada dunia. Ditambah Ajeng, perempuan yang kini sedang asik menonton testimoni pasien-pasien yang ditampilkan di layar televisi di ruangan, adalah orang yang dipilih Sandro untuk jadi pasangan setelah meninggalkan Yuna begitu saja.

Jangan salah paham. Perasaan Yuna saat ini memang campur aduk, tapi dia yakin salah satunya bukanlah rasa cinta. Perempuan itu hanya bingung, karena energinya untuk marah pada Sandro pun sudah habis. Yuna hanya ingin laki-laki itu hilang sepenuhnya dari kehidupannya. Tapi lagi-lagi, dunia sepertinya belum benar-benar berdamai dengannya.

Oh well, untungnya dia sedang tidak punya cukup waktu untuk marah sama semesta. Jadi yang Yuna bisa lakukan sekarang hanyalah bekerja seperti biasa, menganggap bahwa pasangan yang ada di hadapannya saat ini cuma salah satu dari sekian banyak klien naratama yang harus dia dampingi. Jujur, perempuan itu lebih penasaran dengan reaksi Shaqila nanti saat melihat Sandro muncul di ruang praktiknya. Berbeda dengan Yuna, Shaqila tidak begitu piawai menyembunyikan emosi.

Ketiga orang itu sedang berjalan menuju ruangan Shaqila saat Ajeng mendadak berbelok ke arah kamar kecil, meninggalkan Sandro dan Yuna berdiri kikuk di lorong rumah sakit.

"Apa kabar, Na?" Sandro lega akhirnya dia bisa punya waktu berdua dengan Yuna, entah apa maksudnya. Perempuan itu mengernyit mendengar pertanyaan barusan. Di detik selanjutnya, dengusan halus pun keluar.

So he wants to play like this? Batin Yuna. Dia terlalu malas untuk berbincang dengan pria tidak tahu diri itu.

"We're good, kan?" tanya pria itu lagi. Yuna masih diam, sehingga Sandro melanjutkan, "Saya ngerti situasi kita sulit. Tapi di sini victim-nya bukan kamu aja. Kedepannya kita akan sering bersinggungan, jadi bisa, kan, kita be nice aja satu sama lain?"

Yuna benar-benar tidak habis pikir. The audacity this man has. Pikirannya sudah tidak lagi netral karena keinginan untuk menjahit mulut pria itu agar tidak lagi bicara seenaknya sudah sampai ubun-ubun. Untungnya tak lama setelah itu Ajeng sudah kembali bergabung dengan mereka.

"Dokter Masayu, kan, belum nikah. Tapi, kalau pacar punya?" Sepertinya permintaan maaf soal pertanyaan yang terlalu personal beberapa menit yang lalu sudah tidak lagi berlaku.

"Aku barusan kepikiran mau kenalin dokter ke temanku. Baik banget orangnya dan dokter juga, spesialis bedah," tawar Ajeng.

"Thank you, Bu Ajeng tawarannya. Tapi saya sudah punya pasangan," jawab Yuna tenang, namun dalam hatinya tersimpan rasa puas.

Setelah akhirnya bisa terbebas dari tugas, Yuna segera menuju ke ruangannya untuk menarik napas sejenak. Pertemuannya dengan Sandro dan Ajeng barusan menguras terlalu banyak energi, padahal baru masuk tengah hari. Perempuan itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi seraya menerawang, mengingat kembali kata-kata yang dia keluarkan saat menolak tawaran Ajeng.

Dia sudah punya pasangan. Kalimat yang masih asing tapi ternyata begitu melegakan untuk diucapkan.

Lagi ngapain, ya, dia? Batin Yuna sambil meraih ponselnya.

"Udah kangen aja?" Baru dua dering berlalu, Jabraan langsung mengangkat telepon dari seseorang yang sudah membuat pikirannya sibuk sejak pagi. Soalnya, ini kejadian langka. Yuna menelponnya lebih dulu.

"Bisa nggak sekali-kali kalau angkat telepon dari saya, tuh, jawab aja kayak orang biasanya gitu?" Yuna terkekeh.

"Ya nggak bisa, lah, Babe. Kamu, kan, bukan orang biasanya buat aku. You're special."

"So, kamu belum jawab. Kangen, ya?" lanjut pria itu.

"Kalau saya jawab iya gimana, kalau nggak gimana?"

"Kalau iya, mood aku akan bagus seharian di tengah tumpukan kerjaan yang bikin mumet. Kalau nggak, aku mau pulang cepet aja soalnya jadi nggak mood kerja, tapi mungkin Aheng akan telepon kamu sambil mohon-mohon buat bujuk aku balik ke kantor."

"Iya, deh, kalau gitu. Kasihan si Aheng."

Jabraan spontan terkekeh. Dia sama sekali tidak keberatan Yuna belum bisa terbuka menunjukkan isi kepalanya. He got all the time in the world for her. Dia bisa menunggu.

"Jabraan...."

"Yes?"

"Kamu balik ke Jakarta malam setelah selesai Blaszt atau besoknya?"

"Langsung, sih, rencananya malam itu juga. Gonna use the jet. Kenapa? Akhirnya kerasa senewen, ya, bakalan lama nggak ketemu aku?"

"Kalau penumpangnya nambah satu lagi, nggak masalah, kan?"

"Wait, gimana?"

"Kamis saya susul, ya? Keberatan nggak?"

______

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 157 1
Jendral Vesperine, pemimpin Pasukan Emas, unit pengamanan elit yang tugas utamanya melindungi Presiden menerima mandat dari Republik untuk menikah la...
4.8K 933 2
Antinomi : Dua hal yang bertentangan, namun tak terpisahkan. *** Bagi Maura, berhasil kuliah di London adalah babak baru dalam hidupnya. Dia bisa te...
487K 33.7K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
373K 49.4K 40
Shimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must e...