Three Words Theory

By pearsnpearls

3.8K 525 124

Eros, Ludus, Storge. Tahun 1973, seorang psikolog bernama John Lee menyebutkan tiga warna utama dari cinta da... More

INFATUATION ‒ the first glance
🎞
Ludus - The First Theory
01 - Recontre
02 - Grand-père
03 - Une Âme Brisée
04 - Les Commérages
05 - Compliquée
06 - Avouer Ses Sentiments
07 - La Famille
08 - Roméo et Juliette
Eros - The Second Theory
09 - Vision Trompeuse
10 - Je Ne Vais Pas Lâcher
11 - Maintenant, Je Me Rends
13 - Les Embûches Se Présentent

12 - Le Début De Tout

141 28 12
By pearsnpearls


__________

the twelfth part

©pearsnpearls, april 2024

__________



"Hi, Baby doll!" Sapaan ceria keluar dari mulut Jabraan. He looks very dashing for a regular Monday morning. Yuna bisa mencium aroma segar nan lembut menguar dari tubuh pria itu. Aroma yang tidak pernah dia temukan dari parfum-parfum high end yang ada. Masuk akal, karena Shaqila pernah cerita kalau keluarga mereka sering membuat custom perfume di Grasse, Perancis, yang wanginya disesuaikan dengan kepribadian dan selera masing-masing pengguna. Namun semua citra yang menyilaukan mata itu masih kalah dengan kata-kata yang pria itu pilih untuk menyapa kekasihnya.

Yuna mengernyitkan kedua alisnya bingung seraya masuk ke SUV hitam keluaran Eropa itu. Dia belum terbiasa dengan kehadiran Jabraan di hidupnya. Well, she doesn't mind, it just feels... new.

"What?" Pria itu gantian menatap heran.

"B—baby... doll?"

"Kenapa sih? Kan, kamu cute and small like a baby doll."

"Jabraan, I'm 35 and 168 cm tall!" Perempuan itu menutup mulut Jabraan dengan telapak tangan lentiknya seraya tertawa.

"Daripada ditutup gini, mending cium sekalian nggak, sih?" Jabraan menaikkan kedua alisnya iseng, lantas mengambil buket bunga kecil dari jok belakang. "Moreover, today is exactly one week since our first kiss," lanjutnya memberikan kejutan kecil itu ke Yuna.

"Kamu beneran ekstra, ya, anaknya."

"Happy one-week since our first kiss! Let's celebrate!" Jabraan mendekatkan wajahnya ke sang lawan bicara, namun Yuna justru menarik kepalanya menjauh.

"Really wanna kiss you as much, tapi kita masih di lobby apartemen saya." Yuna menunjuk rentetan mobil dan lalu lalang orang yang lewat.

"Oke, di RS aja."

"Jabraan!"

"Also, I'm 185. So 168 is indeed a baby doll for me."

Now that they are a couple, this is their usual banter. Layaknya pasangan usia 30-an kebanyakan, mereka tidak pernah mendeklarasikan apa-apa. The kiss in the parking lot last week seals it all. Dari sana, secara natural mereka sudah berlagak layaknya sepasang kekasih. Mengabari setiap hari, trying to get stolen kisses here and there, dan rutinitas baru lain adalah Jabraan yang jadi selalu menjemput Yuna setiap pagi untuk berangkat ke rumah sakit.

Pria itu juga akhirnya memutuskan untuk menjadikan apartemennya di bilangan Mega Kuningan sebagai tempat tinggal utama, sudah bukan lagi di rumah orang tua. Alasannya sederhana, karena lebih dekat dengan Yuna.

Beberapa hari yang lalu, dia sempat merasa kangen setengah mati sama pasangan barunya itu dan bagaimanapun caranya, mau lihat wajahnya secara langsung walau hanya sebentar. Jadi, pria itu hampir mau melaju tengah malam ke apartemen Yuna dari rumah orang tuanya yang berjarak hampir 40 km. Artinya, dia harus membelah Jakarta. Tentu saja ini bikin Yuna uring-uringan. Jarak yang jauh ditambah kemungkinan Jabraan akan ngebut sambil ngantuk, membuat wanita itu mengeluarkan ancaman tidak akan mengangkat teleponnya kalau sampai Jabraan tetap berangkat.

Being rich is so comfortable isn't it? Jabraan can just choose where he wants to live.

"Besok lusa aku terbang ke Kupang buat Blaszt. Kamu ikut aja, yuk! Hitung-hitung liburan."

And also this, he can go wherever he wants, no budget planning needed.

"Serius? Besok banget?"

"Yeah, what about it? Kamu cuti aja, ya?"

"Kamu tahu aku nggak bisa seenak jidat main cuti gitu aja, kan, Jabraan?"

"I can—"

"No." Yuna memotong perkataan Jabraan, tahu betul kata-kata yang akan keluar setelahnya. "Kamu jangan minta apa-apa sama mama kamu soal aku, ya."

Jabraan terbahak senjata andalannya dimentahkan begitu saja. "Look, Masayu, how about this? Blaszt kan acaranya tiga hari, Jumat sampai Minggu. So, it'll be hectic for me until Wednesday, tapi hari Kamisnya aku bisa kabur sampai Jumat pagi sebelum acara.

"Kalaupun nggak bisa berangkat besok banget, kamu bisa nyusul Kamis pagi. Aku yakin rumah sakit nggak masalah kamu ajuin cuti on three days notice. Fancy a short yacht trip?" lanjutnya.

"Kalau sekarang-sekarang belum bisa, lagi banyak klien VIP yang harus aku supervisi servicenya."

"Dikontrol dari jauh nggak bisa?"

"Nggak bisa." Perempuan itu sebenarnya agak ragu karena dia sendiri belum pernah melakukannya. Dia hampir tidak pernah ambil cuti.

"Yah... Nanti kalo aku kangen gimana?"

"Ya tahan aja dulu kangennya, kan, cuma sebentar."

"Kamu enak nahan kangennya gampang, kalau aku kan susah."

"Kata siapa?"

Kadang, Jabraan masih suka kaget dengan jawaban-jawaban Yuna. The way she expresses love is very different from what he knows. He's a grown ass man, and yet, still feels butterflies in his stomach everytime his partner makes snarky remarks implying that she, in fact, also in love with him.

"Nanti kalau ada kesempatan cuti, aku kabarin, ya."

"Okay, Dream Girl!"

"You know, you're beginning to grow on me. All those nicknames and sweet-talks." Again, just like that, she wakes up the butterflies.

"Be ready! I'm a certified sweets factory." Pria itu membalas sok jahil, meski jantungnya sedang berdetak tak karuan.

"Harusnya omongan kamu barusan bikin saya cringe. Tapi kok enggak, ya?"

"Karena aku yang ngomong, coba orang lain."

Yuna hanya menggelengkan kepalanya pasrah seraya terkekeh. Kalau urusan cinta-cintaan, memang sepertinya Jabraan susah dilawan.

Sepanjang perjalanan yang tidak terlalu lama ke rumah sakit, mereka tidak lagi banyak bicara. Yuna fokus pada ponsel dan online morning briefing-nya, sementara Jabraan juga sesekali menjawab email kantor yang masuk saat lampu lalu lintas berpendar merah. Dia juga perlahan membaca rentetan pesan dari Aheng terkait jadwalnya hari ini dan approval apa saja yang harus diberikan.

Blazst yang sedari tadi disebut jadi penyita waktu utama Jabraan saat ini. Festival musik tropis yang akan digelar di sebuah private island di NTT minggu ini sudah 100% selesai persiapannya, tapi tentu dia tetap harus memastikan sekali lagi supaya semua berjalan lancar. Jabraan mungkin terlihat santai dan lebih menyukai hura-hura dibanding kerja. Tetapi dia sebenarnya tahu cara jitu menjaga keseimbangan sebagai seorang profesional dan pecinta ulung.

Setelah memasuki halaman rumah sakit yang pagi itu ramai, Jabraan mengarahkan setirnya ke arah parkiran, bukan ke lobby, seperti biasanya.

"Kok kamu parkir? Kenapa nggak drop kayak biasa aja?"

"Kamu masih ada hutang, tau!"

"Hutang? Hutang ap— oooh...." Yuna langsung menyadari begitu Jabraan menyodorkan pipinya. Perempuan itu menggeleng heran, tapi senyum tak lepas dari wajahnya. Kecupan singkat pun mendarat.

"Cium model apaan itu barusan?" protes lelaki itu.

"Tetap aja cium, kan?"

"Nggak ada! Cium itu harus sampai bunyi! Apaan itu nempel doang?" Jabraan merajuk. "Masa harus dicontohin dulu, sih?"

Pertanyaan retoris, karena belum sempat Yuna menjawab, Jabraan langsung memberikan contoh cium yang dia maksud.

"Udah ngerti?" tanyanya setelah membuat pipi Yuna bersemu merah muda. Kecupan di pipi barusan memang beda dari yang Yuna berikan tadi.

"Udah ngerti, belum? Kok nggak jawab? Malah ketawa-ketawa lagi!" Lanjut pria itu di sela tawa dan hujan kecupan yang dia berikan.

"Muka saya berantakan nan—" Yuna berusaha membalas di sela tawanya.

"Will still be the most beautiful," sanggah Jabraan. Kini manuvernya sudah berlanjut sedikit ke bawah, ke garis rahang Yuna yang tak begitu tegas, turun ke dagunya yang lancip, lantas bergeser ke lehernya yang jenjang. Perempuan itu tak lagi melawan dan justru sempat menutup matanya sepersekian detik sebelum akhirnya sadar kalau dia tidak menarik diri, sesi antar jemput pagi ini akan jadi lebih panjang dari yang seharusnya.

"I have to work, Jabraan. And you should too, I assume?" Yuna mengangkat wajah Jabraan dari ceruk lehernya. Pria itu mengangguk lesu dengan ekspresi yang lucu, membuat senyum teduh tanpa sadar keluar dari wajah ayu seorang Masayu.

Weirdly enough, ekspresi itu bikin Yuna enggan beranjak. Ini baru pertama kalinya Yuna malas masuk kerja. Detik itu, dengan rasa baru yang masih asing dia rasakan, Yuna mendekatkan bibirnya ke arah Jabraan yang masih merajuk, dan mendaratkannya dengan sempurna pada targetnya. Pria itu tersenyum kecil seraya membalas aksi kekasihnya dengan gigitan lembut di bibir. Masayu begitu memabukkan untuknya. He can't get enough of her, even after all the kisses.

"Aku ikut turun, ya?" tanya Jabraan setelah Yuna selesai membereskan riasannya yang sempat sedikit berantakan.

"Ngapain?"

"Mau antar aja sampai meja, to make sure you're safe and sound."

"Not a chance!"

"Sampai depan pintu, deh."

"No."

"Sampai lantai kamu?"

"No."

"Sampai kamu keluar lift di lantai kamu?"

"Biar apa, sih?"

"Nggak mau pisah cepat-cepat ...."

"RS ini punya keluarga kamu, loh!"

"Justru itu. Suka-suka aku aja nggak, sih, kalau mau keliaran di dalam?" Jabraan mengeluarkan muka jahilnya. Pria itu memang punya kecenderungan untuk menjadi menyebalkan untuk orang-orang yang dia sayang. He's such a lovely annoying human being.

"Dasar Tuan Muda!"

"Not Tuan Muda, lah ...."

"Serius, Jabraan. Nggak usah turun, ya? Aku males kalau ada yang aneh-aneh."

"Seperti? Kamu takut kelihatan orang-orang?"

"Iya, lah!"

"Kamu malu jalan sama aku?" Jabraan belum puas menggoda kekasihnya.

"Bukan."

"Terus kenapa, dong? Everyone agrees our visuals match each other."

"Define everyone!"

"Me and basically the human population."

"Trust me, Jabraan, there will be more harm than good. At least for now." Kini nada bicara Yuna jadi lebih serius.

"And why is that?"

"We're not gonna talk about this now, are we?"

"Fine. Berarti kamu punya hutang ngobrolin ini sama aku over dinner at my place, say eight o'clock?" Pria itu tersenyum penuh arti.

Yuna mengulum senyumnya. "Okay, terserah kamu, yang penting sekarang aku harus segera masuk."

Perempuan itu pun melangkahkan kakinya ke luar mobil sebelum akhirnya berbalik. "Jadi mau antar aku sampai lift, nggak?"

"YES!"

Mereka pun berjalan beriringan ke dalam. Meski usaha Jabraan untuk menggandeng Yuna langsung gagal karena tangannya ditepis, tapi pagi ini sudah cukup menyenangkan untuknya. Ditambah, dia bisa lihat ternyata perempuan di sebelahnya bukan orang sembarangan. Iya, dia tahu kalau Yuna adalah orang kepercayaan mamanya dan salah satu pegawai terbaik yang dimiliki Janitra Medical Center. Tetapi dia tidak pernah benar-benar melihat sendiri betapa detail kekasihnya itu mengatur jalannya pelayanan di sini.

Dalam perjalanan mereka ke lift, Yuna sudah dicegat oleh beberapa orang untuk diskusi seputar pekerjaan. Bahkan ketika di dalam lift yang semuanya berisi pegawai, tidak satupun yang absen menyapa dokter Masayu. They respect her and it just makes him adore her more.

Di dalam kotak besi yang padat itu, ada beberapa orang yang mengenali kehadiran Jabraan. Sebagian tahu kalau pria jangkung itu adalah anak dokter Marla dan adik dokter Shaqilla, sebagian lagi hanya menyadari karena ada sosok tampan yang tahu-tahu masuk lift karyawan. Sadar diperhatikan, Jabraan memencet lantai tempat kakaknya praktik di lift yang ceritanya jadi tempat tujuannya, mencegah curiga dari orang-orang di sana.

Tiga lantai sebelum sampai ke ruang praktik Shaqilla, Yuna turun dari lift tanpa menoleh ke Jabraan sama sekali. Namun jemarinya yang lentik sempat sekilas menyusuri telapak tangan Jabraan yang berdiri tepat di belakangnya, sebagai isyarat perpisahan. Pria itu menahan senyumnya setengah mati.

Sesampainya di lantai yang dituju, Jabraan pun melangkah ke luar dan berencana untuk menghampiri Shaqilla sebentar meski itu bukan tujuan utamanya di awal. Lantai yang memang dikhususkan untuk poliklinik obstetri dan ginekologi itu terlihat cukup ramai, meski masih pagi.

Dengan langkahnya yang panjang-panjang, Jabraan berjalan sedikit cepat ke arah ruangan kakaknya. Sengaja, sebelum Shaqila sibuk menerima pasien yang mulai berdatangan. Namun rupanya ini membuatnya tidak awas akan keadaan sekitar sampai akhirnya tanpa sengaja menabrak seseorang ketika akan berbelok di lorong.

"Eh—sorry, Mas!" Pria yang berbenturan dengan Jabraan barusan justru refleks minta maaf lebih dulu. Mungkin sama seperti Jabraan, dia juga terburu-buru sampai kurang melihat sekitar.

"Sorry juga, Mas. Saya nggak lihat," balas Jabraan sopan sambil mengambil ponselnya yang terjatuh.

"Beneran nggak apa-apa, kan, Mas?" tanya pria itu lagi meski masih sibuk membereskan pakaiannya yang sedikit berantakan.

"Iya, Mas. I'm good. Mas juga nggak apa-apa, kan?" Jabraan ikut memastikan sebelum akhirnya sadar kalau pria yang dia tabrak barusan wajahnya sangat familiar. Itu Sandro Himawan, politikus yang tempo hari sempat masuk ke perbincangannya dengan Tristan. Di sebelahnya ada istrinya yang masih berdiri kebingungan dan seorang staff JMC yang sepertinya sedang mendampingi mereka.

"Saya nggak apa-apa...." Di detik yang sama, Sandro pun baru menyadari kalau pria di hadapannya adalah anak Arizal dan Marla Aziz. Dia familiar, karena Jabraan memang cukup sering muncul di media sebagai pemimpin Janitra Live. Ditambah Arizal adalah pemimpin partai politik saingannya.

Mereka tidak saling memperkenalkan diri dan pertemuan tidak sengaja barusan juga selesai begitu saja. Tetapi ada hawa tidak mengenakkan yang dirasakan Jabraan. Insting waspadanya terbangun. Dia baru saja bertemu pria yang sudah melukai perempuan kesayangannya.

______


hawo~ maaf baru muncul lagi hehe! besok lusa lebaran nih, maaf lahir batin ya semua! have a great one!

Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 969 2
Antinomi : Dua hal yang bertentangan, namun tak terpisahkan. *** Bagi Maura, berhasil kuliah di London adalah babak baru dalam hidupnya. Dia bisa te...
1M 50.1K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
243K 43.4K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
28.4K 2.2K 34
Sebagai pewaris tunggal perusahaan keluarganya, Misha dituntut menjadi anak yang penurut. Hidupnya telah diatur sedemikian rupa agar semua berjalan s...