Steal My Boy

By rswna_

5.8K 575 139

Araminta Azalea selalu yakin dirinya bisa meluluhkan hati Rajendra yang semula es menjadi air, yakin bisa mem... More

Arti nama pangeran
Peraturan Rajendra
Kembali ke masa lalu
Satu bulan yang berat
See you again
Kematian tak terduga
Tidak sama layaknya hari yang lain
Berbeda dari hari yang lain
She left me
Farewell
Unexpected
Undercontrol
Putri Azalea's gift
Easy go
Hello, Paris!
Wanted
Lamaran Dingin....
What the.....
mimpi atau?

Si 'masalah besar'

451 38 9
By rswna_

Jendra sudah siap pulang. Akhir-akhir ini, kesibukannya masih tetap sama seperti 2 bulan terakhir. Kasus yang terjadi antar Koruptor, dan yang satunya terlibat pembunuhan massal. Tidak ada yang benar.

Kalau bukan karena ibunya yang terlalu menginginkan anak laki-laki satu-satunya ini sebagai Advokat, dia tidak akan pernah mau menjadi sangkut paut masalah orang-orang yang mencarinya hanya karena butuh pembalaan yang salah.
Dulu, sempat Jendra berkata dengan lapang dimuka umum jika semua yang ada ditempat tidak ada yang benar, lalu kenapa harus dibela? Dia sangat tahu pekerjaannya ini makin lama makin ngawur

"Kau serius menyetir nggak sih, Jen? Biar gue yang gantiin sini, lo capek banget"
Ia menoleh, mendapati Daffa disampingnya dengan tatapan khawatir sepertinya. Daffa adalah seorang Jaksa -yang sama dengannya. Tidak terlalu niat dengan pekerjaannya-

"Gue mau berhenti rasanya, Daf" Tukasnya sambil memijat keningnya, tampak lelah sekarang, "Berhenti? Lo yakin? Janganlah. Lo mau kerja apa bro?"

Pertanyaan yang lagi, selalu sama dengan berbagai macam pertanyaan lainnya yang saling menyanggah tutur kalimat keluhannya. Tidak ada bedanya, fikirnya

"Nanyanya selain itu, apa gak bisa?"
"Ya terus? Gue peduli men, seenggaknya kalo lo mau berhenti dan keluar dari hukum neko-neko ini, lo pikirin dulu, lo cari pekerjaan yang bisa lo kerjain, asal banget sih sikap lo lama-lama," merasa disalahkan, bukannya mencarikannya sebuah jawaban untuk keluar dari lingkaran hukum yang melekat padanya, membuat Jendra menggeram frustasi.

Sudah cukup rasanya hari ini dibuat pusing oleh pekerjaan yang penuh kebohongan, juga wanita sinting tadi pagi. Jendra mengusap wajahnya, tapi tetap fokus terhadap jalanan

"Sorry, Jen. Abis lo gitu sih, suka ceroboh, gue males bantu lo lagi ah kalo ada masalah apa-apaan. Nyangkut hukum soalnya. Gak lagi-lagi, thanks!" Daffa memutar kembali ingatannya setahun yang lalu. Tentu saja mereka akan satu ruang, di ruang pengadilan. Dengan Jendra yang masih membawa Tn. Derson sepertinya sih namanya, kalau tidak salah ingatannya. Dengan lantang, padat, singkat, dan jelas semua orang disana pun bisa mendengar pengakuan yang entah dia pikirkan atau tidak sebelumnya. Temannya itu sangat berani mengatakan apa yang dia tahu tentang penggelapan pajak dari Derson, yang tentu saja berakhir dengan Derson yang langsung masuk jeruji besi 15 tahun lamanya.

"Lo mau balik apa kemana? Gue ada janji sama Rasti dirumah,"
"Wettt tumbenan, bisa dong gue minta nomornya? Minimal itu aja sih, sob" melihat Jendra yang menggelengkan kepalanya dengan wajah datar layaknya papan triplek, Daffa mendengus kesal

"Berhenti ngejar kakak gue. Dia mau nikah bulan depan" sepersekian kalinya, dia merasa jijik lama-lama punya teman dekat layaknya Daffa ini. Betapa pandainya dia merubah setiap ekspresi menggelikan seperti sekarang. Wajah sedihnya ingin sekali dirauknya!

"Gaasik lo, bukannya jadi mak comblang. Bisanya manasin hati gue doang, pantes ga laku" Daffa terkekeh geli saat kalimat akhirnya di pelankan, tentu supaya Jendra nggak ngamuk sekarang. Ya setidaknya tunggu sampe dia sukses diantar pulang, setelahnya sih terserah deh

"Lo kira gue budek,"
"Serem gila muka lo. Siapa sih gitu yang gak geregetan sama lo, cewek banyak, apalagi yang suka sama lo, tuh dulu si Kintan malah mau jadiin lo pacarnya ketimbang pengacaranya hahaha. Cantik iya, pinter iya. Aduh selera lo kayak gimana sih, gue penasaran"

Senyumnya muncul. Difikir-fikir, satu hari penuh dia terus dikelilingi orang-orang yang sangat getol sekali bicara panjang lebar. Bukannya kesal, tapi terkadang dia sendiri tidak tahu jelas apa maksud yang dikatakan setelahnya. Daffa memojok kearah pintu mobil, menarik jauh-jauh tubuhnya sejak merasakan aura aneh dari temannya

"Lo gila apa gimana?"

"Kok lo bawel ya Daf akhir-akhir ini? Kesambet apa lo?" Jendra tertawa singkat. Bisa dihitung lah, mungkin selama 3 detik dan tawanya itupun hilang ditelan dinginnya malam, tepatnya sih dinginnya Jendra. Karena auranya memang berbeda

"Lo tuh, harusnya gue yang nanya lo, tumbenan banget lo ngomong banyak. Nanya-nanya gue daritadi, tumben peduli. Biasanya gue mau turun dimana lu taro gue dimana" ucap Daffa tak kalah protesnya.

Jika diingat kembali, sikapnya memang sedikit melunak hari ini, dilihat dari yah hal kecil semacam tidak lagi marah-marah di kantor. Daffa ingin tertawa geli mengingat temannya tidak meluapkan emosinya hari ini padahal biasanya pun berujung aksi saling hajar

"Gue ngerasa biasa aja," katanya dingin. Yah, kembali lagi si es ini, fikir Daffa

"Lo mau turun sekarang? Atau tunggu mobil gue masuk rumah lo?" Daffa melihat keluar kaca. Akhirnya, dia sampai juga dirumah tanpa perlu berlama-lama cek cok sama teman es nya ini

"Lo langsung balik? Masuk dulu gih"
"Gue ada janji. Assalamualaikum!" Kata salam akhir kalimatnya membuat Daffa yang hendak masuk rumah merasa tersindir dan menoleh, masih terkekeh geli mengingat sikap si es seharian ini.

"Makin aneh aja sih tuh orang," dia menggumam dan membalikan tubuhnya lagi untuk masuk ke dalam

***

"Assalamualaikum," suara berat khas nya membuat kedua orang yang tengah asik tertawa di meja makan menoleh bersamaan.

Melihat siapa salah satu yang ada disana -tentu saja selain Rasti, kakaknya- Jendra bergidik ngeri. Matanya bertemu dan jadilah sekarang wanita itu tersenyum lebar-lebar menatapnya. Heran, kenapa juga ada cewek selebay Ara dibumi. Begitu kata-kata di otaknya yang bahkan belum ditemukan jawabannya. Dia bahkan sudah cukup capek memutar otak menghindari cewek satu ini

"Jen, udah makan kamu?"
"Nggak nafsu" kata-kata yang keluar dari bibir Jendra membuat Rasti tercengang, takut bila menyakiti hati Ara. Tapi ternyata tidak. Ara justru masih menunjukkan senyum terbaiknya untuk Jendra. yah walau tidak dilihat juga

"Ngapain sih masih disini? Gak ada kerjaan selain nguntit gue?" Ara bangkit dari duduknya. Merasa tau itu, Jendra sudah was-was, tangannya siap membuat batas supaya Ara tidak mendekat

"Jeje kenapa? Orang Ara mau cuci tangan" pernyataan yang sukses membuat Rasti tertawa geli. Adiknya itu kenapa juga wanti-wanti sama cewek selucu Ara, batinnya

Setelah melewatinya, Jendra gerak cepat untuk menarik Rasti dari kursinya

"Sekarang, kamu bawa dia pergi keluar. Atau suruh dia pulang" nadanya mengancam tapi justru ditanggapi Rasti dengan ekspresi bingung, "kemana? Kamu tuh kenapa sih dek? Dia asik tau"

Satu lagi setelah ayah sempat mengatakan hal yang sama dulu, apa juga yang membuat mereka merasa cewek sinting ini asik? Asik darimananya, sih? Jendra menggerutu dalam hati. Semuanya menyukai Ara, tapi dia tidak. Katanya sih, never were and never will untuk menyukai Ara, mustahil

"Kakak anter dia pulang. Plis, aku capek. Mau tidur"
"Loh, yaudah kamu tidur aja dikamar, kan Ara sama kakak di kamar kakak, kamar kamu kan diatas, nggak bakalan denger suara Ara juga kan" dalam hatinya, Rasti merasa Jendra juga keterlaluan. Rasti tidak punya teman dirumah. Ya, dia berhenti jadi psikolog sudah sejak 2 tahun yang lalu karena trauma, dan sekarang Ara datang membawanya pada keramaian, walau dilihat hanya berdua, tapi Ara tipe orang yang menyenangkan. Setiap ucapannya selalu membuat Rasti tertawa

"Tetep aja pikiran aku kemana-mana" dahinya sudah berlipat-lipat mendengar Jendra sebelumnya, "kamu suka sama Ara ya? Sampe kepikiran gitu"

"Hah.. udah ya. Sekarang turutin kata aku, cepet!" Melihat Ara yang menghampiri mereka, Jendra memutuskan pergi ke kamar. Dilihat lagi keadaan keduanya dari anak tangga, sepertinya Rasti menuruti kata-katanta untuk membawa pergi Ara. Dia dapat menghela nafas lega sekarang, dan cukup sudah ujian terberatnya hari ini

***

Ara melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, menyapa bibi Sal dan pak Man yang tengah membantu Owen didapur. Sementara Owen sadar tak dapat sapaan layaknya mereka, dia mendengus kesal

"Tidak menyapaku hum?" Katanya menyindir. Ara hanya menoleh sekilas lalu fokus pada jalannya menuju tangga

Kamarnya masih tampak sama, hanya saja kali ini terdapat amplop besar berwarna coklat yang sempat membuatnya berfikir keras apa yang ada di dalamnya, "kenapa nggak dibuka, Ra?"
Memutar matanya pelan begitu tahu Owen lah yang membuka suara barusan

Amplop yang cukup ribet untuk dibuka, entah kenapa bisa sulit ditangannya. Sedangkan Owen yang membuka, kenapa terlihat sangat mudah sih, fikirnya yang kemudian fokus mengambil isi yang ada didalamnya,
Matanya tak bisa ditahan untuk tidak melebar, mulutnya terus terbuka, bahkan tangannya sudah bergetar menatap kertas ditangannya kemudian menatap Owen dihadapannya

"Kak? Kok? Bisa?" dengan percaya dirinya, Owen memukul pelan dadanya. Merasa hebat, kayaknya. Ara mendehem tak percaya
"Iyaa, tunggu aja satu tahun lagi, kamu udah sempet tes dulu, sekarang tinggal persiapan buat kamu magang, congrattt sayang"

Bukan lagi bahagia namanya buat Ara. Menjadi pengacara memang cita-citanya semenjak bertemu Rajendra 5 tahun yang lalu. Nggak sia-sia belajar mati-matian buat lulus tes tertulis Advokat tahun lalu. Logikanya, kalau profesi mereka sama, kan bisa cari-cari kesempatan buat lebih deket sama Pangeran Pujaannya. Begitu fikirnya sejak lama. Owen tidak tahu apa-apa tentang adiknya dan cintanya, dia pasti mengira Ara memang ingin menjadi pengacara murni karena cita-citanya tanpa ada maksud tertentu. Beruntunglah lagi dia hari ini

"Kamu senyum-senyum terus daritadi, kamu udah tau kalo lulus ya?" Ia menggeleng cepat dan tersenyum lagi. Seolah senyum sudah jadi bagian hidupnya lebih dari setengah. Begitu kalo kata Owen dulu, saat menyadari adiknya adalah perempuan yang amat sangat ceria sepertinya dirinya. Tapi tetap saja dia akan kalah.

"Kakak keluar gih, aku mau mandi. Capek"
"Kamu abis darimana? Kakak cariin dari tadi siang" katanya yang pasrah didorong keluar dari kamar. Melihat senyum manis Ara yang semakin ditutupi pintu kamarnya sampai tertutup sempurna sekarang

"Dasar, gak tau diri ya di khawatirin juga" gumamnya lalu pergi

Masih dengan kertas kuning di tangannya, Ara terus tersenyum bahkan menciumnya berkali-kali sampai ambruk di ranjangnya. Tak peduli masalah mandi, dia tetep memeluk kertas tadi ke dadanya. Dia kira dia akan gagal, dan embel-embel yang dulu jadi omong kosong ditelinga Rajendra, sekarang bakal jadi moment yang besarrr, Mimpinya benar-benar terjadi

***

Sinar matahari menyeruak masuk dari celah-celah jendela dengan seenaknya. Ara mengerjapkan matanya berulang kali dengan cepat, segera bangkit dari ranjangnya dan sesuatu terjatuh dari tubuhnya. Dia tersenyum dan mengusap dadanya yang udah ngerasa sakit hati duluan kalo semuanya cuman mimpi

Hah...
Ara menghela nafas lega. Setidaknya sampai menatap jam dindingnya. Sukses membuat jantungnya terasa lolos jatuh saat itu juga

"Telat lagi?" Dilihatnya Owen sudah siap dengan kemeja putihnya, pakaiannya sudah sangat apik -berbeda jauh dengannya yang tentunya masih memakai pakaian yang sama seperti semalam-

"Kenapa nggak bangunin Ara sih, bang?" Dia menggerutu lalu menyambar handuknya untuk mandi, Owen terkekeh geli menatap tingkah ceroboh yang selalu adiknya lakukan. Bahkan telat sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan

"Kakak tunggu di motor ya, Ra" teriaknya yang memekakkan telinga Ara di dalam sana. Suaranya dia yakin juga bakal terdengar sampe tetangga sebelah atau mungkin sebelah sebelahnya lagi

"Loh, kok pake motor? Aku pake rok loh kak!"
"Aku gak bisa duduk miring! Plis deh" gumamnya gusar. Kepalanya keluar dari balik pintu

"Kamu ganti deh jangan pake rok. Lagian mobil lagi di bengkel,"
"Enggak bisa. Kan wajib setiap senin pake rok, ah yaudahlah. Ngapain masih disitu? Sana keluar ih" Owen setengah tertawa dan pergi

Habis deh rambut Ara berantakan karena ulah Owen, kakaknya, yang membawa motornya dengan kecepatan yang benar-benar diluar dugaan. Dan lagi, beruntung ia tidak jatuh tadi karena pantatnya sempat miring-miring. Ah yang melihat mereka saja tertawa berbahak tadi di sepanjang jalan karena teriakan Ara yang tak bisa dicegah juga.

"Yang bener kek rambutnya. Aduh jelek banget adek gue," ungkapnya jujur setelah berhasil merapihkan rambut Ara,
"Aduh udah udah aku mau masuk. Udah ketinggalan kelas nih, dadah! Jangan ngebut-ngebut kak, aku gak mau nanggung"

"Dasar bawel," gumamnya masih dengan melihat adiknya menaiki tangga halaman kampus. Dan saat sudah tak terlihat, barulah dia memutar balik motornya dan pergi

***

"Gak gak. Gue gamau ikutan. Lo gila ya, Jen" berulang kali Daffa dengan kedua rekannya yang bernama Farid dan Azka, menggeleng tak percaya. Jendra sangat jelas ingin menghancurkan keputusan hakim nantinya. Dengan caranya sendiri sekarang

"Nggak usah khawatir, gue nggak melibatkan kalian. Gue cuman minta bantuan, semua keterangan disini udah oke?" Tangannya masih dibungkus sarung tangan tebal. Kenapa? Karena dia sendiri bisa mewanti-wanti kejadian apa nanti yang selanjutnya akan mengancam jabatannya. Lebih baik mencegah daripada mengobati, semacam itu pelatahnya

"Sini gue liat,"
"Pake sarung tangan lo kalo gak mau mampus" katanya mengingatkan.

Farid yang memegang kertas tersebut dan dikelilingi Daffa juga Azka yang mulai penasaran apa isinya.
"Darimana lo dapet semua ini? Lo mata-mata selain jadi pengacara?"

"Kayak nggak tau Jendra aja lo pada. Matanya kan seribu, plus otak liciknya yang bercabang dari sabang sampai marauke" ketiganya -tanpa Jendra- tertawa berbahak, difikir-fikir benar juga apa yang dikatakan Azka barusan. Nggak salah sih kalo semua pengacara harusnya mencontoh si Jendra. Kalo kayak gitu hukum bakal adil dan gak ada lagi tuh yang namanya peraturan yang ikut andil padahal gak berlaku bener. Perlu kesadaran diri aja, Daffa berfikir jauh

"Lo pada gak makan? Tadi bi Ode bawain gue cheese cake tuh"
"Kenapa lo ga bilang daritadi, Jen. Perut gue udah minta ditiban makan lo itu tuh" mendengar begitu, Jendra meletakkan berkas laporannya ke tas pribadinya dan mengambil cake dari dalam tas satunya

"Abisin deh, gue lagi males makan" Farid geleng-geleng kepala saat mendengarnya. Cheese cake ala bi Ode emang buat mereka selalu ketagihan, "bener-bener temen lo ah" saut ketiganya

Melihat ponsel yang bergetar di mejanya membuat Jendra memincingkan mata curiga, terlebih tidak ada nama dari kontak ponselnya. Awalnya memang dibiarkan. Tapi, 10 kali panggilan tak terjawab ikut mengganggunya

"Siapa sih?"
"(Hallo Pangerannnn)"

Astaga,
Jendra merutuki lagi dirinya yang akhirnya memilih mengangkat telfon yang tak lain tak bukan ternyata dari wanita sintingnya. Benar-benar.

"Ngapain nelfon? Saya sibuk"
"(Mau ngasih kabar bahagia dongg. Dengerin Ara ya, Je?)"

Hah, bila Ara ada dihadapannya, sudah dapat ditebak bagaimana wajah cerianya. Kelewat ceria tepatnya. Senyumnya bukan manis lagi. Tapi kelewat manis sampe buat Jendra pengen diabetes sekarang

"Nggak. Saya bilang saya sibuk, kamu bisa ngerti bahasa saya nggak, Ara?"
"(Tau nggak, aku kan lulus tes Advokat lohh, bakal satu kantor sama kamu, terus bakal kerja sama-sama kayak kamu)"

Jendra bangkit dari duduknya. Ketiga rekannya yang masih menyantap cheese cake miliknya menatap Jendra dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah yang terus menunjukkan berbagai ekspresi itu membuat mereka saling memandang tak percaya. Tumben, fikir ketiganya.

"(Jeje masih dengar Ara kan?)"
"Gini ya, saya nggak peduli mau kamu kerja dimana, di kantor yang mana, mau kerja sama saya atau nggak itu urusan kamu. Saya matikan telfonnya"

Benar.
Jendra memutuskan sambungan telfonnya, melihat sekitar dan menangkap ketiga temannya tertawa berbahak ditempatnya
"Ada yang lucu?"

"Tumben aja lo secerewet itu, sama boros banget ekspresi. Siapa tuh Ara? Calon ya? Hahaha"
Masa bodo dengan tawa mereka, Jendra berdiri dan pergi dari tempatnya. Ingin memastikan juga kenapa bisa Ara lolos tes padahal dia tau cewek itu kan sinting. Jendra tak pernah sadar lagi jika ketiga temannya berfikir lagi siapa Ara untuknya dan kembali menertawakannya

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 304K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.1M 47.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...