Flower

By anythinganiya

9.5K 963 45

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I fe... More

prolog
1. little things
2. something between us
3. lust
4. ilusm
5. broken
6. one cloudy day
7. inevitable consequence
8. hide and seek
9. unbreakable bond
10. all the guts i had
11. a silly morning
12. the cure and the cause
13. talking to the wind
14. invisible string
15. missed connection
17. clarity
18. above the clouds
19. starting anew
20. before the storm
21. a nightmare
22. dwelling place
23. we've been through
24. poinsettia; and the flower that bloom at night
epilog
catatan kecil (dan mungkin sedikit pemberitahuan)

16. complication of words

214 30 0
By anythinganiya


Setelah terbangun berkali-kali malam itu, Jeonghan akhirnya bisa tidur setelah subuh dan bangun saat alarmnya berbunyi. Sudah setengah 8 ketika ia akhirnya benar-benar beranjak dari kasur.

Badannya terasa hangat, dan kepalanya sedikit pening. Tapi ia tidak berpikir ini serius, karena memang ini bisa saja efek kurang tidurnya semalam. Jeonghan sudah lama sekali tidak mengalami mual di pagi hari, periode paling menyiksa itu sudah berakhir sejak kehamilannya berusia 7 minggu. Kalaupun ia merasa mual, biasanya takkan bertahan lebih dari lima belas menit.

Tapi sejak duduk di kloset hingga menyantap sarapannya pagi ini, rasa mual terasa mengaduk-aduk perutnya hingga naik ke kerongkongan. Jeonghan tak lagi berselera melanjutkan sarapan, ia kemudian memilih membuat teh hangat. Ia usap perutnya naik turun sambil sesekali menyesap tehnya, mencoba menenangkan diri dan satu lagi nyawa yang ada bersamanya.

"Kenapa sih, Nak? Kangen ayah?" Ia harap, keadaan tubuhnya kali ini bukan karena ia juga sedang gelisah. Jeonghan ingin membuat bayinya nyaman, tapi setiap hari tetap saja terasa sulit.

Jeonghan mencoba menekan segala kekhawatirannya pagi ini, pikirannya tentang kantor, juga tentang Seungcheol. Beberapa kali ingatannya mencoba mengingat-ingat kenangannya tentang Seungcheol, bibirnya tak henti bicara pada si bayi sementara ia menyetir menuju kantor. Ia ingin mengingat hal-hal baik, berharap hal itu bisa memperbaiki perasaan dan pikiran buruknya.

"Baby, tahu tidak? Ayahmu dulu sering membacakan cerita sementara aku tidur berbantalkan pahanya. Dia akan bercerita selama lima belas menit sebelum akhirnya dia yang lebih dulu tertidur. Iya, benar, di ruang baca itu. Sebagian besar memang berisi koleksinya," tutur Jeonghan.

Mobil Jeonghan membelok pada tikungan terakhir sebelum kantor, bibirnya yang sedari tadi terus bermonolog pada bayinya kini tertutup rapat. Nyatanya walaupun ia sudah mencoba membuat distraksi, ketakutannya tetap berhasil mengendalikan pikirannya kembali. Di area parkir setelah mematikan mesin mobil, Jeonghann menghitung setiap tarikan napasnya. Sekali lagi mencoba metode lain agar ia tidak khawatir berlebih.

Jeonghan bercermin, mengatur raut wajahnya agar bisa biasa saja saat berpapasan dengan karyawan kantor yang barangkali menatapnya sinis, menghakimi atau apa pun itu. Ia juga berjaga-jaga apabila ada bisik-bisik yang mungkin saja ia dengar. Jeonghan kemudian mengusap perutnya dan menunduk. "Kita bisa melalui ini kan, Baby?"

Jeonghan mengambil napas panjang sekali lagi sebelum keluar dari mobil.

Begitu masuk ke kantor dan menaiki lift, Jeonghan berpapasan dengan beberapa karyawan yang menyapanya. Tangan Jeonghan sepertinya sudah sangat berkeringat takut mereka melirik, memperhatikan atau menanyakan tentang kehamilannya. Tapi mereka bersikap seperti biasa. Salah satu dari mereka menanyakan apakah ia sudah lebih sehat karena pulang mendadak saat makan malam perusahaan, sementara yang lain menyimak kemudian melanjutkan obrolan tentang pekerjaan. Semua orang bersikap normal, seperti hari biasa sebelum mereka tahu Jeonghan hamil.

Seharusnya Jeonghan bersyukur, tetapi hatinya tetap saja risau.

Di kubikelnya, Jeonghan duduk merenung. Ia melirik ruangan Jisoo, tapi sepertinya saudaranya itu belum datang. Ia melihat Mingyu keluar dari pantry dan segera dipanggilnya dengan melambaikan tangan.

"Kak Han mau kubuatkan teh?" tanya Mingyu saat tiba di sebelah Jeonghan.

Bukannya menjawab pertanyaan Mingyu, Jeonghan justru bertanya balik. "Kau lihat Jisoo?"

"Seingatku dia tidak ke kantor hari ini, ada rapat di luar."

"Benarkah?" Alih-alih ke Mingyu, kalimat itu ditujukan Jeonghan pada dirinya sendiri.

"Kau yakin tidak mau dibuatkan sesuatu? Kau terlihat sedikit pucat sebenarnya," lanjut Mingyu karena Jeonghan yang kemudian sibuk memeriksa sesuatu di ponselnya.

"Aku baik-baik saja, terima kasih, Gyu."

Jeonghan tak lagi memperhatikan saat Mingyu pamit ke kubikelnya sendiri. Ia sibuk menunggu pesannya dibalas Jisoo.


"Kau mengancam orang-orang?"


Satu menit, dua menit, pesannya tak kunjung dibaca. Sampai lima menit kemudian saat ponselnya bergetar, Jeonghan buru-buru meraihnya.


"Kau seharusnya mengucapkan selamat pagi, bukannya menuduhku yang macam-macam.
Jangan mengumpat meski hanya dalam pikiranmu."


Ingatkan Jeonghan agar tak pernah berharap jawaban dari Jisoo, karena memang ia tidak akan pernah mendapatkan apa pun yang diinginkannya.


"Kutarik ucapanku kemarin lusa yang menyebutmu saudara terbaik.
Sekarang jelaskan padaku kenapa orang-orang bersikap biasa saja meski sudah tahu aku hamil? Itu semua tidak mungkin terjadi kecuali kau sudah mengancam mereka."


"Memangnya kau mengharapkan apa? Mereka menggunjing, lalu mengucilkanmu begitu? Kau sebaiknya berhenti menonton telenovela."


Jeonghan mendengus meski tahu Jisoo tak dapat melihatnya. Jisoo sepertinya benar-benar harus mengganti nama belakangnya dengan 'sinting'.


"Ya, tidak sampai seperti itu. Bukankah mereka sangat terkejut waktu itu?"


"Memangnya aku tidak? Aku juga kaget saat kau pertama kali mengatakannya. Lalu apa, itu tidak ada hubungannya dengan mereka. Kalau kau masih mengeyel, anggap saja kau beruntung tinggal di lingkungan sehat semacam ini. Sudah kubilang agar kau berhenti berpikir yang tidak-tidak. Pikirkan kesehatanmu dan calon anakku dalam perutmu itu!"


Jeonghan memutar bola mata. Ia menyerah, meletakkan kembali ponselnya di meja. Mendebat Jisoo hanya akan membuang-buang waktunya. Dan mungkin benar, apa pun yang dikatakan orang lain, ia harusnya memang tidak peduli. Tidakkah sekarang yang lebih penting adalah kesehatan bayinya?

***

Di sisi lain, Jisoo meletakkan kembali ponselnya di pangkuan kemudian menyandarkan sikunya pada jendela. Jihoon yang menyetir di sebelahnya mengangkat alis, menyadari perubahan raut wajah Jisoo setelah berhenti mengetik pesan.

"Jeonghan?"

"Menurutmu siapa lagi?"

Jihoon terkekeh. "Kenapa? Kau menceritakan yang terjadi malam itu?"

"Kau gila? Tentu saja tidak!" cetus Jisoo bersungut-sungut.

Jihoon semakin terbahak mengingat malam itu. Malam belum juga terlalu larut, tapi setengah jam setelah kedatangannya, Jisoo sudah sangat mabuk sampai-sampai Jihoon harus menelepon Seokmin untuk menjemputnya karena pria itu tidak mau pulang jika bukan suaminya yang menjemput.

Jisoo menghentak-hentakkan botol soju kosong yang ada di tangannya itu di meja, menyita perhatian karyawan lain. Tidak ada yang berani menatap dengan risih sementara Jihoon dan Mingyu masih duduk membujuk Jisoo agar mau pulang.

"Memangnya kenapa kalau Jeonghan hamil? Lihat saja kalau ada yang berani berkata buruk tentangnya. Akan kupotong lidah mereka dengan tanganku sendiri!" telunjuknya menunjuk-nunjuk udara di depannya. Ia menoleh ke arah Jihoon. "Bukankah saudaraku itu sangat mulia? Dia memilih mempertahankan bayinya, tanpa peduli status atau apa lah itu. Dia berani berjuang daripada banyak orang tua gila di luar sana yang membuang anaknya sendiri karena takut. Jeonghan tidak merugikan siapapun, jadi kenapa kalian menggunjing orang-orang yang hamil dengan atau tanpa pasangan?"

Jisoo berdiri, hendak melanjutkan ocehannya ketika tubuhnya diraih dari belakang. Ia sudah lupa apa pun yang hendak diucapkannya karena memang sebenarnya tak pernah benar-benar ingat apa yang dikatakannya saat melihat Seokmin. Jisoo tersenyum, menyandarkan kepalanya pada dada Seokmin kemudian merengek pelan. "Kau lama sekali," katanya.

Seokmin menarik tubuh itu dalam dekapannya, mengangguk sungkan pada orang-orang terutama Jihoon karena suaminya berbuat ulah saat mabuk.

"Maafkan aku," kata Seokmin pada Jihoon yang menemaninya keluar setelah mendudukkan Jisoo di kursi penumpang.

Jihoon mengangkat bahu. "Dia hanya melakukan yang seharusnya. Kalau saja aku punya saudara, kuharap dia bisa seperti Jisoo."

Seokmin tidak mengerti arah pembicaraan Jihoon, jadi ia hanya menatap Jisoo sejenak lalu kembali melihat Jihoon.

"Terima kasih, Ji, dan maaf sekali lagi," kata Seokmin, kemudian berpamitan untuk pulang.

***

Rasa mualnya tadi pagi sudah cukup berkurang, tapi di siang menjelang sore Jeonghan merasakan demamnya semakin tinggi. Ia bahkan bisa merasakan napasnya yang panas setiap kali ia menarik dan mengembuskannya.

Jeonghan menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan karena setiap kali melihat layar, matanya semakin terasa berair. Asisten penulis yang duduk di sebelahnya menyadari itu dan menggeser kursi ke arahnya.

"Han, kau baik-baik saja?"

"Kurasa tidak. Sepertinya aku sedikit demam." Jeonghan melepaskan tangannya dari wajah, mencoba tersenyum ke arah sang asisten.

"Astaga, kau pucat sekali!" ucap sang asisten terkejut. "Ke rumah sakit atau istirahatlah saja di rumah. Kau juga sedang hamil bukan, jangan memaksakan dirimu."

Jeonghan menatap sang asisten, lalu ke arah komputernya. Masih ragu, haruskah ia pulang? Tapi sekarang masih setengah tiga, toh jam pulang hanya tinggal dua setengah jam lagi. Seharusnya ia masih kuat bukan?

"Kau mau kupesankan taksi?"

Jeonghan menggeleng buru-buru. "Tak perlu, tidak usah repot-repot. Kurasa kau memang benar, aku sebaliknya pulang."

Di dalam lift, Jeonghan sendirian. Menyandarkan pelipisnya di dinding lift yang terasa dingin. Ia menghela napas berkali-kali. Padahal hari ini semuanya tidak semenakutkan yang ia bayangkan, tapi mengapa ada saja hal yang terjadi dan mencegah harinya berakhir normal.

Jeonghan sudah mengirim pesan pada Jihoon—tidak pada Jisoo karena masih kesal—meminta izin untuk pulang lebih cepat karena merasa tidak enak badan. Jihoon membalasnya dengan pesan khawatir, tapi Jeonghan hanya melihat notifikasi itu, merasa tak bertenaga untuk membalas.

Begitu sampai di hadapan mobilnya, Jeonghan sempat berdiri sejenak. Menimbang kemungkinan ia sanggup menyetir sampai rumah atau tidak, dan sepertinya ia tidak akan mampu. Jadi ia mengambil ponselnya di saku dan bersiap memesan taksi. Tapi belum sempat ia memilih tanda memesan, sebuah panggilan lebih dulu masuk.

Jeonghan membaca nama itu beberapa detik sebelum mengangkatnya, bukan karena tidak kenal siapa yang menelepon, tapi hanya tidak mengira Hansol tiba-tiba menghubunginya. Pikirannya tiba-tiba mengingat Seungcheol dan hilangnya ia seminggu ini. Mungkinkah?

Jeonghan dengan panik menekan tombol dial, suara Hansol yang juga panik di sana membuat pikiran Jeonghan semakin tidak karuan. "Hansol, ada apa?"

"Kau sedang bersama Kak Cheol? Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya."

Seharusnya Jeonghan merasa lega, ini bukan tentang Seungcheol. Ketakutannya tidak terjadi. Tapi entah kenapa perasaannya semakin tidak enak. "Tidak, kenapa?"

Ada jeda cukup lama di seberang sana. "Hansol, ada apa? Kau baik-baik saja?"

"Bunda, Kak, Bunda ..."

"Aku ke sana, kirimkan lokasimu sekarang."

Jeonghan bahkan sudah tidak ingat kalau ia tadi harusnya pulang dan memesan taksi. Ia masuk ke mobilnya, menyalakan mesinnya dan menyetir menuju alamat yang dikirimkan Hansol. Ia tak lagi merasakan demam dan rasa tidak enak yang membungkus tubuhnya. Prioritasnya sekarang hanya sampai di rumah sakit di mana Hansol dan ibunya berada.

Jeonghan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi ia yakin semua ini ada hubungannya dengan menghilangnya Seungcheol. Ia akan segera tahu setelah tiba di sana sementara pikirannya sekarang sibuk menerka kemungkinan terburuk.

***

Seungcheol baru bisa melihat ponselnya setelah meeting berakhir. Ia terkejut melihat belasan telepon dan pesan dari Hansol. Seungcheol tidak tahu apa yang terjadi, tapi satu-satunya hal mendesak yang bisa membuat hal itu hanyalah tentang ibunya.

Ia tidak ingin mengingat saat Hansol menghubunginya kala itu ataupun memikirkan segala hal buruk yang bisa saja terjadi—mengingat keadaan sang ibu. Tapi seberapa keras pun ia mencoba, pikiran buruk semakin gencar menghantamnya.

Seungcheol tidak perlu berpikir dua kali untuk segera kembali ke rumah sakit tempat ibunya di rawat. Hatinya tak berhenti merapal doa sementara ia menyetir nyaris seperti orang kesetanan. Dan hal yang lebih mengejutkannya selain semua telepon Hansol tadi adalah siapa yang ia lihat duduk bersama Hansol di luar kamar rawat ibunya. Jeonghan duduk di sana, menunduk sementara matanya tak berhenti meneteskan air mata.

Seungcheol tetap melangkah mendekat, lalu berdiri di hadapan kedua orang yang langsung mendongak ke arahnya. Ia memilih menatap Hansol, menuntut jawaban tentang apa yang terjadi. Seungcheol tahu Jeonghan menatapnya dengan nanar sekaligus kecewa, dan karena itu ia tak sanggup melihat wajah itu. Ia takut jika sekali saja ia menatapnya, ia akan membuat Jeonghan semakin terluka.

"Apa yang terjadi, bagaimana keadaan Bunda?"

"Jantungnya sempat berhenti tadi," jelas Hansol.

Napas Seungcheol tercekat, ia terbata saat berkata, "L-lalu sekarang bagaimana?"

"Aku tidak bisa berkata ini berita baik, Bunda selamat, tapi kondisinya belum sepenuhnya stabil."

Seungcheol meraih pinggiran kursi dan duduk di sebelah Hansol. Kakinya terasa lemas, dan tubuhnya sedikit melorot, menyandarkan punggungnya di kursi. Ia menghela napas berat sementara tangan kanannya menutup mata.

"Biar kubelikan minum sebentar," kata Hansol.

Seungcheol bisa merasakan kursi berderit pelan saat Hansol berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan ia dengan Jeonghan berdua saja di lorong itu. Kepala Seungcheol terasa penuh dan berdenyut sakit. Dadanya sesak dan semua beban terasa semakin menghimpitnya. Tanpa membuka mata pun, ia tahu Jeonghan sedang menatapnya sejak tadi, menunggu.

Tidak ada percakapan di antara mereka bahkan sampai Hansol sudah bergabung kembali dengan mereka.

"Sebaiknya aku pulang," kata Jeonghan setelah keheningan panjang di antara ketiganya.

"Sudah malam, tidakkah sebaiknya Kak Han menginap?" Itu suara Hansol, ia menatap kakaknya dan Jeonghan bergantian.

"Terima kasih, Sol. Tapi aku tidak mau terjebak macet besok pagi. Dari sini ke kantor akan memakan waktu lebih lama di pagi hari."

Seungcheol menatapnya, tapi giliran Jeonghan yang menolak melihatnya.

"Biar aku mengantarmu," tawar Hansol.

"Aku bawa mobil, tak apa. Kau di sini saja."

Hansol bingung, ia melirik kakaknya yang tak kunjung membuka mulut. Ia bisa melihat Jeonghan yang hampir meneteskan air mata kalau Seungcheol tak segera berbicara.

Seungcheol menoleh ke arah Hansol dan berujar, "Segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu." Tanpa menunggu persetujuan, tangannya meraih tangan Jeonghan dalam genggamannya, mengajaknya keluar.

***

Jeonghan menurut, meski hatinya sibuk berperang. Ia mengikuti Seungcheol ke arah mobilnya tanpa bicara, tanpa percakapan di antara keduanya. Tapi ia bisa merasakan tangan Seungcheol menggenggamnya erat dan mantap. Dan itu membuat perasaan kecewa Jeonghan semakin memuncak.

Seungcheol membukakan pintu penumpang, memastikan Jeonghan sudah duduk sementara ia memutar untuk duduk di kursi pengemudi. Ia hanya diam sejak tadi karena tidak mau membicarakan apa-apa di antara ia dan Jeonghan di depan Hansol. Dan sekarang saat kesempatan itu ada, Seungcheol malah mendapatkan jawaban yang sebenarnya sudah ia duga karena ia memang pantas mendapatkannya.

"Aku tidak mau bicara padamu," kata Jeonghan, menolehkan kepalanya ke arah lain.

Sepanjang perjalanan, Jeonghan masih kukuh menolehkan kepalanya ke luar jendela. Memperhatikan jalanan yang sepertinya lebih menarik dari orang yang duduk di sebelahnya. Seungcheol tidak menyetir dengan terburu-buru, keselamatan harus ia utamakan terutama karena ia membawa Jeonghan bersamanya.

10 kilometer sebelum memasuki kota, ia melihat Jeonghan sudah tertidur. Menyandarkan kepalanya di kaca mobil, kelelahan. Perasaan Seungcheol terasa semakin diremat melihat hal ini, membayangkan Jeonghan menyetir sendirian ke tempat ibunya dalam keadaan hamil.

Saat berhenti di lampu merah, Seungcheol menatap Jeonghan dan perutnya yang semakin membuncit. Tangannya yang sempat terulur untuk menyentuh bayinya, ia tarik kembali. Seungcheol harusnya malu. Ia benar-benar egois dan tidak tahu diri.

Ke mana ia selama ini? Ke mana ia yang pernah berjanji, berlutut dan memohon agar Jeonghan mau memaafkannya. Agar Jeonghan mau menerima kembali keberadaannya. Umurnya yang bertambah setiap tahun seolah tak pernah berarti apa-apa, tidak bisa menjadikannya pria dewasa yang pantas untuk Jeonghan.

Benar saja jika Jeonghan menolaknya, tak peduli ia berjuang atau tidak. Karena Seungcheol memang pantas. Seungcheol hanya selalu memikirkan dirinya sendiri tanpa mau memahami apa yang dialami Jeonghan.

Di parkiran basemen apartemen Jeonghan, Seungcheol mematikan mesin mobilnya. Ia hendak membangunkan Jeonghan, tapi laki-laki itu terlihat begitu pulas. Tapi membiarkannya tidur dengan posisi ini lebih lama tidak akan baik apalagi dalam keadaan hamil. Jadi Seungcheol menyentuh bahu Jeonghan.

Mulanya Seungcheol tidak menyadarinya, tapi saat tangannya tak sengaja bersentuhan langsung dengan perpotongan leher Jeonghan, ia memekik tertahan. Suhu tubuh Jeonghan begitu tinggi.

Sudah berapa jam ia bersama Jeonghan dan ia tidak menyadari bahwa wajah Jeonghan kini benar-benar memerah karena demam. Seungcheol bingung, ia tidak bisa membawa Jeonghan ke atas sebab ia masih tidak tahu password baru apartemen Jeonghan. Mengambil resiko untuk menghubungi Jisoo sekarang bukanlah pilihan tepat.

Seungcheol mencoba membangunkan Jeonghan sekali lagi, tapi nihil. Jeonghan tidak bergerak sama sekali. Dengan panik, Seungcheol menyalakan kembali mesin mobilnya dan pergi dari basemen setelah menyandarkan kepala Jeonghan ke sandaran kursi agar tak terantuk kaca mobil.

Katakan jika Seungcheol memang gila atau semacamnya, bukannya membawa Jeonghan ke klinik. Ia justru menyetir ke rumahnya sendiri.

Ia membaringkan Jeonghan di tempat tidurnya begitu tiba di rumah. Kemudian berlari mencari termometer untuk mengecek suhu Jeonghan, 38 derajat. Bukan hal baik. Seungcheol kemudian melompat ke lemari setelah melepaskan baju Jeonghan yang basah oleh keringat, menggantinya dengan kaus tipis. Ia lalu mencari handuk kecil, membasahinya dengan air hangat dan meletakkannya di dahi Jeonghan.

Tangannya kini sibuk mengelap bulir-bulir keringat di kulit Jeonghan dengan handuk lain. Ia tersentak saat Jeonghan tiba-tiba tersedak dan batuk-batuk. "Cheol ... aku takut," ucap Jeonghan. Matanya masih terpejam, tapi tetap saja membuat Seungcheol semakin panik karena Jeonghan kemudian terisak dalam tidurnya.

Seungcheol lalu melepaskan kemejanya, menyisakan kaus dalamnya yang tak berlengan. Ia ikut berbaring, menarik Jeonghan ke dalam pelukannya, dibelainya pipi Jeonghan, lalu turun ke lengan. Mengusapnya naik turun untuk menenangkan.

"Jeonghan, hei, aku sudah di sini. Aku tidak ke mana-mana. Maaf. Maafkan aku."

Jeonghan masih terisak kecil, tidak menjawab ucapannya, membuat hati Seungcheol semakin tercubit. Lihatlah, apa yang sudah ia perbuat. Tidakkah ia semakin menyakiti Jeonghan alih-alih menjaganya?

Continue Reading

You'll Also Like

85.7K 9.8K 20
Jeongcheol Soulmate AU. Berwarna hitam, tattoo tersebut akan terus terpatri pada pergelangan tangan, tepat di mana nadi pertanda kehidupan berdenyut.
43K 3.1K 79
• GUE BERSYUKUR PUNYA SEPUPU YANG PEDULI SAMA GUE • GUE BERSYUKUR BISA KENAL DAN SUKA SAMA LO • GUE BERSYUKUR PUNYA TEMAN YANG NGANGGAP GUE KAYA KELU...
6.2K 726 17
Masa lalu itu terjadi, masa depan itu unik dan takdir tak akan bisa mengusik. Jeonghan sang Luna yang memiliki takdir yang begitu menarik, dan Seung...
526K 5.7K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...