A Half Beat ➳ Luke.Hemmings [...

By lightningtosca

3.6K 520 139

Aku terperangkap dalam dua hati yang sama-sama kusukai, tapi mustahil untuk memilih salah satu dari mereka. J... More

-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15

Chapter 4

181 37 16
By lightningtosca

"Kau kenapa kemarin tiba-tiba lari?"

Aku memutar bola mataku ketika mendengar pertanyaan Mike, suaranya terdengar agak berat. Aku baru saja datang dan tiba-tiba ia menghampiriku bersama dengan keripik kentang.

"Maksudnya?" Tanyaku, kurebut bungkus keripik kentang itu dari genggamannya.

Kami berjalan menyusuri koridor sekolah. Sesekali Mike menyapa teman sekelasnya yang juga melewati koridor.

"Yaa, setelah aku kembali dari toilet, kau tiba-tiba langsung berlari keluar dari ruang musik. Apa Luke mengganggumu?"

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya bukan mengganggu, hanya saja aku merasa agak iritasi dengannya, dengan cara ia menatap seseorang. Matanya itu ...

"Tidak kok, aku hanya sedang kelaparan, kan sudah kubilang, kau menarikku saat baru satu langkah aku keluar dari kelasku. Aku belum makan sejak pagi." Aku membalas dengan alasan yang cukup jitu menurutku.

"Kau serius?"

Aku menghela nafas, "Mike, dua rius malah." Kataku, mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku padanya.

Dia tertawa dan kembali memakan keripik kentangnya, "aku bosan dengan warna rambutku." Ujarnya.

"Kapan kau pernah tidak bosan dengan warna rambutmu, 'eh?" Celetukku yang membuat dia mencibir.

"Mungkin kau berpikir itu aneh, tapi bagiku, ini adalah punk rock." Dia membentuk simbol anak metal dengan tangannya. Aku hanya bisa menggeleng melihat kelakuan temanku ini.

"E-eh?" Dia memekik,

Aku terkejut dan melirik pada Mike heran, kutolehkan kepalaku pada sekumpulan gadis-gadis yang sedang tertawa.

Mereka melangkah melewati kami. Grup gadis kaya dan populer. Percayalah, bisa tiga kali seminggu mereka mengganti tatanan rambut yang sebenarnya tidak ada kerennya sama sekali. Mereka lebih mirip perkumpulan kentang goreng berambut aneh yang bergaya modis.

Mike memperhatikan salah satu dari mereka. Yang aku tahu hanya namanya, Geordie Gray. Dia cukup manis. Kurasa Mike menyukainya.

"H-hai Geordie,"

Geordie menatapnya sekilas, namun kemudian ia melangkah pergi bersama teman-temannya tanpa memperdulikan sapaan Mike. Aku tergelak.

"Whoaa, dia sangat menyukaimu sepertinya, sampai dia tidak mau membalas sapaanmu." Aku menyenggol sikunya.

Dia menatapku sedih, "kau jahat."

"Pfft, sudahlah, mungkin lain kali dia akan menyesal karena tidak membalas sapaanmu." Aku memukul pelan punggungnya.

"Kapan?" Tanyanya.

"Nanti, setelah kau bisa mencium seekor unicorn," candaku.

Dia mencibir, "seharusnya kau menghiburku,"

"kutraktir pizza nanti."

Itu cukup untuk membuatnya diam dengan cengiran kepuasan yang memenuhi wajahnya.

"Hey, omong-omong kemarin sebenarnya kau kemana sih, aku tidak menemukanmu di taman ataupun di kantin." Kata Mike, lagi-lagi dia bertanya, dia selalu saja memperpanjang sesuatu.

"Aku ke perpus, Mike. Kau tahu selain dua tempat itu dimana aku berada," jawabku.

"Kemarin sempat kutanyakan kau pada temanmu, si Nash itu, katanya dia tidak melihatmu."

Nash. Oh.

Kemarin kulihat dia bersama seorang gadis, tapi aku tidak bisa melihat jelas wajahnya, dia membelakangiku, rambutnya panjang dan berwarna cokelat muda. Kejadian itu tersimpan jelas pada pikiranku, menempel rekat pada otakku. Hal yang membuatku sedikit khawatir.

Mungkin Mike tahu siapa gadis itu, "dengan siapa dia kemarin?"

"Matthew, Cam-siapa aku tidak kenal, dan lelaki berwajah mungil, Jack Johnson." Jelasnya.

"Hanya itu?"

"Kurasa begitu. Oh. Kemarin sih dia mengobrol dengan seorang gadis." Bingo.

"Kau tahu dia siapa, Mike?" Aku benar-benar penasaran.

Sayangnya dia menggeleng, "aku belum pernah melihatnya sih."

Aku menghela nafas pelan, "yasudah."

"Memangnya kenapa?"

Kugelengkan kepalaku, "tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu."

Kring!! Kringg!!

Bel masuk berdering dengan nyaringnya. Tanda bahwa jam pelajaran akan segera dimulai.

"Aku masuk kelas dulu ya." Kataku melambai pada Mike.

"Eh, Weiss, tunggu." Dia menahan tanganku.

"Apa?"

"Nanti istirahat ke ruang musik ya," pintanya.

Aku harus berpikir dua kali sepertinya, "ya, lihat nanti." Kataku.

"Kau bisa mengajak temanmu itu, siapa namanya? Uhh, Hazzel."

"Ya, oke. Sudah ya, Mike. Nanti aku terlambat." Kataku yang menarik pelan pergelanganku.

"Oke, au revoir, la femme de fleur. Perkataanku benar kan?" Dia tertawa sambil berjalan mundur untuk pergi ke kelasnya.

Aku memutar bola mataku dan sedikit tertawa, "ya, ya, dan satu lagi, Mike." Aku memanggilnya, "bisa kau berhenti memanggilku dengan sebutan-sebutan itu?" Lanjutku sebelum akhirnya berjalan menjauh.

Dia hanya tertawa. Aku menggeleng pelan sampai akhirnya kami berpisah di koridor untuk pergi ke kelas kami masing-masing.

......

"Kumohon, Haz. Satu kali ini saja."

Dia tetap menggeleng sambil membuka lokernya dan menaruh buku-bukunya, "Weiss, aku tidak terlalu suka dengan teman ungumu itu." Katanya. Tangannya menutup pintu lokernya dan menguncinya.

"Dia jinak kok, aku serius." Kugapai lengan Hazzel dan menariknya.

Dia mengela nafas panjang, "Edelweiss, beri aku dua alasan kenapa aku harus ikut denganmu ke ruang musik dan bertemu teman genitmu itu." Ia mengacungkan dua jarinya tepat di hadapanku.

Kulepas lengannya perlahan, "ayolah bro, dia temanku dan dia ramah padamu. Kita hanya pergi ke ruang musik, kau bisa menyanyi, aku bisa main gitar. Kita bisa membuat cover lagu atau sebagainya. Dia juga tidak akan melarang kita melakukannya." Kataku.

Dia tetap bersedekap dan memasang tampang datar.

"Oke. Pertama, ada seorang lelaki yang berusaha kujauhi, alasannya memang tidak logis, tapi aku agak tidak suka dengannya, dan jika aku menjauh, Mike pasti curiga dan aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya, di sisi lain pasti Calum akan-..."

"Calum?" Tanya Hazzel.

"Uhh, dia teman Mike, kau akan bertemu dengannya nanti." Kataku, "dia pasti akan mentertawakanku. Dan kedua, kita hanya pergi kesana, bermain musik, dan kemudian saat bel tanda istirahat berakhir berdering, kita kembali ke kelas, kemudian belajar, dan pulang. Selesai." Lanjutku.

"Hahh, yasudah deh." Desahnya pelan, "tapi hanya sekali, oke?"

Aku tersenyum puas dan memeluknya, "thanks, bro! I love you!!" Seruku.

"Duhh, iya-iya, I love you too. Bro, kau memalukan." Ujarnya yang melepas lenganku.

"Hehe, ayo." Kutarik pergelangannya dan menggandengnya menuju ruang musik.

"Memangnya siapa sih laki-laki yang mau kau jauhi itu? Sampai segitunya." Ucap Hazzel di tengah langkah kami.

"Namanya Luke, aku tidak suka saja melihatnya." Jawabku.

Dia menahan tanganku dan memaksaku untuk berhenti, "sebentar, apa? Kau mau menjauhinya hanya karena kau tidak suka melihatnya?"

Aku mengangguk, "yap. Memangnya kenapa?" Tanyaku.

Dia menggeleng, "aku bingung padamu, kan belum tentu dia buruk. Siapa tahu dia orang baik?" Lanjutnya.

"Ya, ya, terserah." Aku lebih memilih untuk tidak mendengarkannya, kembali kugandeng tangannya.

Terdengar suara berisik drum Ashton ketika kami hampir sampai di ruang musik. Aku segera membuka pintu ruang musik dan masuk.

Mike berhenti bermain dan menoleh padaku. Terlihat wajahnya yang berseri ketika mendapati kedatangan kami. Dia mendekatiku.

"Hi, Mike!" Sapaku.

"Hey, Weissy. Hey, Hazzel, aku senang Edelweiss juga membawamu kemari." Kata Mike sambil mengangkat telapaknya, berniat memberikan telapak Hazzel sebuah tos.

Hazzel hanya diam memandangi telapak Mike di udara, masih bingung apa yang dilakukan Mike.

Mike memutar bola matanya, "oh ayolah, apa aku harus menjelaskan bahwa aku mau memberikanmu sebuah tos pertemanan?" Tanyanya.

"Hahahaha," tawaku meledak, Hazzel yang polos hanya terkekeh pelan dan memberikan tos pada telapak tangan Mikey.

Terlihat Luke duduk di pojok ruangan sambil bermain dengan gitarnya. Benda hitam kecil itu masih tersemat di sudut bibir bawahnya. Dia tidak menoleh pada kami sama sekali. Tunggu, kenapa aku perduli?

Kulirik Calum yang berjalan ke arah kami sambil menenteng bass-nya. Dia mengangkat tangannya dan menyapa kami.

"Hey," sapanya.

"Hey, Cal. Oh, Haz, ini Calum." Kataku menunjuk ke arah Calum.

Hazzel masih dengan tampang datarnya. Sampai akhirnya Calum tersenyum sangat manis dan mengulurkan tangannya pada Hazzel.

"Calum Hood," matanya terkatup ketika ia tersenyum. Terlihat lucu.

Hazzel membalas uluran Calum dan menjabat tangannya, "Hazzel Edderson." Balasnya.

"Kau bisa bermain gitar?" Tanya Calum.

Hazzel menggeleng pelan, "dulu aku sempat punya gitar dan mau belajar, sayangnya gitar itu rusak parah." Ia mendelik sebal padaku, mengingat kejadian dimana aku tanpa sengaja, benar-benar tanpa sengaja, merusak gitarnya yang naas. Kami sampai mencoba untuk menutup kayu gitar yang menganga itu dengan lakban putih, tapi hasilnya tetap sama saja.

"E-eh. Ehehehe." Aku tertawa paksa sambil menggaruk belakang kepalaku, "itu ..., benar-benar naas." Tambahku, "ah ya, bagaimana band kalian?" Tanyaku.

Mike bersedekap dan mengangguk pelan, "ya semua berjalan lancar, sih. Meski kadang-kadang Ashton sering kesal karena kami selalu lupa lirik." Ashton yang mendengar itu hanya memutar bola matanya.

"Itu bagus. Ashton yang itu, dia drummer-nya," kataku menunjuk pada Ashton yang sibuk memainkan stik drumnya pada Hazzel, "kalau itu ...," aku diam sejenak, malas untuk menyebutkan nama orang itu.

"Luke Hemmings," ucap Luke tiba-tiba yang menyandarkan gitarnya pada dinding di belakangnya dan menghampiri kami. Aku hanya memasang wajah datar seperti Hazzel, tidak membalas apapun darinya.

Hazzel menoleh padaku seakan bertanya 'apa ini orangnya atau bukan?', aku hanya mengangguk kecil dan dia mengangkat wajahnya, tanda ia mengerti.

"Senang bertemu denganmu," kata Luke, "mau lihat kami bermain?" ujarnya tiba-tiba, nadanya seperti sedang menyombongkan diri. Aku hanya menatapnya dingin, dan kurasa ia merasa agak risih dengan tatapanku itu. Tidak sia-sia aku punya teman dingin seperti Hazzel.

"Ya, kalian bisa menjadi penonton pertama kami." Ucap Mike.

"Bagaiman, Zel?" Tanyaku pada Hazzel.

Hazzel hanya mengangguk, "boleh."

"Oke, kalian duduk disana dan nikmatilah pertunjukan ini." Kata Calum sumringah.

Kami duduk tepat di hadapan mereka. Mike dan Luke bersiap dengan gitar mereka, Calum yang sudah menenteng bass-nya sedari tadi hanya tinggal memainkannya, begitupun Ashton yang hanya tinggal memukul drumnya.

"Lagu apa?" Tanya Mike.

"Terserah, yang jelas lagu ciptaan kalian." Jawabku.

"Gotta Get Out," Seru Luke tiba-tiba yang membuat ketiga temannya menatapnya heran, namun kemudian mereka hanya mengangguk.

Luke mulai memainkan gitarnya di awal lagu. Jemarinya dengan lihai memetik senar-senar gitar itu dan menciptakan suatu nada lagu yang enak didengar. Ia mulai membuka mulutnya,

"Even when the sky is falling down, even if the earth is crumbling 'round my feet." Ia mulai menyanyi, suaranya berpadu diantara petikan-petikan gitarnya. Aku terdiam, melihat dia menyanyi seperti ini. Dia memandangku sekilas sebelum akhirnya kembali pada gitarnya.

"Even when we try to say goodbye, you can cut the tension with a knife in here," kali ini Calum yang menyanyikan bait kedua lagu itu.

"Cause I know what'll happen, if we get through this ...," Luke menambahkan suaranya, keduanya menyanyikan bait ini. Jari Calum ikut memainkan bass-nya disela-sela petikan gitar Luke.

Kulirik Hazzel yang nampaknya serius memperhatikan mereka menyanyi. Matanya melebar, seperti sedang terpukau. Aku tahu apa yang dirasakan Hazzel saat ini, karena aku juga merasakannya.

Ashton kemudian memukul drumnya dengan keras, "And if the earth ends up crumbling down to its knees baby, we just gotta get out, we just gotta get out, and if the skyscrapers tumble down and crash around baby, we just gotta get out, we just gotta get out."

"Cause I feel so damn lost, and it comes with a cost of being alone,

Everything is falling down, we're suffering, helpless thoughts and out we sing, prayers go to the sky."

Petikan gitar dan suara Mike berpadu diantara gitar Luke dan bass Calum. Ditambah pukulan drum Ashton yang menambah kesan menggebu-gebu.

"And if the earth ends up crumbling down to its knees baby, we just gotta get out, we just gotta get out, and if the skyscrapers tumble down and crash around baby, we just gotta get out, we just gotta get out," ketiganya menyanyikan bait lagu itu bersamaan. Kurasa aku akan menambahkan lagu ini pada daftar lagu favoritku.

"And if we fall, it's not your fault. Shadows covering, our selfish foes. And as our love, can go out on a high note."

"Even when the sky is falling down, even if the earth is crumbling 'round my feet. Around my feet." Luke menatapku lama dengan mata birunya yang jernih. Entah kenapa aku tidak bisa berpaling dari tatapannya kali ini. Seakan larut dalam lautan birunya. Dia ... Keren.

Samar-samar kulihat ia tersenyum di sela nyanyiannya. Entah kenapa tiba-tiba bibirku tergerak untuk membalas senyumannya. Aku tersenyum.

"And if the earth ends up crumbling down to its knees baby, we just gotta get out, we just gotta get out," lanjut mereka, "gotta get, gotta get, gotta get out." Kali ini suara Ashton menambahkan bait lagu itu.

"and if the skyscrapers tumble down and crash around baby, we just gotta get out, we just gotta get out."

Ritme gitar Mike mengakhiri lagu tersebut. Aku bertepuk tangan, diikuti Hazzel setelah ia merapikan celananya.

"Bagaimana?" Tanya Mike tiba-tiba.

Aku tersenyum dan mengangguk, "itu keren sekali, pertunjukan yang bagus bagi sebuah band pemula." Kataku.

"Hehe, aku senang kalian menyukainya. Padahal tadi aku merasa ada sedikit yang kurang dari permainan bass-ku." Ujar Calum.

"Tidak. Itu tadi keren." Potong Hazzel.

Keduanya diam. Kami ikut diam. Sampai akhirnya Hazzel sadar apa yang baru saja ia katakan, wajahnya memerah dan dia membuang muka, "m-maksudku ... Untuk seorang pen-penyanyi sih, ya bagus." Ucapnya.

Aku terkikik pelan melihat sahabatku yang salah tingkah.

Calum tersenyum, "terima kasih,"

Hazzel mengangguk dan membalas senyuman Calum sebelum akhirnya ia kembali pada tampang datarnya.

Aku menoleh pada Luke yang kembali duduk di pojok ruangan. Kurasa dia tidak seburuk apa yang aku pikirkan. Mungkin memang gayanya seperti itu. Mungkin aku harus berhenti berpikiran buruk tentangnya. Ditambah dia sangat ramah padaku.

"Suaramu tadi keren," ucapku, memulai pembicaraan dengannya yang tadinya kupikir mustahil untuk kulakukan. Wajahku tetap datar. Aku tidak ingin terkesan seperti ... Menganggap dia keren, sebenarnya dia sih memang keren.

Dia mendongak, agak kaget karena aku yang memulai pembicaraan, "oh ya? Thanks." Katanya sumringah,

Kringg!!

Aku dan Hazzel terkejut ketika mendengar bel tanda istirahat telah berakhir berbunyi.

"Kok sepertinya istirahat sebentar sekali ya?" Kata Ashton sambil menegak air minumnya.

"Kurasa kami harus kembali ke kelas. Thanks sudah memperlihatkan pertunjukan kecil band kalian." Kataku.

"Ya, santai saja, kalian bisa berkunjung lagi lain waktu." Sergah Mike.

"Mungkin, bye." Kataku sambil menarik Hazzel.

"Bye, Hazzel." Ucap Calum sebelum akhirnya kami melangkah keluar dari ruang musik. Meninggalkan keempat orang itu yang sepertinya berniat untuk melewatkan kelas mereka.

"Tadi itu keren ya?" Tegurku pada Hazzel, "ehh, kita tidak jadi cover ya," kulirik Hazzel yang masih diam.

"Hm? Ya, keren. Mungkin lain kali bisa." Jawabnya sambil terus memperhatikan langkahnya. Kenapa dengan dia?

"Kau kenapa?" Tanyaku pada Hazzel.

"Hah? Kenapa apanya??" Seru Hazzel tiba-tiba.

Aku tersenyum jahil padanya dan merangkul pundaknya, "kau menyukai Calum ya?" Ucapku.

Kulihat pipi Hazzel memerah dan ia segera menoleh ke lain arah, "bodoh, siapa yang suka? Aku sih tidak." Dia menggeleng kuat di hadapanku.

"Heheh, you're a terrible liar, pal." Kataku,

"Terserah, yang jelas aku tidak menyukainya, oke? Ayo kita cepat ke kelas. Aku tidak mau Mrs. Hayley mengomel tidak jelas." Dia menghela nafas dan menepis lenganku perlahan.

Aku terkekeh geli dan mengekor di belakangnya, "Hazzel suka Calum, Hazzel suka Calum."

"Bisa diam tidak sih," kesalnya.

"Hazzel suka Calum. Haz-mphh!!" Telapaknya menutup mulut berisikku.

"Dasar gila," ketusnya namun kemudian ia tertawa.

Aku ikut tertawa karenanya. Segera kami kembali ke kelas. Bisa-bisa Mrs. Hayley memberikan kami proyek yang sulit nantinya jika kami terlambat.

Kalau soal Luke ...

Ya, biarkan saja deh. Mungkin kami bisa menjadi teman.

-o-o-o-

Waaaa, otakku udah dipenuhin laler kayanya saking mentoknya mikir ;-;

Maaf ya kalo ini gaje :"v dan maafin gua Mike, gegara bikin lu gak disapa balik sama Geordie :"v

Mike: authornya kampret sia
Au: yee, blekok, udah tenang aja ntar lu dapet pacar kok :v lu udah putus ini ama Geordie :v
Mike: -,- lu kan omdo
Au: kali ini gak deh, janji gua :v authornya emang minta ditimpuk -,- sape sih ni authornya
Edelweiss: *nimpuk sendal* elu bego
Luke: tau, cerita kagak jelas pede bat ada yang baca :b
Au: huhuhu, awas lu berdua T.T mau lu gua bikin menderita? Hah?
Luke: ehh, kagak kagak makasih dah makasih -.- yuk beb
Edelweiss: njirr enak banget lu jadi bebeb juga belom
Luke: ntar juga jadi kok :*
Edelweiss: -,-
Mike: gua pakabar thor? :"r
Au: baek kok :v
Hazzel: woyy kepanjangan peak
Calum: udah udah, biarin authornya lagi kita siksa, thanks yang udah baca, i loph yuhh :*
Ashton: Mike, masih ada gua, gua juga jonez kok pake z :")

Abaikan percakapan gaje diatas, cast gua emang pada kampret :"" yaudah, thanks yang udah pada baca yha ;3 (pede banget) kecup manis dari Mail- eh Maikel :*

Continue Reading

You'll Also Like

206K 4.7K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
138K 13.6K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
76.4K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
798K 58.6K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...