RADIAN (PREQUEL OF ABANG)

By goresantegas

16.9K 2.4K 1.1K

12 Oktober 2023 - (On Going) Jadwal update silakan lihat di bio! INI HANYA FIKTIF BELAKA! PLEASE, NO PLAGIAT... More

PROLOG
Chapter 1 - Keluarga yang Hangat
Chapter 3 - Papah, Mamah, dan Diandra
Chapter 4 - Jatuh Cinta
Chapter 5 - Luka dan Adzan
Goresan Tegas
Chapter 6 - Gundah
Chapter 7 - Akan Aku Temani Prosesmu
Chapter 8 - Langkah Awal
Chapter 9 - Tuhan ... Aku Titipkan Orang-Orang yang Kucinta
Chapter 10 - The Last Quality Time with My Ell 🤍
Chapter 11 - Hati yang Bergetar
Chapter 12 - Ada yang Salah
Chapter 13 - Tanpa Saya
Chapter 14 - Gue Baik-Baik Ajah
Chapter 15 - Menyakitkan
Chapter 16 - Perlahan Dunia Gue Menghilang
Chapter 17 - Suara
Chapter 18 - Tekad yang Terpatahkan
Chapter 19 - Radian Krisna Prasetya
Chapter 20 - RAD
Chapter 21 - Gentleman
Chapter 22 - VS
Chapter 23 - Ampuni Abang
Chapter 24 - Untuk Hari ini Saja
Chapter 25 - Support System
Chapter 26 - Support System - 2
Chapter 27 - Luka
Chapter 28 - Demi Papah
Chapter 29 - Ayah
Chapter 30 - Orang Asing
Chapter 31 - Pihak Luar
Chapter 32 - Diskusi
Chapter 33 - Juragan Kontrakan
Chapter 34 - Tentang Syukur
Chapter 35 - Lelah
Chapter 36 - Peluk
Chapter 37 - Mengalah
Chapter 38 - Mimisan
Chapter 39 - US
Chapter 40 - From LA to Amsterdam
Chapter 41 - Kembali
Chapter 42 - Cermin
Chapter 43 - Tentang Detak
Chapter 44 - Siuman
Chapter 45 - Bagaimana Jika ...
Chapter 46 - Abang dan Papah
Chapter 47 - Penolakan
Chapter 48 - Ditemani
Chapter 49 - Mas dan Ayah
Chapter 50 - Satu Koma Tujuh
Chapter 51 - Posisi Tengah
Chapter 52 - Keyra
RADI dan RAI
Chapter 53 - Dreams Come True
Chapter 54 - Three Days for Trauma
Chapter 55 - Down
Chapter 56 - Masih Down
Chapter 57 - Idz
Chapter 58 - (H-110)
Chapter 59 - Maaf dan Memaafkan
Chapter 60 - Mirip dengan Papah

Chapter 2 - Hidup Radi yang Sempurna

600 44 26
By goresantegas

Chapter ini super panjang, yaitu 6940 kata, jadi mohon maaf jika banyak typo. 🙏🏻

Backsound chapter ini adalah
Virgoun - Saat Kau Telah Mengerti
Silakan putar di platform musik yg kalian pakai dengan memakai mode putar ulang karena chepernya super panjang.

Happy Reading!
Enjoy!
.
.
.

"Ell?" sapa Emily saat tanpa sengaja bertemu dengan gadis cantik yang sedang membeli air mineral di minimarket sekitar Jl. Dharmawangsa. Gadis yang dipanggil Ell itu berbalik dan langsung tersenyum ramah.

"Tante?" sapanya balik, dengan sopan gadis itu langsung berinisiatif menyalami Emily. Tentu saja Emily tersenyum senang, dia memeluk gadis itu hangat.

"Kamu olahraga di sini juga, Sayang? Harusnya Abang ngajak kamu sekalian ajah," tanya Emily, tapi dari pakaian gadis itu tidak menunjukkan sedang berolahraga.

"Nggak, Tan. Ell cuma mau beli air minum, stock air di mobil udah habis soalnya." Emily mengangguk paham.

"Eh Abang sama yang lain ada di taman, kita habis olahraga. Kamu ikut ke rumah Oma Opa, yuk!" ajak Emily semangat, namun gadis tersebut menggeleng.

"Maaf sekali, Tan. Tapi Ell ada acara jadi harus langsung jalan lagi," tolak gadis itu secara halus.

"Ok gak papa, Sayang. Lain kali ikut yah!" Gadis itu hanya mengangguk saja dengan memberikan senyuman manisnya.

"Kalau gitu Ell duluan yah, Tan. Tante hati-hati loh! Mau Ell temenin balik ke taman?" Dia khawatir jika harus meninggalkan Emily sendirian.

"Gak usah, Sayang. Gak papa. Paling bentar lagi Abang jemput. Tadi Tante udah kirim pesan ke Abang mau beli minum kesini," jelas Emily yang membuat sang gadis lega mendengarnya.

"Sekali lagi duluan yah, Tan. Salam buat Om dan Di." Dua perempuan berbeda generasi itu kembali berpelukan hangat sebelum berpisah.

"Hati-hati yah, Cantik!" pesan Emily, gadis itu mengangguk dan segera berlalu ke kasir untuk membayar dua botol air mineral dingin yang dia beli. Setelah membayar, dengan elegan dia berjalan ke mobil putihnya yang terparkir di depan minimarket.

Selang beberapa saat mobil putih itu berlalu, datanglah mobil hitam metalik milik Krisna yang dikemudikan oleh Radi.

"Tadi Mamah ketemu Ell loh, Bang. Sayang banget Ell ada acara katanya pas Mamah ajak ke rumah Oma Opa. Memangnya Ell ada acara apa, Bang?" tanya Emily saat memasuki mobil sambil membagikan botol air mineral dingin ke suami dan anak-anaknya.

"Abang gak tahu, Mah." Sebuah jawaban yang tidak biasanya keluar dari mulut Radi. Dia membuka botol air mineral miliknya lalu segera meneguknya untuk menghilangkan dahaga setelah olahraga.

"Tumben nggak tahu kegiatan Elliana, Bang?" tanya Krisna heran.

"Iya nih! Biasanya up to date banget kalau urusan pacar!" goda Diandra semangat di kursi belakang.

"Abang udahan sama Ell," ujar Radi santai sambil menyalakan mobil untuk menuju ke rumah oma opanya.

'Uhuk huk huk uhuk!' Diandra sampai tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pemberitahuan dari abangnya.

"Hah!!!" serunya heboh.

"Abang putus sama Kak Ell? Kenapa?" Diandra sedih sekali mendengar kabar kandasnya hubungan cinta Radi dan Elliana.

"Ya namanya udah gak cocok, Di," jawab Radi diplomatis.

"Gak cocok? Yakin, Bang? Papah tahu betul loh kalian se klop apa. Kayak sanggup aja pisah sama Ell!" cibir Krisna meremehkan, dia tidak percaya anaknya mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih. Karena mereka sudah sedekat itu, keluarga mereka juga dekat, dan hubungan Radi dengan Elliana terbilang serius.

"Mamah setuju sama Papah, paling nanti kalian balikan lagi." Radi hanya tersenyum saja menanggapi reaksi orang tua dan adiknya. Bahkan Diandra langsung gerak cepat mengirim chat kepada Elliana dan mengintrogasi kakak perempuan kesayangannya itu.

Tidak butuh waktu lama mereka sampai di kediaman Raharja Prasetya. Mereka berempat langsung disambut oleh satpam yang membukakan gerbang rumah.

"Ayah ada di rumah kan, Pak?" tanya Krisna pada satpam tersebut.

"Ada, Tuan. Tuan Besar dan Nyonya Besar ada di rumah." Krisna tersenyum tengil mendengar info bahwa orang tuanya ada di rumah.

"Bu? Pagi?? Ibu???" Seperti lupa dengan usianya, Krisna berteriak heboh memanggil sang ibu begitu memasuki rumah orang tuanya.

"Berisik, Mas!" tegur seorang perempuan yang masih sangat cantik di usia senjanya. Radi sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan papanya.

"Oma?" Diandra malah ikut-ikutan teriak begitu melihat sang oma, dia menyerobot Krisna memeluk sosok Ambar Irawati lebih dulu.

"Kurang ajar kamu, Di! Ini ibunya Papah!" Krisna menarik Diandra dari pelukan ibunya lalu memeluk Ambar erat.

"Ihh!! Ini Omanya Di, Pah!" protes Diandra kesal, dia berusaha keras menarik Krisna, tapi tenaganya tidak sebanding dengan tenaga papanya.

"Ributin Oma terus, nggak ada yang mau ributin Opa?" tanya sang tuan besar dari arah tangga. Mata Diandra langsung berbinar-binar, dia berlari dengan semangat memeluk Raharja.

"Papah nyebelin, Pa!" adu Diandra manja, tapi Raharja malah tertawa melihat keributan anak sulung dan cucu perempuannya.

"Udah ah, tenang ada Opa. Opa lebih kaya dari Papahmu," kelakar Raharja sambil mengejek anak sulungnya.

"Lebih kaya Krisna, Pah! Ingat! Prasetya Grup udah jadi milik Krisna," balas Krisna percaya diri.

"Gemblung! Gak tahu diri kau, Kris!" Raharja menjitak kepala Krisna kesal.

"Ckck kebiasaan ribut banget kalau Mas ke rumah!" decak Riko, adik angkat Krisna yang rumahnya tidak jauh dari rumah orang tuanya.

"Om? Tan?" sapa Radi pada omnya, dia menyalami keduanya sopan.

"Mbak? Kangen," ujar Reni, istrinya Riko pada Emily, pasangan ipar itu saling memeluk untuk menghilangkan rasa rindu.

"Loh-loh? Kok kebetulan gini pada kumpul?" tanya Krisna heran melihat adik dan adik iparnya datang untuk berkumpul di rumah orang tua mereka juga.

"Mbak Em semalam minta kita kumpul, Mas. Katanya mau makan-makan ngerayain Abang pulang dari Jepang." Krisna mendengus mendengar jawaban Riko.

"Apa, Mas? Kamu mau ngerjain Ibu kan tadinya?" tuduh Ambar pada putra sulungnya.

"Gagal, Mas. Malah Ibu udah masak dari pagi buta buat nyambut kalian." Semakin kesallah Krisna mendengar bahwa dia gagal membuat ibunya badmood.

"Kan Mas belum request loh pengen di masakin apa!" protes Krisna pada ibunya beralasan.

"Semua kesukaan kalian ada, Mas." Ambar menangkup wajah Kris sayang.

"Garang asem kesukaan Ayahmu ada, rendang kesukaanmu ada, pepes ikan kesukaan Em ada, soto kuning kesukaan Adek dan Reni ada. Makanan kesukaan cucu-cucu ibu juga ada. Ayam kecapnya Di aman, kalau Abang request ayam pandan semalam. Kurang apa lagi? Masih ada yang Mas mau? Bahannya sudah ibu siapkan banyak, Ibu bisa masak lagi kalau Mas mau request menu lain." Krisna menatap haru wajah ibunya, padahal niatnya jelek ingin membuat ibunya badmood, tapi malah dibalas dengan kebaikan luar biasa oleh ibunya. Ambar bahkan tidak menunggu dua menantunya datang, dia memasak hanya dengan pegawai di rumah saja tidak mau merepotkan menantu-menantu atau anak-anaknya.

"Makasih banyak, Bu. Maaf Mas udah punya niatan jelek untuk bikin Ibu badmood." Krisna meraih tangan kanan ibunya dan menciumnya berkali-kali karena menyesal.

"Gak papa, Mas. Kamu tetap putra Ibu meski anak-anakmu sudah dewasa." Ambar mengelus kepala Krisna dan mengecupnya lembut.

"Makanan kesukaan Oma sendiri dimasak nggak? Masa cuma kita doang yang dapet makanan enak." Radi menyalami omanya dan memeluk Ambar sayang.

"Bikin dong, Bang. Mau kayak Papahmu minta dimasakin sama ibunya, sayang banget ibunya Oma udah di surga."

"Ha ha haa, dark yah jokes-nya Oma," sahut Radi tertawa mendengar jokes omanya.

"Adek juga kangen loh, Bu?" Riko tidak mau kalah, dia maju minta dipeluk Ambar. Radi akhirnya melepaskan pelukannya dari sang oma, memberikan ruang untuk omnya.

"Ya ampun ... rumah Adek kan deket, sepuluh menit juga sampe. Pake kangen-kangen segala." Ambar gemas sekali dengan putra bungsunya.

"Bang? Sini! Opa kangen loh!" Radi tersenyum senang lalu segera masuk ke rangkulan hangat opanya. Jadilah dua cucu keluarga Prasetya itu berada dalam rangkulan hangat Raharja.

"Lepas, Dek! Ibu juga mau peluk istri dan Mbak mu juga!" Riko mau tidak mau melepaskan pelukan sang ibu. Ambar dengan hangat memeluk dua menantunya, siapa yang tidak betah jika ibu mertuanya sebaik Ambar.

"Harusnya Ibu tunggu kita semua dateng baru masak bareng. Nanti Ibu kecapekan!" Emily memprotes keputusan mertuanya, dia sangat menyayangi Ambar.

"Setuju, sama Mbak Em. Ibu harusnya telepon Reni dari pagi kalau Ibu masaknya pagi." Reni juga sama memprotes Ambar karena sayang.

"Ahh cuma masak doang, Em, Ren. Ibu masih kuat."

"Udah jam sepuluh lebih, mau makan sekarang atau nunggu jam makan siang?" tanya Ambar pada semua orang.

"Sekalian makan siang ajah, Bu. Kita juga udah sarapan jajanan pasar tadi pagi sebelum olah raga," jawab Krisna mengungkapkan pendapatnya.

"Kamu, Dek? Ren?"

"Sama, Bu. Makan siang ajah." Riko juga ternyata sependapat dengan masnya.

"Oma Opa sendiri sudah sarapan belum? Kalau belum sarapan kalian makan duluan ajah." Lagi-lagi Radi menanyakan balik pertanyaan serupa pada tuan rumah. Krisna menatap putranya bangga, sangat dewasa dan bijaksana.

"Udah, Bang. Gak usah khawatir!" jawab Raharja menepuk-nepuk lengan Radi yang ada di rangkulannya.

"Kalian mandi dulu, gih! Biar nyaman!" titah Raharja pada keluarga kecil putra sulungnya.

"Di ke kamar yah, Pa. Bye!" Diandra mengecup pipi opanya lalu berlalu ke lantai dua menggunakan lift karena malas menggunakan tangga, dia lelah pasca olahraga.

"Di! Barengan!" Radi menyusul adiknya untuk barengan naik ke lantai atas.

"Kris mau ngemil mangga dulu deh baru mandi. Ayah pengertian banget udah nyiapin mangga potong buat kita." Krisna full energi dan bahagia melihat mangkuk besar berisi mangga potong di ruang tengah.

"Kamu ini, Mas!" kekeh Raharja gemas.

"Makan, gih!" Mereka semua duduk santai di karpet ruang tengah sambil menikmati mangga.

"Abang lagi kurang fit yah, Mas?" tanya Riko pada Krisna, dia merasa wajah keponakannya cukup pucat.

"Hah? Masa?" tanya Krisna dengan kening berkerut.

"Nggak ah, perasaan lo doang kali, Dek!" jawab Krisna santai sambil melahap satu potong mangga berukuran besar dengan nikmat.

"Masa sih? Kelihatannya Abang pucet, Mas." Riko keukeuh memberikan opininya sambil melahap mangga juga. Dua saudara ini memang pencinta buah mangga.

"Mungkin karena selesai olahraga kali, Dek. Belum mandi juga Si Abang, jadi keliatan pucet." Kali ini yang menjawab adalah Emily. Karena saat olahraga tadi Radi terlihat sehat-sehat saja.

"Syukur deh kalau emang gitu," ujar Riko tenang. Reni menepuk-nepuk lutut suaminya menenangkan, dia tahu suaminya cemas.

Mereka berdua memang tidak dipercayai Tuhan memiliki keturunan. Bukan tidak bisa hamil, Reni pernah empat kali keguguran, dan terakhir kali keguguran Reni sampai masuk ICU. Maka dari itu, mereka berdua memutuskan untuk berhenti berusaha memiliki keturunan. Karena demikian, mereka sangat menyayangi dua keponakan mereka seperti anak biologis mereka sendiri.

***

"Bang?" panggil Krisna sambil mengetuk pintu kamar Radi, tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar tersebut.

"Bang? Udah selesai mandinya? Ada yang perlu Papah diskusikan sama Abang." Krisna sudah segar, dia baru selesai mandi. Dia berniat menemui putranya untuk membicarakan pekerjaan.

"Papah izin masuk ya, Bang!" Karena tidak kunjung ada sahutan, jadi Krisna putuskan untuk masuk saja.

Saat pintu kamar di buka, mata Krisna langsung membulat karena melihat badan putranya terkapar di lantai, tidak jauh dari kamar mandi, lengkap dengan handuk masih terkalung di lehernya. Dengan cepat dia menghampiri Radi dengan perasaan yang sangat cemas.

"Bang?" panggil Krisna berusaha membangunkan Radi, kuat dugaannya putranya pingsan. Krisna segera mengangkat badan lemas Radi memindahkannya ke tempat tidur, mengabaikan handuk yang Radi gunakan begitu aja di lantai.

"Riko??!!!" teriak Krisna sangat keras memanggil adiknya.

"Riko?!!" teriaknya lagi tidak sabar, bahkan sampai menanggalkan panggilan adek untuk adiknya.

"Riko?!! Cepet tolongin Mas!" Riko yang mendengar teriakan Krisna dari kamarnya segera keluar dan mencari dari mana sumber suara tersebut. Karena pintu kamar keponakannya terbuka, kaki Riko otomatis berjalan cepat menuju ke sana.

Raharja dan Ambar yang mendengar keributan dari lantai atas juga segera naik. Mereka cemas, karena mendengar teriakan Krisna yang terdengar panik.

"Bang? Bangun, Nak!" pinta Krisna cemas sambil menepuk-nepuk pipi Radi, wajah putranya benar-benar pucat sekarang.

"Kenap—"

"Panggil dokter! Abang pingsan!" perintah Krisna tegas tanpa memberikan kesempatan Riko bertanya. Dia tidak membawa ponsel makanya berteriak meminta bantuan Riko. Melupakan fakta bahwa di kamar itu ada telepon rumah.

Riko bergerak gesit memanggil dokter keluarga Prasetya.

"Mas? Abang kenapa?" tanya Ambar yang melihat putranya tengah dilanda kepanikan.

"Pingsan, Bu," jawab Krisna singkat.

"Sudah panggil dokter?" tanya Raharja yang dibalas anggukan oleh Riko.

"Bu, tolong panggil para perempuan, mereka lagi pada di kamar mandi kayaknya!" Riko meminta Ambar memanggil istrinya, iparnya, dan keponakannya. Karena saat tadi dia tinggal istrinya memang tengah di kamar mandi, jadi kemungkinan mereka tidak mendengar keributan yang terjadi.

Riko bergerak mencari minyak aroma terapi untuk membuat keponakannya siuman.

"Nadinya lebih lambat dari biasanya, Dek," lapor Krisna yang memantau nadi putranya.

"Tenang, Mas! Sebentar lagi dr. Rian sampai!" Riko berusaha membuat Kris tenang.

"Tenang, Mas!" Raharja juga berusaha menenangkan putra sulungnya, dia menepuk-nepuk pundak Krisna sambil menyelimuti cucunya.

"Kamu kenapa, Bang?" tanya Krisna sambil menggenggam tangan Radi erat, dia mengabaikan posisinya yang bersimpuh di lantai.

"Abang?" teriak Diandra dengan mata basah, tangisnya langsung pecah begitu beritahu omanya bahwa Radi pingsan.

"Tenang, Sayang!" Ambar memeluk Diandra untuk menenangkan cucu perempuannya.

"Mas?" Emily ikut bersimpuh di lantai di samping suaminya.

"Waktu Mas masuk kamar Abang udah pingsan, Em. Nadinya juga lebih lemah dari biasanya." Hati Emily terasa di remas melihat putranya tidak sadarkan diri seperti ini.

"Ckck Rian lama banget!" gerutu Riko kesal, dia sangat cemas karena minyak aroma terapi tidak mempan membuat keponakannya siuman.

"Permisi?" dr. Rian datang dalam waktu kurang dari sepuluh menit, kebetulan sekali dia sedang berkendara di sekitar Dharmawangsa.

"Lama banget sih, Yan!" protes Riko, bahkan menanggalkan panggilan dokter pada temannya karena kesal.

"Padahal saya sudah sangat cepat, Tuan."

"Mohon maaf, boleh saya diberi ruang untuk melakukan pemeriksaan?" pinta dr. Rian sopan. Mereka semua menjauh, membiarkan dr. Rian memeriksa Radi dengan seksama.

Krisna memperhatikan proses pemeriksaan putranya dengan detail. Dia sangat cemas, banyak pertanyaan dan spekulasi yang berputar pikirannya.

"Tenang, Mas!" Emily merangkul suaminya berusaha memberikan ketenangan.

"Abang gak pernah kayak gini sebelumnya, Em!" Emily setuju dengan statement suaminya, makanya mereka semua sangat khawatir sekarang.

"Bisa tolong ambilkan box penyimpanan di mobil gue, Rik?" Riko langsung mengangguk mengiyakan.

"Kunci mobil lo mana?" tanya Riko sambil menengadahkan tangannya.

"Di satpam depan." Riko langsung berlari menuju lantai bawah.

"Yan, Abang gak papa kan? Tadi Mas cek nadinya lebih lambat dari normal," tanya Krisna khawatir, buyar sudah bahasa formal mereka, akhirnya mereka berbicara santai saja.

"Gak papa, Mas. Abang cuma kecapekan ajah, tensinya rendah, kayaknya Abang juga lagi stress berat makanya drop begini." Krisna tidak puas dengan jawaban Rian.

"Tapi, Yan. Abang jarang banget sakit, apalagi sampai pingsan begini. Perlu ke rumah sakit buat check up keseluruhan nggak?" tanya Krisna kritis.

"Boleh, Mas. Jadwal rutin medical check up kalian sebenarnya masih bulan depan. Kalau Abang udah baikan mau check up duluan gak masalah."

Tidak lama dari itu Riko sudah kembali dengan sebuah kotak yang dia temukan di mobil temannya.

"Yan, ini kotaknya, bener kan kotak ini?" Rian mengangguk, ternyata di dalam kotak tersebut berisi stock cairan infus. Dengan telaten dia memasangkan jarum IV ke punggung tangan kiri Radi, Riko dengan sigap memegang cairan infus tersebut agar Rian lebih mudah memasukkan obat ke dalam infusan keponakannya.

Diandra yang peka segera pergi dari sana, lalu kembali dengan sebuah tiang infus yang ada di rumah opanya, karena dulu Raharja juga pernah di rawat di rumah ini.

"Makasih, Cantik. Baik banget kamu," ujar Riko mengapresiasi tindakan Diandra, dia merangkul keponakan perempuannya untuk menenangkan.

"Abang gak papa kan, Om?" tanya Diandra khawatir pada Rian.

"Gak papa, gak usah nangis ah! Nanti cantiknya hilang!" Rian membereskan semua bekas-bekas tindakannya.

"Rian langsung pamit yah Mas, Om. Bentar lagi jam kerjanya Rian di rumah sakit. Ada resep obat yang perlu ditebus. Nanti kalau infusnya habis cabut ajah! Riko dan Reni bisa kok cabut jarumnya." Rian pamit sambil menyerahkan resep obat pada Krisna, jadwalnya di rumah sakit sudah menanti. Makanya dia tidak bisa berlama-lama.

"Makasih, Nak. Maaf merepotkan." Raharja memeluk Rian penuh rasa terima kasih.

"Sama-sama, ini sudah tugas Rian." Rian memang sangat dekat keluarga Prasetya, dia meneruskan posisinya ayahnya dulu sebagai dokter keluarga tersohor tersebut.

"Abang gak papa kok, Om. Abang cuma butuh istirahat dan menenangkan pikirannya agar tidak terlalu stress." dr. Rian berusaha menenangkan Raharja yang sudah dia anggap ayahnya sendiri.

Kamar Radi menjadi hening setelah dr. Rian kembali ke rumah sakit. Emily menghampiri Radi dan membenarkan selimut putranya. Krisna menarik dua kursi yang ada di kamar Radi untuk dirinya dan istrinya.

"Apa yang Abang pikirin sampai drop begini?" tanya Emily pada Radi yang masih belum sadarkan diri. Sebagai seorang ibu, hatinya perih melihat putra kesayangannya sakit begini.

"Cepat sembuh, Mamah gak suka liat Abang sakit," pintanya sendu, dia mengecup kening Radi sayang, tetesan air matanya jatuh ke kening putranya.

"Tanggung jawab, Boy! Istrinya Papah nangis gara-gara kamu!" Tangan kanan Krisna merangkul istrinya menguatkan, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan putranya.

"Cepet sembuh Abang kesayangannya Di." Diandra dengan sayang memeluk Radi, dia ikut berbaring di tempat tidur abangnya.

"Jangan terlalu erat yah memeluk Abangnya, Sayang!" pinta Krisna mengusap kepala putrinya mengingatkan, Diandra mengangguk paham.

"Nggak usah terlalu tegang, Mas!" Ambar merangkul Raharja yang masih kentara mencemaskan cucu laki-laki mereka.

"Kamu juga, Mas! Abang gak papa! Tenang!" Reni juga sama berusaha menenangkan Riko.

Mereka tenggelam dalam doa, harapan, dan kecemasan menunggu Radi membuka matanya kembali.

***

Mata Radi mengerjap dengan kening berkerut, kepalanya terasa pening saat cahaya lampu memasuki retinanya.

"Bang?" sebuah panggilan lembut masuk ke gendang telinganya.

"Pah?" jawab Radi, Krisna menarik sudut bibirnya memberikan senyuman lega pada putranya.

"Thank you for opening your eyes, Boy." Krisna mengecup kening Radi dalam dan lama, ada kelegaan luar biasa di dadanya melihat putranya sudah membuka mata.

Radi berusaha bagun dari tidurnya, itulah saat di mana dia sadar kepalanya terasa berat dan pusing.

"Pelan-pelan, Bang!" Krisna membantu putranya untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. Radi melihat sekelilingnya, ternyata kamarnya sangat ramai. Ada orang tuanya, adiknya, oma opanya, om tantenya, dan juga ada tiga sahabatnya. Seingatnya tadi pagi tidak ada mereka di rumah opanya.

"Kenapa kalian semua kumpul di sini?" tanya Radi bingung, suaranya terdengar serak di telinga semua orang, wajahnya juga masih tampak pucat.

"Pakai nanya! Lo yang bikin kita semua panik!" omel salah satu sahabatnya.

"Santai, Dzar! Radi baru siuman!" Dua sahabatnya yang lain berusaha menenangkan sahabatnya yang satu itu.

"Siang tadi, pas Papah masuk kamar ini Abang udah terkapar pingsan di dekat pintu kamar mandi." Radi memejamkan matanya untuk mengingat kejadian tersebut.

"Abang kenapa hmm? Kenapa nggak bilang kalau Abang sakit?" lanjutnya bertanya, Radi hanya menggeleng sambil membenarkan rambutnya. Dan baru sadar bahwa tangan kirinya kebas karena jarum IV.

"Kenapa sampai di infus begini?" tanya Radi semakin bingung.

"Rian bilang Abang kelelahan karena stress, tensi Abang juga rendah." Radi menghela nafas berat mendengarnya.

"Om Rian lebay, Abang gak sakit," bantah Radi tidak betah dengan keberadaan jarum IV di punggung tangannya.

"Kalau nggak sakit kenapa sampai pingsan hmm?" Emily membenarkan rambut Radi sayang.

"Minum, Bang!" Dia memberikan minum pada putranya, Radi yang sangat haus langsung menandaskannya.

"Abang gak tahu kalau pingsan. Seinget Abang ... tadi Abang baru selesai mandi." Krisna menatap Radi dalam, ada rasa bersalah yang terpampang nyata di matanya.

"Abang ada masalah apa sampai stress begini? Maaf Papah nggak peka kalau Abang lagi kurang sehat, padahal tadi Om Riko notice wajah pucat Abang. Papah malah nggak menyadarinya sama sekali dan cuma nganggep Abang lelah habis olahraga. Maafin Papah yah, Bang. Maaf menyepelekan wajah pucat Abang." Radi meraih tangan Kris dan menggenggamnya kuat. Kenapa papanya semanis itu padanya? Tentu saja dia sangat terharu dibuatnya.

"Abang gak papa, Papah sendiri yang bilang kan kalau kata Om Rian Abang cuma kecapekan." Krisna membawa putranya ke dalam pelukannya.

"Kalau ada apa-apa cerita, Bang! Papah gak suka kamu tiba-tiba drop begini tanpa Papah tahu apa penyebabnya. Pasti bukan masalah kecil kalau sampai begini. Abang itu jarang sakit, bahkan ini pertama kalinya kita lihat Abang pingsan. Apa Papah bukan tempat ternyaman Abang lagi buat sharing?" Sontak Radi langsung menggeleng mendengar ucapan sedih papanya.

"Abang gak papa, Pah. Ada waktunya nanti Abang cerita ke Papah, tunggu Abang siap yah?" Krisna menghela nafas dalam mendengar jawaban Radi.

"Maafin Abang bikin Papah sama yang lain panik." Krisna melepas pelukannya lalu mengecup puncak kepala Radi untuk kesekian kalinya.

"Seminggu ke depan Abang full istirahat di rumah! Abang gak Papah izinkan pergi ke manapun apalagi kerja!" putus Krisna final.

"Pah—"

"Nggak ada bantahan! Papah masih bisa handle kerjaan Abang, ada Om Riko juga," potong Kris langsung.

"Ada kita juga, Rad," tambah Andi sahabatnya.

"Bener, gue sama Andi kan kerja sama lo, percaya sama kita!" tambah Jodi, dari tiga sahabatnya, Andi dan Jodi memang bekerja di Prasetya Grup, sedangkan Abidzar mengelola perusahaan keluarga Kusuma, yaitu AK Corp. Tadinya Jodi dan Andi satu-satu akan kerja pada Radi dan Abidzar. Tapi karena Abidzar sudah punya tim yang solid sejak awal, makanya Andi dan Jodi kerja pada Radi saja.

"Jangan bantah Papahmu, Bang! Opa juga setuju!" Mendengar Raharja juga ikut angkat bicara, Radi tidak mampu lagi membantah.

"Tolong mengerti kami! Abang gak pernah kayak gini sebelumnya, jadi kami pasti khawatir berlebihan," ujar Emily meminta pengertian Radi.

"Iya Mah, Pah, Pa, Abang nurut," jawab Radi pasrah, berusaha mengerti kekhawatiran orang-orang di sekelilingnya.

'Sssttt,' ringisan Radi menyita perhatian mereka.

"Infusnya sedikit lagi habis, Om buka yah?" Radi mengangguk, ringisannya masih berlanjut saat jarum IV dicabut dari tangan kirinya.

"Jangan bikin kita panik lagi, Boy!" Riko mengecup puncak kepala keponakannya sayang yang dibalas anggukan oleh Radi.

"Kamu bikin kita semua jantungan, Sayang," tambah Reni sambil memasangkan plester transparan pada bekas jarum IV di tangan Radi.

"Sekali lagi maafin Abang bikin kalian khawatir." Radi terharu melihat semua orang ada di sampingnya, di saat bahkan dirinya sendiri saja tidak sadar sedang tidak baik-baik saja.

"Papahmu kayak kehilangan darah, Bang! Kamu yang pingsan, tapi dia yang pias." Raharja meledek putra sulungnya yang dibalas delikan tidak terima oleh Kris.

"Opa ngarang, Bang!" bantah Krisna tegas.

"Halah Opamu juga nggak beda jauh sama Papahmu," ledek Ambar membela Krisna.

"Bu, love you pokoknya!" Radi terhibur sekali dengan keributan tersebut, karena berkat hal tersebut keluarga hangat.

"Jagoannya Opa gak boleh sakit lagi! Cepat sembuh, ok! Nanti Opa kasih hadiah kalau sembuh." Radi sekarang berada dalam pelukan Raharja.

"Abang mau pesawat, boleh?" tanya Radi menggoda sang opa.

"Heem, boleh." Diluar prediksi, Raharja mengiyakan becandaan Radi.

"Woohh, Yah!! Gak adil! Kris seusia Abang mana ada dikasih pesawat sama Ayah!" sahut Kris iri pada putranya. Dia sangat kenal ayahnya, Raharja Prasetya tidak pernah main-main dengan ucapannya. Otomatis putranya pasti akan mendapatkan pesawat yang dia pinta.

"Sirik aja kamu, Mas! Nggak usah sirik sama putra sendiri!" Ambar malah membela Radi dan suaminya, padahal beberapa saat lalu dia berada di kubu putra sulungnya.

"Tenang aja, Bang! Opa pasti kasih pesawat yang Abang mau. Tapi nanti ajak-ajak Oma, ok! Anggap itu pajak lah, Bang!" Radi terkekeh melihat omanya yang masih gaul saja di usia senjanya.

"Makasih, Ma," ujar Radi, dia beralih memeluk omanya sayang.

"What? Serius, Bang? Papah kira kamu bercanda minta pesawat!" sewot Krisna tidak terima.

"Tadinya bercanda, eh Opa menanggapinya serius. Rezeki gak boleh ditolak, Pah." Krisna memutar bola matanya malas, putranya belum sembuh saja sudah menyebalkan.

"Oma gantian dong! Di juga mau meluk Abang," rengek Diandra yang sedari tadi sudah gatal ingin memeluk sang abang.

"Sini-sini, Sayang!" Radi melepaskan pelukan omanya dan beralih memeluk adik kesayangannya.

"Abang jangan sakit-sakit lagi! Cepat sembuh, Di sayang banget sama Abang." Radi tersentuh dengan ucapan tulus dari Diandra.

"Sembab banget," komentar Radi. "Pasti Di nangisin Abang, yah? Maafin Abang, Sayang." Radi mengelus kelopak mata sembab adiknya dan mengecup puncak kepala Diandra sayang.

"Mah, Mamah belum peluk Abang loh?" Radi bak anak kecil meminta pelukan mamanya. Karena Abangnya tengah sakit, Diandra tidak protes saat Radi meminta pelukan mamanya. Padahal biasanya Diandra posesif sekali terhadap Radi.

"Kenapa, Bang?" tanya Emily lembut.

"Nyaman," ujar Radi menikmati pelukan hangat Emily.

"Maafin Abang bikin Mamah repot buat nenangin Papah. Papah kan suka hiperbola." Radi terkekeh membayangkan papanya emosional sekali melihatnya tumbang. Krisna semakin sebal, semua orang senang sekali membullynya.

"Gak papa, tandanya suami Mamah sayang sekali pada putra kami." Sungguh jawaban yang hangat, jawaban yang tidak memihak tapi berhasil membuat Radi dan Krisna jatuh cinta dalam waktu bersamaan.

Terdengar suara perut keroncongan, Diandra langsung menutup wajahnya malu. Semua orang tertawa dibuatnya, Diandra semakin malu dan menyembunyikan dirinya di pelukan Krisna.

"Makan malam, yuk! Abang juga lapar." Radi membantu adiknya keluar dari rasa malunya. Kebetulan juga sudah pukul 19.00, sudah waktunya makan malam.

"Ya udah, Mamah bawain makanan ke sini yah, Bang." Radi langsung menggeleng.

"Abang mau makan di bawah ajah bareng kalian," pinta Radi penuh permohonan.

"Boleh, yang penting Abangnya udah enakan buat turun ke bawah." Radi mengangguk senang karena diizinkan makan di bawah tanpa drama.

"Kalian ke bawah duluan ajah, Abang mau ganti baju dulu, gerah," pinta Radi pada keluarganya.

"Mau Papah temani?" tanya Krisna menawarkan diri. Dia masih khawatir, takut Radi tumbang lagi.

"Om tenang aja! Nanti Radi turun ke bawah bareng kita, kita yang temani Radi. Sekalian Idzar sama Andi mau numpang sholat dulu di sini." Abidzar langsung turun tangan untuk membantu sahabatnya.

"Ok, titip Abang yah! Kalian santai ajah gak usah buru-buru, Nak. Makanannya juga perlu kita siapkan dulu." Untungnya Krisna langsung kooperatif.

"Opa kebawah yah! Kalian nikmati waktu kalian dulu ajah!" Raharja juga sama, dia paham pasti para anak muda itu butuh waktu mereka sendiri.

"Makasih, Opa."

"Sayang, makan duluan ajah ok! Kasian perutnya udah bunyi. Gak perlu nunggu Abang turun!" ujar Radi lembut pada Diandra, semua orang terharu mendengarnya. Hal sederhana namun sangat hangat. Diandra mengangguk paham.

"Di nunggu Abang ajah, sementara Di mau ngemil dulu buat ganjel." Diandra juga memberikan respons yang sama hangatnya. Radi tersenyum hangat, dia beruntung memiliki keluarga seperti mereka.

....

Saat semua orang telah keluar dari kamar Radi, giliran semua sahabatnya memeluk Radi bersamaan.

"Lo bikin kita semua panik tahu!" Radi terkekeh mendengarnya, dia memeluk ketiganya erat.

"Makasih selalu ada buat gue. Gue gak papa kok, gak usah khawatir!"

"Gak usah khawatir gimana? Bener kata Om Krisna, lo gak pernah sakit sampe kayak gini, apalagi pake acara pingsan segala!" protes Abidzar kesal.

"Sholat yuk! Jangan bikin yang dibawah curiga karena kita lama." Radi mengajak Abidzar dan Andi ibadah. Karena dia tahu, Abidzar kalau ngomel bisa berlangsung lama jika tidak di cut.

"Santai, kan tadi gue udah izin buat sholat dulu sama Om Kris dan Opa." Abidzar memberikan ketenangan pada Radi.

"Yuk!" Radi dibantu berdiri oleh Andi dan Idzar, sedangkan Jodi berjalan ke lemari baju untuk memilihkan baju ganti yang nyaman untuk Radi.

"Hati-hati di dalam! Kalau ada apa-apa teriak panggil kita!" pesan Jodi sebelum Radi masuk ke kamar mandi, Radi tentu mengangguk nurut.

Meski demikian, ketiganya tetap tidak beranjak dari sana, mereka bertiga tetap siaga di depan pintu kamar mandi. Saat Radi keluar, Jodi langsung memapah sahabatnya untuk duduk di pinggir kasur, karena Idzar dan Andi perlu mengambil wudhu terlebih dahulu.

"Makasih yah, Jod." Radi memijat kepalanya yang masih pening, Jodi dengan sigap mengambil alih, dia memijat kepala Radi lembut.

"Mau sholatnya duduk ajah?" tanya Jodi, Radi menggeleng.

"Masih bisa berdiri kok, gue gak papa." Jodi tidak protes mendengar penolakan Radi, dia menghentikan kegiatannya saat Andi dan Abidzar selesai mengambil wudhu.

"Ayo!" Abidzar secara otomatis segera memposisikan diri menjadi imam. Andi dan Radi berdiri di belakangnya untuk menjadi makmum.

Jodi memandang pemandangan itu dengan haru, dia berpikir pasti Radi stress karena masih menyembunyikan keyakinan barunya. Pasti berat sekali menjadi Radi.

"Oleh-oleh umroh buat kalian nanti gue kasih pas gue udah masuk kerja yah." Mereka semua terperangah mendengarnya.

"Ngapain sih? Kalau ketahuan Si Om gimana?" omel Abidzar, sudah sejak awal mereka wanti-wanti Radi untuk tidak membeli apapun untuk mereka saat Radi memutuskan berangkat umroh kemarin.

"Gak papa, orang cuma beli sajadah. Beli tiga, kita dapet satu-satu. Buat lo Jod, sorry gak bawa apa-apa."

"Santai ajah! Lo bawain sajadah juga buat apa? Gue kan nggak butuh." Jodi tertawa mendengar Radi merasa bersalah seperti itu.

"Berat, yah?" tanya Abidzar pada Radi yang tengah bersila.

"Heem." Radi mengangguk.

"Berat banget malah, gue jauh-jauh umroh tapi masih hidup dalam kebohongan. Apa Allah gak marah? Gue ngerasa jadi manusia paling munafik sekarang." Radi menyandarkan badannya ke kasur, kepalanya yang saat sholat isya tadi sudah lebih baik jadi pening kembali. Radi menatap langit-langit kamarnya sendu.

"Apalagi mikirin respons Papah kalau tahu keputusan gue nanti. Berat banget rasanya bayangin wajah kecewa Papah. Gue gagal jadi anak yang baik." Ketiga sahabat Radi menatap pemuda yang masih sakit itu sendu. Itu ranah yang sulit mereka tembus, mengingat Radi sangat dekat dengan Krisna, papanya.

"Gak usah terlalu stress! Nanti gak sembuh-sembuh!" tegas Abidzar mengingatkan.

"Mending kabarin Ell, Rad! Dia chat gue nanya kabar lo." Radi tersentak mendengar apa yang Jodi sampaikan. Hampir setahun dia tidak berhubungan dengan perempuan cantik itu.

"Nih! Telepon Ell, gih!" Jodi memberikan ponsel Radi pada pemiliknya.

Radi membuka aplikasi WhatsApp untuk membuka kolom chat Elliana, perempuan yang memiliki tempat spesial di hatinya.

"Kita perlu keluar dulu nggak?" tanya Andi yang di balas gelengan oleh Radi.

Radi tersenyum membaca pesan penuh kekhawatiran dari perempuan bernama Elliana tersebut. Perempuan itu mengirimkan banyak pesan tadi siang dan sore. Setelah menarik nafas panjang, Radi mendial nomor Elliana.

"Assalamualaikum, Bang?" Radi memejamkan matanya saat mendengar salam dari Elliana, perempuan itu sangat menghargainya, termasuk mengucapkan salam padanya sejak dia berpindah keyakinan.

"Waalaikumsalam," jawab Radi.

"Are you okay, Bang? Kapan siuman? Kenapa bisa pingsan? Sakit apa kata dokter? Bukannya tadi pagi Abang olahraga? Ell sempet ketemu Tante Em soalnya." Radi terkekeh mendengar pertanyaan beruntun yang terdengar merdu di telinganya.

"Bang? Kenapa malah ketawa sih?" kesal Elianal.

"Abang gak papa, ini baru siuman tadi. Nyenyak banget tidurnya, makanya merem lama. Kata Om Rian Abang cuma kecapekan. Tidak perlu khawatir, Ell!" jelas Radi.

"Syukurlah, kalau cuma kecapekan. Istirahat yah! Maaf Ell ganggu."

"Gak papa, makasih juga udah nanyain kabar Abang. It's means a lot for me, Ell," ujar Radi tulus.

"Sama-sama, Bang. Ya udah Ell tutup yah?"

"Ell, sebentar!" cegah Radi.

"Abang udah cerita ke Mamah, Papah, dan Di kalau hubungan kita sudah selesai. Maaf Abang baru terbuka ke mereka sekarang, padahal sudah satu tahun lebih kita selesai. Maaf membuat kamu repot karena Mamah dan Di masih sering mengajak kamu jalan, padahal kamu sudah tidak punya keharusan apapun menemani atau menemui mereka." Di seberang sana Elliana terdiam mendengar penjelasan tersebut.

"Jadi sudah tiba saatnya yah, Bang?" pikir gadis cantik keturunan Sunda-Spanyol itu sedih.

"Gak papa, Bang. Sejak hubungan kita selesai, kita jarang sekali bertemu. Nyaris tidak pernah berkabar. Menyenangkan rasanya tetap bisa menemani dan bertemu dengan Tante Em serta Di. Mereka berdua perlahan mengobati luka perpisahan kita. Karena setiap Ell dekat dengan mereka, Ell selalu merasa sedang bersama Abang." Radi memejamkan matanya erat, berat sekali kepalanya.

"Maaf, hari ini Ell menghubungi Abang, Ell panik dan khawatir mendengar Abang sakit sampai pingsan segala. Padahal kita udah commit sebelumnya untuk tidak melakukan interaksi berlebihan dengan sengaja." Radi sedih sekali mendengarnya.

"Nggak papa, Ell! Abang yang seharusnya minta maaf, maaf sudah membebanimu. Hubungi Abang jika kamu butuh bantuan! Jangan sungkan! Terima kasih sudah begitu cantik dan apik bersikap biasa saja di depan keluarga Abang selama satu tahun belakangan ini. Maaf jika membuatmu atau pasangan barumu tidak nyaman. Sampaikan permintaan maaf Abang padanya." Radi mendengar tawa renyah dari Elliana di seberang sana. Tawa indah yang sempat menjadi tawa favorite-nya.

"Ell belum punya pasangan baru, jadi Abang tidak perlu meminta maaf." Radi tertegun mendengar informasi tersebut.

"Semoga lekas menemukan pasangan terbaik ya, Ell. Bahagia dan sehat selalu, doa Abang selalu menyertaimu," harap Radi tulus.

"Ameen, semoga segala kebaikan juga selalu menyertai Abang. Ell, tutup. Assalamualaikum?" Ell segera menutup sambungan teleponnya, karena dia tidak akan kuat jika harus berbincang lebih lama lagi dengan sosok yang masih bertahta di hatinya.

"Waalaikumsalam," jawab Radi.

"Hhh, lo yang ngejalanin idup. Napa gue yang sesak nafas dah?" keluh Andi yang mengundang tawa semua sahabatnya.

"Ke Bawah, yuk! Kayaknya makan malam udah siap. Untuk shalat yang terlewat gue qodho nanti kalau situasinya udah kondusif." Radi mengajak mereka semua turun. Abidzar dan Jodi sigap memapah Radi, takut Radi masih lemas. Meski sebenarnya Radi risih diperlakukan demikian.

"Udah turun, Bang? Ayo sini makan!" Ternyata ruang tengah kediaman Raharja Prasetya sudah rapi dengan banyak makanan di sana.

"Nggak makan di meja makan?" tanya Radi bingung.

"Biar Abang nyaman, Oma Opa juga gak masalah," jawab Reni, Radi otomatis menatap sang opa yang dibalas anggukkan.

Radi duduk di sofa panjang yang sangat empuk. Krisna membawa putranya ke dalam rangkulannya, dengan suka rela dia memijat kepala Radi lembut.

"Kok makanan nya masih sama?" tanya Radi saat melihat menu makanannya masih sama dengan menu yang seharusnya menjadi menu makan siang mereka.

"Kita skip makan siang karena jagain Abang," jawab Krisna santai.

"Astaga, Pah! Pantesan perut Di keroncongan, kalau Oma Opa sakit gimana karena telat makan!" omel Radi kesal sekaligus tidak habis pikir.

"Gak usah kesel, Bang! Ini pengalaman pertama kami menghadapi Abang sakit sampai pingsan. Jadi pahami juga kecemasan kami!" Mendengar ketegasan papanya Radi memilih diam. Meski terdengar kasar, tapi itulah bentuk rasa sayang dan kekhawatiran mereka. Justru dia sekarang yang merasa bersalah karena telah menimbulkan kericuhan.

"Mari berdoa!" komando Raharja sebagai tetua, mereka semua berdoa dengan khusyuk sesuai kepercayaan masing-masing. Radi hanya memejamkan matanya saja, berusaha bersikap netral.

"Ambil yang kalian suka yah, anak-anak!" Tiga sahabat Radi yang sudah sangat akrab dengan keluarga Prasetya tentu mengangguk semangat jika berhubungan dengan makanan.

"Maafin Abang udah bikin Di kelaparan." Radi meminta maaf dengan serius pada adiknya.

"Apaan sih, Bang! Santai ajah! Orang Di juga nggak punya sakit lambung. Jadi aman, anggap ajah Di puasa." Radi malah terharu mendengar respons baik adiknya.

"Udah ah, Di mau makan duluan!" Diandra dengan semangat melahap makanan yang ada di piringnya.

"Ayo kamu juga makan, Bang!" Radi terkejut karena Emily sudah menyodorkan makanan, siap menyuapinya. Saat Radi mengedarkan pandangannya, ternyata semua orang sudah siap dengan makanan mereka masing-masing. Hanya dirinya yang belum mengambil makanan karena terlena dengan pijatan sang papah.

"Gak usah, Mah. Abang bisa makan sendiri," tolak Radi halus.

"Gak usah protes!" ujar Emily tidak mau dibantah, mau tidak mau Radi membuka mulutnya menikmati suapan dari tangan mamanya. Suapan yang membuat Radi terharu bukan main, Emily menyuapinya dengan tangan langsung, bukan menggunakan sendok. Apalagi ayam pandan buatan omanya juga selalu menjadi favorite di lidahnya.

"Mamah dan Papah juga makan!" Radi berniat melepaskan dirinya dari Krisna, tapi Krisna menahan putranya tetap diam di dalam rangkulannya untuk dia lanjut pijati kepalanya.

"Makan aja, Bang! Mamah dan Papah sengaja udah makan duluan biar bisa melayani Abang!" Radi lagi-lagi terkejut mendengar celetukkan adiknya. Tidak ada cemburu atau nada iri, karena Diandra justru sama khawatirnya dengan orang tuanya.

"Udah denger kan? Santai aja, Bang." Kris sesekali mengecek suhu tubuh Radi di sela-sela dia memijat kepala Radi.

"Tapi Mamah Papah itu orang tua Abang! Bukan pelayan Abang!" protes Radi yang terpotong karena Emily menyuapkan makanan lagi ke mulutnya.

"Yang bilang kita pelayan siapa? Enak aja! Mamah secantik ini dibilang pelayan," gerutu Emily.

"Tapi membuat keluarga nyaman, termasuk putra Mamah yang tengah sakit adalah keharusan, Bang! Ini kebahagian Mamah dan Papah. Jadi cukup nikmati saja, ok!" Entah untuk keberapa kalinya hari ini Radi dibuat terharu oleh orang-orang di sekelilingnya.

"Mah, boleh minta pepes ikan?" pinta Radi yang tergiur dengan menu favorite mamanya yang disantap omnya nikmat.

"Boleh dong, Bang. Orang Oma bikin semua menunya dalam jumlah banyak." Bukan Emily yang menjawab tapi Ambar.

"Makasih yah, Oma. Semua masakan Oma selalu enak di lidah Abang," puji Radi tulus.

"Sama-sama, Abang ada makanan yang di pengen buat besok sarapan?" tanya Ambar menawarkan.

"Hmm nasi tim kayaknya enak. Tapi pengen bikinan Mamah," jawab Radi jujur apa adanya.

"Boleh, nanti Mamah bikinin, yang penting Abangnya harus cepet sehat!" Emily menyanggupi permintaan putranya sambil memberikan satu suapan lagi pada putranya. Mereka lega, setidaknya Radi lahap makan. Sebuah angin segar di tengah kecemasan mereka.

"Di mau dimasakin apa sama Mamah? Ada yang Di mau juga?" Meski fokus mereka saat ini adalah Radi yang sakit, tapi mereka tidak semerta-merta melupakan Diandra, sang putri dan cucu bungsu keluarga Prasetya.

"Hmm pengen nasi goreng seafood, Mah," jawab Diandra semangat.

"Siap!" Emily juga menyanggupi permintaan putrinya.

"Makasih, Mamah cantik."

"Kalau kalian mau sarapan apa besok?" tanya Raharja pada sahabat-sahabat cucunya.

"Kita mah gampang, Opa. Nasi uduk Mpok Jubaedah aja yang ada di jalan depan." Tanpa sungkan Jodi meminta makanan yang memang mereka inginkan.

"Siap, nanti Opa beliin besok pagi."

"Yesss!!" seru Jodi senang. Bahagia itu sederhana bagi Jodi, cukup beri makanan yang enak. Hal itu mengundang tawa semua orang.

Radi menatap semua orang yang dia sayangi intens, hidupnya lengkap, tidak ada yang kurang. Tapi dia takut, takut akan kehilangan semuanya.

"Udah kenyang Mah." Emily tidak memaksa putranya untuk terus makan lagi, karena Radi makan cukup banyak. Emily pergi untuk membersihkan tangannya lebih dulu.

"Minum, Bang!" Krisna menghentikan pijatannya dan membantu Radi minum.

"Obatnya sekalian, Mas." Riko menyerahkan kantong berisi obat untuk keponakannya.

"Hhh, males, Pah," keluh Radi melihat tiga macam obat yang harus dia minum.

"Gak boleh gitu, Bang! Minum!" tegas Krisna tidak mau dibantah, Radi hanya bisa pasrah.

"Mual, Pah," keluh Radi saat berhasil meminum obatnya. Krisna mengelus punggung Radi untuk meredakan.

"Mamah kayak liat Abang masih SD kalau Abang kayak gini, Bang!" Emily sudah kembali lagi mengacak rambut Radi gemas.

"Makasih tangan Mamah udah nyuapin Abang malam ini. Jangan bosen suapin Abang yah!" Radi mencium tangan mamanya sayang berkali-kali.

"Manis banget mulutmu, Bang!" cibir Krisna sambil menyentil kening putranya.

"Istrinya Papah itu!" lanjutnya lagi tidak terima.

"Surganya Abang itu!" timpal Radi tidak mau kalah, jawaban itu berhasil membuat Krisna tersenyum bangga. Putranya adalah sosok laki-laki muda yang sangat dia idolakan.

"Halah halah, putra Papah bisa ajah." Krisna kembali membawa Radi ke dalam rangkulannya dan mulai memijat kepala putranya lagi.

"Pah?" panggil Radi.

"Hmm?" jawab Krisna dengan gumaman. Radi tidak langsung bicara, dia malah melingkarkan tangannya ke badan sang papa dan memeluknya untuk mencari kekuatan dari sana.

"Kenapa? Abang beneran kenapa-napa deh. Sebelum-sebelumnya kalau sakit nggak pernah manja kayak gini!" cibir Krisna lagi, meski tindakannya tidak selaras dengan cibirannya. Dia malah balas memeluk Radi dan mengelus belakang kepala Radi sayang. Radi sendiri memilih memejamkan matanya, menghirup aroma Krisna yang sangat khas di penciumannya.

"Abang takut kehilangan kalian semua." Mendadak suasana menjadi hening, kegiatan membereskan bekas makan malam juga terhenti secara otomatis. Kalimat yang singkat tapi terdengar serius di telinga mereka.

"Siapa yang akan kehilangan siapa?" tanya Krisna kurang suka, Radi diam tidak menjawabnya. Dia malah semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam dekapan papanya.

"Dengar, Bang!" tegas Krisna. "Abang tidak akan kehilangan siapapun! Kita semua sayang Abang. Kita akan selalu ada untuk Abang." Krisna mengecup puncak kepala putranya dalam dan lama.

"Jika ada yang bertanya bagaimana bentuk kehancuran dunia, maka kehilangan Papah adalah bentuk hancurnya dunia Abang." Entah kenapa Radi menjelma menjadi sosok yang berbeda dari biasanya di mata Krisna. Tapi yang jelas hati Krisna terenyuh mendengar pernyataan Radi tadi, dalam sekali.

"Papah tidak akan membiarkan dunia Abang hancur. Papah akan berusaha sehat dan hidup dalam waktu yang lama untuk terus membersamai setiap langkah Abang, bahkan sampai Abang menikah dan ngasih Papah cucu-cucu yang lucu. Abang tidak perlu mengkhawatirkan hal itu! Abang gak akan kehilangan dunianya Abang!" tegas Krisna menenangkan putranya. Tanpa terasa, mata Radi yang terpejam perlahan basah.

Semua orang bingung dengan keanehan Radi, hanya tiga sahabat Radi yang memahami ketakutan Radi yang sebenarnya. Mereka juga ikut merasakan sesak dan beban berat yang Radi tanggung.

"Tidur, Bang! Jangan overthinking!" tegas Emily sambil menghapus air mata Radi. Dia tidak suka melihat putranya lemah begini.

"Setuju, tidur aja, Bang! Daripada bangun malah malu karena nangis di ketek Papah," sahut Daindra meledek, dia juga tidak suka melihat Radi sakit dan berbicara random begitu. Tawa semua orang pecah mendengar celetukkan Diandra.

"Putrinya Om, nggak ada duanya emang!" Riko memiting Diandra gemas, keluarga mereka akan kaku jika saja masnya dan keponakan perempuannya bukanlah sosok yang ceriwis begini.

"Radi anak Papah, Radi anak Papah!" Jodi dengan ringan ikut meramaikan suasana dengan meledek sahabatnya layaknya mereka masih sekolah dasar. Diandra dengan semangat bertos ria karena satu frekuensi dengan Jodi.

Radi juga ikut tertawa kecil di ledek demikian, tapi dia enggan membuka mata. Biarlah malam ini dia merelakan dirinya menjadi bahan ledekan. Dia hanya sedang ingin menikmati kehangatan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Itu saja.

Lambat laun Radi benar-benar tidur karena pengaruh obat yang dia minum.

"Anak-anak, ada yang tahu Abang punya masalah apa? Sejak kemarin pulang dari Jepang Abang kayak banyak pikiran," tanya Krisna pada sahabat-sahabat Radi serius.

"Kita nggak punya hak untuk melangkahi Radi. Om sabar ajah, ada waktunya pasti Radi menyampaikannya langsung pada Om dan yang lain." Abidzar yang mewakili dari mereka bertiga menjawab pertanyaan Krisna. Tidak menjawabnya, namun tidak juga berbohong menutupinya dan berkata bahwa Radi tidak memiliki masalah apa-apa.

"Gak mungkin Abang sampai kayak gini cuma gara-gara putus sama Kak Ell. Pasti masalah Abang serius," komentar Diandra, semua orang setuju dengan celetukan gadis kelas sembilan SMP tersebut.

"Yeuh! Sok dewasa dan sok tahu banget kamu Di!" Andi mengalihkan fokus semua orang dengan mengajak ribut Diandra, dia sengaja merampas cemilan milik Diandra. Maka terjadilah aksi kejar-kejaran, ditambah dengan Jodi yang ikut bergabung memperebutkan cemilan milik Diandra. Suasana jadi hidup kembali, sahabat Radi cukup pandai mengalihkan perhatian.

"Sudah malam, sebaiknya kita istirahat! Anak-anak masuk ke kamar yang biasa kalian pakai!" tutur Raharja sebagai tuan rumah, tiga sahabat Radi mengangguk nurut.

"Yang lain juga tidur!" Tidak ada yang membantah jika tuan besar sudah angkat bicara.

"Terutama untukmu, Mas!" tegasnya pada putra sulungnya.

"Tidur! Jangan begadang jagain Abang! Abang juga udah baikan!" peringatnya tidak mau dibantah. Raharja sangat hafal sifat Krisna.

"Iya, Yah! Bawel banget!" tanggap Krisna santai, nasihat ayahnya itu masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Karena nyatanya Krisna tidur menemani Radi di kamar putranya. Sedangkan Emily menemai Diandra tidur di kamar Diandra. Mereka membagi tugas secara adil sebagai orang tua.

"Papah nggak tahu masalah atau beban apa yang tengah kamu tanggung, Bang," ujar Krisna sambil mengelus kepala Radi lembut.

"Pasti berat ya, Bang? Kamu sampai drop begini," lanjutnya asyik bermonolog.

"Mana kamu juga udahan sama Ell, makin galau deh kamu." Krisna tertawa lirih karena sempat-sempatnya meledek sang putra. Krisna menghela nafas dalam, wajah pucat putranya adalah pemandangan yang tidak elok di matanya.

"Tapi yang pasti, Papah akan selalu ada untuk Abang." Terpancar kasih sayang yang sangat besar di mata tajamnya.

"I love you, Boy!" Krisna mengecup kening Radi lalu memeluknya lembut dan ikut terlelap mengistirahatkan tubuhnya. Meski sebenarnya waktu sudah menjelang subuh. Tanpa dia sadari, dia terjaga semalaman untuk memastikan putranya baik-baik saja dalam tidurnya.

Jika bagi Radi Krisna adalah dunianya;Maka bagi Krisna Radi adalah semestanya.

.
.
.

Tbc ....
.
.
.

Maaf jika ada typo. 🙏🏻
Makasih udah mampir dan membaca chapter ini.
Follow me in other platforms! Linknya di bio!

goresantegas
26 Oktober 2023

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 313 24
Menceritakan seorang gadis yang dibully karena penampilannya,tapi suatu ketika ada seorang murid baru laki laki yang ternyata adalah anak dari teman...
327K 31.9K 45
Semua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.
13K 1.2K 49
"Kita sama, tapi kenapa ayah cuma sayang sama lo, bang?" Bumi Kala Atmaja punya sejuta kebohongan yang ia sembunyikan. Luka-luka di sekujur tubuhnya...
1.4M 56.7K 43
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...