Three Words Theory

By pearsnpearls

3.4K 498 124

Eros, Ludus, Storge. Tahun 1973, seorang psikolog bernama John Lee menyebutkan tiga warna utama dari cinta da... More

INFATUATION ‒ the first glance
🎞
Ludus - The First Theory
01 - Recontre
02 - Grand-père
04 - Les Commérages
05 - Compliquée
06 - Avouer Ses Sentiments
07 - La Famille
08 - Roméo et Juliette
Eros - The Second Theory
09 - Vision Trompeuse
10 - Je Ne Vais Pas Lâcher
11 - Maintenant, Je Me Rends
12 - Le Début De Tout
13 - Les Embûches Se Présentent

03 - Une Âme Brisée

186 33 9
By pearsnpearls


__________

the third part

©pearsnpearls, november 2023

__________

Di Janitra Medical Center, setiap karyawan mendapatkan fasilitas makan siang gratis di kantin rumah sakit. Makanannya juga tidak sembarangan, karena nilai gizi sudah diatur sedemikian rupa agar tetap seimbang. Bahkan, karyawan yang butuh menu khusus karena pantangan penyakit dan lainnya, juga bisa mendapatkan fasilitas ini selama sudah submit diet restriction di awal masa kerja.

Semua fasilitas ini sebenarnya tak semudah itu untuk didapat. Pertama, proses untuk diterima kerja di rumah sakit ini sama sekali tidak mudah. Kedua, tuntutan service excellence yang selalu digaungkan membuat semua pekerja di JMC sama sekali tak bisa kerja asal-asalan, apalagi malas-malasan.

Marla memimpin dengan memberi contoh dengan tidak pernah terlambat dan masih sering turun gunung untuk menanyakan pengalaman pasien dan pegawai. Dedikasi Marla memang tinggi, tapi untuk beberapa orang, terlalu tinggi. Tak banyak yang bisa mengikuti ritme kerjanya. Yuna adalah salah satu dari sangat sedikit, sampai akhirnya bisa jadi orang kepercayaan.

Masayu Ilana Achjar. Tiga puluh empat tahun, single, and not ready to mingle.

Berbeda dengan Shaqila yang memang memilih untuk sendiri, status single Yuna bukan pilihan. Well, at least bukan pilihan yang menyenangkan. Perempuan itu tadinya sudah siap melepas semuanya, menyerahkan diri secara utuh pada seseorang, sebelum akhirnya itu semua harus berakhir.

Yuna dan Shaqila satu kampus. Yuna adalah junior Shaqila satu tahun saat sama-sama menempuh pendidikan dokter di Jakarta. Mereka sudah kenal—walaupun sejak awal pertemanan mereka bukan tipe yang sangat sangat dekat, well, she never that closed to anyone reallysejak masih sama-sama mahasiswa, hingga akhirnya sekarang kerja di rumah sakit yang sama.

Biarpun begitu, Marla tidak memilih Yuna sebagai orang kepercayaan hanya karena dia teman anaknya. Yuna always looks up to Marla, karena dia tidak pernah punya sosok panutan seperti itu dalam hidupnya. Jadi begitu resmi menjadi bagian JMC, Yuna mendedikasikan sebagian besar waktu dan pikirannya di sini. Marla dan Shaqila yang notabene adalah pemilik dan pewaris aja masih kerja keras, masa dia nggak? Begitu pikir Yuna.

Lagipula, pekerjaan bisa jadi distraksi yang menghasilkan dibanding memikirkan kehidupan pribadinya yang ruwet.

Yuna meletakkan nampan berisi makan siangnya di meja. Sudah ada Shaqila di sana. Walaupun suasana kantin ramai, meja Shaqila yang tadi hanya berisi satu orang, tidak diisi siapa-siapa karena hampir semua karyawan sudah hafal kalau kursi kosong itu nanti pasti akan dipakai Yuna.

"Kemarin aku belum sempat titip makasih buat adik kamu," kata Yuna membuka pembicaraan.

"Which one?"

"Jabraan," jawab Yuna. "Emang ada yang lain lagi?"

"Nggak, sih. Ngetes aja, siapa tahu kamu lupa namanya," ledek Shaqila, membuat Yuna memutar kedua bola matanya malas.

"Kalau mau bilang makasih, langsung aja, Na."

"Kalau bisa lewat kamu, ngapain repot bilang langsung?"

"Kalau bisa ngomong sendiri, ngapain ngerepotin orang?"

"Fine ...." Yuna menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku harus hubungin atau samperin ke mana untuk bisa bilang makasih ke adik kamu?"

"Nanti ya, aku tanya dulu orangnya bolehin apa enggak kalau nomornya dikasih ke kamu." Shaqila menahan tawanya, sementara lawan bicaranya terlihat acuh tak acuh.

"Bercanda. He's crazy about you. Kalau sampai dia tahu kamu yang minta nomornya, bisa-bisa dia langsung datangin Daniel Caesar buat nyanyiin lagu cinta di depan kamu."

"Separah itu?"

"Enggak, sih."

"Adik kamu sengasal kamu nggak, Sha?"

"Duh, we have the same blood streaming through our veins."

"Okay."

"Tapi masalah he's crazy about you, nggak sepenuhnya salah. Hampir benar malah."

"Nggak usah ngaco,"

"Percaya, deh."

"Harapan kamu, aku harus berbuat apa setelah tahu informasi ini?"

"Mau lebih kenal dia?" Shaqila mengendikkan bahunya.

"Masih kecil nggak sih dia?"

"Masayu Ilana, he's thirty." Mata Shaqila membelalak karena pertanyaan Yuna barusan.

"Oh, ya?"

"Emang kamu pikir, kita sekarang umur berapa?"

Yuna tertegun karena tiba-tiba sadar kalau definisi kata adik di usianya yang sekarang sudah tidak menggambarkan usia yang kecil. "Banyak," jawabnya akhirnya.

Shaqila terkekeh. "Benaran, deh, Na. Menurutku, kamu itu kurang liburan."

"Mungkin."

"Oh, please." Shaqila tertawa miris. Tak seperti Yuna, Shaqila setidaknya punya hobi dan tahu kapan harus cuti. Perempuan itu suka memancing. Dia paham jenis-jenis umpan yang bagus, senar pancing kualitas tinggi, hingga perilaku ikan yang diincar. Biasanya kalau tidak menyewa kru pribadi untuk mancing di sekitaran Pulau Seribu, Shaqila melipir ke vila milik kakeknya di Bogor yang di area belakangnya terdapat danau luas dan berisi banyak ikan air tawar.

Saking jarangnya Yuna cuti, Shaqila sampai beberapa kali mengajaknya untuk ikut mancing, padahal kegiatan itu biasanya selalu dia jadikan pelarian dan dilakukan sendiri-kecuali ada kru kapal saat harus ke laut. Tapi tetap saja Yuna menolak. Sampai sekarang Shaqila cuma tahu kalau Yuna beberapa kali staycation, but that's it.

"Tapi serius deh, kamu oke kan?" Shaqila terlihat khawatir. Suaranya memelan agar perbincangan ini tidak didengar meja sebelah. "Hampir setahun dari-you know."

"Aku oke. Selama aku nggak lihat mukanya. Kalau lihat, bawaannya mau nonjok aja. Ada alasannya kenapa aku ambil kelas muay-thai."

Shaqila terbahak. "Kalau suatu saat aku ketemu dia, nih, kamu mau kalau aku tonjok mukanya?"

"Nggak usah, I don't do musuhmu-musuhku shit. Kan kita bukan geng Cinta."

"Referensi kamu tua!" Shaqila tertawa lepas.

"Bukan tua, cuma banyak aja umurnya," koreksi Yuna.

"You really, really loved him, didn't you?"

"Ya, I mean, kalau nggak kan, aku nggak akan mau diajak nikah, Sha."

"Well, I'm glad you're okay now."

"Berat, tapi akhirnya lewat. Makasih buat kerjaan yang bertumpuk—sorry, not sorrykalau nggak ada distraksi, aku mungkin udah kena mental." Yuna menatap kosong ke sembarang arah, mengingat masa-masa sulitnya ketika harus melewati patah hati terbesarnya.

"Aku belajar, Shaqila. Nggak lagi-lagi aku gantungin diri sama orang lain. Banyak kasusnya. Humans are trash," lanjutnya. "Myself included."

Shaqila mengangguk mengerti. Dia tahu persis maksud Yuna. The term trash may sound harsh, tapi kalau mengetahui kisah hidup Yuna, wajar saja perempuan itu hidup dengan pikiran yang bukan full of rainbow and flowers. Yuna bukan orang yang gampang jatuh cinta, jadi saat rasa itu muncul, dia tak ragu untuk total pada pasangannya. Ditambah, laki-laki yang membuat Yuna skeptis soal cinta ini tahu cara memperlakukan seorang wanita walaupun akhirnya pergi juga. Layaknya orang-orang lain yang juga penting di hidup Yuna, termasuk orang tua.

Ibunya meninggal dunia saat Yuna baru saja lulus sekolah dasar. Di usia yang baru beranjak remaja, Yuna harus kehilangan sosok yang satu-satunya berperan sebagai orang tua untuknya, saat ayahnya jarang hadir karena sibuk mengejar karir politik. Tidak lama setelah kejadian itu, ketika luka akibat duka belum kering, ayahnya sudah membawa perempuan lain ke rumah dan yang Yuna tidak habis pikir, juga seorang anak laki-laki berusia satu tahun.

Dalam sekejap, ada dua orang asing di hidupnya yang harus dia panggil mama dan adik. Dua orang yang berarti sudah bersama dengan ayahnya bahkan sebelum ibunya meninggal, masih sakit-sakitan dan menderita sampai Yuna harus dewasa sebelum waktunya karena sepulang sekolah tidak dia gunakan untuk main dengan teman sebaya, tapi menemani ibunya di rumah sakit. Yuna tumbuh jadi orang asing di rumahnya sendiri. Ayahnya pun tak pernah berusaha lebih untuk menyatukan keluarga barunya. Pria itu berpikir uang bisa jadi penyelesaian dan membuat semua orang bahagia.

Saat masuk kuliah, Yuna akhirnya dianggap cukup dewasa untuk tinggal sendiri. Saat-saat yang sudah dia nantikan sejak lama. Terbebas dari rumah yang meninggalkan begitu banyak trauma dan kenangan bersama ibunya bagi Yuna sudah bisa membuat kepalanya sedikit jernih. Dia tidak lagi punya kewajiban untuk berlagak seperti keluarga saat kolega-kolega ayahnya datang, tidak juga harus melihat sosok ibunya seperti terhapus begitu saja dengan kehadiran perempuan baru. Hidup Yuna cemerlang. Dia memang tidak pernah kekurangan sumber daya, tapi ada dorongan dalam dirinya untuk selalu menjadi yang terbaik.

Setelah lulus kuliah, dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah masternya di Australia dan di sana lah dia bertemu laki-laki itu. Pria Indonesia yang tampan, baik hati, dan pintar yang juga sedang menyelesaikan kuliahnya. Sejak itu, dia merasakan hal yang sudah lama tidak ia rasakan sejak ibunya pergi. Yuna akhirnya merasa kembali dicintai.

Waktu itu, dunia serasa milik berdua. Hanya ada satu orang yang jadi prioritasnya dan Yuna juga jadi tahu rasanya menjadi prioritas orang lain. Hidupnya bahagia dan hampir sempurna, sampai akhirnya setahun yang lalu, semua itu harus berakhir. Pria yang jadi sandaran hidupnya tiba-tiba pergi untuk perempuan lain, menikah dengan orang lain tanpa aba-aba, tanpa memberi kesempatan untuk Yuna mencerna semuanya.

Yuna hancur sehancur-hancurnya. Hidupnya mendadak linglung dan setiap dia melihat cincin tunangan yang sudah sempat bertengger di jari, tangisnya tak kuasa untuk dibendung. Di saat yang hampir bersamaan, Yuna harus menerima kabar kalau ayahnya terjerat kasus korupsi besar dan harus mendekam di penjara. Lagi-lagi, dia harus tenggelam ke dalam drama keluarga yang sudah lama ditinggalkannya.

Hidup Yuna ruwet. Kasus yang menjerat ayahnya, Yurisjman Achjar, tidak main-main. Sebagai tokoh partai Rakyat yang memiliki posisi strategis, ayahnya berada di posisi sentral kasus ini. Tidak hanya Yurisjman, beberapa anggota partai yang sama juga harus bertanggung jawab dan dibui. Hampir semua harta atas nama ayahnya disita oleh lembaga negara. Karena kasus ini, ibu tirinya sengaja disembunyikan oleh ayahnya ke luar kota agar tidak masuk ke dalam pemberitaan. Lalu anak kecil yang lebih dari dua dekade lalu tiba-tiba muncul di rumahnya dan harus dia anggap adik, sekarang tinggal di apartemennya karena harus menyelesaikan kuliah di Jakarta.

Yuna sebenarnya hampir tidak mau tahu akan semua ini, tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, Yuna melihat ayahnya menangis dan memohon. Ironisnya, air mata itu tidak keluar ketika istri pertamanya menutup mata untuk selamanya.

Yuna is sweet but she's broken. Karena itu, Shaqila sebenernya tak akan sembarangan juga mengenalkan Yuna ke orang lain. Kalau Jabraan tidak ngotot dan memberikan jaminan kalau semua ini akan berakhir baik, jadi atau tidak jadi, Shaqila juga tak akan mau jadi penengah sementara.

"But you sure need some fun, loh, Na!" Shaqila menunjuk wajah Yuna yang terlihat bingung. "Jabraan is fun."

"Kamu serius baru aja nyuruh aku untuk have fun sama adik kamu?"

"Define have fun you perv!" Bola mata Shaqila membulat. "Aku cuma merasa, nggak ada salahnya kamu nyoba, kan? Lagipula, Jabraan nanyain kamu mulu, Na. Berisik."

"Benar, sih. Tapi aku punya banyak tapi."

"Usual Yuna." Shaqila meraih ponsel dan mengirim nomor Jabraan ke nomor perempuan di hadapannya. "Look, kalau pada akhirnya kamu nggak selera ngeliat mukanya yang sering sotoy dan ngeselin itu, ya udah, nomornya dihapus aja. Nanti aku yang sampaiin makasih dari kamu."

Mata Yuna menerawang ke luar jendela. Ada banyak hal yang mampir di pikirannya saat ini, tapi akhirnya perempuan itu memilih untuk terbuka pada kemungkinan yang datang. Setelah menarik napasnya panjang, Yuna berkata, "Nggak usah, Sha. Aku aja yang bilang langsung. Thanks, ya."

______




Yuna mendorong troli belanjanya sedikit cepat agar bisa segera mengambil barang incarannya. Supermarket ini lumayan ramai. Mungkin karena tanggal muda. Di trolinya sudah ada berbagai bahan makanan yang tersusun rapi. Dia memang berencana untuk masak malam ini lalu menutup harinya dengan nonton series kesukaannya yang sempat tertunda.

Akhir-akhir ini, Yuna sebenarnya jarang masak. Lebih tepatnya sejak Nala, adiknya, tinggal satu apartemen dengannya. Yuna tak mau kalau saat dia masak, Nala merasa kalau dirinya sedang berbaik hati memberikannya makanan. Lagipula, adiknya itu sudah punya uang jajan sendiri dan Yuna tahu kalau jumlahnya tidak mungkin sedikit, karena sejak Yuna pindah dari rumahnya, Nala otomatis jadi anak tunggal kesayangan.

Yuna tidak suka Nala. Anak itu adalah hasil perselingkuhan ayahnya saat ibunya jelas-jelas sedang kesakitan. Bagi Yuna, Nala menyebalkan, karena anak itu tumbuh jadi sosok yang baik, seolah-olah kebaikan itu jadi penawar kesalahan kedua orang tua mereka. Yuna tidak mau terbawa dan menerima kehadirannya, karena itu tandanya dia setuju atas tindakan ayah kepada ibunya.

Sekarang, Nala sedang menempuh pendidikan dokter sebagai co-ass. Anak itu pintar, jadi sebenarnya di awal diarahkan oleh ayahnya untuk mengambil jurusan politik, agar bisa jadi penerus jejak. Tapi Nala menolak, dan bilang dia mau jadi dokter, "Aku mau kayak kak Yuna," ucapnya ketika itu.

Sejak tinggal bersama, Nala selalu memberitahukan jadwalnya pada kakaknya. Dia juga selalu izin kalau akan pulang terlambat atau tidak pulang karena harus jaga malam di rumah sakit, seperti hari ini. Rumah kosong memang jadi satu-satunya waktu Yuna bisa memasak. Batasan yang sebenarnya menyusahkan, tapi dia buat sendiri, dalam keadaan sadar, dengan hati penuh dendam.

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya malam ini sudah terbeli dan perempuan itu sekarang sedang berdiri di lorong berisi banyak kemasan kopi instan, membuatnya langsung teringat kalau dia belum jadi mengirim pesan pada Jabraan untuk berterima kasih atas kopi yang diberikan. Perempuan itu meraih ponselnya, sempat ragu saat menyusun kata-kata, meski akhirnya jarinya sampai juga pada tombol kirim.

Jabraan, this is Masayu

Saya dapat nomor kamu dari Shaqila, hope you don't mind. Saya cuma mau bilang terima kasih untuk kopinya. Sorry nggak sempat bilang secara langsung tadi pagi.

Selang tiga menit setelah pesan itu terkirim, ponsel Yuna tiba-tiba berdering.

"Halo?" Yuna mengangkat panggilan.

"Sama-sama, Masayu. Thought you didn't see me."

"Apa mungkin laki-laki segede kamu nggak kelihatan waktu masuk ke ruangan yang ukurannya 4X4 doang?"

"Ya kamu kan sibuk ngomong sama laptop-sama orang yang di laptop-sorry, sama lawan bicara kamu di-okay, kamu paham lah maksud saya ...."

Yuna terkekeh kecil sambil mendorong trolinya perlahan.

"Did you just laugh at me?"

"I did."

"Oke, saya malu."

"Lucu aja dengerin kamu belepotan."

"Coba deh, gimana jadinya kalau kamu tahu-tahu punya kesempatan ngobrol di telepon sama orang yang beberapa hari belakangan wara-wiri di pikiran kamu. Hebat kalau bisa nggak belepotan ngomongnya."

"Oh, wow."

"Oh, wow?"

"Jadi ini definisi fun-nya Shaqila."

"Sorry?" Jabraan tidak yakin akan kalimat yang barusan Yuna ucapkan.

"Nope, nothing."

"Kamu lagi di mana? Kayaknya di tempat ramai, ya?"

"Iya."

"Nggak ganggu, kan?"

"Well, saya seharusnya bisa ambil dan pilih barang belanjaan lebih cepat dari sekarang, sih."

"Yah, sorry ya, Masayu ...."

"Don't be, it's nice talking to you."

Perkataan Yuna barusan membuat Jabraan tersenyum lebar dan reflek mengepalkan tangannya. Untung saja ini panggilan tanpa video, jadi Yuna tidak bisa lihat betapa salah tingkahnya Jabraan saat ini.

"Kalau gitu, kita ketemuan aja gimana? Kamu malam ini ada waktu?" tanya Jabraan sok tenang meski jantungnya sekarang berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Maaf, saya udah ada plan malam ini."

Yuna tidak akan membuang kesempatan me time-nya malam ini begitu saja. Siang tadi, saat makan dengan Shaqila, Yuna memang sempat berpikir untuk mencoba lebih terbuka, toh Shaqila bilang tidak masalah kalau akhirnya tidak lanjut kemana-mana. Tapi kalau dipikir-pikir, buat apa memulai sesuatu yang sudah pasti tidak akan berlanjut kemana-mana?

Sedikit dilema memang, karena tak bisa dipungkiri Jabraan begitu menarik. Sebagian besar orang pasti setuju. Namun, mungkin justru karena itu Yuna juga ragu-ragu.

"Hmm, kalau besok? Lunch? After office?"

"Besok saya juga packed, sampai malam."

"Ya udah, deh, kamu bisanya kapan? Saya ikut waktu kamu aja."

Selain menarik, Jabraan rupanya juga persisten. Artinya, Yuna juga harus lebih lihai untuk menghindar.

"Kasihan dong, ya, anak buah kamu kalau atasannya bisa seenaknya ikutin jadwal orang?" canda Yuna.

"Well, I have my perks."

"Clearly."

"Rarely used it tho, only for special occasions."

"Should I believe you?"

"Seberapa percaya diri kamu buat buktiin tuduhan kamu?"

"Tuduhan kalau kata-kata kamu barusan itu bulshit?"

"Yes."

"Well ...." Yuna tertawa pelan. Shaqila was right. Jabraan is kinda fun. But now is not the time, Masayu! Yuna mengingatkan dirinya sekali lagi.

"I like hearing your small laugh," ucap Jabraan di sela senyumannya. "Manis banget. Can't wait to hear the big one."

"Why so sure?"

"Why so dubious?"

Lagi-lagi, Yuna tertawa. Mungkin ini yang paling banyak dalam beberapa waktu terakhir. Laki-laki itu bahaya untuk logikanya yang sekarang sedang berusaha keras meyakinkan hati untuk menghindar.

"See, optimism is the key." Jabraan berlagak jago. "So? Habis ini kamu mau, kan, cek schedule kamu dan selipin jadwal ketemu saya? Selipin di mana aja dan kapan aja boleh. I'll be ready."

______


Hellloooo! Siapa yang udah baca sadewo series yang lain? Jadi, cerita Jabraan ini nih cerita ketiga dari series ini. Satu universe gitu lah konsepnya. Tapiii, untuk baca satu cerita nggak harus namatin cerita lain dulu, kepisah kok kisahnya. Cuma kalo ada yang penasaran sama nama sepupu-sepupu Jabraan yang disebut di sini, bisa cek cerita kita yang lain. Sejauh ini yang udah tamat adalah ceritanya Chrissia Sadewo yang judulnya Not A Bad Thing sama ceritanya Jaden Sadewo yang judulnya Until Kingdom Come. Jabraan tuh termasuk sepupu yang sering jadi cameo di dua cerita ini~ hihi.

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 737K 62
Riona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah peny...
13.8M 981K 60
Dijodohkan dengan duda anak satu adalah hal yang jauh dari ekspetasi Rania. Dengan paksaan orang tua, dia harus menerima perjodohan ini dengan pria k...
863K 31.8K 23
Aku tidak tahu apakah kamu menyadari rasaku, tapi yang terpenting bagiku adalah aku menyadari bahwa rasaku terhadapmu tidak main-main dan rasa ingin...
6.9M 325K 48
"Mas, hari ini aku diajak jalan sama temen cowok. Menurut Mas, aku harus pergi gak?" "Kenapa harus tanya saya? Kalau mau kencan, silahkan." "Gak iku...