Tricky House šŸŽ² joonghwa [ā¹]

Av ichinisan1-3

24.6K 2.5K 4.7K

Bukan salah Hongjoong jika ia membawa Seonghwa ke tempat yang tidak pernah Seonghwa bayangkan akan ia lihat d... Mer

Pekerjaan
Maze runner?
Strictland
Dystopia
Order
Black Hwa
Gamblauction
Battlefield
Dice Grotto
Dolorous
Brave
Horizon Gulf
Femme Fatale
Lethal Fury
Desire Treasure
Uriman pueblo
Snatch away
Planet Hollywood
S U S
Pregunta
Zhushi Clan
Respuesta
Elenco
Escritora
Show time
Insight
Paralel
Justice
Feast
House of tricky
The last chapter
Jackpot Wonderland
Rolling Dice Diner
Grand Hazard
Epilogue
šŸ§‹šŸ§ƒšŸ¹šŸ§šŸØ

Hyperemesis gravidarum

439 33 80
Av ichinisan1-3

Sekuel ini beda genre ama sekuel yg kemaren :D 

Yeosang dan Jongho menepis jauh-jauh istilah dimana Senin adalah hari terburuk di dalam satu minggu.

Karena buktinya, ini adalah Senin paling indah dan membahagiakan ketika keduanya baru saja mendapatkan kabar gembira. Yang membuat mereka berbicara tentang bagaimana kehidupan akan berubah, tentang adik untuk Jinsik, dan berbagai rencana indah untuk masa depan.

Beberapa minggu kemudian, Yeosang mulai merasakan morning sickness cukup intens. Dia mencoba berbagai cara untuk meredakannya, tapi itu terasa lebih parah daripada kehamilan sebelumnya. Dia tetap tegar dan berusaha menjalani kehidupan sehari-hari sebaik mungkin, tapi saat masuk trimester kedua, perasaan mualnya masih belum mereda.

Yeosang merasa lemah dan terdehidrasi. Dia mencoba makan sedikit demi sedikit, tapi mualnya membuatnya sulit untuk mempertahankan makanan dalam tubuhnya. Ia berusaha untuk menyelesaikan kue ulang tahun yang sudah dibuat untuk Jinsik, tapi setiap kali mencoba, dirinya merasa mual hebat. Sehingga segala jenis aktivitas hariannya terganggu.

Pada suatu pagi, Yeosang merasa sangat lemas hingga akhirnya seluruh pandangannya gelap, kepala dan tubuhnya terasa ringan, dan ia pun tak sadarkan diri di dapur. Jongho yang sangat khawatir menemukannya dan segera membawanya ke rumah sakit.

Setelah menjalani pemeriksaan, Yeosang didiagnosis menderita hyperemesis gravidarum, sebuah kondisi serius selama kehamilan yang membutuhkan perawatan medis intensif. Jongho duduk di samping tempat tidur Yeosang dengan cemas, berjanji untuk selalu mendukung istrinya selama proses pemulihannya.

Dalam kamar inap, Yeosang duduk di tempat tidurnya dengan perasaan sedih karena tidak bisa merayakan ulang tahun Jinsik seperti yang dia rencanakan. Ia merasa bersalah pada putra sulungnya yang berusia satu tahun itu. Jongho yang duduk di sampingnya, mencoba menghiburnya.

“Puppy, Jinsik pasti tidak akan mengerti kalau hari ini ulang tahunnya. Kita bisa merayakannya nanti ketika kau sudah pulih dan diperbolehkan untuk pulang,” ujar Jongho dengan lembut dan berhati-hati, takut akan menyinggung Yeosang yang sedang sensitif. Dalam kondisi seperti ini bisa saja Yeosang merasa kalau kalimat Jongho dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pesta untuk Jinsik gagal diselenggarakan karena sakit Yeosang, yang tentu saja tidak mungkin Jongho seperti itu.

Dan ternyata Yeosang bisa menangkap dengan baik maksud suaminya. Jadi ia hanya mengangguk, tapi air matanya tidak bisa terbendung. Dia merasa sedih karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk bayinya. Namun Jongho tetap optimis dan berusaha membuat Yeosang tersenyum.

Tidak lama kemudian, keduanya mendapatkan kejutan dari perawat rumah sakit. Mereka diberi tahu bahwa karena keduanya berada di kamar VIP, mereka diizinkan untuk merayakan ulang tahun Jinsik di sana. Apalagi hyperemesis gravidarum tidak menular sama sekali. Jadi Jinsik bisa tetap menghabiskan banyak waktu bersama Yeosang dengan aman.

Yeosang tersenyum dengan haru, merasa sangat beruntung karena ternyata ia masih punya kesempatan untuk melaksanakan apa yang telah ia rencanakan dengan matang sebelumnya. Meskipun tidak bisa melakukannya dalam keadaan bugar, karena mau bagaimana lagi?

Mereka segera memulai perayaan tradisional ala Korea, dengan masing-masing sudah berpakaian hanbok. Jinsik diberi beberapa benda pilihan di atas sebuah meja kayu rendah; bola sepak, stetoskop, palu kayu, kartu remi, dan beberapa benda lainnya, masing-masing mewakili berbagai profesi yang mungkin dipilih bayi itu di masa depan. Jinsik dengan polos memilih kartu remi, dan kedua orang tuanya tersenyum karena pilihan putranya dipercayai sebagai pertanda baik.

Kue ulang tahun bermotif Olaf yang telah disiapkan Yeosang sebelumnya ketika masih di rumah, kini sudah terhidang di atas meja. Keduanya bernyanyi selamat ulang tahun lalu meniup lilin di atas kue. Meskipun berlatarkan suasana di rumah sakit, semangat perayaan tetap hangat dan penuh kasih sayang.

Yeosang merasa sangat bersyukur karena meskipun dalam situasi sulit, mereka masih bisa merayakan ulang tahun Jinsik dengan cara tradisional dan istimewa. Itu adalah momen yang akan mereka kenang selamanya. Karena tidak semua orang merayakan ulang tahun pertama bayinya di dalam kamar rumah sakit.

Keluarga Jongho memang secara kebetulan harus mengalami hal unik.

Selama Yeosang dirawat inap, Jinsik mulai mendamba kehadiran ibunya yang sangat dirindukan.

Setiap kali Jongho harus pergi ke rumah sakit dengan membawa Jinsik untuk merawat Yeosang, bayi itu menangis sedih. Dia tidak mengerti kenapa ibunya harus terpisah darinya, dan itu membuatnya merasa cemas.

Jongho dengan penuh kasih sayang merawat Jinsik di rumah, karena rumah sakit bukanlah lingkungan bagus untuk membesarkan anak terutama putranya masih bayi. Dia berusaha keras untuk menjaga suasana hati putranya tetap baik. Keduanya bermain bersama, membaca cerita, dan melakukan segala hal yang biasanya dilakukan Yeosang bersama Jinsik. Jongho merasa beruntung memiliki putra penyabar dan kuat.

Namun sosok kehadiran sang ibu sangat dirindukan Jinsik. Setiap kali Jongho datang membawa Jinsik ke rumah sakit, bocah itu senang melihat ibunya. Tapi ketika harus meninggalkannya lagi, tangisannya mengiris hati Jongho.

Jongho benar-benar merasa dilema karena dia ingin mendukung Yeosang yang sedang dirawat, tapi juga harus menjaga Jinsik yang merindukan ibunya. Dia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan cinta dan perhatian pada Jinsik, bahkan ketika Yeosang tidak bisa bersamanya.

Pria pemilik Jackpot Wonderland itu sempat merenung sejenak. Banyak orang di luaran sana yang menjalani hidup berkecukupan atau bahkan susah, tapi terlihat lebih bahagia karena diberikan kesehatan dan masih bisa berkumpul bersama keluarganya secara lengkap di dalam rumah yang hangat. Yeosang dan Jongho memiliki harta melimpah, tapi harus dihabiskan biaya rumah sakit Yeosang dan mereka harus hidup terpisah. Bukankah kehidupan begitu adil juga ironis?

Mereka menjadi keluarga yang lebih kuat melalui pengalaman ini, dan Jongho berjanji untuk selalu mendukung Yeosang dalam setiap tahap pemulihannya.

Meskipun sulit, keduanya tahu bahwa keluarga adalah prioritas utama, dan mereka akan melewati semua cobaan ini bersama-sama.

Cinta dan harapan memenuhi kamar Yeosang.

Dan di sini juga, Yeosang memandang putranya penuh kasih sayang. Cahaya lembut yang memasuki kamarnya, mengusung aura kehangatan dan ketenangan.

“Jinsik, kemarilah nak,” bisik Yeosang lembut, suaranya begitu merdu terdengar di telinga bayinya. Suara yang begitu didamba dan dirindukan untuk meninabobokannya.

Jinsik dengan mata besar terjejal rasa ingin tahu, mendekati tempat tidur sang ibu. Yeosang membimbing tangan mungil balitanya untuk menempatkannya perlahan di perut besarnya, yang kandungannya telah menginjak usia enam bulan. Semakin hari, tubuhnya semakin kurus. Hanya bagian perutnya saja yang tumbuh membesar. Mereka tidak bisa berbohong bahwa kondisi Yeosang kini semakin memprihatinkan. Hanya cairan intervena yang membantunya tetap bertahan hidup.

“Jinsik, this is your lil brother. Adik bayi ini akan menjadi temanmu yang baik.”

Meskipun masih balita, Jinsik merasa gelisah. Dia menyaksikan ibunya sudah lama—bahkan terlalu lama—berada di rumah sakit hingga terlihat semakin berbeda dan ia merasa kesal terhadap adiknya yang dianggap sebagai penyebabnya. Jadi reaksinya tidak sebagaimana yang diharapkan. “No!” bocah itu memprotes keras sambil memukul perut ibunya, menolak kehadiran adik bayi yang belum dilahirkan itu. Membuat Yeosang dan Jongho terkejut dengan reaksi Jinsik.

Dalam hati kecil Jinsik, ia juga merasa terancam dengan perubahan ini. Ia ingin mengusir adik bayi yang belum pernah ia lihat, dengan mengungkapkan ketidaksetujuannya itu.

Tapi sebagai ayah yang bijaksana, Jongho mengintervensi dengan lembut sekaligus tegas di saat bersamaan. Dengan tatapan penuh kasih sayang pada putra kecilnya, memberikan pengertian yang diperlukan, “Jinsik, kau tidak boleh melakukan itu pada adikmu,” ujarnya dengan otoritas yang disuarakan dengan intonasi tenang. “Adik bayi tidak tahu apa-apa, nak.”

Suara Jongho adalah suara seorang ayah yang akan memberikan pedoman dan perlindungan kepada anaknya. Ia berusaha menjelaskan pada Jinsik tentang pentingnya cinta dan kebaikan pada adik yang akan datang, meskipun situasinya sulit. “Kita harus bersama-sama menjaga adikmu,” tambahnya, mengusap punggung Jinsik. “Mama will be okay, dan adik bayi ini adalah bagian dari keluarga kita yang harus kita cintai.”

Meski dikatakan pelan, tapi kalimat itu seakan menggema di dalam kamar, menciptakan atmosfer penuh arti. Dalam kehangatan keluarga kecilnya, keduanya tahu bahwa cinta akan menjadi jembatan yang menghubungkan mereka semua, bahkan saat mereka berdua menanti kedatangan bayi yang akan memberikan sentuhan ajaib dalam hidupnya.

Jadi meskipun Jinsik awalnya merasa kesal, perlahan dia mulai memahami pesan yang disampaikan sang ayah dan mulai merasa lebih dekat dengan adik yang belum pernah ia lihat.

Ketika langit petang yang mendung terlihat melalui kaca jendela, Seonghwa dan Hongjoong datang menjenguk Yeosang yang saat itu telah menjalani perawatan selama dua bulan penuh.

Ruangan rumah sakit yang sepi terasa begitu sunyi ketika mereka memasukinya. Seonghwa sendiri yang tengah mengalami kehamilan yang sehat dan bahagia di usia kandungannya yang kedelapan untuk anak ketiga-nya kini, merasa seakan-akan memasuki dunia berbeda saat melihat kondisi Yeosang.

Keduanya menemukan Yeosang terbaring di ranjangnya, dengan tubuh sangat kurus. Hanya perutnya yang membesar, mengingatkan mereka bahwa dalam tubuh kecil itu, ada mahluk kecil yang berjuang untuk serta-merta bertahan hidup bersama ibunya. Seonghwa merasa tidak bisa membayangkan betapa sulitnya perjuangan yang sedang dialami sahabatnya.

Perasaan sedih mendalam melanda hati Seonghwa. Dia terharu dengan ketabahan Yeosang, dengan bagaimana dia masih bisa tersenyum meskipun melalui penderitaan luar biasa. Seonghwa yang mengalami kehamilan sehat, merasa bersalah dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.

Hongjoong berdiri di samping Seonghwa, memandang Yeosang dengan penuh kekhawatiran. Mereka berdua merasa begitu tak berdaya di depan perjuangan yang harus dihadapi teman seperjuangannya. Meskipun kata-kata tak mampu menggantikan rasa sakit yang dirasakan Yeosang, kehadiran mereka di sana adalah tanda bahwa keduanya peduli dan siap mendukung.

Dalam keheningan, Seonghwa dan Hongjoong hanya bisa termenung di samping Yeosang, berdoa dalam hati agar kekuatan dan keberanian bisa terus menyertai temannya.

Seonghwa lebih mendekat lagi pada Yeosang dan menyentuh lembut tangan temannya yang lemah. Sorot mata Seonghwa memancarkan kehangatan dan dukungan tulus. “Yeosang,” bisiknya lirih, “kau adalah pria paling kuat yang pernah kukenal. Semua yang kau lakukan untuk bayimu adalah bukti betapa besar cintamu sebagai seorang ibu. Kami di sini, untukmu, untuk malaikat kecilmu. We believe you can get through this.”

Yeosang tersenyum lemah, tangis tersembunyi di balik mata. Dia merasa terharu dengan kata-kata Seonghwa, dengan kepedulian dan dukungan yang dia dapatkan dari temannya.

Hongjoong mendekati Jongho, merasa perlu untuk mengetahui bagaimana Jinsik menghadapi situasi ini. “Jongho,” panggilnya khawatir, “bagaimana Jinsik? Bagaimana dia menghadapi situasi ini tanpa Yeosang selama dua bulan di rumah?”

Jongho merenung sejenak sebelum menjawab hati-hati, “Jinsik memang merasa sedih dan rindu pada ibunya, Joong. Dia sering bertanya tentang Yeosang dan kapan mereka bisa bersama lagi, tapi kami mencoba memberinya perhatian dan kasih sayang sebanyak yang kami bisa. Dia adalah anak yang kuat, dan kami yakin dia akan melaluinya dengan baik.”

Hongjoong mengangguk, merasa lega mendengar bahwa Jinsik masih dalam perhatian yang baik di rumah. Namun kekhawatirannya atas teman-temannya tidak pernah surut.

Dia tahu bahwa perjuangan mereka masih panjang.

Setelah perjalanan panjang sejak pertama Yeosang dirawat pada usia kandungan empat bulan sampai saat usia kandungannya mencapai tujuh bulan sekarang, tim medis meyakini bahwa mereka harus melakukan c-section darurat untuk menyelamatkan nyawa Yeosang.

Dalam kamar yang tenang, ketegangan terasa menggantung di udara. Minkyung; dokter Yeosang, menatap Yeosang penuh perhatian. Dia mengerti betapa beratnya keputusan yang harus dibuat ibu muda di hadapannya ini, dan dia tahu kata-katanya harus disampaikan dengan hati-hati.

“Yeosang, setelah mempertimbangkan situasimu, kami merekomendasikanmu untuk melakukan operasi caesar segera,” ungkapnya lembut dan perhatian, mencoba memberikan penjelasan yang diperlukan. Wanita ini juga yang sebelumnya telah menangani kegiatan check up rutin bulanan Yeosang untuk kehamilan pertamanya, dan juga untuk kelahiran Jinsik. Yeosang sudah mengenal dan mempercayainya sebagai seorang teman.

Namun dengan pandangan ketidakpastian, Yeosang mengungkapkan keinginannya, “Tapi dokter, aku ingin menjalani kehamilan ini dengan sempurna sampai sembilan bulan dan melahirkan secara normal seperti saat melahirkan Jinsik dulu.” suaranya terpapar ragu. Ia merasa sedih dan kecewa karena situasi ini. Dia menginginkan pengalaman kehamilan yang normal-normal saja, meski kenyataannya dirinya harus mengalami sebuah kelainan tak terelakkan.

Dengan kebijaksanaan yang dimilikinya, Minkyung mencoba memberikan pemahaman tentang situasi krtitis ini, “I know how you feel, Yeosang,” ucapnya pelan, terdengar memberikan dukungan. “Tapi kondisi hyperemesis gravidarum-mu sangat parah. Semakin lama kita menunda, maka akan semakin buruk kondisimu. C-section dalam waktu dekat adalah pilihan terbaik untuk keselamatanmu dan bayimu.”

Minkyung tahu bahwa ada banyak emosi yang terlibat dalam keputusan ini, jadi ia mencoba menjelaskan lagi lebih spesifik atas pentingnya tindakan ini untuk mengakhiri penderitaan Yeosang dan mengamankan kesehatan dan keselamatannya.

Dengan tatapan kelam, Yeosang mencerna kata-kata Minkyung dengan berat hati. Ini adalah keputusan sulit yang akan menginfluens masa depannya dan bayinya.

“Ini adalah keputusan sulit, dokter.” intonasinya dipenuhi kebingungan. “But I just want the best for my baby.” Ia mengelus perut bulatnya dengan penuh ikhtiati, takut akan menyakiti mahluk rapuh yang telah berbulan-bulan ia lindungi di dalamnya dengan penuh perjuangan selagi melawan penyakit.

Beratnya tanggung jawab dan ketidakpastian akan masa depan mengisi kamar yang sunyi, menciptakan momen membebani hati keduanya. Dalam perjalanan ini, mereka tahu bahwa satu-satunya yang mereka inginkan adalah kesejahteraan bagi sang bayi.

Minkyung dan tim medis memberikan dukungan pada Yeosang saat pria itu dengan berat hati akhirnya memutuskan untuk melanjutkan dengan c-section, demi menjaga keselamatannya dan bayinya.

Bayi laki-laki mereka yang diberi nama Hunter, telah dilahirkan dengan selamat.

Tubuhnya sangat kecil dan kurus, dengan berat badan satu kilogram. Di satu sisi Yeosang merasa lega bisa bertemu dengan putra bungsunya, tapi di sisi lain melihat kondisi bayinya, ia merasa sakit.

Setelah kelahiran Hunter, Yeosang akhirnya sembuh dari hyperemesis gravidarum yang telah menghantui kehamilannya selama ini. Jadi sebenarnya Yeosang bisa lebih cepat sembuh dari penyakitnya jika saja ia bersedia untuk menggugurkan kandungan sejak awal, yang tentu saja ia tidak akan pernah melakukannya. Dan karena sekarang ia sudah sembuh, inilah kesempatan bagus baginya untuk melakukan perbaikan gizi yang sebelumnya tersedot entah ke mana.

Namun bahkan setelah ia berhasil mengantarkan Hunter ke dunia sekalipun, Yeosang dan Jongho segera mendapati kenyataan bahwa Hunter menghadapi masalah jantung serius akibat kurangnya asupan nutrisi selama kehamilan Yeosang. Penyakitnya sebelumnya membuat Yeosang harus memuntahkan kembali semua makanan yang dikonsumsinya, tidak peduli sebanyak dan sesehat apa pun makanan yang disediakan rumah sakit. Kabar ini adalah pukulan bagi Yeosang dan Jongho.

Minkyung menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa Hunter adalah dengan transplantasi jantung. Jika tidak, maka paling sebentar bayi itu hanya akan bisa bertahan selama kurang lebih tiga minggu, dan paling lama pun hanya dalam jangka waktu satu bulan. Sedangkan mencari donor jantung bayi yang sesuai bisa menjadi tugas terlalu sulit dan mendesak. Yeosang merasa terpukul dan tidak tahu harus mulai dari mana.

Mereka mulai mencari donor, berharap ada seseorang yang bersedia memberikan organ yang begitu berharga ini untuk menyelamatkan nyawa anak Yeosang dan Jongho. Takdir kejam menjadi titik balik dalam kehidupan keduanya, dan mereka berdoa agar ada cahaya di ujung terowongan penuh tantangan ini.

Yeosang dan Jongho duduk berdampingan di ruang NICU yang penuh ketegangan, wajah keduanya selalu menunjukkan raut kekhawatiran mendalam semenjak mendengar kabar menyayat hati tentang bayinya sendiri. Rasa cemas dan takut telah mengambil tempat di hati mereka. Keduanya tidak bisa menjalani hari dengan tenang, dan terus memikirkan keberlangsungan hidup bayi kecilnya. Kira-kira kapan takdir dan waktu akan merenggut malaikat kecil itu dari mereka.

“Jongho, bagaimana kita bisa menemukan donor jantung untuk Hunter? Bagaimana kalau kita tidak akan pernah mendapatkannya?” Suara Yeosang terdengar bergetar, seperti tubuhnya. Penuh emosi, tapi ia tidak mau menangis lagi. Ia sudah terlalu kelelahan dengan itu semua.

Jongho menggenggam tangan Yeosang erat-erat, mengusapi punggung tangannya. Seakan ia sendiri tidak mengkhawatirkan itu sama sekali. Padahal dia bisa merasakan kecemasan yang sama, namun ia juga mengerti bahwa mereka harus tetap kuat. “We’ll find the way, flower,” jawab Jongho yakin. “Kita akan melakukan segala yang kita bisa untuk menyelamatkan Hunter.”

Keduanya mulai ikut mencari informasi tentang donor jantung bayi, karena mereka tidak bisa jika hanya duduk diam menunggu kedatangan pertolongan yang tidak pasti.

Saat itu, Minkyung datang dengan membawa informasi, “Kami masih berada dalam proses pencarian,” ungkapnya hati-hati. “Ini akan menjadi perjalanan berat, tapi kita harus tetap optimis.” Ia berusaha meyakinkan pasangan di hadapannya.

Yeosang dan Jongho saling memandang, tekad yang sama melintas di mata keduanya.

Yeosang mengulas senyum lemah. “Terima kasih dokter,” ucap Yeosang tulus. “Kami siap melakukan apa pun untuk Hunter.” Lalu ia memalingkan perhatiannya pada Hunter yang terbaring tak berdaya di dalam inkubator. “You’re our lil warrior, pumpkin.” Kelembutan suaranya mencapai telinga bayi mungil yang sedang berjuang di antara ambang batas waktu. “Kami berjanji, akan mendapatkan jantung yang sempurna untukmu. Dan kita bisa hidup bersama-sama.”

Yeosang menggenggam tangan bayinya penuh cinta. Ia tidak bisa terlalu sering melakukan skinship dengan bayinya sendiri, karena Hunter harus selalu diinkubasi. Tubuh rapuhnya ditempeli banyak alat rumah sakit, pemandangan menyayat hati bagi kedua orang tuanya.

“Papa dan mama selalu ada untukmu nak.” Setengah berbisik, Jongho menyambung kalimat Yeosang. “Kau harus tetap kuat, seperti kami.”

Tekad dan kasih sayang keduanya sebagai orang tua bersinar terang, menggambarkan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan berat.

Dalam momen yang sarat emosi, Jongho akan mengenalkan putra sulungnya pada adiknya.

Cahaya lembut menyinari kamar perawatan sang bayi, menciptakan nuansa ketenangan dalam ketidakpastian melingkupi keluarga kecilnya.

“Jinsik, ini adikmu, Hunter,” ucap Jongho lembut, mencoba merangkulnya dalam momen bermakna. “Dia baru lahir dan membutuhkan banyak perawatan, jadi kita harus menyayanginya.”

Jinsik melihat ke arah Hunter yang terkulai dengan beragam peralatan medis di sekitarnya. Dalam kecilnya hati seorang anak, dia merasa bingung. Dan reaksinya tak sebagaimana yang diharapkan.

“Mau pulang,” lirih Jinsik, menyatakan ketidaksetujuan terhadap kehadiran adik yang belum dikenalnya. Entah bagaimana ketika melihat secara langsung wujud adik bayinya yang mengerikan dan tidak ada lucu-lucunya sama sekali, perasaan benci di hatinya muncul kembali. Pantas saja ibunya sampai harus tidur di rumah sakit dan meninggalkannya sangat lama, kalau sumber penyakitnya sangat menyeramkan begini.

Yeosang yang penuh kasih, meraih tangan mungil Jinsik. “Dear, meet your baby brother,” ujarnya pelan, ingin putranya merasakan kerja sama dan kasih sayang mendalam di keluarganya. “Hunter adalah bagian dari keluarga kita sekarang.” ia mencoba memberikan pemahaman pada putra kecilnya.

Jinsik menatap Hunter dengan ekspresi campuran antara penasaran dan ketakutan. “Bayi bikin mama sakit.” Ia mencoba menyampaikan perasaannya, mengekspresikan rasa sakit hatinya.

Sang ayah yang bijaksana mendekap Jinsik erat, mencoba menghilangkan keraguan dan ketakutan di hati putranya. “Mama memang sakit, tapi itu bukan salah Hunter,” jelasnya dengan intonasi tenang, menyampaikan bahwa adik bayi bukanlah penyebab dari kesulitan yang dialami ibunya. “Kita harus bersama-sama menjaga adik bayi.”

“Ayo dekati adikmu, Jinsik,” pinta Yeosang, mencoba membuka hati anaknya. “Hunter butuh cinta dan dukungan kita semua.”

Momen ini menciptakan jembatan kasih sayang, mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan perhatian penting dalam sebuah keluarga. Meskipun Jinsik mungkin belum sepenuhnya memahami, saat itulah dasar-dasar cinta dan persaudaraan mendalam diletakkan.

Lambat laun, Jinsik akhirnya setuju untuk mendekati Hunter dengan bantuan Jongho.

Walau masih penuh pertanyaan, dia perlahan mulai menerima kehadiran adik barunya dalam keluarga yang berjuang bersama dalam situasi sulit.

Dua minggu berlalu, Hunter masih berada di unit perawatan intensif bayi.

Yeosang, Jongho, dan teman-teman mereka, terus berharap dan berdoa untuk menemukan donor jantung yang sesuai untuk Hunter. Karena jika mereka masih tak kunjung mendapatkannya, maka waktu yang bayi itu miliki sekarang hanya tinggal satu minggu lagi.

Seonghwa yang tak kuasa menyaksikan semua ini turut menitikkan air mata, tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi Yeosang yang tak bisa makan enak dan tidur nyenyak karena mencemaskan masa depan Hunter.

Bagaimana jika Seeun; bayinya sendiri, yang mengalaminya? Pasti sangat sakit mengetahui anak yang kau cintai hanya memiliki waktu selama tujuh hari untuk bertahan hidup jika pertolongan benar-benar tak kunjung datang. Ia tidak tahu apakah ia akan sanggup untuk menghadapinya.

Sebagai rasa syukur, Seonghwa memeluk erat bayinya yang berusia dua bulan yang tertidur pulas di dalam dekapannya, membuat bayi itu menggeliat kecil merasakan aroma dan sentuhan sang ibu.

“Seandainya saja ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mereka ...”

Hongjoong mendengarkan kalimat Seonghwa, tapi ia juga sedikit melamun. Ia ingin sekali membantu Yeosang dan Jongho, tapi situasinya terasa seperti sesuatu yang tak terkendali.

“Ayolah Joong, kau punya segalanya. Biasanya kau selalu mendapatkan apa pun yang kau inginkan, bukan? Pasti ada jalan.” Seonghwa mendesak suaminya.

Selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan ...

Siapa kira-kira yang selalu mendapatkan apa yang diinginkan?

Yang selalu bisa melakukan apa yang ingin dilakukan?

Hongjoong berhenti berpikir saat sebuah ingatan merasuki otaknya.

“Ada.”

Seonghwa sempat terdiam sejenak, lalu menoleh. “What?” detik berikutnya ia melihat Hongjoong menelepon seseorang. Tidak perlu menunggu waktu lama, sambungan pun diterima.

“Ada apa, Hongjoong?”

“Shuhua.”

Donor jantung yang sesuai akhirnya telah didapatkan.

Secercah harapan menyelimuti keluarga kecil itu, meskipun keduanya juga tahu bahwa masih ada prosedur medis rumit yang harus dijalani.

Lampu di atas pintu ruang operasi menyala, tanda dari proses pembedahan telah dimulai. Yeosang dan Jongho hanya bisa terduduk di ruang tunggu, dengan cemas dan tegang menjadi satu. Sambil tak hentinya berharap dan berdoa selagi menunggu.

Sementara di tengah keheningan ruang bedah steril, terang, dan penuh dengan peralatan medis canggih, terbaring Hunter yang sedang tertidur dalam pengaruh anestesi. Yuju; seorang dokter ahli bedah thoraks berpengalaman, memimpin ekspedisi medis penuh arti.

Dengan pandangan tajam tak tergoyahkan, Yuju memandangi layar monitor ekg yang menampilkan denyut jantung Hunter. Semua persiapan telah rampung, dan kini saatnya untuk melibas medan perang tak kenal ampun. “Semua persiapan sudah selesai?” ia meyakinkan lagi.

Eunha selaku perawat, memberikan instruksi. “Semua tim siap, dokter.”

Yuju mengenakan sarung tangan steril, fokus pada tugasnya. “Baiklah, mari kita mulai.”

Dengan ketelitian luar biasa, Yuju memulai proses berpangkal pada tubuh sangat mungil ini. Ia perlahan membuka pintu gerbang menuju jantung yang rapuh, memotong kulit dan jaringan dengan tangan mahir. Setiap gerakannya merupakan sentuhan penuh kebijaksanaa dan ketepatan, menghormati kelemahan tubuh sangat kecil ini.

Yuju mengambil perlahan jantung donor yang telah disiapkan. “Ini saatnya, perhatikan tekanan darah dan denyut jantung, guys.”

Dalam beberapa saat, jantung kecil Hunter terlihat dan jantung donor ditempatkan dalam tubuhnya dengan sangat hati-hati dan teliti. Tim medis luar biasa ini bekerja bersama dengan harmoni sejati, menghubungkan pembuluh darah dan menjalin ikatan antara jantung baru dengan tubuh rapuh. Memastikan bahwa jantung donor terhubung dengan benar ke tubuh mungil Hunter.

Meski jantung Hunter begitu rentan, tim medis terlatih ini mengawasi setiap detakannya. Mereka dengan saksama memantau tekanan darah dan denyut jantung, memastikan stabilitas selama prosedur yang membutuhkan segala pengorbanan ini. “Denyut jantung semakin stabil, dokter,” lapor Eunha.

Yuju menghela napas lega. “Alright. Sekarang, kita tutup perlahan.”

Operasi berlanjut dengan penuh perhatian dan ketelitian.

Akhirnya, setelah berlalunya beberapa jam yang melelahkan, persembahan transplantasi jantung Hunter telah usai.

Yuju dan timnya menurunkan masker, melepaskan napas panjang penuh makna, dan tersenyum lega. “Operasi sukses. Semoga Hunter pulih dengan baik.”

Tim medis mengucapkan selamat sambil melepaskan peralatan medis. Mereka semua tahu bahwa ini adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang penyembuhan Hunter, dan mereka telah memberikan segalanya untuk menyelamatkan nyawa bayi prematur ini.

Dalam momen penuh arti, mereka bersama-sama mendoakan agar pembedahan ini membawa kehidupan baru dan kepulihan bagi sang bayi.

Lampu di atas pintu ruang bedah mati, Yeosang dan Jongho dengan spontan menoleh ke arah pintu penuh harap, menanti kabar yang ingin keduanya dengar. Membuat jantung mereka berdebar secara kurang ajar. Terutama saat Yuju muncul dan mendekati keduanya.

“Operasi transplantasi jantung berjalan lancar,” ungkap Yuju disertai senyum kelegaan, mencoba meredakan ketegangan di wajah pasangan muda yang berdiri di hadapannya. “Hunter dalam keadaan stabil dan sekarang dalam pemulihan.”

Betapa lega dan bahagia Yeosang dan Jongho mendapati kenyataan ini, hingga tak kuasa menahan air mata oleh emosi yang meluap dan tak hentinya mengucap rasa syukur. Keduanya telah menanti momen ini dengan begitu banyak kecemasan.

“Akhirnya, Hunter memiliki jantung yang baru,” ujar Yeosang dengan emosional.

Jongho mengangguk setuju, memeluk Yeosang. “Yes honey, this is a marvellous miracle. Hunter adalah pejuang yang luar biasa.”

Pascaoperasi, Hunter masih harus menjalani masa pemulihan intensif, tapi keluarga ini telah melewati begitu banyak cobaan bersama-sama, dan keduanya bertekad untuk mendukung putranya dalam setiap langkah perjalanan pemulihannya.

Kini Hunter memiliki kesempatan untuk tumbuh besar dengan baik, Yeosang dan Jongho merasa sangat bersyukur dan berterima kasih pada donor tak dikenal yang telah menyelamatkan nyawa bayinya. Keduanya merayakan kesuksesan operasi itu sebagai tanda keajaiban dan kekuatan cinta, juga kesatuan keluarganya.

Beberapa bulan berlalu, seperti kekhawatiran dalam proses pembedahan yang telah menjadi kisah lalu.

Minkyung menyemat senyum formal. “Kondisi kesehatan Hunter semakin membaik secara signifikan setiap harinya, dia telah melewati masa pemulihan dengan baik.”

“Terima kasih dokter, kami sangat tertolong atas segala bantuanmu dan tim medis lainnya,” ucap Jongho tulus.

“Akhirnya kita bisa pulang bersama sebagai keluarga.” Yeosang yang telah berhasil melakukan perbaikan gizi hingga kembali menjadi sebuah keindahan yang berseri, sudah bisa dengan bebas dan sepuasnya memeluk Hunter yang juga sudah tumbuh sampai berukuran seperti bayi pada normalnya.

Yeosang dan Jongho bersiap-siap untuk membawa Hunter pulang. Keduanya sangat bahagia dan lega setelah melewati banyak cobaan bersama. Jinsik juga semakin bisa menerima adiknya dengan hangat. Balita itu tersenyum ceria. “Aku senang adik bayi sudah sembuh dan lucu.”

Setelah lebih dari setengah tahun lamanya, akhirnya Yeosang akan kembali. Pulang, ke rumah dengan keluarga yang menanti dengan penuh kehangatan. Mereka pun meninggalkan rumah sakit, bersama-sama sebagai keluarga yang lebih kuat dan bersatu setelah perjalanan kehidupan penuh tantangan.

Beberapa waktu setelah dibawa Hunter pulang, beberapa wanita di lingkungan rumah Yeosang mulai membuat pembicaraan yang tidak perlu.

Yeonjung menggugat status Yeosang sebagai seorang ibu, “Kau tahu, kau bukan ibu sejati,” ungkapnya dengan nada hinaan, “Kau melahirkan lewat c-section,” sinisnya disertai tatapan nyinyir tiada tara.

Sohye hanya bisa menggelengkan kepala dan menatap Yeosang dari ujung kaki hingga ujung rambut seakan menilai jijik. “Ya, sungguh miris,” timpalnya mendukung omongan Yeonjung, “Aku selalu percaya bahwa melahirkan secara normal adalah yang terbaik.”

“Betul sekali. Mentang-mentang orang berduit, melahirkan saja sengaja disesar hanya supaya tidak usah merasakan sakit.” Mina menyetujui, meniupi kuku akriliknya santai.

“Ya kan? Kalau tidak sakit, di mana coba letak perjuangan yang bisa membuatmu layak disebut sebagai ibu sejati? Merasakan pengorbanan untuk anak sendiri saja tidak mau,” cibir Yoojung, mengibaskan rambut pendeknya.

“Besok-besok sekalian saja kau bayar babysitter untuk mengurus anak-anakmu sampai tumbuh besar, biar mereka tidak usah tahu kalau kau itu ibunya mereka sekalian,” final Yeonjung, semakin sinis.

Yeosang merasa marah dan sedih, padahal dia tidak pernah memilih untuk melahirkan dengan c-section. Ia jadi merenungkan tuduhan yang tidak adil ini.

Mereka tidak tahu bahwa ini adalah keputusan sulit yang kuambil untuk keselamatanku dan Hunter.

Ia mencoba untuk tetap menjaga ketenangan di tengah situasi tidak nyaman. Kalau saja luka hati bisa membekas secara konkrit dan terlihat jelas dengan mata kepala, ia pasti sudah melemparkan Slinky; ular yang ia gunakan untuk menghancurkan Joey King dari dalam, ke arah para wanita menyebalkan itu. Sayangnya ia tidak punya bukti, jadi ia tidak bisa menciptakan scene apa pun.

Jongho yang mendengar percakapan itu tentu saja merasa marah. Dia tak akan hanya tinggal diam seperti Yeosang yang anehnya tidak melawan, malah terlihat hanya pasrah-pasrah saja menerima seluruh tuduhan tak berdasar itu. Padahal biasanya juga perkataannya pedas dan menohok perasaan orang.

“I’m not sorry, para betina. Kami tidak memiliki pilihan lain, operasi caesar itu darurat,” balasnya dengan suara tegas, membuat wanita-wanita itu terkesiap atas panggilan yang Jongho sebutkan pada mereka.

“Yeosang adalah ibu yang sangat kuat dan mencintai anak-anak kami lebih dari apa pun. You bitches are no one to us, jadi jangan mencoba menghakimi tanpa tahu fakta seluruhnya. Lagi pula apa ruginya bagi kalian kalau dia disesar? Beras miskin di rumah kalian berkurang? Dan apa untungnya bagi Yeosang kalau mengikuti perkataan kalian? Dia sudah dan akan selalu menjadi nyonya besar, dan kalian pun akan tetap menjadi rakyat jelata yang tidak mengalami kemajuan kehidupan.”

Mereka semakin geram dengan kalimat balasan Jongho yang menghujaninya bertubi-tubi. Mereka belum tahu saja kalau seseorang menyerang Yeosang satu kali, maka Jongho akan membalas seribu kali.

Itu baru secara verbal, belum secara fisik.

“Kenapa? Kalau pada kenyataannya ternyata kalian semua iri, bilang saja. Kalian juga kan bisa disesar kalau tidak mau sakit—oops, kalian kan tidak punya biaya ya? Pantas saja hanya bisa menyembunyikan gigit jari di balik topeng dengki.”

Mereka suda dibuat terlalu kesal, hingga tidak tahu harus mengatakan apa untuk membalas.

“Makanya kalau tidak mau sakit tidak usah sok-sok-an menikah dan berkembang biak. Kan kasihan anak-anak kalian harus menanggung malu akibat memiliki ibu seperti kalian—eh, aku bahkan mempertanyakan apakah orang-orang semacam kalian justru layak disebut sebagai ibu?” Ia melingkarkan lengan kekarnya di pinggang Yeosang, mengajaknya pergi. “Ayo sayang, lama-lama bisa kena cacar kita menghirup udara kotor yang tercemar mereka.”

Keduanya pun pergi, meninggalkan para wanita yang mengomel dan mencak-mencak tidak terima.

Hingga mereka berdua sudah pergi jauh, tapi Yeosang masih tetap menunjukkan raut murung.

“Yeosang, ingatlah, kita memiliki banyak hal yang berharga dalam hidup kita, termasuk Jinsik dan Hunter. Dan kita juga punya Jackpot Wonderland yang akan menjadi tempat sempurna untuk membuat kenangan bersama keluarga kita.”

Percuma, Yeosang masih terpengaruh beberapa komentar menyakitkan tadi. Karena demi apa pun, perkataan para wanita itu sangat menusuk. “Tapi Jongho, kata-kata mereka menyakitkan. Padahal kenyataannya aku hanya ingin yang terbaik untuk Hunter.”

Jongho menggenggam tangan Yeosang, mencoba meyakinkannya kembali, “I know, flower. And you are an impressive mother. Tidak ada yang bisa mengukur kecintaan dan pengorbanan yang kau berikan pada keluarga kita. Dan lihat, kita memiliki sumber daya untuk memberikan yang terbaik untuk Hunter, termasuk akses ke perawatan medis terbaik.”

Jongho terus berusaha mengangkat semangat Yeosang dan mengingatkannya akan semua hal berharga yang mereka miliki. Yang akhirnya berhasil membuat Yeosang tersenyum.

Ya, Yeosang membutuhkan itu.

Dalam ruang konsultasi yang tenang, Yeosang dan Jongho duduk tegang.

Keduanya mengungkapkan pertanyaan yang selalu ada dalam benak.

“Dokter, kami ingin tahu siapa malaikat penolong yang telah bersedia mendonorkan jantung bayinya pada Hunter,” pinta Yeosang dengan nada suara penasaran.

Minkyung dengan sikap hormat dan penuh pertimbangan, mengukir senyum lembut. Dia yakin bahwa momen ini adalah saat penting bagi pasangan muda di hadapannya. “Jantung yang diterima Hunter berasal dari bayi baru lahir bernama Dohyon, seorang penderita kelainan metabolik.”

“Dohyon?” tanggap Jongho.

Dokter itu mengangguk singkat. “Kehidupannya divonis hanya bertahan selama beberapa hari, karena sudah tak terselamatkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Di luar masalah metabolismenya, jantungnya baik-baik saja. Jadi orang tua Dohyon memutuskan untuk mendonorkan jantung bayinya jika bayi mereka itu meninggal.”

Yeosang tertegun mendengarnya, itu adalah sepenggal kisah mengharukan. “Kami tidak tahu bagaimana harus menyatakan rasa terima kasih kami pada keluarga Dohyon.”

Minkyung mengangguk, memahami perasaan mereka. “Orang tua Dohyon dengan sukarela mendonorkan jantung bayinya untuk membantu Hunter. Keduanya ingin kematian Dohyon memiliki makna mendalam dengan menyelamatkan kehidupan lain, karena mereka sendiri merasakan seperti apa sakitnya kehilangan anak. Jadi keduanya tidak mau kalau ada lebih banyak orang tua yang  harus merasakan sakit seperti mereka.” Ia memberikan sedikit insight tentang perasaan ayah ibu pendonor.

Jadi sebelumnya saat Hongjoong meminta bantuan Shuhua, hacker Zhushi clan itu membuat Allen selaku sang ketua menggerakkan sumber daya mafia besar Chinatown-nya untuk membantu.

Namun yang mengejutkan semua orang adalah bahwa mereka tidak mencari jantung secara ilegal dari black market atau sindikat gelap lainnya. Sebaliknya, mereka mencari informasi dengan cara bersih tentang siapa yang secara jelas akan mendonorkan jantung bayi mereka. Zhushi clan tidak segelap yang kau kira.

Dan akhirnya, berkat upaya Zhushi clan, mereka menemukan keluarga Dohyon. Hingga akhirnya Hunter memiliki harapan untuk hidup, dan Yeosang dan Jongho tidak perlu lagi merasakan keputusasaan mendalam.

Namun seiring dengan kelegaan, ada juga rasa haru campur aduk di hati Seonghwa yang mendengarnya.

Karena di balik berita ini, tentu saja ada juga kehilangan yang dialami ayah dan ibu Dohyon.

Jongho dan Yeosang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Seungyoun dan Hangyul; ayah dan ibu Dohyon, di rumah orang tua pendonor itu.

Kedua orang tua Dohyon ternyata adalah teman dekat Yohan, sepupu Yeosang yang merawat Yeosang saat masa penyembuhan geger otak di Las Vegas beberapa tahun lalu. Entah bagaimana caranya Zhushi clan bisa menemukan mereka.

Mudah saja; dunia memang sesempit itu.

“Kami sangat bersyukur bahwa jantung Dohyon dapat membantu Hunter,” ujar Seungyoun tulus. “Kami ingin kepergian anak kami memiliki dampak positif di dunia ini.”

Yeosang dan Jongho mendengarkan dengan rasa hormat mendalam.

“Terima kasih, Seungyoun, Hangyul,” ucap Yeosang dengan nada tulus serupa. “Tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami.”

Hangyul mengukir senyum lega, ikut bahagia melihat kesehatan bayi laki-laki yang berada di pangkuan Yeosang. “Dohyon kami akan senang bahwa jantungnya dapat memberikan kehidupan baru pada Hunter. Semoga Hunter bisa tumbuh menjadi anak yang kuat dan bahagia.”

Mereka saling menghormati perasaan masing-masing dan merasakan kebaikan mengalir di antara dua keluarga yang terhubung tindakan belas kasih tak terhingga, untuk masa depan lebih baik.

“Kalau diperkenankan, kami ingin memberikan penghormatan pada nak Dohyon secara langsung.” Yeosang meminta izin. “Kami ingin mendoakannya di pemakaman dan berterima kasih padanya atas pengorbanan yang sangat berarti,” ucapnya dengan penuh kerendahan hati.

Hangyul tersentuh, dengan hangat menjawab, “Kami sangat menghargai keinginan kalian, jadi kami akan membawa kalian ke pemakaman Dohyon. Ia pasti akan senang mengetahui bahwa jantungnya sudah berhasil membantu menyelamatkan nyawa Hunter.”

Berlatarkan lembayung indah di langit senja yang tenang, mereka berdiri mengelilingi sebuah pusara yang kini menjadi tempat peristirahatan abadi bagi bayi yang begitu berharga.

Pusara itu terletak di antara pepohonan teduh, membuat mereka merasakan hadirnya keagungan yang tenang di sekitar pemakaman.

Bahkan Jinsik yang ikut bersama mereka, turut terdiam menyaksikan kuburan baru di depannya.

“Mari kita berdoa,” ujar Jongho penuh penghormatan, setelah Yeosang meletakkan buket bunga di pusara.

Mereka merapatkan diri, dan Jongho mengambil posisi di tengah-tengah mereka.

“Heavenly Father, kami datang ke hadapan-Mu pada hari ini dengan hati yang penuh rasa syukur atas anugerah yang telah kami terima.” Dengan keheningan menghiasi tempat pemakaman, Jongho memulai doanya, dengan penghormatan dan ketulusan dalam hatinya. “Kami bersyukur atas kebaikan Seungyoun dan Hangyul yang telah memutuskan untuk menyumbangkan jantung Dohyon untuk Hunter.”

Suara doa Jongho yang lirih terasa seakan menggema di antara pepohonan yang berbaris rapi, terbawa angin dan disampaikan ke seluruh penjuru taman pemakaman. Dia terus mengucap doa, mengungkapkan perasaan yang mendalam dalam doanya.

Jongho meminta berkat dan kedamaian bagi Dohyon, memohon agar bayi itu menemukan kedamaian abadi di sisi Tuhan. Tak lupa ia juga mendoakan Seungyoun dan Hangyul, memohon kekuatan dan kenyamanan dalam waktu-waktu yang sulit ini.

“Kami berterima kasih atas cinta dan belas kasih yang telah diberikan kepada kami melalui perantara Dohyon,” lanjut Jongho, “Semoga perbuatan tulus keluarganya memberikan inspirasi kepada kita semua untuk berbuat baik kepada sesama. Amin.”

Mereka mengakhiri doa dalam kedamaian, dan saat matahari terbenam sepenuhnya, mereka merasakan semangat dan kedekatan dalam hadirnya yang lebih tinggi. Mengenang Dohyon, mereka merasa terhubung dengan harapan dan pengorbanan.

“Dengan jantung Dohyon di tubuh Hunter, sekarang Dohyon hidup di dalamnya,” ujar Hangyul dengan makna. “Dia adalah bagian dari Hunter.”

Yeosang dan Jongho mengangguk, menyetujui statement itu.

“Kami ingin meminta sesuatu dari kalian.” Kata-kata Seungyoun seperti permohonan mendalam. “Tolong jaga kehidupan Hunter dengan baik. Jangan pernah menyia-nyiakan apa yang telah diberikan Dohyon padanya.”

“Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab Yeosang dengan kerendahan hati. “Kami akan menjaga Hunter dengan penuh kasih dan rasa peduli.”

“Hunter akan tumbuh menjadi anak yang luar biasa,” yakin Jongho, suaranya membawa janji. “Dan setiap langkahnya akan diinspirasi semangat Dohyon.”

“Ya? Ada apa, sayang?” tanya Yeosang pada Jinsik yang menarik-narik kain celananya.

Balita itu hanya menunjuk satu sosok mungil di atas pusara Dohyon yang seperti tertawa kecil padanya, mengajak bermain dan bercengkerama. Bahkan Hunter tertawa di pangkuan Yeosang, saat sosok itu mengajaknya tertawa.

Tapi keempat orang dewasa itu tidak melihat keberadaan siapa pun lagi selain mereka sendiri.

Jantung orang yang baru meninggal bisa didonorin

Ya masa mo pas masi idup sih -___- lu kira jantung davy jones

Next yungi mo kek gimana ceritanya? Komen di sini

Awas aja kaga ada yg ngasih ide, ga bakal kukasih sisen dua book ini

Ngancem wkwkwk

Makasih buat yg dah komen

Spam komen yg banyak dong, biar aku semangat buat lebih cepet lanjut :3

Ps. Visualisasi anak anak jongsang pas udah gedenya

Jinsik

.

Hunter

Shout out

happstor_y
🌶

saniegf
🥒

lulu-hunhun
🥕

Ceilaan
🍌

Fortsett Ć„ les

You'll Also Like

52.8K 6.5K 29
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
11.7K 1.1K 20
Kisah creepy yang di alami seorang siswa sma bernama Jung wooyoung. akan kah hanya mimpi belaka atau benar ada nya bahwa ia berada di dunia lain? ...
250K 24.1K 30
'SST.. My Boss, My EX-Boyfriend' versi Jaywon
1.2K 296 5
Ambar tumbuh besar dipanti asuhan. Menjadi yatim piatu memang sudah jadi takdirnya, tapi meneruskan kemalangan nasib itu pada anak-anaknya tidak pern...