Tricky House šŸŽ² joonghwa [ā¹]

By ichinisan1-3

24.6K 2.5K 4.7K

Bukan salah Hongjoong jika ia membawa Seonghwa ke tempat yang tidak pernah Seonghwa bayangkan akan ia lihat d... More

Pekerjaan
Maze runner?
Strictland
Dystopia
Order
Black Hwa
Gamblauction
Battlefield
Dice Grotto
Dolorous
Brave
Horizon Gulf
Femme Fatale
Lethal Fury
Desire Treasure
Uriman pueblo
Snatch away
Planet Hollywood
S U S
Pregunta
Zhushi Clan
Respuesta
Elenco
Escritora
Show time
Insight
Paralel
Justice
Feast
House of tricky
Jackpot Wonderland
Hyperemesis gravidarum
Rolling Dice Diner
Grand Hazard
Epilogue
šŸ§‹šŸ§ƒšŸ¹šŸ§šŸØ

The last chapter

542 49 106
By ichinisan1-3

Seonghwa tidak tahu apa yang terjadi. 

Semuanya terjadi begitu saja. Begitu cepat, seperti kilat jepretan kamera. Bukan sesuatu yang bisa kau kendalikan. Bukan sesuatu yang kau kehendaki.

Ketika membuka mata, tahu-tahu ia sudah terbaring lemah di dalam sebuah ruangan serba putih berbau obat-obatan. Rasanya sudah tiga tahun lamanya ia tidak terbaring di ranjang rumah sakit, semenjak terakhir kali merasakannya saat periode proses penyembuhan pasca operasi dislokasi tulang kaki. Saat itu Jessica yang sering menemaninya. Kali ini Hongjoong yang berada di sisinya.

“Kau sudah bangun bunny.”

Seonghwa mendapati telapak tangannya sedang digenggam sang suami, dengan perasaan cemas.

“Kau sudah makan? Maafkan aku, aku tidak bisa memasak makanan kesukaanmu. Seharusnya aku bisa membuatkan sesuatu yang istimewa sebagai reward karena kau telah bekerja keras,” lirih Seonghwa lemah, menatap sang lawan bicara dengan mata memayung sayu. Membuat yang menatapnya merasa teduh, sekaligus haru.

“Tidak apa-apa. Dengan semua hal yang kau lakukan di rumah dengan baik, aku sudah sangat berterima kasih padamu.”

“Finally now you’re home, hubby.”

“Iya sayang, aku sudah berada di sini bersamamu. Aku sudah pulang.”

“Glad to see you’re here with me.”

Hongjoong tentu menyadari kondisi buruk pada fisik Seonghwa, yang terlihat jelas.

Mata merah dan sembab. Memar di pipi. Tangan diperban. Lengan memar.

Bahkan Hongjoong juga tahu bahwa Seonghwa merasa sakit di bagian belakang kepala dan pinggul. Jangan lupa di dalam perut Seonghwa, yang menjadi alasan sesungguhnya ia bisa berada di rumah sakit ini.

Karena Hongjoong sudah mendengar semuanya dari para karyawan di rumah, tentang kenakalan sang putri.

Minju yang menumpahkan deterjen hingga termakan oleh Seonghwa.

Menumpahkan sampo dan sabun cair hingga Seonghwa terpeleset dan kepalanya membentur lantai.

Menyemprotkan saus pedas hingga masuk ke mata Seonghwa. Hingga bahu, lengan, dan pinggul pria itu menabrak lemari dan rak kecil, dan kakinya tersandung kaki meja hingga tubuhnya tersungkur ketika berlari ke dapur untuk membersihkan mata.

Menyemprotkan air dari selang hingga Seonghwa basah kuyup dan kedinginan.

Melempar mainan hingga memecahkan kaca dan melukai wajah dan telapak tangan Seonghwa.

Mengocok botol susu hingga mengotori rambut, wajah, dan baju Seonghwa.

Tentang semua itu, Hongjoong sudah tahu. Ia tidak bisa terus-terusan tenggelam dalam kecurigaan. Makanya ketika mendapati Seonghwa masuk rumah sakit, ia langsung mengumpulkan semua pekerja rumahnya dan meminta penjelasan atas kesaksian.

“Why am I here? I’m supposed to be in my room.” tanya Seonghwa. Hongjoong ikut merasa sakit melihat kondisi pasangan hidupnya yang kacau ini. Ada rasa penyesalan. Kalau saja ia tidak pergi, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Padahal dianya saja yang tidak tahu, bahwa Seonghwa merasa kewalahan mengurusi anaknya bukan hanya pada hari itu saja. Tapi setiap hari.

Hongjoong menyibak poni Seonghwa yang mulai memanjang, yang menutupi keningnya. “Aku mendengar laporan dari Jaemin, bahwa jus yang Minju tuangkan ke dalam appletini-mu ternyata sudah kadaluwarsa selama tiga bulan. Katanya Jaemin telat memeriksa tanggal kadaluwarsa pada seluruh makanan bermerk di lemari es. Jacob—kepala pelayan—pun lupa untuk mengingatkannya. Tapi untung saja sejak tiga bulan lalu tidak ada lagi yang meminum itu.”

Bahkan niat baik putrinya yang hanya ingin mengisi ulang minuman ibunya mengakibatkan bencana.

“Jangan khawatir, isi perutmu sudah dicuci hingga bersih. Seluruh racunnya sudah berhasil dikeluarkan. Kau tetap bisa makan makanan biasa dengan normal.”

“Kau tidak akan memotong gaji atau memecat Jaemin kan?”

Hongjoong menggeleng pelan. “Kau tidak akan membiarkanku untuk melakukannya kan? No need to fret, aku sudah memberinya kesempatan kedua. Tapi itu adalah kesempatan terakhir. Kalau ia melakukan kesalahan lagi, aku akan benar-benar memotong gajinya sebesar sembilan puluh persen selama tiga bulan berturut-turut. Dan aku ingin kau menyetujuinya. Aku sudah cukup bijaksana kan?”

Seonghwa terisak, Hongjoong menghapus air mata itu dengan lembut. Tidak ingin sentuhannya menyakiti pipi si kesayangan yang memar.

“Hongjoong, Minju itu …” Seonghwa menggantungkan kalimat.

“Anak nakal.” Hongjoong yang melanjutkan.

“Tidak, ia tidak nakal. Hanya butuh waktu, tapi entah sampai kapan.” Padahal kalau boleh berkata kasar, Seonghwa ingin sekali bilang bahwa anak itu adalah bocah iblis yang dikirim dari neraka. Bahkan kehadiran anak itu tidak pernah diharapkan. Anak itu terjadi karena sebuah kecelakaan. Dan begitu anak itu dinantikan kelahirannya pada akhirnya, makhluk yang tadinya disebut sebagai malaikat kecil itu seakan tidak lagi pantas menyandang panggilan mulia seperti itu.

Tapi tidak. Seonghwa adalah seseorang yang paling mengenal Minju lebih dari siapa pun. Ia mengenal anak itu seperti ia mengenal punggung tangannya sendiri.

Maka bagaimanapun, Kim Minju tetaplah malaikat kecil baginya. Dan ia akan selalu menyayanginya sepenuh hati, tidak peduli apa pun yang terjadi.

“Aku sudah tahu semua yang terjadi, aku mendengarnya dari para pekerja di rumah.”

“Benarkah? Tapi kau tidak memarahi Minju kan?”

“Tidak, aku tidak memarahinya. Hanya menegurnya sedikit.”

“Apa teguran itu membuatnya menangis?”

“Tidak, ia hanya menunduk. Aku tidak bohong sayang, aku tidak memarahinya.”

“Baiklah, aku percaya padamu.”

“Aku sangat salut padamu. Lihatlah dirimu. Anak itu hanyalah bocah berusia tiga tahun, tapi bisa membuatmu jadi begini. Padahal aku baru saja meninggalkan kalian selama sepuluh jam.”

Seonghwa melanjutkan isakannya.

“There, there, jangan menangis lagi sayang. Satu bulan dari sekarang, kita bertiga akan menghabiskan waktu bersama-sama. Peranku sebagai seorang ayah akan sangat berguna. Dan bulan depan aku tidak akan pergi ke mana pun. Kau yang akan ke Horizon Gulf untuk mengurusinya, dan aku yang akan merawat Minju di rumah. Sehingga aku bisa merasakan betapa besarnya perjuangan menjadi dirimu.” Ia mengecup punggung tangan Seonghwa yang lemas dan diperban itu, selama beberapa detik.

“Alright, nanti tolong jaga ia baik-baik. Dan tolong jangan buat ia menangis, ia sangat takut padamu.”

“Get it. Aku juga berpesan padamu, jangan terlalu baik pada Hyunsuk dan Heejin. Aku tahu kita memang menyukai keduanya. Tapi kalau mereka melakukan kesalahan, kau harus tetap menegur dan bersikap tegas pada mereka. Apalagi pada staf lain.”

Seonghwa mengangguk lemah.

Hongjoong membawa wajah keduanya mendekat, hingga bibirnya bertemu dengan bibir Seonghwa yang pucat pasi dan kering kerontang. Friksi antar kulit itu sedikit bergetar, terlebih ketika hidung keduanya saling beradu.

Begitu pagutan terlepas, ia membawa Seonghwa ke dalam sebuah dekapan hangat. Erat namun penuh perasaan di saat bersamaan agar tidak menyakitinya. Memang itulah yang dibutuhkan Seonghwa saat ini. Yang dipeluk, membalas sentuhan hangat itu. Membenamkan wajah di dada bidang Hongjoong, dan suaminya itu mengecup puncak kepala Seonghwa dengan lembut.

“Cepat sembuh sayang, Minju merindukanmu.”

“Minju tidak mau makan reuben! Minju mau makan sama venison!”

Anak itu berteriak, selagi berlari dari kejaran sang ibu.

“Tapi reuben ini pakai daging dari venison kesukaan Minju, rasanya sangat enak. C’mon girl, bet you love it. Just try it out.” Dan Seonghwa pun sudah kewalahan mengejar-ngejar putrinya yang begitu lincah menghindarinya. Pria itu mengejar sang putri sambil membawa sepiring reuben di tangannya, untung saja makanan lunak itu tidak hancur dibawa-bawa berlarian seperti itu.

Ia benar-benar lelah. Mansion-nya sangat besar. Bahkan terlalu besar.

“Tapi Minju tidak mau makan roti dan keju! Pokoknya Minju cuma mau makan venison bikinan mama! Bukan reuben bikinan Jaemin oppa!”

“Kalau Minju hanya makan venison terus itu tidak sehat sayang, lagi pula reuben ini juga mama yang buat,” dusta Seonghwa. Padahal yang memasaknya benar-benar Jaemin, karena ibu satu anak ini sedang malas gerak pergi ke dapur.

Seonghwa memasuki ruang mainan. Ruangan seluas 5x5 meter berisi banyak sekali mainan milik Minju tersimpan rapi pada beberapa lemari dan peti, ruangan di mana terakhir kali pria itu melihat balitanya memasukinya untuk terus menghindar.

Ia celingak-celinguk di dalam sana,  tidak melihat putrinya di spot mana pun.

Minju bersembunyi di balik pintu. Anak itu lalu melangkahkan kaki-kaki mungilnya keluar ruangan, dan sang ibu yang melihat itu langsung mengejarnya kembali. “Kim Minju—auw!”

Minju baru saja membanting pintu ruangan itu dari luar dan langsung menguncinya. Membuat wajah Seonghwa menabrak pintu, dan makanan yang ia pegang jatuh setelah lebih dulu mengotori pakaiannya.

Ia mengusap-usap dahinya yang sakit, “Sssh …” sambil meringis.

Untung saja lantainya dilapisi permadani, sehingga piring beling itu tidak pecah. Hanya saja makanan itu sekarang berceceran tidak karuan.

Ia lalu memunguti makanan yang mengotori karpet itu dan menatanya kembali ke piring. Bentuknya sudah tidak enak dipandang. Ia memunguti itu dengan perasaan sedih. Sedih karena ia tidak suka membuang-buang makanan. Waktu dulu ia hidup susah, hanya makanan sederhana pun akan dihabiskan hingga piringnya bersih, seakan benda itu sudah dicuci. Sekarang, ia sudah menghidangkan makanan enak untuk anaknya, dan anak itu malah menyia-nyiakannya begitu saja.

Dengan piring di tangan kanan, ia menggenggam daun pintu dengan tangan kiri. Mencoba untuk membukanya. Tapi gagal.

Ia terkunci di dalam.

“Kim Minju open the fucking door!” ia menggedor dengan barbar pintu tidak bersalah itu. “Siapa pun yang berada di luar tolong buka pintunya!”

Kebetulan Hongjoong yang sedang menuju perpustakaan rumah sedang berjalan di koridor yang akan membawanya ke ruangan di mana Seonghwa berada, namun ia belum menyadari teriakan Seonghwa.

Semakin dekat, ia mulai bisa mendengar sayup-sayup teriakan Seonghwa. Bersamaan dengan saat ia berpapasan dengan putrinya.

Minju terkesiap melihat sosok sang ayah, “Papa!” dan langsung berlari menjauhi.

Hongjoong memperhatikan kepergian putrinya yang terlihat mencurigakan, lalu melangkah cepat ke asal suara pintu yang digedor tanpa henti.

“Seonghwa!”

“Hongjoong!”

Seonghwa menyahut dengan teriakan dari balik pintu.

“Jadi kalau Minju punya adik, Minju akan punya teman bermain ketika mama tidak bisa menemani Minju untuk bermain.”

Sebenarnya ini baru rencana. Kenyataannya Seonghwa dan Hongjoong belum membuat adik untuk balitanya.

Seonghwa dan anak itu sedang berada di depan kamar sang anak. Ia menyejajarkan tubuh dengan tinggi badan putrinya, sedang membicarakan hal serius.

Lupakan masalah makan siang tadi. Minju memang kukuh untuk tidak memakan menu makan siang pilihan Seonghwa, tapi setidaknya Hongjoong berhasil membuat anak itu memakan quiche atas bujukannya, bahkan anak itu juga bisa memakan makan malamnya dengan baik tadi. Mungkin karena ada rasa takut yang lebih pada ayahnya. Kalau begitu setiap kali Minju susah makan, mudah saja. Tinggal serahkan pada Hongjoong, dijamin seratus satu persen akan berhasil.

“Tapi kan masih ada Theo, Keeho, Winter, dan Jisung, yang suka main sama Minju,” jawab balita itu. Winter dan Keeho adalah anak kembar Yunho dan Mingi, Jisung adalah adik si kembar.

“Itu kalau mereka berkunjung. Kalau tidak?”

“Minju tidak mau punya adik!”

“Park Seonghwa!”

Seonghwa menoleh, melihat Hongjoong berjalan menghampirinya dengan murka. Suaminya itu membawa selembar kertas di tangan.

“Can you explain this?” ia memperlihatkan selembar kertas berita acara dari perusahaannya yang dipenuhi coretan warna-warni krayon. Beruntung, Hongjoong hanya memperlihatkannya. Ia masih bisa menahan diri dari menghempaskan kasar kertas itu ke wajah Seonghwa.

Uh-oh, akhirnya ketahuan juga.

“Hongjoong, aku—”

“Kau membiarkan Minju menggambar di atas dokumen krusial perusahaan?”

“Tidak, bukan begitu, waktu itu—”

“Mengurus anak saja tidak becus! Istri macam apa kau?”

“Biar kujelaskan dulu—”

“Minju tidak mau adik! Minju tidak butuh mama! Hidup akan lebih baik kalau mama tidak ada! Aku membencimu Park Seonghwa!”

Untuk yang kedua kalinya hari ini, Minju membanting pintu dengan kasar di depan wajah Seonghwa. Membuat Seonghwa dan Hongjoong terkejut.

Hongjoong beralih menatap iba pada Seonghwa yang menunduk.

Ia jadi merasa bersalah.

Ternyata Seonghwa sedang memiliki masalah yang lain di sini.

Hidup akan lebih baik kalau mama tidak ada! Aku membencimu Park Seonghwa!

Aku membencimu Park Seonghwa!

Aku membencimu!

Membencimu!

Satu kalimat dari sang putri yang paling Seonghwa garis bawahi, yang terus bergema di dalam kepalanya seperti mantra penyihir jahat terkutuk.

Anak itu tidak membutuhkan sang ibu.

Hidupnya akan lebih baik kalau ibunya tidak ada.

Ia membenci Seonghwa.

Apakah karena ia hanyalah seorang bocah polos yang tidak mengerti apa-apa, ia tetap tidak akan menarik kembali kata-katanya yang menyakitkan Seonghwa meskipun ia tahu betapa besar perjuangan ibunya untuknya selama ini?

Park Seonghwa, nama yang Minju teriakkan sebagai seseorang yang ia benci, yaitu nama yang sama dengan seseorang yang selalu berada bersamanya sejak anak itu pertama kali diciptakan. Hingga saat ini.

Bagaimana jika anak itu diminta untuk mencoba hidup tanpa ada Seonghwa di sisinya lagi mulai sekarang? Apakah anak itu akan sanggup?

Perlahan, Seonghwa mengangkat kepala, dan tersenyum miris. “Aku memang bukan pasangan dan ibu yang baik,”

“Seonghwa—”

“Aku tidak berguna. Kalian tidak membutuhkanku. Kalian membenciku. Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti bagi kalian.”

“Tidak, Seonghwa. Aku minta maaf atas kata-kataku tadi. Kau bilang akan menjelaskan sesuatu kan? Say it, I’ll be listening.”

“Aku terlalu sibuk mengurusi dokumen milikmu, sehingga tidak tahu kalau Minju mengambil salah satu kertasnya lalu mencorat-coretnya. Aku tahu aku salah, maka dari itu aku berniat untuk melakukan sesuatu. Tapi aku belum sempat, aku terlalu sibuk mengurus anakmu.”

“Tidak apa-apa sayang, biar aku yang minta karyawan membuatkannya lagi. Aku akan menaikkan gaji agar mereka bersedia melakukannya.”

Setetes air mata meleleh di pipi Seonghwa. Ia tidak dapat menahannya lagi.

Hongjoong tahu betul apa yang Seonghwa tangisi. Kalimat terakhir yang dilontarkan Minju.

Dengan hati-hati, ia menghapus jejak air mata di pipi Seonghwa.

“Hatiku sakit. Sakit sekali.” Seonghwa segera mengambil langkah-langkah lebar untuk menjauhi Hongjoong.

“Seonghwa!”

Alih-alih menyusul langkah pria itu, Hongjoong beralih tatap pada pintu di depannya.

Begitu dirasa tidak ada lagi tanda-tanda aura Seonghwa di sana, Hongjoong menggedor pintu yang tertutup itu. “Kim Minju! Kau tidak bisa mengatakan itu pada ibumu sendiri! Siapa yang mengajarkanmu berteriak di wajah ibumu seperti itu anak nakal?!”

Tidak mendapatkan tanggapan.

“Buka pintunya Kim Minju!”

“Tidak mau! Nanti Minju dimarahi sama papa!”

Hongjoong mengusap kasar wajahnya.

“Tidak! Papa tidak akan marah!” ia tetap berteriak, agar suaranya terdengar ke dalam kamar.

“Janji?!”

“Papa janji! Sekarang buka pintunya!”

Tidak lama, pintu itu terbuka.

Hongjoong memasuki kamar Minju, dan ia melihat putrinya itu melipat tangan sambil memalingkan wajah ke arah lain. Ia seperti sedang berdemo, namun pose seperti itu malah membuatnya terlihat lucu.

“Minju, papa ingin menceritakan sesuatu.” Hongjoong langsung menggendong sang putri, yang diam tidak menanggapi. Hongjoong membawa anaknya itu ke kamarnya. Kebetulan Seonghwa tidak ada di sana, mungkin sedang pergi ke Fever Escape untuk mabuk-mabukan dan melepas penat, dan akan kembali pulang dalam beberapa jam. Jika tidak pulang, maka Hongjoong yang akan menjemputnya nanti.

Sang ayah mendudukkan sang putri di kursi kerjanya, sedangkan ia sendiri duduk di tepi ranjang. Membuat mereka duduk saling berhadapan.

“Minju marah sama mama?”

“Minju benci mama.”

“Setiap hari Minju berbuat nakal, merusak barang-barang, mengotori rumah, melempar ini dan itu, padahal kau tahu sendiri kan kalau mama sangat cinta kebersihan? Tapi apa kau pernah melihat mama marah padamu?”

“Tidak, mama tidak pernah marah. Cuma memanggil nama lengkap Minju dengan suara keras.”

“Apa pun yang Minju lakukan, senakal apa pun kau, mama tetap memberimu makan, karena mama tidak mau kau kelaparan dan sakit. Mama tetap memberimu susu, karena mama ingin kau jadi anak pintar dan tetap sehat.”

Seperti yang dilakukan tadi, Minju tidak menanggapi lagi.

“Apa kau sudah lupa, siapa yang suka memandikanmu, mendandanimu, menyuapimu, membawa mu ke mana pun ia pergi?”

Anak itu masih diam, namun tetap mendengarkan.

Hongjoong menyentuh layar komputer yang terletak di meja kerja dekat balitanya, memperlihatkan beberapa foto pada putrinya itu.

“Lihatlah. Ini foto mama waktu dulu, ketika Minju masih berada di dalam perut mama.”

Balita itu memiringkan kepala. “Di dalam perut mama?”

“Ya. Lihatlah, karena Minju berada dalam perut mama, kau selalu dibawa ke mana-mana sama mama. Dan apa kau tahu, kalau membawamu dalam perut itu sangat berat? Tapi mama tidak pernah mengeluh. Mama memakan banyak makanan, meskipun mama tidak mau. Karena mama tidak ingin kau kelaparan di dalam perut mama.”

Bocah itu memperhatikan perut buncit sang ibu di dalam foto. Ia belum pernah melihat bentuk tubuh ibunya seperti itu, biasanya ia melihat perut ibunya rata dan memiliki delapan kotak di permukaannya.

“Mama membawa Minju dalam perut mama selama beberapa bulan yang sangat panjang. Dalam jangka waktu lama itu mama berusaha melindungi Minju, supaya kau tetap tumbuh dengan baik.”

Anak itu terus memperhatikan cerita ayahnya, merasa sudah masuk ke dalam kisah itu. Terutama memang ini tentang dirinya.

“Untuk mengeluarkan Minju dari perut mama, bisa saja mama meninggal. Tapi mama tidak peduli. Ia rela, yang penting kau bisa lahir ke dunia ini dengan selamat.”

Minju mencebikkan bibirnya.

“Setelah Minju lahir, Minju sering menangis dan susah tidur. Membuat mama harus terbangun setiap malam, dan berusaha menidurkanmu, meskipun mama juga sudah sangat mengantuk dan ingin tidur. Tapi mama tidak mau melihatmu menangis. Namun justru kau yang suka membuat mama menangis, karena kau sering sakit. Mama tidak mau melihatmu sakit. Mama sangat mengkhawatirkanmu.”

Hongjoong memperlihatkan foto Seonghwa yang sedang mengecup pipi gembil Minju yang baru berusia satu bulan setelah lahir, dalam dekapannya. “Lihat, mama sayang sama Minju. Mama akan melindungimu dari siapa pun yang berani berbuat macam-macam padamu.”

Sang ayah mematikan kembali komputernya. “Apakah Minju membenci mama?”

Bocah itu menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, Minju sayang sama mama.”

Hongjoong mengukir senyum lega. “Kalau begitu nanti Minju mau kan minta maaf sama mama?”

Minju mengangguk-anggukkan kepala.

“Bagus. Sekarang sudah malam, sudah waktunya Minju tidur.” Hongjoong menggendong Minju, membawanya ke kamar anaknya kembali.

Di kamar Minju, Hongjoong mengganti pakaian Minju dengan piyama, lalu membaringkan putrinya itu. Ia menyelimuti Minju dan mengecup keningnya.

Sang ayah ternyata begitu baik, apa yang harus balita itu takutkan dari ayahnya? Takut dimarahi? Memang tidak salah juga, tapi kan itu semua tergantung bagaimana balitanya berperilaku.

Hongjoong begitu menyayangi putrinya, ia tentu tidak akan memarahi putrinya tanpa alasan. Anak itu bisa dimarahi, karena kesalahannya sendiri. Kalau saja ia selalu menjadi anak baik, tentu ayahnya tidak akan pernah membentaknya hingga ia ketakutan dan menangis tersedu-sedu. Hingga sang ibu datang dan menenangkannya.

Hongjoong mematikan lampu, dan menutup pintu.

Minju sudah pergi tidur.

Ada yang harus Hongjoong susul sekarang.

“Kupikir kau tidak perlu berlebihan. She’s just a toddler, ia hanya mengatakan apa yang ada dalam benaknya tanpa dipikir dulu. Tanpa bertanya lebih dulu pada dirinya apakah itu baik dikatakan atau tidak? Apakah akan menyakiti orang lain atau tidak? Apakah akan membuat orang-orang berpikiran buruk tentangnya atau tidak?”

Benar saja, Seonghwa berada di Fever Escape. Kini ia dan suaminya duduk berdampingan di konter bar, dengan masing-masing segelas blackjack di depannya. Wooyoung berdiri di hadapan keduanya selagi melayani orang-orang yang juga sedang menikmati cocktail beverage di underground nightclub itu.

“That’s the reason. She’s a toddler. Kids are honest. Ketika ia mengatakan ia membenciku, tidak membutuhkanku, hidupnya akan lebih baik tanpa aku, berarti itu semua jujur kan?” Seonghwa lalu menenggak minumannya dengan terburu-buru, lalu menghentakkan gelas itu ke atas meja setelah lenyap isinya. Bunyi hentakan itu tidak mengejutkan siapa pun, karena suara musik lebih memekakkan.

“Kau harus memakluminya.”

“Tidak hanya memaklumi. Lebih dari itu, aku memahaminya lebih dari siapa pun. Aku ibunya!”

“Ayolah sayang, anak-anak biasa seperti itu ketika mereka kesal. Hingga bisa membuat orang tuanya lebih kesal atas itu.”

“Baiklah, tapi aku tetap sakit hati.”

“Tapi kau tidak akan memusuhi anakmu sendiri kan?”

“Aku tidak pernah memusuhinya semarah apa pun aku. Ia hanyalah anak kecil.”

“Tuh kan kau juga mengerti. Jadi besok kau tetap bersedia menyiapkan sarapan untuknya kan?”

“Kim Hongjoong, apakah aku terlihat seperti seorang pendendam di matamu?”

“Yes you are. Kau berambisi untuk balas menyakiti leader Dice Alliance di masa lalu. Tapi kau tidak dendam pada anakmu. Ya sudah, minggu depan kan kau akan ke Horizon Gulf. Minju akan segera merasakan bagaimana ketika tidak ada dirimu di sisinya, seperti keinginannya. Biar dia tahu rasa, iya kan?”

Seonghwa merotasikan bola mata. Percakapan ini kian alot. “Aku lelah. Aku mengantuk. Aku ingin tidur.” Dan langsung menutup mata, begitu kepalanya menyentuh meja.

“Jangan di sini bunny. Tubuhmu berat, kau ingin menyiksaku?”

Dan tidak ada tanda-tanda keinginan bagi Seonghwa untuk kembali membuka mata, membuat Hongjoong mengembuskan napas lelah.

“Ini, ambillah,” Wooyoung meletakkan dua lollipop besar di hadapan Hongjoong. Ia baru saja selesai melayani seorang gadis yang duduk di samping Seonghwa, “untuk Seonghwa dan—”

“Terima kasih Wooyoung, kau tetap memberiku permen ini meskipun kau tahu aku tidak begitu menyukainya.”

“Jangan terlalu percaya diri. Satu lagi untuk twinkie, bukan untukmu.”

Hongjoong terkekeh kecil, lalu menoleh pada Seonghwa. Sedikit mengacak rambutnya, mendekatkan wajah, lalu mengecup puncak kepalanya.

Tidur yang nyenyak sayang, jangan lupa mimpikan aku.

Di ruang makan, ketiga anggota keluarga kecil menikmati hidangan sarapan dengan tenang.

Khusus untuk Seonghwa, ia memakan makanannya dengan lesu dan wajahnya murung.

“Sudahlah, masih ada kesempatan bagi kita untuk menambah anak lagi. Memang tidak hari ini, tapi mungkin bulan depan. Siapa tahu saja kan? Lagi pula kita masih muda dan sehat, tidak mungkin kita akan terus-terusan gagal. Mungkin memang kau kebetulan tidak sedang berada dalam masa subur, positive thinking saja.” Hongjoong mencoba menenangkan Seonghwa, yang tadi mendapati kabar dari surat rumah sakit bahwa hasil pemeriksaannya menunjukkan negatif.

“Ya, aku tidak apa-apa,” bohong Seonghwa, sangat terlihat jelas.

Minju turun dari tempat duduknya dan menghampiri sang ibu.

Seonghwa menoleh. “Ada apa sayang?” ia mengangkat tubuh Minju dan membawa putrinya itu duduk di pangkuannya.

Anak itu mendongak, menghadapkan wajah pada ibunya. “Mama, Minju minta maaf. Minju sayang sama mama,” ucapnya, membuat Seonghwa tersenyum mendengar itu.

“Jadi Minju sudah tidak marah lagi sama mama?”

Bocah itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Minju tidak apa-apa, kalau punya adik bayi, terus papa dan mama merawat adik bayi dan lupa sama Minju.”

Seonghwa dan Hongjoong bukannya merasa tersentak, malah terkekeh mendengar ungkapan yang sangat polos itu. “Kau ini bicara apa sayang? Kau adalah bayi kami. Kami akan selalu menyayangi Minju, dan tetap bermain bersama Minju. Mungkin Minju saja sudah cukup, tidak perlu menambah bayi lagi di rumah ini.”

“Kau serius?” tanya Hongjoong terkejut dengan Seonghwa yang begitu cepat berubah pikiran. Apakah efek sarapan?

Seonghwa mengedikkan bahu. “Entahlah, aku kan hanya bilang mungkin. Aku akan mempertimbangkannya kembali, apakah itu adalah keputusan tepat.” Ia lalu mengecup puncak kepala Minju.

“Mama, papa, Minju kangen paman Yeosang sama paman Jongho.”

“Tenang saja, nanti mereka akan datang dan bisa bermain sepuasnya bersama Minju.”

Minju bukannya tidak merindukan Mingi juga, hanya saja Mingi dan Yunho lebih sering berkunjung karena mempertemukan anak-anak mereka untuk bermain, sebagai alasan.

Tidak hanya Seonghwa dan Hongjoong. Yunho dan Mingi juga sedang merencanakan untuk memiliki anak keempat.

Demi memenuhi program pemerintah untuk meningkatkan populasi penduduk yang terus menurun dari tahun ke tahun, katanya.

Bocah perempuan itu asik berdua bersama Theo memainkan mainannya di ruangan yang pernah ia gunakan untuk mengunci ibunya di dalam, ruangan mainan.

“Song bersaudara di sini~” ujar Seonghwa yang tiba-tiba memasuki ruangan dengan menggendong balita laki-laki berusia satu tahun di dadanya. Bocah laki-laki dan perempuan berusia dua tahun berdiri di sampingnya. Membuat sepasang bocah yang sedang seru-serunya bermain itu menoleh.

“Minju, ibumu dicuri Jisung tuh,” ujar Theo, dengan polosnya. Mendengar itu Minju langsung menekuk wajah. Ia bangkit, segera berjalan menghampiri Seonghwa dan memukul kasar kaki mungil balita di gendongan Seonghwa. “Awas Jisung! Ini mama Minju!” sontak membuat yang digendong itu menangis dengan kencang.

“Kim Minju apa yang kau lakukan? Kau ini kasar sekali,” tegur Seonghwa, “Sudahlah sayang, jangan menangis. Minju noona tidak bermaksud seperti itu. Ayo kita bermain, ada banyak sekali mainan di sini. Jisung pasti suka.” Ia mencoba menenangkan anak di dekapannya itu.

“What’s going on? Keeho, what have you done to your lil brother now?” tanya Yunho yang baru datang bersama Mingi, merasa terpanggil dengan tangisan bayi kecilnya. Keeho sebenarnya adalah anak yang sangat baik, tidak pernah berbuat macam-macam. Kebalikan dari Minju. Namun anak laki-laki polos itu sering dimarahi ibunya setiap kali sang adik menangis. Meskipun bukan salah Keeho. Winter juga diperlakukan sama.

Minju menangis seketika karena teguran Seonghwa tadi.

“Kau juga kenapa twinkie?” Mingi menggendong Minju, lalu menghapus jejak air mata di kedua belah pipi anak itu.

“Jangan salahkan Keeho, Yunho. Ia tidak berbuat apa-apa. Anak bungsumu menangis karena anakku memukul kakinya.”

“Jisung mencuri mama Minju ...” bocah itu menggosok-gosok matanya yang basah. Ketiga orang dewasa tertawa bersama mendengar itu. Kemudian pada akhirnya mereka bertukar anak di pangkuannya.

Minju yang baru berpindah ke dalam dekapan Seonghwa langsung memeluk leher ibunya itu dengan erat, membenamkan wajah di ceruk leher Seonghwa. Tidak ingin lagi kehilangan ibunya karena dicuri anak orang lain.

“Lain kali Minju tidak boleh seperti itu ya. Jisung tadi hanya meminjam mama sebentar, mama kan punya Minju,” ucap Seonghwa, detik berikutnya ia merasakan kepala mungil putrinya mengangguk di lehernya.

Tak lama kemudian Seonghwa dan Mingi menurunkan balita masing-masing dari lengannya, membiarkan anak-anak bermain bersama, lalu pergi meninggalkan bocah-bocah polos itu. Para orang dewasa juga membutuhkan waktunya sendiri.

“Theo! Keeho! Winter! Mama sama papa Minju bilang mereka akan memberikan adik buat Minju.” Anak itu tidak mengajak Jisung berbicara bukan karena ia masih marah atau dendam, tapi karena Jisung memang belum bisa berbicara. Mereka mengobrol sambil memainkan mainan mereka. Mungkin obrolan itu pun hanya bisa dimengerti sesama balita. Karena Winter dan Keeho sendiri belum bisa se-lancar Minju ketika berbicara.

“Theo pernah minta adik sama mama dan papa biar Theo ada teman bermain. Tapi mama bilang tidak bisa memberi adik sekarang karena masih harus bekerja di rumah ini lebih lama,” celoteh bocah laki-laki sebaya dengan si kembar itu, “Kalau Winter sama Keeho bagaimana?” lanjutnya.

 “Mama dan papa kami sama baiknya sama kami dan adik bayi. Cuma … Keeho sering dimarahi mama kalau Jisung menangis.” Winter bercerita.

“Padahal Keeho sayang sekali sama adik bayi. Aku tidak pernah membuat Jisung menangis, aku tidak tahu kenapa selalu aku yang disalahkan. Mungkin Minju noona dan Theo juga akan seperti itu kalau punya adik kecil?” ujar Keeho.

“Terus katanya nanti Winter sama Keeho mau punya adik bayi lagi kan? Adik bayi kan suka menangis setiap hari. Kalau adik bayi kalian sudah lahir, masa nanti kalian mau dimarahi setiap hari sama paman Yunho?” ujar Minju.

“Winter tidak mau dimarahi setiap hari,” tanggap kembar yang lebih tua.

“Keeho juga, tapi Keeho tetap senang akan punya adik bayi lagi,” timpal yang lebih muda beberapa menit dari saudaranya. Di luar alasan memenuhi program pemerintah untuk memperbanyak anak, Yunho dan Mingi sebenarnya sangat menyukai anak-anak. Keduanya akan terus dan terus membuat anak selama mereka masih muda.

Tiba-tiba Jisung merampas mainan robot dari tangan Keeho.

“Jisung nakal sekali.” Minju bergumam, yang masih bisa didengar semuanya. Tidak sadar dan berkaca kalau dirinya jauh lebih nakal dari siapa pun di antara mereka semua. Bahkan mungkin hanya ia satu-satunya anak yang nakal di sana. Jisung tidak masuk hitungan, karena bayi itu lebih tidak berakal.

Minju lalu memperlihatkan sebuah boneka beruang kecil pada Jisung, siapa tahu bocah yang belum bisa berbicara itu akan menyukainya dan bisa mengembalikan mainan di tangannya pada sang kakak.

“Biasanya kalau Jisung mengambil mainanku, aku akan mengambilnya kembali. Dan Jisung pasti akan menangis. Setelah itu mama akan datang dan memarahiku. Padahal aku tidak salah, itu kan mainanku.” Kembar yang lebih tua itu bercerita lagi.

“Ya sudah Keeho ambil robot yang lain saja, biar Jisung tidak menangis dan Keeho tidak dimarahi mama kalian. Ini.” Theo menyerahkan sebuah mainan yang baru ia ambil dari dalam salah satu peti besar di sana.

“Thank you.”

“Anytime.”

“Theo harus jawab you’re welcome.” Minju mencoba mengoreksi.

Keeho tersenyum pada teman perempuan yang usianya terpaut satu tahun di atasnya itu, “He’s not wrong neither, noona. You’re too textbook.”

Keempatnya pun tertawa-tawa bersama, sedangkan Jisung yang tidak mengerti kenapa keempat kakaknya itu tertawa hanya menatap sekilas lalu kembali sibuk dengan robotnya.

Seonghwa sudah bersiap-siap akan menaiki Bouncy di halaman depan mansion-nya.

“Minju, ucapkan sampai jumpa sama mama,” ujar Hongjoong, pada putrinya yang berada dalam dekapannya. Anak itu malah membenamkan wajah di pundak sang ayah. Ia menangis tanpa suara, namun kedua orang tuanya tetap tahu dari cara punggung kecil itu bergetar.

“Sayang, mama mau pergi. Minju tidak mau memberikan ciuman sayang sama mama?” tanya Seonghwa. Ia berusaha untuk melihat wajah putrinya, namun anak itu juga berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia juga tidak ingin menjawab.

Setelah Seonghwa dan Hongjoong saling pandang sebentar, Seonghwa lalu menghela napas lelah. Ia mengelus lembut kepala putrinya. “Baik-baik ya di rumah, jangan nakal sama papa. Bermainlah dengan baik bersama Theo, Keeho, Winter, Jisung, Chaeyeon eonni, dan Chaewon eonni. Dan oh iya, beberapa hari lagi paman Yeosang dan paman Jongho akan datang. Minju bisa main lagi sama mereka. Minju senang kan?”

Bocah itu masih tidak menanggapi, Seolah akan merasa semakin sakit jika menatap mata ibunya meskipun hanya sejenak.

“Mama tidak akan lama, tidak akan sampai sehari kok. Mama akan segera kembali. Sampai jumpa sayang, bersenang-senanglah bersama papa.” Seonghwa lalu mengecup puncak kepala putrinya selama beberapa detik. Kemudian kecupan itu berpindah ke bibir suaminya, mumpung Minju tidak melihat.

Seonghwa masih merasa tidak tega meninggalkan putrinya seperti itu, tapi pada akhirnya ia pergi juga setelah terlebih dahulu berpamitan pada Hongjoong.

Setelah mendapatkan izin, Heejin yang membawa berkas dokumen penting di tangannya itu memasuki ruangan kerja Hongjoong yang saat ini sedang ditempati Seonghwa.

“Silakan duduk Nona Jeon,” ucap Seonghwa pada sekretaris Hongjoong yang juga sekarang sedang menjadi sekretaris Seonghwa. Yang dipersilakan itu lalu mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan Seonghwa, hanya dibatasi meja kerja. Wanita itu meletakkan apa yang ia bawa ke atas meja, membuka-bukanya kemudian.

“Ada apa nona? Proyek baru?”

Heejin menyerahkan dokumen itu, dan Seonghwa membacanya dengan teknik scanning.

“Jadi begini tuan. Mahasiswa semester lima dari salah satu relasi kita, Paradigm Global Institute, akan mengikuti seminar table manner yang kita adakan di hotel ini.”

“Kalau begitu sediakan menu makanan istimewa, yang sudah disesuaikan dengan budget mereka. Lagi pula aku tidak mau kalau sampai hotel dan resort ini menjadi bahan pembicaraan negatif karena tidak memberikan pelayanan selayaknya. Dan oh iya, buatlah sertifikatnya sebagus mungkin. Mungkin kita harus menambahkan aksen merah darah dan emas agar terlihat lebih elegan.”

“Baiklah tuan, saya mengerti.” Heejin mencatat itu di dalam i-pad-nya.

“Anything else?”

“Tentang perpanjangan kontrak dengan para artis yang memainkan iklan. Atau kita akan mengikat kontrak dengan bintang baru?”

Absennya Seonghwa di rumah selama berjam-jam membuat Minju seperti berada di neraka.

Ia tidak biasa seperti ini, padahal semua orang baik padanya. Seharusnya ia bahagia, tapi tidak. Ia jadi merasa tidak betah di rumahnya sendiri, tidak peduli seluas dan seindah apa pun bangunan megah ini.

Sebagai ayah, Hongjoong bisa merasakan kegelisahan putrinya.

Ia yang sedang bersama Minju lalu mendial sebuah nomor.

Seonghwa yang sedang menikmati hidangan makan siangnya bersama Hyunsuk dan Heejin itu mengangkat telepon, “Halo.”

“Seonghwa.”

“’ssup?”

“Sedang sibuk?”

“Makan siang di meja yang sama dengan pimpinan dan sekretarismu. Kau sendiri sudah makan?”

“Sudah, dan ada yang ingin berbicara denganmu.” Hongjoong menyerahkan ponselnya pada putrinya.

“Mama!”

“Halo sayang, Minju baik-baik kan di rumah?”

“Minju banyak makan, tapi Minju mau mama cepat pulang.”

“Tunggu beberapa jam lagi. Mama masih sibuk sayang, masih banyak hal yang harus mama lakukan di sini. Apa Minju jadi anak baik dan tidak menyusahkan papa?”

Seakan ibunya itu bisa melihatnya, anak itu mengangguk antusias. “Iya, Minju jadi anak baik.”

Terdengar kekehan pelan Seonghwa di seberang sana. “Baguslah, kalau Minju jadi anak baik seperti itu. Mama akan cepat pulang. Kalau Minju nakal, mama tidak akan pulang.”

Balita itu merengut seketika. “Kalau begitu ini tidak bagus.”

“Eh? Tidak bagus kenapa?”

“Mama kan tidak bisa melihat Minju jadi anak baik, berarti mama tidak jadi cepat pulang?”

Seonghwa dan Hongjoong terbahak di tempat masing-masing seakan melakukannya secara bersama-sama, menertawakan kecerdasan balitanya yang berpikir sangat logis di usia terlalu dini. Entah hanya kepolosan saja.

Dan untungnya Seonghwa jauh lebih cerdas, “Mama akan cepat pulang, kan papa lihat Minju jadi anak baik dan papa akan bilang sama mama.”

“Yeay!”

Kelima anggota Tricky House menyantap makan siang bersama di Rolling Dice Diner; restoran milik Mingi.

Inilah saat-saat yang mereka nantikan, berkumpul lagi secara utuh. Karena setelah terpisah dan menjalani hidup masing-masing, tidak mudah bagi kelimanya untuk bisa meluangkan waktu dalam satu hari yang sama. Keluarga kecil sudah berubah menjadi prioritas nomor satu.

Untuk sementara saat ini anak-anak mereka tinggalkan di arena bermain anak di bagian sudut restoran, dijaga Chaeyeon dan Chaewon yang selalu mengawasinya.

Sebenarnya acara utama hari ini bukanlah makan bersama, tapi yang paling penting adalah kegiatan berkumpulnya. Kelimanya saling bertukar cerita tentang apa saja yang mereka lakukan selama tidak bertatap muka satu sama lain.

Mereka benar-benar merindukan masa-masa ini. Berkumpul bersama, meskipun bukan lagi di Strictland yang telah lama luluhlantak itu. Membiarkan semua hal yang pernah mereka lakukan di markas underground itu menjadi sebuah kenangan tak terlupakan.

“Kurasa tidak, Mark. Plan utama adalah di mana biasanya secara acak kau akan mendapatkan Spades tidak lebih dari lima. Ingatlah, angka lima adalah patokan kita. Hanya untuk berjaga-jaga, kalau-kalau lawan kita memberikan Queen, King, atau Ace Spades. Maka sebesar apa pun nilai hearts yang kau punya, jangan pernah pedulikan. Jangan terjebak.”

Mereka berlima menghentikan kegiatan makan siang sejenak dan saling pandang ketika mendengar isi percakapan dua pria yang sedang makan di meja samping mereka.

Kalimat itu benar-benar seperti kalimat yang pernah Mingi katakan pada Seonghwa dan Yeosang di Strictland pada malam pertama keduanya direkrut menjadi anggota resmi Tricky House. Sepertinya strategi yang pernah Mingi susun itu kini sudah menyebar luas ke seluruh dunia.

“Aku tahu itu Haechan. Pilihan terbaik yang kau punya adalah memilih Clubs atau Diamonds, tergantung jumlah yang kau punya. Iya kan?” jawab pria satunya.

Mingi lalu menatap Seonghwa dan Yeosang penuh arti, dan menyeringai.

Yeosang mengulas senyum santai, lalu mendekatkan kursinya ke kursi dua pria itu.

“Sebisa mungkin buanglah yang paling sedikit, dan paling besar. Kalau pun lawanmu memberi jenis kartu yang sama, setidaknya kau sudah berusaha. Tapi kalau kasusnya kau memiliki lebih dari lima Spades, ubah strategi,” jelas Yeosang, pada kedua pria itu secara tiba-tiba. Membuat keduanya merasa takjub sekaligus bingung.

“Rencana yang bagus tuan, kau juga suka berjudi?” tanya Haechan.

Kali ini giliran Jongho yang mendekatkan kursinya pada mereka. “Suka berjudi? Yang benar saja. Dia itu ahlinya.”

Mark dan Haechan lalu beralih pandang pada Mingi, Hongjoong, dan Seonghwa, yang juga sedang menatap keduanya dengan senyum miring.

Hongjoong lebih mendekatkan lagi kursinya pada Mark.

“Berani bertaruh sepuluh juta won dengan kami?”
















F I N

Ada yg mau sekuel?

Tapi aku gada ide wkwk

Kalo ada silakan komen di sini (no smut, keep clean)

Makasih buat yg dah setia baca dari awal sampe akhir apalagi yg bacanya ga pernah skip, karena tiap adegan berisi plot

Makasih banyak buat yg dah spam komen :*

Komen lagi dong :3

Ps. Kalo ada yg suka baca book yungi aku pasti ga asing  winter ama jisung jadi anak yungi, kalo keeho gegara ini :’D

Shout out

 ViolaSyakira
⭐⭐⭐👑⭐⭐⭐

LaliKandra
⭐⭐⭐⭐

lulu-hunhun
⭐⭐⭐

Ceilaan
🌶

Continue Reading

You'll Also Like

11.8K 1.1K 20
Kisah creepy yang di alami seorang siswa sma bernama Jung wooyoung. akan kah hanya mimpi belaka atau benar ada nya bahwa ia berada di dunia lain? ...
52.9K 6.5K 29
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
5.2K 619 21
setelah kematian sang bunda, sanggrada harus menerima kenyataan bahwa sahabat sang bunda akan menjadi ibu tirinya. tragedi terulang dan nyawa kembali...
250K 24.1K 30
'SST.. My Boss, My EX-Boyfriend' versi Jaywon