Bukan Calon Arang

By an11ra

24.2K 4.4K 1.1K

Bukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita ten... More

AƖƙìʂâɦ
Ҡìʂâɦ 2
Ҡìʂâɦ 3
Ҡìʂâɦ 4
Ҡìʂâɦ 5
Ҡìʂâɦ 6
Ҡìʂâɦ 7
Ҡìʂâɦ 8
Ҡìʂâɦ 9
Ҡìʂâɦ 10
Ҡìʂâɦ 11
Ҡìʂâɦ 12
Ҡìʂâɦ 13
Ҡìʂâɦ 14
Ҡìʂâɦ 15
Ҡìʂâɦ 16
Ҡìʂâɦ 17
Ҡìʂâɦ 18
Ҡìʂâɦ 19
Ҡìʂâɦ 20
Ҡìʂâɦ 21
Ҡìʂâɦ 22
Ҡìʂâɦ 23
Ҡìʂâɦ 24
Ҡìʂâɦ 25
Ҡìʂâɦ 26
Ҡìʂâɦ 27
Ҡìʂâɦ 28
Ҡìʂâɦ 29
Ҡìʂâɦ 30
Ҡìʂâɦ 31
Ҡìʂâɦ 32
Ҡìʂâɦ 33
Ҡìʂâɦ 34
Ҡìʂâɦ 35

Ҡìʂâɦ 1

1.3K 199 21
By an11ra

Mata Sedayu mengerjab pelan. Menyangga kepala dengan sebelah tangan. Bibirnya mengerucut sambil berusaha mengingat-ingat. Sepertinya memasukan terlalu banyak makanan ke perut bukan membuat pikirannya jernih malah sebaliknya.

Mungkin begini yang dirasakan kerbau Mbah Slamet setiap harinya. Ngah ngoh ngah ngoh bisanya bahkan gerak saja malas... Hadeeeh. Padahal Si Mbah memberi banyak rumput agar kerbau itu makin gesit membantunya membajak sawah.

Memandang daun lontar yang telah berisi tulisan. Iya, Sedayu yakin ini tulisan bukan gambar walau bentuknya aneh. Sungguh, sangat berbeda dengan tulisan yang biasa Sedayu lihat.

Apa Sedayu bisa menulis? Tentu tidak bisa. Jangankan menulis, membaca saja tidak bisa... Hiks.

Semua bukan karena Sedayu bodoh. Tidak. Tidak demikian. Akar masalahnya yaitu tradisi yang turun temurun diyakini dan dilaksanakan. Perempuan tak diharuskan bisa baca tulis walau dilarang juga tidak. Istilahnya, buang-buang waktu sebab baca tulis itu tidak banyak gunanya buat perempuan.

Sumpah, Sedayu sudah berkali-kali meminta diajari tapi Bopo selalu menolak. Lebih baik belajar menenun, membatik atau memasak saja dibanding membaca apalagi menulis. Ketimbang jadi pintar dan berpengetahuan luas, perempuan lebih diharapkan cekatan dan memiliki beragam keterampilan.

Tugas perempuan yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Sedayu juga ingin bisa menjadi seperti itu. Bertahun-tahun kelak tapinya. Sekarangkan, Sedayu masih kecil. Tinggi bandannya saja baru separuh tinggi pintu. Lebih dari separuh malah. Sedayu itu tidak pendek apalagi cebol. Percayalah.

Walau Sedayu tidak pernah memiliki sosok ibu sebagai panutan, dirinya yakin bisa sehebat perempuan lain. Bopo bilang, ibunya telah berada di nirwana sana. Beliau meninggal setelah melahirkan Sedayu. Paling tidak dirinya masih punya Bopo jadi tidak hidup sebatang kara.

Tersenyum sesaat ketika Sedayu akhirnya mengingat lanjutannya. Maklum pikirannya agak lamban. Pasti karena pagi, siang dan malam Sedayu hanya bisa makan nasi jagung atau singkong. Tidak seperti Grani--anak kepala dusun--yang bisa makan nasi dengan lauk ayam. Bukan hanya bisa makan enak tapi kain yang dipakainya juga lebih bagus. Paling bagus sedusun malahan. Hiasan rambutnya juga bagus.

Ugh... Bikin iri... Eh, bikin kesal!

Tangan kecil Sedayu buru-buru menggerakan pengrupak--pisau tulis yang biasanya digunakan untuk menulis di daun lontar. Meski disebut menulis, tapi memakainya lebih mirip memahat atau mengukir--milik Bopo. Memang tadi siang Sedayu mengambil alat tulis yang ada di kamar Bopo.

Di rumah ini, tentu hanya ayahnya itu yang punya peralatan tulis menulis. Walau masih tergolong sederhana. Orang-orang kaya sudah mengganti daun lontar menjadi dluwang--kertas dari kulit pohon murbei yang dibuat dengan cara dipukuli. Bentuknya serupa lembaran kertas walau warnanya terlihat seperti kayu--sebagai alat tulis. Merekapun telah menggunakan pena dari bulu dibanding pengrupak. Ujung pena agak rapuh, tinta juga tidak bisa banyak, cuma cukup untuk beberapa kata saja.

Namun, harga peralatan tulis itu cukup mahal maka tidak mungkin Bopo membelinya. Bukan tidak mungkin tapi beliau pasti tidak mau. Lebih baik uangnya dibelikan makanan dibanding alat tulis. Perut kenyang lebih penting dibanding otak pintar.

Senyum Sedayu makin lebar setelah berhasil menulis semua... Ups, tidak semua tapi yang diingat saja. Masih untung dirinya bisa mengingat. Siapa coba yang bisa hapal seluruh isi mimpinya?

Jika sekali mimpi maka Sedayu tidak akan sepenasaran ini. Masalahnya mimpinya berulang berkali-kali. Mimpi itu anehnya serupa. Kalau sekali, bisa disebut kebetulan tapi kalau berkali-kali pasti ada apa-apa.

Melebarkan matanya karena ruangan memang tidak terlalu terang. Gelap malam hanya diterangi nyala blencong yang berbentuk menyerupai burung Jatayu--alat penerangan yang bersumbu benang lawe dan menggunakan bahan bakar minyak kelapa--di pojok ruangan. Seharusnya Sedayu sudah sejak tadi tidur namun rasa penasaran membuatnya masih terjaga. Paling tidak, setelah menyelesaikan ini, dirinya bisa tidur nyenyak.

Ong Hyang Nini.

Tumurun dawoh ring Indraprasta.

Entah bagaimana lidah Sedayu lancar membaca tulisan aneh yang tergurat di daun lontar. Seolah dirinya memang terbiasa mengucapkannya. Benar, memang seperti ini cara membacanya.

Amungkah sakewehing gura kawisesan.

Muwah kasaktian metu ing kawisesan.

Melesat iku Ki Cambra Berag ring akasa.

Bulu kuduk di tengkuk Sedayu meremang seketika. Akibat angin malam pastinya. Tangan Sedayu bergerak pelan mengusap tengkuk hingga lehernya.

Guk... Guk... Guuuk.

Guk... Guk... Guuuk.

Badan kecil Sedayu berjengit kaget karena tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sepertinya lebih dari seekor malahan. Menengok ke kanan serta kiri. Tergoda untuk mengintip dari jendela tapi sebagian dirinya merasa takut karena ini sudah malam sekali. Lagian di luar pasti gelap gulita jadi mana mungkin anjing-anjing itu terlihat.

Tunggu... tunggu. Perasaan tidak ada orang di dusun ini yang memelihara anjing. Tapi Sedayu yakin yang tadi itu suara anjing bukan sapi. Apa anjing hutan keluar untuk mencari makan? Mungkin makanan di hutan habis. Bisa jadi kan?

Menggelengkan kepala masa bodoh. Lagipula ada yang lebih penting dibanding mengurusi hewan liar yang kelaparan. Mata Sedayu kembali memandang ke lontar yang telah ditulisnya tadi.

Sumurup mangendih getih.

Gunankune gura tengahing jering.

Sedayu meneruskan membaca. Sepertinya ini benar semacam kidung. Suaranya memang tidak semerdu perempuan tua yang cantik di mimpinya saat melantunkan kidung. Tak masalah karena Sedayu memang belum bisa menembang jadi mana bisa merdu.

Kaok... Kaok... Kaoook.

Wajah Sedayu mendongak ketika kini terdengar suara burung gagak. Apa semua binatang sedang kelaparan hingga ribut begitu? Astaga!

Kembali memandang ke arah lontar yang terhampar di tangannya untuk yang kesekian kalinya. Sebenarnya dirinya tidak betul-betul paham arti kidung ini karena terdapat kata-kata yang tak biasa digunakan. Mengendikkan bahu acuh lalu Sedayu kembali mengulang membaca kidung aneh tapi cukup indah ini.

Ong Hyang Nini.
Tumurun dawoh ring Indraprasta.
Amungkah sakewehing gura kawisesan.
Muwah kasaktian metu ing kawisesan.
Melesat iku Ki Cambra Berag ring akasa.
Sumurup mangendih getih.
Gunankune gura tengahing jering.

Sedayu mencoba menghayati saat melantunkan tiap kata. Mengikuti apa yang didengarnya di dalam mimpi. Seolah ada kesan magis yang tercipta walau sulit dijelaskan bentuknya.

Duuuk... Duuuk... Duuuk... Duuuk.

Sedayu terkesiap saat nyala api pada blencong bergerak-gerak. Bukan karena angin melainkan blencong yang bergetar. Bukan... bukan blencong tapi tanahlah yang bergoncang. Tangan Sedayu segera memegang tepian dipan kayu tempatnya tidur.

Duuuk... Duuuk... Duuuk... Duuuk.

Goncangan tidak jua berhenti. Belum lagi suara anjing terdengar kian bersautan. Katanya, binatang itu lebih peka terhadap pertanda alam. Masalahnya Sedayu mana mengerti bahasa binatang.

"BOPO... BOPO... BO-BOPOOO!" Sedayu berteriak walau di akhir suaranya malah agak bergetar ketakutan memanggil sang ayah kala goncangan di rumah tidak kunjung berhenti.

Seharusnya, Sedayu berlari keluar kamar bukan meringkuk di dipan begini. Itu juga yang muncul di pikirannya namun bagaimana bisa berlari jika kakinya ikut bergetar juga. Sedayu merasa takut. Takut sekali malahan.

Ketakutan Sedayu bukan hanya karena goncangan tapi juga takut rumah gubuk tempat tinggalnya ini ambruk. Gubuk berdinding gedek alias ayaman bambu pastinya jauh dari kata kuat. Belum lagi kayu penyangganya telah lapuk dimakan usia. Derita orang miskin memang begini.

"SEDAYU!" seru Dhanwa setelah menyingkap kain penutup kamar anak perempuan kecilnya.

"Bo-Bopo... Hiks... Hiks..." Sedayu pasti sudah gila, dirinya senang ayahnya datang tapi entah kenapa bukan tawa yang muncul melainkan tangis. Mungkin ini yang disebut air mata bahagia.

Pria paruh baya dengan rambut yang sudah dihiasi banyak uban itu bergegas menggendong sang anak. Tadi dirinya baru saja menutup pintu depan ketika terdengar suara-suara binatang diikuti goncangan tanah.

Apa akan ada gunung yang meletus? Gunung Merapi, Gunung Merbabu atau Gunung Lawu kah? Memang gunung-gunung itu yang letaknya di berada di sekitar kawasan ini. Masalahnya, dusun ini jauh dari gunung. Tempat terpencil malahan. Sedasyat apa nanti letusannya hingga goncangannya sampai ke sini.

"Bruuuk." Gulungan lontar terjatuh ke dipan karena pemiliknya digendong sang ayah.

Sebelah tangan Dhanwa yang bebas serta-merta mengambil lontar itu. Mata Dhanwa melebar saat melihat tulisan yang tertera di situ. Benar bahwa aksara yang terukir bukan aksara Jawa tapi Dhanwa punya kecurigaan. Jantung Dhanwa yang tadi berdetak kencang karena tanah bergoncang, kini makin berdetak di luar kendali.

Takut... Teramat takut.

Masih dengan mengendong Sedayu, Dhanwa segera berderap ke pojok ruangan. Tanpa pikir dua kali, dirinya membakar lontar dengan api di pucuk blencong. Membiarkan hingga api perlahan membuatnya menghitam hingga berubah jadi abu. Setelah semua tulisan terbakar menyisakan bagian lontar kosong lalu Dhanwa melemparkan ke lantai tanah begitu saja.

Tak berselang lama, goncangan berhenti. Suara binatang malampun tak terdengar lagi. Semua kembali sunyi senyap seperti sedia kala.

"Tenang, Bopo di sini." Perlahan mengelus surai panjang Sedayu. "Jangan takut lagi, hm." Dhanwa berusaha menenangkan anak perempuannya yang ketakutan. Iya, Sedayu ketakutan hingga badannya agak gemetar dalam gendongannya.

Sebenarnya, Dhanwa lebih takut tapi tak mungkin menunjukkan semuanya pada anaknya. Seorang ayah punya tangung jawab besar. Pelindung dan akan selalu mengutamakan kepentingan keluarganya terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya sendiri.

Rela menahan lapar asal anaknya bisa kenyang makan. Rela bekerja membanting tulang asal anaknya bisa menikmati hidup yang lebih baik. Itulah yang Dhanwa lakukan hingga detik ini walau dirinya sadar belum mampu memberi kebahagian atau kehidupan yang berkecukupan bagi anaknya.

"Bo-Bopo." Sedayu mengusap bekas air mata di pipinya.

Dhanwa tersenyum memandang anak perempuannya. Keluarga satu-satunya. Iya, di dunia ini mereka hanya berdua. Tak ada karib kerabat sama sekali.

Tong... Tong... Tong... Tong.

Tong... Tong... Tong... Tong.

Tong... Tong... Tong... Tong.

Suara kentongan tiba-tiba terdengar. Pertanda agar penduduk dusun waspada. Mungkin ada orang yang sudah berani keluar rumah karena goncangan telah berhenti.

Tebakkan Dhanwa, besok dan seterusnya keadaan dusun tidak sedamai sebelumnya. Bisa dipastikan bahwa akan muncul desas-desus mengerikan terkait penyebab peristiwa malam ini. Wajar sebab kejadian tadi belum pernah terjadi.

Gawat!

Masih mengendong Sedayu, Dhanwa berjalan kembali mendekati dipan kayu. Mendudukan Sedayu di tepian sedangkan dirinya berjongkok di tanah. Tersenyum lagi saat memandang sang anak perempuan satu-satunya. Harta berharganya.

Cantik. Anak perempuannya memang cantik walau kini mata dan ujung hidungnya agak memerah sehabis menangis. Secantik ibunya. Bagaimana tidak cantik jika ibu Sedayu itu sebenarnya adalah penari kerajaan. Asal usul yang tentu dirahasiakan karena sang istrinya memang seorang pelarian seperti halnya Dhanwa walau berbeda alasan.

Dhanwa berpikir sejenak lalu menggenggam tangan kecil Sedayu. Dhanwa mesti memilih kata-kata yang tepat dan mudah dimengerti. Maklum anaknya baru berusia delapan tahun.

"Dari mana lontar itu, hm?" tanya Dhanwa. "Siapa yang memberikan padamu?"

Kerut samar muncul di dahi Sedayu. "Tidak ada yang memberi lontar pada Sedayu. Itu lontar milik Bopo."

Giliran dahi Dhanwa yang berkerut heran. "Bopo tidak punya lontar berisi mantra, Sedayu." Matanya mengerjab pelan. Mungkin Sedayu takut dimarahi hingga berani berbohong. "Katakan yang sebenarnya! Bopo janji tidak akan memarahimu, Nduk. Lagipula selama ini Bopo tidak pernah marah jadi jangan takut. Ingat, Dewata tidak suka pada anak yang suka berbohong."

Tempat ini berada jauh dari Kutagara. Letaknya juga terpencil. Sebagian besar penduduknya masih beragam Hindu. Berbeda dengan penduduk di pesisir pantai atau area dekat pusat pemerintahan sana yang telah beralih agama menjadi Islam. Bahkan raja... sultan panggilan tepatnya yang kini berkuasa telah beragama Islam.

Agama Islam. Ah, Dhanwa bahkan tidak betul-betul paham. Cuma tahu sebatas nama saja. Belum ada juga perintah dari Sang Sultan yang mengharuskan penduduk untuk berpindah agama.

Lagipula orang miskin lebih sibuk bekerja guna mengisi perut dibanding mempelajari agama baru. Jika diharuskan barulah menuruti tanpa banyak tanya. Apalah daya rakyat jelata. Tunduk dan patuh jika masih ingin hidup tenang dan damai.

Bibir Sedayu mengerucut kesal sebelum menjawab, "Sedayu tidak berbohong Bopo!"

"Tapi Bopo tidak punya lontar berisi mantra, Nduk," Dhanwa mencoba sabar.

"Benarkah itu mantra? Bukan kidung, Bopo?" tanya Sedayu penasaran.

Dhanwa mengangguk. "Iya." Matanya menatap lurus ke arah sang anak. Ada apa sebenarnya? Batin Dhanwa bertanya-tanya.

Sedayu berpikir sebentar. Tangan kecilnya meraih pengrupak. "Tadi Sedayu mengambil lontar dan pengrupak ini dari kamar Bopo." Nyengir salah tingkah. "Sedayu ambil waktu Bopo masih berada di ladang. Mau bilang tadi sore waktu Bopo pulang ke rumah tapi Sedayu lupa."

Dhanwa hanya bisa menghembuskan napas panjang. "Tapi kamu tidak bisa menulis apalagi membaca!" Jantung Dhanwa berdegub kencang walau masih berusaha bersikap tenang.

Memang anak perempuannya sangat ingin bisa membaca dan menulis. Akan tetapi Dhanwa selalu menolak mengajari. Dirinya punya alasan tersendiri dan bukan hanya sekedar mengikuti tradisi.

Sedayu yang menganggukan kepala menyetujui ucapan ayahnya. Tak lama bibirnya tertarik membentuk senyuman hingga terlihat giginya. "Iya."

"Lalu siapa yang mengajarimu menulis mantra tadi? Kamu bertemu seseorang saat bermain? Dia menyuruhmu menulis? Menyuruhmu membaca mantranya juga?" cecar Dhanwa. "Kenapa tidak memberitahu dulu pada Bopo?"

Jangan-jangan Resi gila itu muncul lagi!

"Sedayu tidak bertemu siapapun, Bopo." Sungguh, Sedayu heran dengan pikiran ayahnya.

"Baik... Baik..." Dhanwa mencoba mengalah. Paling tidak dirinya tidak kecolongan. "Sekarang jelaskan semua tanpa ada yang tertinggal sedikitpun!"

"Hmm." Sedayu mendesah pasrah walau kepalanya mengangguk lagi. "Sedayu bermimpi Bopo. Berkali-kali. Mimpinya serupa, Bopo."

"___" Dhanwa bungkam seketika. Matanya bahkan ikut melebar.

DEG. Jantung Dhanwa kini rasanya diremas kasar oleh tangan tak kasat mata. Apa usahanya bertahun-tahun itu sia-sia belaka. Menjauh ke tempat terpencil. Menghalau segala kemungkinan yang mungkin muncul namun benar ternyata bahwa manusia tidak akan bisa berlari dari takdirnya.

Pandangan Sedayu menerawang sesaat sebelum bercerita, "Bangunan batu, kain-kain hitam, sesajen, asap kemenyan dimana-mana." Jeda sejenak kala bayangkan mimpi itu tampak lagi di pikirannya. "Ada perempuan cantik tapi sudah tua. Dia mengajak Sedayu masuk ke dalam bangunan itu. Ada meja persembahan dan Patung Dewi Durga yang besar sekali."

"A-Apa yang perempuan itu lakukan pa-padamu?" suara Dhanwa bergetar.

"Tidak ada." Sedayu berusaha tersenyum kala sadar raut wajah ayahnya berubah keruh. Mungkin ayahnya mengkhawatirkan Sedayu.

"Haaah!" Dhanwa makin dibuat bingung.

"Dia hanya meminta Sedayu duduk di sampingnya selama dia membaca tulisan aneh. Dia selalu sendirian jadi Sedayu kasihan padanya. Suara perempuan itu terdengar lirih penuh kesedihan tapi anehnya merdu makanya Sedayu pikir itu kidung bukan mantra."

"Apa dia bilang siapa namanya? Calon Arang kah namanya?" pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Dhanwa.

Kepala Sedayu menggeleng ke kanan dan kiri sehingga membuat kekhawatiran Dhanwa sedari tadi seolah lenyap. "Bukan, Bopo."

"____" Tak ada kata yang keluar dari mulut Dhanwa walau batinnya mendesah lega. Syukurlah kalau begitu. Asal bukan Si Calon Arang terkutuk itu maka semua aman terkendali.

"Namanya mirip dengan Sedayu, Bopo." Sedayu tersenyum geli. "Dayu Datu. Begitu perempuan tua itu memperkenalkan dirinya. Nama kami mirip bukan?"

Dhanwa langsung jatuh terduduk di lantai mendengar perkataan Sedayu. Demi Dewa. Rasanya dirinya lupa bagaimana cara bernapas dengan baik dan benar. Semua udara bagai tersangkut di tenggorokan sehingga membuat dadanya sesak.

Dayu Datu... Nama asli Calon Arang.

Aaarrggghh!

------------------------------
7 September 2023
------------------------------

------⊹⊱Bersambung⊰⊹------

Continue Reading

You'll Also Like

153K 10.3K 17
Warning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pu...
32.2K 6.6K 35
Ran hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klen...
1.2K 105 19
"Jarak itu bikin hati kita makin deket, tahu, Run." Kata-kata gombal yang sering diucapkan Kalino pada Seruni terasa lebih dalam maknanya ketika mere...
17K 2.6K 117
"Tak perlu menuliskan seberapa besar rasa cinta di antara kita di atas selembar kertas." "Jika seseorang mengingatku ketika mendengar namamu disebut...