Tricky House šŸŽ² joonghwa [ā¹]

By ichinisan1-3

24.2K 2.4K 4.7K

Bukan salah Hongjoong jika ia membawa Seonghwa ke tempat yang tidak pernah Seonghwa bayangkan akan ia lihat d... More

Pekerjaan
Maze runner?
Strictland
Order
Black Hwa
Gamblauction
Battlefield
Dice Grotto
Dolorous
Brave
Horizon Gulf
Femme Fatale
Lethal Fury
Desire Treasure
Uriman pueblo
Snatch away
Planet Hollywood
S U S
Pregunta
Zhushi Clan
Respuesta
Elenco
Escritora
Show time
Insight
Paralel
Justice
Feast
House of tricky
The last chapter
Jackpot Wonderland
Hyperemesis gravidarum
Rolling Dice Diner
Grand Hazard
Epilogue
šŸ§‹šŸ§ƒšŸ¹šŸ§šŸØ

Dystopia

916 112 56
By ichinisan1-3

“Tumben kau memasak. Mmm enak.” 

Hongjoong menikmati sarapannya di meja makan bersama siapa lagi kalau bukan Seonghwa, Mingi, dan Jongho? Ia tampak lebih tampan dengan baju seragam sekolahnya saat ini. Dibandingkan dengan penampilan—gambler—nya di luar jam sekolah.

“Seonghwa yang memasak,” tanggap Mingi. Ia tertawa dalam kepala.

Hongjoong berhenti mengunyah seketika.

Untuk sesaat ia menyesal telah memuji masakan itu. Tadinya ia pikir Mingi yang melakukannya.

“Bagaimana? Kau suka?” Seonghwa bertanya penuh harap. Ia sebenarnya tidak bisa memasak. Tapi ia melihat ada tumpukan buku resep masakan di dalam kabinet tadi. Jadi ia mengambil salah satu dan membuka bab menu makan pagi. Dan mulai memasak sesuai prosedur dalam buku secara sistematis, berusaha melakukan yang terbaik. Untuk mendapatkan yang terbaik. Jadi tidak ada salahnya mengharap sedikit apresiasi dari orang yang dituju. Hongjoong.

Hongjoong ingin bilang tidak. Tapi ia sudah telanjur mengatakan hal positif tentang makanan itu. Maka seperti ini ia menjawab, “Ya. Tapi aku lebih menyukai masakanku sendiri.” Tanpa ada gairah untuk melihat wajah Seonghwa sedikitpun.

Seonghwa mengiringi tarikan napas dalamnya dengan kesabaran.

“Ingat apa yang harus kau katakan setelah seseorang memberimu sesuatu?” Mingi berujar seperti orang tua yang sedang mengajari anak balitanya tentang manner. Tiga kata utama yang paling kau butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tolong, maaf, dan terima kasih.

Hongjoong menoleh pada Seonghwa dan menyemat senyum paksa, “Terima kasih Seonghwa.” Yang benar-benar dipaksakan. Bermaksud untuk merendahkan Seonghwa. Jongho menggeleng melihat kelakuan Hongjoong.

Mingi juga melihatnya. Tapi ia tersenyum, tetap menghargai Hongjoong yang bersedia mengucapkan itu, “Anak pintar.” Dan dengan satu pujian itu ia semakin terlihat seperti memperlakukan Hongjoong sebagaimana orang tua memperlakukan anak kecil.

Hongjoong tiba-tiba menyeringai. Seonghwa yang melihat itu sempat bertanya-tanya apakah Hongjoong sedang merencanakan peledakan bom atau baru membeli virus mematikan untuk menguasai dunia?

“Bagaimana kalau sesuatu yang orang itu berikan adalah sebuah tanggung jawab? Apakah kita harus berterimakasih juga?” setengah mengejek. Atau mungkin memang sindiran telak. Sarkastis. Sama sekali tidak manis. Seingatnya selama ini ia hanya bisa bersikap manis di hadapan para gadis.

Pertanyaan barusan memang ia lemparkan pada Mingi. Namun semua orang di sana tahu betul kepada siapa sarkasmenya ditujukan. Seonghwa. Dan yang ia lihat adalah kali ini giliran Seonghwa yang berhenti mengunyah. Terlihat seperti tiba-tiba kehilangan nafsu makan.

Hongjoong masih saja suka menyindir Seonghwa sejak terakhir melakukannya di Fever Escape semalam.

Seonghwa tentu saja merasa kesal. Namun ia hanya diam saja.

Ngomong-ngomong apa yang ia pertanyakan dalam pikirannya tentang seringaian Hongjoong barusan tidak ada yang benar. Payah.

Setidaknya sindiran Hongjoong tidak mengakibatkan sebuah ledakan atau kematian. Meski tetap saja terdengar sangat menyebalkan.

Mingi tersenyum ringan. Seringan ia menjawab, “Tentu.” Satu kata berbau stoik yang bukan merupakan tipikal ia.

Dahi Hongjoong mengerut. Tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu, “Kenapa?”

“Karena dengan itu kau belajar bagaimana memikul tanggung jawab. Kau masih tidak suka bertanggung jawab kan terkadang? Soal sekolahmu misalnya?” Mingi dengan sikap kasualnya. Ia menenggak jus jeruknya dengan santai.

Sial, batin Hongjoong. Kenapa harus diingatkan lagi sih soal kesalahannya di masa lalu itu? Sekarang kan ia akan belajar dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas pendidikannya.

“Makan yang banyak Seonghwa. Lihatlah tubuh kurusmu itu,” ujar Jongho.

“Masih terlihat kurus ya? Padahal terakhir aku menginjak timbangan, berat badanku bertambah drastis? Malah sepertinya selalu bertambah berat setiap harinya?”

“Banyak dosa mungkin?” ucapan Hongjoong mungkin sekilas terdengar iseng. Tapi nada sinis tidak pernah luput dari kalimatnya.

Mata Seonghwa mendelik tidak suka, “Lihat siapa yang bicara. Aku tidak tahu bajingan sepertimu masih ingat dosa?” meskipun saling melempar sarkasme, kehadiran Seonghwa telah membuat Strictland yang suram ini terlihat lebih hidup. Sedikit menyenangkan sebenarnya. Dan Mingi dan Jongho jadi punya banyak bahan ledekan untuk Hongjoong.

“Asal kau tahu. Kau sudah berutang nyawa pada si bajingan ini. Dua nyawa.” Skakmat. Balasan kalimat Hongjoong baru saja membuat Seonghwa sadar bahwa semalam pria itu telah menggagalkan aksi Mingi yang benar-benar ingin membunuh Seonghwa.

“Mulai sekarang kau akan memasak di sini. Setiap hari.”

“Hah?” kaget Seonghwa bukan karena Hongjoong baru saja mengganti topik tanpa proses. Melainkan karena ia paham betul maksud Hongjoong.

“Tidak hanya itu. Tapi juga menyikat kamar mandi dan membersihkan barang-barang sebulan sekali, mengepel lantai dan pergi ke laundry seminggu sekali, membersihkan lantai menggunakan vacuum cleaner dua hari sekali, dan mencuci piring setiap hari.

“Oh iya, kau tidak perlu membereskan kamarku. Aku bisa melakukannya sendiri. Kecuali membersihkan lantainya. Kau yang akan melakukannya. Tapi hanya itu saja. Tidak lebih. Karena kau tahu kan aku tidak suka kalau kau terlalu sering keluar-masuk kamarku? Yah, intinya, kau harus membersihkan seisi Strictland.”

Hah. Rasakan itu Park. Hongjoong benar-benar ingin membunuh Seonghwa secara perlahan.

“Aku harus melakukan semua itu?” tanya Seonghwa tidak percaya.

Hongjoong mengangkat sebelah bibir untuk mencipta seringaian, “Tempat ini begitu bersih. Kau pikir itu perbuatan siapa? Jin? Tentu saja kami yang melakukannya. Kami punya jadwal. Semua orang mendapat tugas. Tapi karena sekarang ada kau jadi kau saja yang melakukannya.”

“Uangmu melimpah. Kenapa tidak membayar seorang pelayan untuk melakukannya?”

“Tahu sendiri kan kalau kami tidak mempercayai siapa pun untuk bisa dibawa kemari? Lagi pula kau juga pernah menjadi pelayan di resort ayahku. Lalu di sini aku membiayai hidupmu. Apa bedanya dengan kau menjadi pelayan di sini dan aku membayarmu? Bahkan memberimu tempat tinggal yang terjamin keamanannya?”

“Tapi—”

Hongjoong memicingkan mata, “Dengar Park Seonghwa. Kau hanya menumpang di sini. Kau harus tahu diri.”

Ya, Seonghwa benar-benar tahu itu. Tapi tetap saja ia sangat ingin mencakar-cakar wajah Hongjoong di setiap kalimat pedasnya.

“Apakah menurutmu pekerjaan itu tidak terlalu berat untuknya? Kita biasa melakukan itu bersama-sama. Sekarang kau membebankannya pada dirinya seorang?” ujar Mingi.

“Tentu saja itu masih terbilang ringan. Satu hari paling sedikit hanya dua pekerjaan. Paling banyak hanya tiga karena ia bisa menyikat kamar mandi dan mengepel lantai di hari yang berbeda. Pengerjaannya juga tidak lama. Sisanya ia bisa bersantai, pergi jalan-jalan, belanja, dan banyak hal. Ya ... pintar pintar saja menej waktunya.”

“Kau benar. Tapi—”

“Aku akan melakukannya,” jawab Seonghwa segera, menginterupsi kalimat Mingi.

Mingi menatapnya prihatin, “Seonghwa.” Meskipun ia adalah pemimpin di sini, tapi tetap saja, Hongjoong yang telah membawa Seonghwa kemari. Hongjoong yang berhak mengatur apa pun soal apa yang harus dilakukan Seonghwa di sini.

Hongjoong menyeringai sekali lagi, “Bagus. Pastikan tidak ada barang yang pecah atau makanan yang tumpah.”

Seonghwa menunduk, “Aku mengerti.” Suaranya terdengar lirih.

Hongjoong bangkit. Meraih tas sekolah yang berdiri di samping kursi, “Aku berangkat sekarang.” Ia mulai melangkah, hendak berlalu.

“Tunggu.”

Langkah Hongjoong hampir menghabiskan jarak menuju pintu ruang makan saat Seonghwa memanggilnya.

Ia menoleh malas, “Ada apa?”

Seonghwa menghampiri Hongjoong dan menyodorkan sebuah—dua—kotak makan di hadapannya, “Ini bekal makan siangmu.” Ia tersenyum. Ia pikir sudah cukup ribut-ributnya. Jadi ia membentuk sematan palsu, tapi membuatnya terlihat setulus mungkin. Karena ia tahu Hongjoong akan menolak makanan itu. Dan jika ia tidak memberikan jenis senyuman ini ia yakin Hongjoong akan semakin tidak mau menerimanya.

“Apakah aku pernah memintamu untuk melakukannya? Aku bisa membeli makanan enak di luar sana.” Secara tidak langsung Hongjoong menolak. Lagi pula ia bukanlah golongan konvensional. Membawa bekal makan ke sekolah bukanlah gayanya. Terdengar sangat old-school.

“Masakanku juga enak kan? Tidak ada ruginya kalau kau membawanya.” Tersenyum adalah sesuatu yang paling ringan yang bisa membuat orang lain ikut bahagia melihatnya. Tapi entah kenapa jika sematan hangat itu ditujukan untuk Hongjoong meskipun Seonghwa baru melakukannya sebentar ia merasa pipinya sudah keram. Ia sesungguhnya benci melakukan ini. Namun ia terpaksa.

“Aku tidak perlu menghemat uang sepertimu sampai harus membawa bekal makan segala.” Dan tetap saja, tentu saja, kalimat yang dikeluarkan Hongjoong terus-menerus bernada sarkastik. Seperti biasa. Sesuai dugaan. Untuk beberapa alasan itu memang masih menyakiti hati Seonghwa, tapi sepertinya saat ini ia sudah mulai terbiasa.

Sudut lengkung senyumnya berangsur menumpul. Ia tidak repot-repot untuk berpura-pura tersenyum untuk mendengar jawaban menyakitkan.

“Terima saja Hongjoong. Terimalah ketulusannya melakukan itu untukmu.” Mingi masih menikmati makan paginya dengan tenang. Dalam kepala Seonghwa berterimakasih pada Mingi. Ia harap Mingi bisa mendengar suara kepalanya itu.

Hongjoong merotasikan bola mata muak, “Baiklah.” Menerima kotak itu, “Terima kasih Seonghwa.” Dengan tampang datarnya mengucapkan itu lebih dulu sebelum Mingi memperingatkannya. Karena jujur saja ia tidak menyukai cara Mingi berbicara padanya seperti pada anak kecil. “Aku pergi.” Dan akhirnya benar-benar berlalu.

“Lihat betapa galaknya dia? Apakah cara ini akan berhasil?” tanya Seonghwa.

“Kau meragukanku?”

“Tidak. Terima kasih karena telah menyarankanku untuk memasak pagi ini. Dan juga membuatkan bekal untuknya.”

“Ya. Tinggal ikuti saja kata-kataku.”

“Baiklah.”

Dengan satu tegukan terakhir Mingi mengakhiri sarapannya, “Aku akan membantumu menyelesaikan cucian piring. Agar cepat berakhir. Karena kita akan ke rumah sakit.”

“Kau sakit?”

“Tidak. Aku pikir setelah kejadian perutmu yang membentur meja bar semalam kau harus memastikan bahwa kandunganmu baik-baik saja.”

“Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”

“Just in case. There’s no harm in doing it, isn’t it? Lagi pula kebetulan aku punya teman, seorang dokter kandungan. Aku bisa memintanya memberikan perlakuan istimewa padamu.”

Sepasang alis Seonghwa bertaut. Rasanya aneh saja mengetahui ada seorang brandalan yang berteman dengan seseorang berpendidikan tinggi. Ia tidak tahu saja jika gambler pun banyak yang datang dari kalangan high educated. Bahkan mafia dan yakuza sekalipun memiliki dokternya sendiri. Masih banyak hal yang Seonghwa tidak ketahui di dunia ini. Ia masih harus diedukasi.

“Bagaimana bisa kau punya teman seorang dokter?” sebisa mungkin ia membuat intonasinya tidak terdengar seperti underestimate.

Dan sang lawan bicara berusaha untuk tidak terdengar offended dengan pertanyaan Seonghwa, “Ia adalah teman sekolahku saat SMP.”

Oh. Pantas saja.

“Namanya Leedo. Aku akan mengenalkanmu padanya.”

“Sudah selesai ultrasound-nya?”

Mingi yang sejak tadi menunggu di ruang kerja Leedo akhirnya melihat dokter itu dan Seonghwa keluar dari ruang pemeriksaan.

“Kalau belum selesai mana mungkin aku ada di sini?” Seonghwa menempati kursi berdampingan dengan Mingi yang berhadapan dengan Leedo. Mereka hanya dibatasi sebuah meja.

“Jadi apa saja yang kalian bicarakan di dalam sana tadi?”

“Banyak hal tentu saja,” jawab Leedo tidak terlalu deskriptif dan tidak informatif.

“Di antaranya?”

“Kau ingin aku memberitahumu?”

“Ya. Aku ingin tahu.” Dasar. Dari dulu sampai kau jadi dokter sekarang pun kau tidak berubah. Masih saja suka buang-buang waktu.

“Kandungan Park Seonghwa baik-baik saja.” Leedo tersenyum formal. Terlihat sangat normal. Tapi tidak jika sudut pandang Seonghwa yang melihatnya. Dokter ini tampak hot, Seonghwa pikir.

Menyukai pria adalah hal yang sangat menyenangkan. Dan Seonghwa sudah benar-benar tidak mengelak lagi.

Terutama ketika ia mengingat kejadian tadi. Saat Leedo memintanya untuk berbaring, menarik bajunya ke atas, membuka ritsleting celananya dan menurunkannya, lalu menyentuh permukaan kulit perutnya. Seonghwa tidak bisa berhenti berpikir macam-macam.

Mingi menghela napas lega, “Ah, syukurlah kalau begitu. Karena kalau terjadi sesuatu yang buruk itu semua salahku.”

“Hah?” reaksi Leedo.

“Tidak, tidak, dokter Kim. Tidak usah dipikirkan. Ia hanya menggumam sendiri kok barusan.” Seonghwa menoleh pada Mingi, “Lihat? Sudah kubilang kan aku baik-baik saja?”

Dan Leedo tidak akan ambil pusing. Karena sepertinya Seonghwa juga tidak ingin membahas itu. Jadi ia tidak memaksa dan hanya akan mengatakan apa yang seharusnya ia informasikan, “Anda hanya harus menjaga asupan gizi dengan baik. Dan hindari hal-hal yang bisa membuat anda tertekan. Apakah anda minum?”

“Tidak.”

“Merokok?”

“Ya.”

“Nah, anda harus menghentikan itu.”

“Aku mengerti, dokter. Dan oh iya. Tidak perlu seformal itu padaku. Panggil saja aku dengan namaku.” Dan Seonghwa merasa untuk pertama kali dalam hidupnya ia berbuat genit pada pria.

“Baiklah Seonghwa. Kalau begitu kau juga panggil saja aku Leedo.” Dokter itu menerima Seonghwa yang secara tidak langsung baru mengajak untuk lebih mengakrabkan diri.

“Baiklah Leedo.”

“Lalu apa lagi yang kalian dapatkan dari ultrasound tadi?”

“Bayinya perempuan. Dan tumbuh dengan sehat,” jawab Leedo.

Seonghwa menoleh untuk mendapati Mingi yang tengah menatapnya kagum. Dan tersenyum hangat pada Mingi ketika semburat kemerahan merona di kedua pipinya. Ya, Seonghwa dibuat merona karena Leedo membiarkan Mingi menjadi orang pertama yang mengetahui jenis kelamin bayinya, setelah Seonghwa sendiri di ruang pemeriksaan tadi tentu saja.

“Wow. Selamat Seonghwa. Ia akan menjadi anak yang cantik seperti ibunya kelak.”

“Tapi aku tampan.” Seonghwa memprotes.

“Lalu kalau ia cantik nanti, turunan siapa?”

“Nyonya Kim, atau nyonya Jung.” Kim adalah ibu Seonghwa. Dan Jung adalah ibu Hongjoong.

“Tapi kau juga cantik Seonghwa.”

Seonghwa mendengus. Tidak ingin lagi mendebatkan hal ini. Sudah terlalu banyak hal yang ia debatkan dengan Hongjoong. Dan sekarang ia sudah terlalu lelah untuk hal tidak bermutu itu. Jadi sebaiknya ia lanjut mendengarkan penjelasan Leedo. Sesuatu paling aktual dari deretan prosedur yang telah ia lalui selama beberapa jam terakhir.

“Kau memiliki bentuk tulang pinggul yang bulat sehingga memungkinkan untuk melahirkan dengan proses normal seperti wanita umumnya. Kau benar-benar memiliki akses untuk jalan keluar bayi.”

Seonghwa tidak tahu apakah ia harus senang dengan kabar yang satu ini? Di satu sisi ia tidak perlu mencemaskan: Aku pria. Nanti bayinya akan keluar dari mana? Namun di sisi lain ia benar-benar cemas karena jika ia akan melalui proses persalinan secara normal itu artinya ia akan merasakan sakit luar biasa yang biasanya hanya dialami wanita. Jadi, apa ia akan sanggup menghadapinya kelak?

Dan dengan kondisi Hongjoong dengan segala keapatisannya ia tidak bisa meminta Hongjoong untuk menyemangatinya. Setidaknya ia akan membutuhkan moral support secara verbal. Itu akan sedikit membantu. Lalu kepada siapa ia akan memintanya?

“Jadilah dokter untuk Seonghwa, Leedo. Untuk check-up rutin sampai tiba saatnya ia melahirkan nanti. Kau saja yang menangani proses kelahiran bayinya, oke?”

Benar juga. Leedo bisa menemaninya. Coret. Ia hanya diminta untuk menangani. Tidak masuk hitungan. Seonghwa tetap membutuhkan orang lain. Ia tidak mau hanya berjuang sendirian.

“Bisa diatur.”

“Jantungnya berdetak begitu cepat. Aku jadi semakin berdebar-debar melihatnya.”

Di dalam mobil sport yang serupa dengan milik Hongjoong, Seonghwa menceritakan sisa informasi yang belum diberikan Leedo pada Mingi. Ia terlalu antusias hingga tidak mau berhenti berbicara.

Mingi memfokuskan pandangan ke jalanan lengang di depannya. Dan ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa, “Woah. Kedengarannya hebat. Lalu apa lagi?” maka ia memilih untuk berkata seakan ia terkesan. Untuk tetap menghidupkan suasana baik di hati pria yang saat ini duduk di sampingnya. Mingi tidak berharap tanggapannya barusan akan menghentikan dengan sendirinya rentetan kalimat Seonghwa. Karena hal itu memang tidak cukup efektif.

“Um … ia bergerak dengan sangat aktif. Melompat, menendang, dan gerakan lainnya. Lalu ia juga cegukan. Lucu sekali.” Seonghwa tersenyum lebar mengingat segala aktivitas janinnya yang ia lihat di dalam layar tadi, “Ia sudah sebesar buah jeruk sekarang.”

“Sebesar jeruk? Tapi kenapa permukaan perutmu masih terlihat rata? Ya ... hanya membuncit sedikit sih.”

“Tentu saja. Ia sebesar tangerine. Bukan jeruk Huang.” Huang adalah jeruk terbesar. Awalnya hanya di Taiwan, dan sekarang di dunia. Jadi janinnya akan sebesar buah itu jika sudah menginjak bulan kesembilan. Tidak sekarang. “Pendengarannya sudah berfungsi. Ia bisa mendengar apa pun yang dikatakan semua orang yang berada di sekitarnya.”

“Aku juga sudah bilang kan? Kau harus mengatakan hal-hal baik padanya.”

“Tentu.”

“Hongjoong harus tahu ini. Semua hal menakjubkan tentang perkembangan anakmu.”

Seonghwa menunduk, kembali terlihat murung, “Apa kau pikir ia akan peduli?”

“Lakukan saja. Jangan menyerah.”

“Aku bahkan tidak tahu apakah ia memakan bekal makan siang yang kumasakkan untuknya atau tidak?” Seonghwa memasang tampang skeptis lebih tebal.

“Mau memastikannya?”

“Caranya?”

“Sebentar lagi jam istirahat makan siangnya tiba. Kita bisa pergi ke sekolahnya untuk melihat. Jika ia tidak berada di kelas berarti ia berada di kantin dan tidak memakan bekalmu. Karena ia akan memakan bekalnya di dalam kelas.”

Mingi tahu itu. Karena meskipun Hongjoong mengaku bahwa dirinya bukanlah golongan konvensional, ia juga pernah membawa bekal makan sendiri. Yah, setidaknya itulah yang pernah ia ceritakan pada Mingi.

“Lihat. Ia berada di kelas.”

Seonghwa dan Mingi berdiri di koridor, tepatnya ambang pintu kelas bagian luar. Memperhatikan Hongjoong yang berada di tempat duduknya. Bangku paling belakang dekat jendela yang menghadap langit cerah Seoul di luar sana. Ruang kelas itu terlihat jauh lebih baik dibandingkan sekolah Seonghwa dulu. Sekolah buangan ternyata tidak seburuk yang dibayangkan.

Mereka tidak bersembunyi atau mengintip. Namun Hongjoong tidak menyadari keberadaan keduanya.

“Kau benar. Tapi ia tidak makan? Malah sepertinya ia terlihat asik pacaran. Siapa itu?” yang Seonghwa lihat adalah Hongjoong duduk bersama seorang gadis yang tentu saja adalah teman sebangkunya. Dan mereka terlihat terlalu intim untuk ukuran teman biasa. Maka demikianlah Seonghwa menarik konklusi.

Tidak heran jika Hongjoong tidak menyadari kedua orang yang sedang mengawasinya. Ia terlalu asik dengan dunianya.

“Shen Xiaoting. Dan tepat sekali, itu adalah pacarnya.”

“Oh.” Seonghwa menanggapi singkat. Sedetik kemudian ekspresinya berubah, “Lihatlah, Mingi. Ia mengeluarkan bekalnya dari bawah meja.”

“Tumben sekali kau membawa bekal makan? Pantas saja menolak ajakanku ke kantin,” ujar Xiaoting.

“Ya. Seseorang membuatkannya untukku.” Hongjoong membuka tutup kotak makan itu. Ia melihat kimbab, telur gulung, sosis goreng, dan kimchi yang tersusun rapi. Yah, tipikal konten bekal makan siang ala Korea. Hongjoong berdecih. Tampilannya masih tidak seindah jika Hongjoong yang menatanya.

Jadi dia sedang mencoba untuk membeli hatiku dengan makanan jelek ini? Ia pikir ini akan berhasil? Cih. Yang benar saja.

“Siapa? Mingi? Jongho? Atau siapa?” gadis itu membantu Hongjoong membuka tutup kotak bekal satunya. Dan yang kemudian mereka lihat adalah potongan-potongan segar kiwi, semangka, anggur, dan stroberi, sebagai pencuci mulut.

“Bukan mereka.”

“Kalau begitu … pasti perbuatan … antara Yena atau Shuhua. Iya kan?” Xiaoting mencoba menerka. Kedua nama yang ia sebutkan barusan adalah kekasih Hongjoong yang lain. Yena adalah seorang teman seangkatan dari kelas sebelah. Shuhua adalah seorang adik kelas. Jadi mereka adalah posibilitas terbesar jawaban dari pertanyaan Xiaoting.

“Bukan juga.”

“Lalu siapa?”

“Tidak usah dipikirkan. Yang penting sekarang makanan ini ada. Kau mau?”

Xiaoting menatap curiga. Hongjoong mencoba mencari distraksi, artinya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah Hongjoong diam-diam sudah menambah pacar lagi tanpa sepengetahuannya? Tapi gadis itu mencoba untuk tidak memikirkan hal ini lebih jauh. Karena selama Hongjoong masih memperlakukannya dengan baik, ia tidak akan keberatan.

Dan mereka akan menikmati makan siang itu berdua.

Hongjoong menggigit kimbabnya. Sedikit. Ia masih ragu. Karena menurutnya makanan ini kelihatan tidak enak. Mungkin iya Seonghwa bisa membuatkan sarapan enak. Tapi bukan berarti ia bisa membuatkan sesuatu seenak makan pagi untuk makan siang juga kan?

Hongjoong mengunyah nasi gulung itu perlahan. Mencoba merasakan makanan itu di indera pengecapnya secara detail.

Ternyata enak. Hongjoong pikir. Ia mengigit lebih besar.

Tidak mentah, dan tidak terlalu matang. Sedikit kenyal. Mereka memantul-mantul di dalam mulutku. Tidak hambar, tapi tidak terlalu asin. Benar-benar pas. Ia telah memperhitungkan segalanya dengan baik.

Hongjoong mengevaluasi secara mental. Dan sebenarnya kagum dengan hasil tangan Seonghwa.

Tidak sia-sia aku membeli banyak buku resep masakan dan menyimpannya di kabinet.

“Ia tampak puas dengan rasanya,” ungkap Seonghwa yang juga merasa puas melihat ekspresi Hongjoong.

“Ia menghargaimu dengan tidak membuang makanan itu. Atau setidaknya memberikan seluruhnya pada orang lain.”

“Ini enak sekali oppa.” Xiaoting tersenyum hingga matanya ikut tersenyum. Tanda bahwa ia menikmati telur gulung yang bergoyang di lidahnya.

“Kau benar,” jawab Hongjoong apa adanya. Meskipun tidak menyukai seseorang yang memasaknya ia akan tetap memuji makanan itu jika ia menyukainya.

“Besok aku yang akan membuatkan bekal untukmu, oke?”

“Boleh, sayang. Buatkan yang banyak. Aku akan menghabiskan semuanya. Tapi masakanmu harus enak.”

“Tentu saja. Kau pikir Yuqi saja yang bisa memasak?” nama yang disebutkan barusan adalah kekasih Hongjoong yang paling jago memasak. Hongjoong mendapatkan gadis itu ketika berlibur ke Beijing. Dan gadis oriental itu adalah anak pemilik restoran three star michelin Eropa terbaik di negaranya. Yah, tidak heran.

“Ya.” Hongjoong menjawab polos karena tidak begitu peduli apakah gadis di sampingnya kini akan merasa kesal atau menunjukkan emosi buruk lainnya. Sejak awal sudah sangat terlihat jelas bahwa Hongjoong bukanlah tipe pria yang akan menjaga perasaan pasangannya dengan baik. “Aku belajar darinya. Kau juga harus memintanya untuk mengajarimu.”

Xiaoting melipat kedua lengan di dada, “Halah. Paling juga dia hanya bisa memasak makanan khas Eropa.”

Hanya? Apakah masakan Eropa terdengar semudah itu untuk dimasak sehingga ia bisa berkata demikian?

“Tidak. Ia bisa memasak makanan khas di seluruh dunia jika ia mau.” Hongjoong tidak bermaksud membela Yuqi atau membuat Xiaoting cemburu. Tidak, ia tidak perlu repot-repot melakukan itu untuk mendapat perhatian kekasihnya. Ia hanya ingin mengatakan apa yang ia pikirkan apa adanya.

“Sudahlah. Aku tidak suka kalau kau membandingkanku dengannya. Apalagi jika kau mengatakan bahwa aku tidak lebih baik darinya.”

“Kalian begitu akrab. Moreover, you guys speak same language. Kenapa sekarang kau terlihat tidak menyukainya?”

“Sudah kubilang aku hanya tidak suka kalau kau membandingkanku dengannya.”

“Kau pikir memang siapa yang lebih dulu membahasnya?”

“Sudah puas? Tidak penasaran lagi kan?” tanya Mingi.

Seonghwa mengangguk, “Sekarang kita akan ke mana?”

“Kau masih mau jalan-jalan?”

“Tentu. Kapan lagi kita bisa seperti ini?”

“Menonton, berbelanja, dan makan siang? Bagaimana?”

“Ide bagus. Setelah itu jalan-jalan ke taman kota dan membeli permen kapas di sana.”

Ini hanya Mingi, atau Seonghwa memang tiba-tiba tampak bertingkah seperti anak perempuan sekarang?

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Hongjoong yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapan mereka.

“Kau mengagetkanku,” protes Seonghwa.

“Kenapa harus mengikutiku sampai ke sini sih? Tidak cukupkah kau mengganggu hidupku di luar sekolah? Dasar penguntit.”

“Tadinya aku datang kemari hanya ingin memastikan saja. Tapi tidak menyangka kau akan melihat kami.”

“Kalian berdiri di depan pintu dengan jelas menjulang seperti itu siapa yang tidak bisa melihat? Kalian sudah menjadi pusat perhatian di sini karena tidak memakai seragam sekolah.” Hongjoong memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Terlihat kasual.

“Para guru juga tidak memakai baju seragam sekolah tapi tidak menjadi pusat perhatian,” jawab Seonghwa logis sekaligus sinis.

Hongjoong memutar bola matanya malas. Ribut lagi. Kenapa orang-orang susah senang sekali mencari ribut sih? “Mereka berpakaian layaknya guru. Kalian tidak terlihat seperti guru.”

“Tapi kami tidak memakai pakaian aneh atau tidak sopan sampai-sampai harus menjadi pusat perhatian segala?”

Hongjoong ingin sekali mencekik Seonghwa rasanya, kalau saja hal itu tidak akan membuatnya menjadi pusat perhatian lebih mencolok dari Seonghwa. “Sudahlah. Memangnya kau mau memastikan apa?”

“Bahwa kau memakan bekalmu.”

“Tentu saja aku memakannya. Biarpun aku memiliki banyak uang aku tidak pernah membuang-buang makanan.”

“Ah, syukurlah. Kalau begitu besok akan kubuatkan lagi.”

“Tidak perlu. Besok Xiaoting yang akan melakukannya.”

“Oh.” Seonghwa bingung harus menanggapi seperti apa selain satu kata pendek barusan. Jadi ia pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengganti topik. Pembicaraan yang menjadi tujuan lain ia datang kemari, “Aku habis check-up tadi.”

“Lalu? Untuk apa kau menginformasikan itu padaku? Berharap aku bertanya bagaimana kondisi janinmu?”

Seonghwa tidak ingin menciptakan scene. Maka ia lebih memilih untuk mengabaikan kalimat sinis menyebalkan Hongjoong. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Memberikan benda itu pada Hongjoong.

Hongjoong memperhatikan benda yang sekarang telah berpindah ke tangannya.

“Itu adalah gambar anak kita. Ia sudah besar. Maksudku, seluruh anggota badannya sudah terbentuk semua.” Ya, Hongjoong tahu itu. Seonghwa tidak perlu menjelaskan perkara gamblang macam barusan. “Ia perempuan. Kau akan menjadi ayah dari seorang anak perempuan.”

Hongjoong menatap jijik gambar itu, “Ya ampun. Astaga. Ini mengerikan. Kau benar-benar membawa makhluk seperti ini dalam tubuhmu?”

Seonghwa mengerutkan kening, “Mengerikan? Tidakkah kau merasa kagum? Sama sekali?”

“Merasa kagum dengan sesuatu yang tidak kuinginkan? Lucu sekali.”

“Kalau kau tidak bisa mengatakan sesuatu yang baik sebaiknya kau diam. Daripada menyakiti perasaan orang lain dengan kalimat kejammu.” Seonghwa kembali terdengar sentimentil setelah beberapa lama mencoba untuk bersabar.

“Terserah. Ini, bawa kembali foto ini.” Hongjoong hendak mengembalikan benda itu pada Seonghwa.

Namun Seonghwa mendorong tangan Hongjoong pelan, menolak perlahan, “Tidak. Aku ingin kau menyimpannya.”

“Untuk apa? Aku tidak membutuhkan benda seperti ini.”

“Pokoknya simpan saja.”

Hongjoong memasukkan foto itu ke dalam saku jas seragam sekolahnya, “Puas? Sekarang kau bisa pergi dari sekolahku?”

“Bisa. Tapi sebelum aku pergi aku ingin meminta sesuatu padamu.”

“Sejak pertama kali kita bertemu juga kau ini memang banyak maunya.”

“Tentu saja. Ini kan untuk kebutuhan.”

“Katakan. Cepat. Xiaoting menungguku.”

“Aku akan berbelanja. Jadi …” Seonghwa sengaja menggantungkan kalimat karena ia yakin Hongjoong pasti mengerti maksudnya.

Hongjoong mendengus sebal. “Oke, aku akan segera mentransfernya.”

“Baiklah. Maaf sudah mengganggumu.”

Hongjoong memasang resting bitch face andalannya, “Kau selalu menggangguku.”

“Oke, aku akan pergi sekarang.”

“Oh iya, satu hal lagi.”

“Ya?”

“Orang tuaku baru kembali dari hometown ibuku di San Francisco. Jadi malam ini aku akan pulang ke rumahku di Anyang untuk menyambut kedatangan mereka. Jadi kalau kau mau memasak, jangan banyak-banyak. Cukup buatkan untuk Jongho dan Mingi saja.”

Ayah dan ibu Hongjoong tahu bahwa putra mereka satu-satunya—karena sisanya adalah perempuan—adalah seorang anggota gambler dan tinggal di Strictland. Dan mereka tahu, menasihati Hongjoong hanya akan membuang-buang waktu.

Jadi pada akhirnya mereka merasa kewalahan dan tetap membiarkan Hongjoong menjadi seperti itu. Asalkan ia masih belajar dengan baik di sekolah. Dan Hongjoong hanya akan patuh dalam hal ini karena ayahnya menjaminkan perusahaan resort-nya jika ia bisa lulus tahun ini dengan nilai yang memuaskan.

Dan alasan Hongjoong harus sampai repot-repot menyambut kedatangan orang tuanya, bukan sekadar alasan sepele seperti meminta souvenir. Melainkan karena ayah dan ibu Hongjoong memang tinggal di San Francisco untuk tuntutan bisnis dan kembali ke Korea hanya satu kali dalam dua bulan.

“Kenapa kau harus bilang? Kupikir apa pun yang akan kau lakukan tidak akan kau informasikan padaku?” Seonghwa berujar sarkastik.

“Kalau aku tidak bilang, kau akan memasak terlalu banyak. Nanti siapa yang akan memakannya?”

“Jadi kau peduli padaku? Tidak ingin apa yang kumasak menjadi sia-sia?”

“Jangan terlalu percaya diri. You know I don’t like wasting foods. Dan aku juga tidak suka ada orang lain yang melakukannya.”

Selanjutnya mereka menutup pembicaraan. Seonghwa dan Mingi melangkah pergi, Hongjoong memperhatikan punggung mereka hingga menghilang di balik persimpangan koridor.

Ia mengeluarkan kembali foto itu dari dalam saku blazer seragamnya. Memperhatikan kembali gambar di atas permukaan kertas licin itu.

Dengan ultrasound empat dimensi ia bisa melihat sosok janin itu. Memang tidak nyata. Itu hanyalah gambar hasil dari kumpulan gelombang yang disorotkan pada permukaan perut Seonghwa yang tertutup.

Tapi makhluk mungil itu terlihat nyata. Dengan tangan kanan kecilnya yang tampak sedang menggosok sebelah mata yang tertutup. Dan tali pusat yang melayang-layang hingga sekitar dada. Tali yang menjadi sumber kehidupan utama baginya. Benda yang menjadi perantara Seonghwa menyalurkan kasih sayang dan kehangatan.

Aku masih tidak percaya aku telah membuat makhluk seperti ini.

“Hei makhluk mengerikan. Kau telah menambah beban hidupku, kau tahu?” ia menyentil foto itu. Berbicara padanya seakan sosok itu benar-benar berada di hadapannya.

Ia melihat tempat sampah berdiri dua meter dari tempatnya berdiri dan sebuah ide untuk membuang foto itu muncul.

Ia berjalan mendekati tempat sampah dan hendak membuang benda di tangannya.

Sekarang hanya tinggal melepaskan tangannya dari foto itu dan semua selesai. Namun setelah ia melihat kembali gambar pada lembaran tipis itu ia menarik kembali tangannya.

Aku simpan saja. Lumayan. Sebagai barang bukti bahwa aku adalah lelaki perkasa.

Dan juga bajingan.

“Aku sudah mentransfer ke rekeningmu.”

“Berapa?”

“Sepuluh juta won.”

“Wow. Itu sangat banyak.”

“Sengaja. Supaya aku tidak terlalu sering melakukannya. Jadi belanjakanlah dengan bijak. Karena mentransfer uang itu membuang-buang energiku.”

“Kenapa kau sebegitu tidak pedulinya padaku sehingga memberi uang saja terasa sangat melelahkan bagimu?” jika Seonghwa bisa ia ingin Hongjoong melihat wajah kesalnya saat ini.

“Kau itu dungu atau idiot? Gajah saja punya ingatan lebih baik darimu. Belum dua puluh empat jam sejak aku mengatakan padamu bahwa aku hanya akan memberikan uang. Tidak yang lainnya termasuk menunjukkan kepedulian. Dan kau sudah bertanya lagi soal itu?” Saat dimana Hongjoong memaki-maki Seonghwa datang lagi. Seonghwa bisa membayangkan tatapan yang akan Hongjoong berikan padanya jika mereka berkonfrontasi secara langsung. Sebuah tatapan intimidasi.

“Setiap makhluk memiliki kelebihan masing-masing. Jadi kau tidak perlu membandingkanku dengan binatang. Terlebih, gajah? Keterlaluan.”

Seonghwa langsung memutus sambungan. Tidak berminat mendengarkan balasan kalimat sinis Hongjoong lainnya.

Dengan tingkat kepedulian yang Mingi miliki ia mungkin ingin berkomentar. Itu jika ia menyadari isi percakapan yang terjadi antara Seonghwa dan Hongjoong. Tapi kenyataannya ia tidak mendengarnya. Karena terlalu memfokuskan pandangan pada layar komputer di meja kerja ruang tengah. Memantau tangkapan beberapa CCTV mode gelap yang dipasang di setiap sudut Dystopia, terpampang di sana. Dan ia melihat salah satu dinding bergeser.

Ia mengeraskan volume. Karena tidak hanya kamera, ia juga memasang mikrofon untuk mengobservasi apa yang terjadi di lorongnya secara spesifik.

Mingi merasakan sensitifitas indera pendengarannya menajam. Ia bisa mendengar derit katrol berkarat di balik pergerakan dinding—ia akan melumuri pelumas lebih banyak setelah ini. Lalu friksi beton yang menghasilkan panas. Juga beberapa kali suara desis ular retic yang biasa berkeliaran untuk melenyapkan sisa bangkai manusia. Dan esensi dari dinding yang bergeser, embusan napas tidak teratur dari kegugupan manusia.

Manusia.

Ada sebuah keberadaan di sana.

Mingi menyeringai.

Satu lagi orang yang akan menghabiskan sisa hidupnya selama dua minggu di balik ruangan kedap suara. Aku harap itu bisa menjadi pelajaran untuk penyusup lainnya agar tidak sembarangan memasuki Strictland dengan melewati Dystopia yang mematikan yang telah kurancang.

“Pertama-tama apa yang akan kau lakukan dengan uang itu?” meskipun tidak mendengar pembicaraan Seonghwa, Mingi tahu pria itu telah mengakhirinya. Jadi ia bertanya basa-basi.

“Aku akan membeli motor sport.” Seonghwa juga terfokus pada kegiatannya sendiri. Duduk nyaman di atas sofa sambil membuka-buka beberapa novel yang tadi ia beli bersama Mingi di toko buku yang jaraknya hanya tiga blok dari gedung parkir di atas tempat ini.

“Kau suka mengendarai motor balap?” Mingi mengarahkan kursor pada salah satu persegi dalam layar. Men-zoom in untuk bisa melihatnya lebih jelas.

“Tidak. Hanya saja ketika aku kelas satu SMA aku pernah meminjam motor sport milik temanku. Rasanya menyenangkan. Sayangnya harganya terlalu mahal. Keuanganku tidak mampu untuk membelinya. Belum lagi untuk membiayai pajaknya.”

Saat Seonghwa bercerita, di waktu yang sama ia sedang membangun tekad untuk menyelesaikan novel di tangannya dalam tenggat waktu tujuh hari. Lament for Four Virgins yang ditulis oleh Lael Tucker. Lowkey, itu adalah salah satu penulis yang ia kagumi karya-karyanya. Dan setelah Seonghwa menunggu selama dua tahun akhirnya mereka menerbitkan terjemahannya ke dalam bahasa Korea.

“Lantas kau akan membelinya sekarang?”

“Sebenarnya Hongjoong berpesan untuk membelanjakan uangnya dengan bijak. Tapi harga motor yang kuinginkan hanya sekitar tiga juta. Masih cukup bijak bukan?”

“Lalu setelah itu kau akan mengendarainya ke mana pun kau pergi?”

“Ya.”

“Kenapa tidak beli mobil saja? Itu lebih aman. Kau tidak harus mencari tempat untuk berteduh in case di tengah perjalanan hujan mengguyurmu.”

“Aku sudah menginginkan motor ini sejak lama. Motor ini adalah impianku. Dulu aku berpikir bahwa keinginanku itu sangatlah tidak realistis, melihat kondisi finansial ayahku. Jangankan untuk beli kendaraan yang tidak begitu dibutuhkan, untuk makan sehari-hari saja sudah terseok-seok. Tapi jalan takdir seseorang, siapa yang tahu kan? Ternyata pada akhirnya aku bisa mendapatkannya. Meski aku harus mengalami serangkaian kesialan dulu sebelumnya.”

Seonghwa membuka novel berikutnya. Thick as Thieves oleh JR Hudson. Sebuah cerita ber-genre crime-drama dengan aroma seks menguar memenuhi sebagian isi buku itu. Salah satu bagian dari cerita itu adalah sepasang kekasih yang melakukan sexual intercourse, kemudian prianya pergi, lalu wanitanya hamil dan berakhir merawat anak itu sendirian. Mengingatkan Seonghwa akan dirinya. Tapi setidaknya Hongjoong tidak meninggalkannya hingga anak mereka lahir dan tumbuh besar.

“Ngomong-ngomong Jongho ke mana?” Seonghwa baru sadar bahwa satu anggota lainnya tidak bersama mereka.

“Entahlah.” Mingi bukan benar-benar tidak tahu. Justru ia tahu. Beberapa tempat yang biasanya Jongho kunjungi di jam-jam ini. Ada banyak sekali pilihan. Jadi ia tidak tahu tempat yang mana?

“Ia tidak marah kan aku meminjammu seharian ini untuk menemaniku?”

“Tidak. Ia memiliki seorang kekasih. Jadi ia tidak akan merasa kesepian ketika tidak ada aku atau Hongjoong bersamanya.”

Dan setelah kalimat terakhir itu ia melihat di layar komputernya. Penyusup itu berteriak histeris karena ular retic mulai melilit tubuhnya.

Ular itu tidak sebesar anaconda, tapi kekuatannya seperti sama saja.

Mingi menampilkan seringai paling menawan yang tidak pernah Seonghwa lihat sebelumnya.

Makasih banyak buat yg udah kasih feedback :3

It’s strongly appreciated!

Spam komen lagi dong yg banyak biar bisa dapet shout out :3

Shout out:

Nurul4Wadi
⭐⭐⭐⭐⭐

LaliKandra
⭐⭐⭐⭐

choiywoo
⭐⭐⭐

raesrafaila
⭐⭐

Continue Reading

You'll Also Like

97.9K 8.3K 83
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
201K 20.5K 33
[ORIGINAL STORY BY AFRILMOON/REMAKE] Lee Minho adalah seorang idol terkenal abad ini, tapi dalam masa keemasannya ini ia harus dipusingkan oleh seor...
957K 78.1K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
7.4K 367 17
Sama-sama menyandang status sebagai berandalan sekolah tapi tidak saling mengenal satu sama lain.. San yang terkenal sadis dan pembully sedangkan woo...