AVENGEMENT ( ✔ )

By dilselflovetion

278K 22.9K 1.7K

Khansa Nuria Pramadita hanyalah seorang gadis yang ingin merasakan setidaknya 1 kali kebahagiaan didalam hidu... More

INTRODUCTION
AVENGEMENT - 1
AVENGEMENT - 2
AVENGEMENT - 3
AVENGEMENT - 4
AVENGEMENT - 5
AVENGEMENT - 6
AVENGEMENT - 7
AVENGEMENT - 8
AVENGEMENT - 9
AVENGEMENT - 10
AVENGEMENT - 11
AVENGEMENT - 12
AVENGEMENT - 13
AVENGEMENT - 14
AVENGEMENT - 15
AVENGEMENT - 16
AVENGEMENT - 17
AVENGEMENT - 18
AVENGEMENT - 19
AVENGEMENT - 20
AVENGEMENT - 21
AVENGEMENT - 22
AVENGEMENT - 23
AVENGEMENT - 24
AVENGEMENT - 25
AVENGEMENT - 26
AVENGEMENT - 27
AVENGEMENT - 28
AVENGEMENT - 29
AVENGEMENT - 30
AVENGEMENT - EPILOG

AVENGEMENT - EXTRA : Jerome's POV

5.6K 432 42
By dilselflovetion



Kadang gue selalu bertanya-tanya, apa yang salah dari diri gue sampai gue harus merasakan yang namanya 'perpecahan' di dalam keluarga inti gue sendiri.

Kalau diingat-ingat lagi, terakhir kali gue pergi dan makan bareng sama keluarga secara lengkap itu waktu kelas enam SD. Lebih tepatnya setelah gue berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan gue berhasil masuk ke SMP favorit dari dulu selalu gue idam-idamkan. Makan malam itu terasa agak berbeda karena mama yang biasanya terlihat hangat dan lembut mendadak jadi begitu pendiam. Dia bahkan nggak merespon ketika Laura berusaha menarik perhatiannya dengan minta disuapi makanan yang justru malah membuat mama melotot sinis ke arah dia.

Dan setelah makan malam itu selesai, gue baru menyadari kalau keadaan mama dan papa lagi nggak baik-baik aja. Gue sering dengerin mereka berantem dengan suara yang sengaja direndahkan, namun itu sama sekali nggak bisa menyamarkan amarah yang terdengar dari nada suara mama. Sedangkan papa terlihat jauh lebih tenang malah cenderung dingin menanggapinya.

Gue baru aja ulang tahun yang 13 waktu itu dan gue masih terlalu muda untuk mengerti apa yang sedang mereka hadapi. Baik papa maupun mama pun juga berusaha sebisa mungkin untuk tetap terlihat baik-baik aja di depan gue dan kedua saudara perempuan gue, papa juga tetap bersikap hangat dan penuh perhatian seperti biasanya, tapi mama justru malah sebaliknya. Wanita yang udah melahirkan gue ke dunia itu perlahan mulai menjaga jarak dari gue, dari kami bertiga.

Mama juga mulai jarang ada di rumah. Dia lebih suka menyibukkan diri di kantor dan kalau pun pulang, dia akan memilih untuk mendekam di kamar sampai pagi mejemput. Siklus itu terus berputar sampai gue lulus SMP dan kembali berlanjut begitu gue masuk ke jenjang SMA. Dan di masa SMA ini, mama mulai kembali mendekati gue. Dia mulai mengajak gue bicara dan berusaha untuk bersikap selayaknya ibu namun topik obrolannya tak pernah jauh dari kejelekan-kejelekan yang ia umbar soal papa dan betapa ia membenci lelaki yang sangat mencintainya itu.

Saat itu gue bertanya dalam hati, apa yang membuat mama begitu membenci papa. Tapi pertanyaan itu tak pernah terjawab. Kehidupan di rumah mulai membuat gue gerah, tapi sebisa mungkin gue berusaha untuk tetap mengukir prestasi di sekolah. Jangan sampai hanya karena perpecahan yang terjadi di dalam keluarga membuat gue berubah menjadi anak yang nakal.

"Jerome, anak-anak osis pada mau nongkrong di kafe deket sekolah nih habis ini, lo ikut ya?"

Gue mengalihkan pandangan dari aktivitas gue memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas pada Silena yang berdiri di depan gue. Perempuan cantik itu tersenyum manis dan gue bisa lihat dengan jelas bagaimana sorot matanya itu nampak begitu berharap bahwa gue akan ikut. Tapi sayangnya gue udah ada acara sendiri sore ini, jadi gue terpaksa harus menolak.

"Sorry, gue udah ada acara sore ini. Next time aja ya?"

Silena terlihat sedikit kecewa, tapi nggak cuma dia, beberapa anak osis yang menunggu di dekat pintu kelas pun ikut kecewa mendengar jawaban gue.

"Hmm ya udah deh kalau gitu. Lain kali lo harus ikut gabung ya, Jer?"

"Iya. Maaf ya."

Setelah itu Silena pergi meninggalkan kelas bersama beberapa anak osis yang ternyata juga merasa kecewa karena gue nggak bisa ikut hari ini. Yah tapi gue udah punya janji duluan sama temen gue yang sekolahnya terletak nggak jauh dari sekolah gue. Sore ini kita mau main basket di sana sekaligus memperbaiki tali silaturahmi yang sempat kusut akibat pertikaian antara murid di angkatan-angkatan sebelum angkatan gue dulu.

Nggak butuh waktu lama bagi gue untuk sampe ke SMA Ranajaya yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 15 menit. Gue nunggu temen gue, Hazmi, di depan gerbang yang telah terbuka lebar itu sambil ngirim sms ke dia supaya gue bisa disamperin ke depan. Dan sembari nunggu, gue pun memandangi para murid Ranajaya yang keluar dari sekolah itu satu-persatu. Ada yang sendirian, ada juga yang bergerombol. Beberapa dari mereka yang tentunya berjenis kelamin perempuan langsung bisik-bisik antara sesamanya sambil ngeliatin gue, sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki langsung menyapa gue tanpa ada rasa canggung sama sekali.

Gue tersenyum sambil membalas sapaan serta menjabat tangan mereka satu-persatu sampai akhirnya perhatian gue teralih pada sesosok gadis dengan rambut panjang hitam legam yang dikuncir tinggi, berkulit putih bersih, bertubuh langsing dan juga lumayan tinggi untuk ukuran perempuan serta bibir berwarna kemerahan alami tanpa polesan pewarna bibir apapun.

Trust me. I've seen a lot of beautiful girls since I was still in junior high school, but i've never seen the one that looks like her before.

Dia nggak sadar kalau gue ngeliatin dia karena fokusnya sibuk ke layar ponselnya sendiri. Dan begitu dia lewat di depan gue, entah kenapa gue merasa seperti ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dada dan gue nggak ngerti kenapa gue bisa ngerasa kayak gitu. Tapi perhatian gue langsung teralihkan lagi begitu Hazmi datang.

"Sorry, nunggu lama ya bro?" Hazmi nyengir lebar dengan raut bersalah.

"Nggak kok. Santai aja. btw Mi—" gue menoleh lagi ke arah cewek tadi yang posisinya sudah berjalan lumayan jauh namun punggungnya masih sedikit kelihatan. "Itu cewek yang dikuncir itu, siapa namanya?"

"Dikuncir?" Hazmi ikut menatap kemana arah jari telunjuk gue mengarah lalu kemudian dia ketawa. "Oh, itu Khansa. Temen deketnya Jira, gebetan gue. Hahaha."

"Namanya Khansa?"

"Iya. Cantik ye?" Hazmi nyengir lebar. "Selain cantik, dia juga baik dan pinter banget tau Jer. Lo mau pepetin dia? Boleh juga selera lo."

"Gue nggak bilang kalau mau deketin dia."

Tapi sayangnya, ucapan gue itu nggak selaras dengan apa yang gue rasain di dalam hati.





***






Well, mungkin awalnya gue emang ada niatan buat deketin Khansa. Sampai akhirnya gue dikejutkan dengan sebuah fakta bahwa ternyata dia adalah anak tante Amaya. Perempuan yang merupakan temen deket mama waktu SMA sekaligus orang yang mama bantu agar bisa bekerja di perusahaan papa. Gue pernah lihat dia main ke rumah beberapa kali, tapi dia nggak pernah sekalipun ngajak anaknya itu untuk ikut. Saat itu gue masih belum curiga karena hubungan dia dan mama masih terlihat baik-baik aja.

Sampai akhirnye gue kembali dikejutkan dengan fakta lain dimana ternyata tante Amaya dan papa mulai menjalin hubungan secara diam-diam. Hubungan haram itu mulai terendus oleh mama saat dia tak sengaja bertemu dengan mereka berdua yang sedang makan siang bersama. Keduanya mengobrol sambil tertawa bahagia, saling menyentuh wajah dan menggenggam tangan tanpa ada rasa malu sama sekali. Kira-kira itulah yang mama ceritain ke gue.

Neraka yang sebenarnya memang sudah tercipta di rumah kini apinya kian membesar. Gue bener-bener harus bisa belajar dan mempertahankan prestasi gue di tengah-tengah konflik yang melanda keluarga di rumah. Kak Tiara yang saat itu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jerman pun terpaksa harus ninggalin gue sama Laura. Gue berusaha untuk menutup telinga gue dari semua cerita-cerita mama soal perselingkuhan papa, dan gue juga harus menguatkan iman untuk nggak menerjang papa dan menghajar wajahnya yang nampak bak malaikat itu. Satu-satunya orang yang gue sayang, orang yang selalu gue jadikan panutan dan orang yang selalu ada buat gue itu kini nggak lebih dari sekedar sampah kotor yang sama sekali nggak layak untuk didaur ulang.

Getaran yang gue rasain untuk Khansa juga ikut terkena dampaknya. Niat gue untuk ngedeketin dia pun sirna tak berbekas dan diganti dengan rasa benci dan dendam yang teramat sangat. Waktu sekolah gue ngadain pentas seni, gue lihat dia dateng barengan sama Jira.

She looks so beautiful.

Bahkan disaat gue udah mulai membenci dia, getaran yang gue rasakan disaat gue pertama kali ngeliat dia di gerbang Ranajaya itu masih terasa.

Saat itu Khansa masih kelihatan baik-baik aja dan gue berasumsi bahwa dia sama sekali nggak tau kalau ibunya yang bertampang malaikat itu udah melakukan sebuah hal kotor nan menjijikan terhadap keluarga gue. Keluarga yang sejak awal memang sudah rapuh kini hancur berkeping-keping karena kehadirannya.

Tapi kepolosannya itu nggak bertahan lama karena seminggu kemudian gue dapet kabar dari Hazmi kalau rumor tentang hubungan gelap yang terjadi antara ibunya Khansa dan papa mulai tersebar di Ranajaya. Sebenernya di Paramarta pun rumor itu juga udah mulai berhembus, gue sendiri udah mulai ngerasain semua orang di sekolah mulai ngomongin gue. But I choose to close my eyes and my ears. Gue memilih untuk diam dan tetap fokus untuk mengejar impian gue buat kuliah di Jerman. Dan tentunya hal itu juga nggak lepas dari perlindungan yang Naresh, Harya dan Reksa berikan untuk gue. Kalau nggak ada mereka, mungkin gue nggak akan bisa bertahan di sekolah itu lama-lama.

Sayangnya hal yang sama nggak terjadi pada Khansa. Berdasarkan kabar dan cerita yang sering gue dapetin dari Hazmi, Khans beneran hancur banget di sana. Dia di-bully habis-habisan oleh semua orang yang tidak menyukainya di sana sampai-sampai cewek yang terkenal dengan sifat ceria, supel dan ramahnya itu perlahan mulai kehilangan senyumnya. Khansa selalu memilih untuk berdiam diri di kelas saat jam istirahat, pergi ke kamar mandi atau perpustakaan untuk menghindari cemoohan dari teman-temannya dan menyendiri di halaman belakang sekolah untuk menumpahkan air matanya. Tentunya dia tidak sendirian, karena selalu ada Jira yang terus setia berada disisinya.

Gue yakin dia pasti sama terpukulnya dengan skandal orang tua kami itu kayak gue.

But I still hate her.

Gue masih benci sama Khansa dan berpikir kalau dia cuma pura-pura. Nggak mungkin dia nggak tau kalau ibunya punya affair sama suami orang. Nggak mungkin dia nggak sadar kalau ada keanehan yang terjadi sama tingkah ibunya di rumah. Dia pasti tau tapi pura-pura nggak tau. Itulah yang melintar di dalam pikiran gue ketika Hazmi menceritakan segala hal yang terjadi pada Khansa di sekolah.

I hate my dad, I hate my mom, I hate all of my family including my older sister, Tiara. Gue benci karena dia memilih untuk tetap berangkat ke Jerman dan ninggalin gue sama Laura ditengah kekacauan itu. Gue nggak bisa ngapa-ngapain, gue cuma bisa dengerin mama sama papa berantem dan saling mendiamkan satu sama lain hampir setiap hari. Belum lagi Laura benar-benar butuh banget perhatian sekaligus pengawasan karena dia baru memasuki usia remaja yang sedang rebel-rebel nya.

I feel lost.

Singkat cerita, gue berhasil lulus dengan nilai terbaik seangkatan. Gue juga berhasil masuk ke salah satu universitas bagus di Jerman dan nggak perlu mikir dua kali lagi gue langsung cabut ke sana. Gue udah nggak mau mikirin apapun yang terjadi di rumah, gue cuma mau mikirin kuliah gue dan juga diri gue sendiri aja. Nggak ada yang lain lagi. Termasuk Khansa.

Jerman benar-benar membawa hal yang cukup positif sekaligus negatif untuk gue. Positifnya gue bisa lebih bahagia di sana, gue bisa fokus belajar, kumpul sama temen-temen, jalan-jalan berbagai tempat wisata yang bagus untuk refreshing dan tidur nyenyak tanpa harus dengerin teriakan-teriakan orang yang lagi berantem kayak waktu di rumah dulu. Negatif nya? Well, gue jadi suka minum-minuman beralkohol tinggi sampe mabok, gue juga ikutan pesta sampe subuh di rumah temen gue setiap kali mereka ngundang, gue nggak pernah ibadah, bahkan sholat aja gue udah nggak jalanin lagi kalau nggak dipaksa sama Eric.

Eric yang waktu itu masih pacaran sama Hemma juga kuliah di kampus yang sama kayak gue, cuma jurusannya aja yang beda. Dia juga tinggal satu flat sama gue atas permintaan Hemma dan kak Tiara. Bisa dibilang dia adalah salah satu alasan kenapa gue nggak terjerumus ke hal-hal yang jauh lebih parah lagi daripada sekedar minum-minum sampe mabok. Setiap kali ada yang nawarin gue narkoba atau ada cewek yang berusaha bawa gue ke kamar, dia pasti langsung sigap ngebawa gue pulang ke flat. Eric juga yang nyaranin gue buat ke psikolog karena gue sering susah tidur dan stress berlebihan tanpa gue sadari.

Pengobatan itu lumayan berhasil juga sebenarnya. At least gue udah mulai bisa ngurangin kebiasaan minum-minuman keras, gue juga udah jarang ikut pesta-pesta lagi dan memilih untuk memperbanyak istirahat di flat setiap kali pulang kuliah. Gue juga mulai nyoba buat ibadah lagi walaupun dari lima waktu sholat wajib yang ada itu, subuh pasti gue selalu ketinggalan kalau nggak dibangunin sama Eric.

Tapi ada satu waktu dimana gue terbangun secara tiba-tiba di sepertiga malam. Gue sendiri pun kaget karena gue yakin kalau obat tidur yang dikasih dokter untuk membantu mengurangi insomnia gue udah gue minum dan biasanya gue sering bangun agak siang setiap kali minum obat itu. Namun hal yang berbeda terjadi saat itu, gue bangun di jam 2.30 pagi dan nggak bisa tidur lagi setelahnya entah karena apa. Gue duduk di tempat tidur sembari merenungi diri gue sendiri dan perlahan namun pasti gue menyadari bahwa gue masih belum baik-baik aja.

Semua kebahagiaan yang gue dapatkan di Jerman ini setengahnya memang nyata, tapi setengahnya lagi adalah semu. Gue nggak bisa benar-benar melupakan apa yang udah terjadi sama keluarga gue di Indonesia. Terlebih lagi gue juga dapet kabar dari kak Tiara dan Laura kalau papa masih menjalin hubungan sama tante Amaya. Sikap mama juga semakin dingin dan keras terhadap mereka berdua. Keadaan rumah gue masih belum ada perubahan sama sekali bahkan disaat gue udah hampir tiga tahun tinggal di Jerman. Padahal gue berharap sepulangnya gue dari sini, keadaan rumah dan semua orang di rumah udah baik-baik aja.

Gue capek. Gue takut. Gue nggak tau harus minta tolong ke siapa. Gue sendirian.

Sampai akhirnya gue menggumamkan suatu kalimat yang nggak pernah terpikirkan akan keluar dari mulut gue yang penuh dengan dosa ini.

"Dear the almighty God, I don't know what to do with my own life right now. So please... help me...help me to deal with all of this mess..."

Setelah itu, entah apa yang merasuki gue, tiba-tiba aja gue bangun dari tempat tidur terus jalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan nyoba untuk sholat tahajjud. Selesai sholat tahajjud pun gue nggak tau mau memanjatkan doa apa. Yang ada di kepala dan hati gue saat itu adalah kata-kata 'tolong saya, tolong saya dan tolong saya' yang terus bergema secara terus-menerus.

Dan sekali lagi, gue seolah dituntun untuk mengambil Al-Qur'an kecil lengkap dengan terjemahannya yang sengaja dibawain sama bi Hanum sebelum gue berangkat ke Jerman. Gue menarik nafas dalam-dalam, sembari berharap bahwa gue akan menemukan respon dari permintaan tolong yang masih terus bergemar secara berulang-ulang di dalam kepala gue ini.

Gue membuka kita berukuran kecil itu dan langsung dihadiahi sebaris ayat yang muncul di sana.

Inna ma'al usri yusra.

Yang artinya, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Jujur, gue bukan tipe orang yang gampang nangis. Malah bisa dibilang gue jarang banget nangis. Tapi di detik itu juga gue tangis gue langsung pecah sejadi-jadinya. Gue merasa seperti mendapatkan jawaban dari sang pencipta yang selama tiga tahun terakhir ini sempat gue lupakan. Dada gue sesak oleh tangisan, tapi disaat yang besamaan gue juga ngerasa lega karena pada akhirnya permintaan tolong gue di respon sama sang pemilik dunia beserta isi-isinya itu.

Gue pernah lupa sama Tuhan, tapi Tuhan nggak pernah sekalipun lupa sama gue.

Sekarang gue paham kenapa ada ungkapan bahwa kasih sayang Allah ke hambanya itu jauh lebih besar daripada kasih sayang orang tua ke anak-anaknya. Gue juga baru sadar bahwa disaat gue merasa sendirian dan merasa nggak ada satupun yang mau nolongin, ternyata masih ada Allah yang selama ini mantau gue dan nunggu gue untuk minta tolong langsung ke Dia.

Gue bukanlah orang yang agamis banget. Gue juga beribadah sesuai dengan aturan agama yang gue anut dan bertujuan untuk menunaikan kewajiban gue aja. nggak lebih dari itu. Tapi semuanya mulai berubah sedikit demi sedikit begitu ayat itu muncul. Dan dari kejadian di sepertiga malam itu pula, gue bertekad untuk memperbaiki segalanya yang udah kacau ini satu-persatu.

Semuanya akan gue mulai dengan memperbaiki iman gue terlebih dahulu. Lalu setelah itu gue akan membalaskan 'dendam' gue ke semua orang udah menghancurkan hidup gue.

Dan dari semua orang itu, sebuah nama yang selama tiga tahun terakhir ini nggak pernah ada dalam ingatan gue lagi tiba-tiba saja muncul begitu saja.

Khansa.

Balas 'dendam' pertama gue akan gue persembahkan untuk cewek yang bahkan masih sering memberikan getaran hebat di dalam dada gue hanya dengan mengingat namanya aja itu.

If she can still smile and laugh widely after what happened in the past before, I'll make sure to make her forget about how to do it properly.





***





Well, I was wrong.

Ternyata kehidupan Khansa nggak seindah yang gue bayangin.

Selama ini gue cuma denger cerita soal kehidupan Khansa yang 'katanya' bener-bener jauh dari kata 'baik-baik aja' selama kuliah di Joga waktu itu dari Hazmi aja mengingat bahwa dia udah mulai pacaran sama Jira dan semua informasi tentang Khansa yang ia dapatkan berasal dari cewek itu.

Awalnya gue nggak percaya. Sampai akhirnya gue nekat buat berangkat ke Jogja sendirian sehari setelah pulang dari Jerman buat liburan. Gue bener-bener menghabiskan waktu sekitar dua minggu di sana hanya untuk ngeliat semua aktivitas yang Khansa lakukan. Mulai dari berangkat kuliah, kerja paruh waktu di beberapa tempat, sampai akhirnya pulang ke kosan di atas jam 10 malam. Gue hitung-hitung lagi, dia udah masuk ke seenggaknya empat atau lima restoran yang berbeda dan durasinya pun nggak lama yang mana gue tebak, dia mungkin ngerjain apapun di dalam sana sesuai dengan apa yang dibutuhkan si pemilik restoran.

Gue juga denger dari Jira kalau Khansa juga kerja jadi joki tugas, jualan makanan buatan sendiri di kampus, dan juga jualan online. Cewek itu bener-bener kerja sekeras mungkin supaya dia nggak pake uang kiriman dari ibunya. Hazmi juga cerita kalau Khansa menutup aksesnya untuk berhubungan sama ibunya dan setiap kali libur kuliah, dia pasti cuma tinggal di rumahnya selama sehari atau dua hari aja, lalu sisanya dia habiskan di rumah Jira.

Hati gue langsung luluh seluluh-luluhnya begitu gue mendengar beragam fakta soal Khansa yang semuanya benar-benar bertolak belakang dengan pikiran serta asumsi gue selama ini. Sampai akhirnya gue melihat sendiri gimana Khansa tetap berangkat kerja paruh waktu disaat tubuhnya sendiri sedalam kondisi yang nggak oke. Gue ngikutin dia ke restoran tempat dia akan memulai kerja paruh waktunya lagi kayak biasa. Gue juga nungguin dia sampe selesai dari dalam mobil. Jujur waktu itu gue khawatir banget karena muka Khansa udah sepucat kertas ketika dia sampe di restoran terakhir dimana dia akan mengerjakan tugasnya di sana.

Dan yang gue takutkan pun terjadi. Khansa langsung pingsan di detik pertama dia membuka pintu keluar restoran setelah dia selesai bertugas. Tanpa pikir panjang lagi, gue langsung lari nyamperin dia yang saat itu udah dikerumuni sama orang-orang yang sama paniknya kayak gue.

"Panggil taksi, panggil taksi! Mbak nya harus dibawa ke rumah sakit ini!"

"Panggil ambulance aja biar datengnya lebih cepet!

Ditengah kepanikan itu, gue langsung menerobos masuk ke dalam kerumunan dan langsung meraih tubuh Khansa.

"Biar saya aja yang anter!" tukas gue dengan nada panik dan takut. Gue bahkan nggak sadar kalau muka gue juga jadi ikutan pucat ngeliat kondisi Khansa yang menggenaskan. Mendapati raut curiga dan tidak percaya dari semua orang di sana, gue pun tersenyum. "Saya teman sekolahnya dulu pak, kebetulan saya emang mau ketemuan sama dia hari ini makanya saya datang mau jemput."

Kecurigaan mereka pun luruh begitu aja dan gue merasa lega setengah mati karena meski ada kebohongan sedikit, seenggaknya mereka bisa percaya sama gue untuk bawa Khansa ke rumah sakit. Gue juga ninggalin nomor hp gue ke pemilik restoran kalau-kalau mereka masih nggak percaya sepenuuhnya sama gue.

Selama perjalanan ke rumah sakit, sesekali gue melirik ke kursi belakang untuk memeriksa apa Khansa udah sadar atau belum, tapi cewek itu tetap setiap dengan lelapnya. Wajahnya pucat, bibirnya memutih, dan lingkaran hitam yang tercetak di bawah kedua matanya itu... well, gue yakin jam tidur dia sama berantakannya kayak jam tidur gue di Jerman. Berantakan.

Untungnya Khansa ditangani dengan sangat cepat di rumah sakit. Gue memutuskan untuk nunggu sampe dokter selesai meriksa dia. Dan setelahnya dokter keluar dari ruang pemeriksaan dan memberikan penjelasan mengenai penyebab kenapa Khansa pingsan, dan salah satunya adalah karena asam lambung. Dokter juga mengatakan bahwa pola makan dan tidur Khansa sangat tidak teratur sehingga itu menyebabkan asam lambungnya naik. Jika terus dibiarkan seperti itu, bukan tidak mungkin penyakit-penyakit yang lain juga akan bermunculan nantinya.

Gue nggak tau mau ngomong apa lagi, tapi yang pasti gue menemukan sebuah fakta lagi soal hidup Khansa yang ternyata nggak jauh lebih baik daripada hidup gue.

Hers even worse.

Tangan gue terulur untuk menyentuh kepala Khansa yang masih tidur di atas brankar lalu kemudian mengusapnya pelan.

"I'm sorry that this is happen to you," gumam gue. "Get well really soon, Khansa."

Setelah itu gue langsung ke meja resepsionis untuk membayar semua biaya rumah sakitnya termasuk obat-obatannya dan meninggalkan nomor Jira sebagai satu-satunya pihak yang bisa dihubungi saat itu. Gue juga meminta petugas resepsionis itu untuk merahasiakan identitas gue dengan alasan yang dirasa cukup masuk akal dan nggak akan membuat dia bertanya-tanya lagi.

Begitu keluar dari gedung rumah sakit, gue resmi mencoret nama Khansa dari daftar orang yang akan menjadi target balas dendam gue.





***





Selesai kuliah dan sempat menganggur selama beberapa bulan, akhirnya gue langsung diterima kerja di salah satu perusahaan besar nan bonafit sebagai staff finance. Tadinya gue emang dipersiapkan untuk gantiin posisi papa sebagai pimpinan perusahaan milik keluarga yang emang udah turun-temurun dari generasi ke generasi. Tapi berhubung gue udah nggak mau berurusan sama papa lagi setelah apa yang udah dia perbuat ke keluarga, gue memilih untuk nyari kerja sendiri di tempat lain. Itu adalah salah satu bentuk balas dendam gue juga ke papa dan gue berharap itu bisa memberikan sedikit siksaan batin buat dia sebab dia juga masih terus mejalin hubungan sama tante Amaya.

Waktu terus berjalan dan gue masih belum menemukan adanya tanda-tanda papa ingin menghentikan hubungannya sama tante Amaya. Sampai akhirnya gue mendapatkan kejutan dari keluarga besar sepulangnya gue dari liburan di Jerman.

Kejutan dimana gue melihat pemandangan tante Amaya dan Khansa yang duduk bersimpuh di lantai dengan air mata yang mengaliri kedua pipi mereka, serta papa yang bersikap layaknya pahlawan dengan melindungi mereka berdua dengan tubuhnya dari tatapan tajam dan juga hujatan-hujatan jahat yang keluar dari mulut keluarga besar gue terutama dari pihak mama.

Gue mantap pemandangan menyedihkan sekaligus menjijikan itu dengan dingin. Mata gue dan Khansa pun sempat bersitatap selama beberapa detik sebelum akhirnya dia menundukkan kepala sambil menangis dalam diam.

"Saya mau menikahi Amaya!" ucap papa tiba-tiba membuat semua orang berseru tidak setuju. Mereka mulai melontarkan kalimat-kalimat keji lain yang mampu membuat darah siapapun mendidih jika mendengarnya. Namun papa tidak peduli dan tetap melanjutkan kalimatnya. "Saya cinta sama dia, dan saya ingin hidup sama dia!"

"Kamu udah gila ya Andrian?!"

"Bisa-bisanya dia lebih pilih perempuan rendahan itu daripada istri sama anak-anaknya sendiri!"

"How disgusting! Emang ya pelacur itu cocoknya sama tukang selingkuh, nggak dimana-mana!"

"Dia bilang mau nikah sama selingkuhannya di depan anak-anaknya sendiri? Sinting!"

Gue bisa mendengar kalimat-kalimat pedas itu terus keluar dari mulut om, tante, dan para sepupu gue yang lain. Gue juga bisa mendengar Laura menangis tersedu-sedu dalam pelukkan Tiara, sedangkan mama... dia tetap terlihat dingin dan datar namun gue bisa merasakan aura kemarahan yang menguar dari gesturnya. Pandangan gue kembali terarah pada Khansa. Gue tersenyum tipis.

"I want to marry her."

Suasana mendadak hening dan gue bisa merasakan semua pandangan mata terarah pada gue secara serentak. Namun gue tetap fokus memandangi Khansa yang sedang memeluk dirinya sendiri dengan ekspresi bingung. Gue menunjuk ke arah Khansa seraya melirik mama yang tetap setia dengan raut dingin dan datarnya.

"Aku mau nikah sama anaknya selingkuhan papa," lanjut gue santai. "Boleh kan ma?"

"Of course, darling." Mama menyunggingkan seringai tipisnya yang sukses membuat gue merinding sebadan-badan. Ini pertama kalinya gue mendengar dia menyebut gue 'darling' dengan nada sehalus itu. Benar-benar palsu.

Gue berjalan ke arah para 'terdakwa' beserta 'pahlawan kesiangan' nya yang masih bersimpuh di lantai itu, lalu kemudian gue mengulurkan tangan pada Khansa. Cewek itu masih diliputi keterkejutan sekaligus kebingungan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Gue memberikan senyum paling hangat dan tulus yang pernah gue punya supaya dia bisa percaya. Dan ternyata itu berhasil. Khansa langsung menyambut uluran tangan gue dan gue langsung mengenggamnya erat-erat.

"Will you marry me, Khansa Nuria Pramadita?" pinta gue dengan nada setulus mungkin. Gue berharap ketulusan gue ini bisa sampai ke hatinya.

"T-Tapi..." Khansa menggigit bibir bawahnya bingung lalu kemudian dia menoleh ke arah ibu dan papa. "A-Aku..."

"ABANG!" tiba-tiba saja Laura berteriak kencang masih dengan air mata yang mengalir deras. "ABANG UDAH GILA YA?! KOK BISA-BISANYA ABANG MAU NIKAH SAMA ANAK DARI PEREMPUAN YANG UDAH NGANCURIN KELUARGA KITA?!"

Gue nggak mengindahkan teriakan Laura dan memilih untuk membisikan sesuatu di telinga Khansa.

"Marry me so they will never see each other anymore."

Khansa terdiam sejenak lalu tak lama setelahnya dia menganggukkan kepala mantap.

"Yes," jawabnya dengan suara bergetar. "Yes, I'd love to."

Gue tersenyum selebar mungkin lalu kemudian mengalihkan pandangan ke arah sumber dari semua huru-hara ini. Papa dan tante Amaya menatap kami berdua dengan raut terkejut sekaligus pedih. Masih dengan senyum lebar yang terpatri di bibir, gue menatap dua orang yang sangat menjijikan itu setajam mungkin.

"Papa kalau masih mau lanjut nikahin perempuan murahan ini juga nggak apa-apa kok. Saya nggak masalah kalau harus berbagi pelaminan yang sama dengan anda berdua. We can be happy together, can't we?"

Tak ada respon dari kedua 'terdakwa' itu, yang ada hanya raut kesedihan yang perlahan menghiasi wajah mereka.

Status misi balas dendam gue yang pertama: totally accomplished!





***





"Kenapa?"

Gue menolehkan kepala ketika Khansa tiba-tiba saja bertanya ketika gue dan dia mengobrol di dalam mobil dengan pemandangan pantai di depannya.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa tiba-tiba lo ngajakin gue nikah, Jer? Gue tau alasan pertamanya adalah karena kita sama-sama nggak pengen mereka bersatu. Tapi... pasti ada alasan lain juga kan?"

Gue terdiam sejenak sebelum akhirnya mengedikkan bahu. "Alasan lain? Well, I just want to."

Khansa nggak menjawab lagi namun matanya masih terfokus pada gue. Besok adalah hari dimana gue akan mengikat janji suci dengan Khansa. Jadi sebelum status suami-istri itu resmi kami sandang, gue berinisiatif untuk mengajak perempuan itu ngobrol lagi untuk meyakinkannya.

"Berapa lama?"

"Berapa lama untuk?"

"Untuk menjalani pernikahan ini sebelum kita pisah? Gue yakin ini semua cuma sementara kan? Setelah semuanya baik-baik aja, lo pasti akan menceraikan gue kan?"

"Gue nggak ada kepikiran ke situ sih," Gue tertawa pelan. "Gue emang pengen nikah sama lo dan nggak ada rencana buat menceraikan lo cuma karena masalah orang tua kita. Pernikahan itu sakral, jadi gue sama sekali nggak ada niat untuk bermain-main soal itu. Gue nikahin lo karena gue emang mau kalau lo mau tau alasan lainnya itu apa."

"But you don't love me," cicit Khansa. "And I don't love you either."

"Emang harus cinta dulu baru bisa nikah ya?"

"M-Menurut gue gitu sih."

"Ya udah jalanin dulu aja. siapa tau nanti lo bisa cinta sama gue, begitu pula sebaliknya."

Khansa terdiam. Gue kembali mengarahkan tatapan gue pada pantai serta langit yang mulai menggelap secara perlahan. Tanpa perlu dijabarkan dengan detail pun gue bisa melihat keraguan yang tergambar di wajah Khansa. Dia pasti takut dan curiga sama keputusan gue yang ngajak dia nikah secara tiba-tiba kayak gini tapi demi kelangsungan misi, gue sama sekali nggak berniat untuk memberitahu dia alasan sebenarnya. Gue baru akan melakukannya ketika dia udah resmi jadi istri gue.

"Gue sama sekali nggak ada niat jahat sama lo," ucap gue tiba-tiba membuat Khansa kembali menatap gue kaget. "Itu aja yang perlu lo tau. Gue nggak punya niat jahat dalam bentuk apapun sama lo jadi lo nggak usah khawatir. I'll treat you well just like how a husband treat his own wife."

Khansa masih belum merespon tapi tak lama setelahnya dia tersenyum tipis.

"I'm not your wife," ucapnya tiba-tiba. "I'm your servant, your slave, your maid, whatever it calls. I'll follow your lead. I won't deny, and I won't reject it."

Dahi gue berkerut bingung sekaligus kaget mendengar ucapan blak-blakannya yang tak terduga itu.

"Lo nggak harus menganggap diri lo serendah itu, Khansa."

"No. sebutan wife itu terlalu bagus untuk anak pelakor kayak gue."

Hati gue berdenyut nyeri mendengar kalimat terakhirnya itu. Perbuatan ibunya pasti benar-benar berhasil membuatnya semakin merasa rendah diri. Gue menarik nafas dalam-dalam lalu kemudian menghembuskannya secara perlahan. Keinginan gue untuk melindungi Khansa dari kejamnya dunia semakin menguat. Gue nggak mau melihat dia hidup dalam kesengsaraan lagi kayak waktu di Jogja dulu.

I want to protect her.

"It's an order."

"Sorry?"

Gue menolehkan kepala dan mata kami kembali bertemu.

"It's an order. Once I said it, you can deny it or reject it," lanjut gue lagi dengan nada yang jauh lebih tegas. "Deal?"

Khansa tersenyum hampa. "Deal."

Gue mendekatkan wajah gue ke wajahnya dan dia sempat memundurkan kepalanya karena kaget. Tawa kecil gue lepas selama beberapa detik.

"Gue mau cium lo, tapi kita belum halal."

Mendengar itu, raut kaget dan panik Khansa langsung berubah menjadi senyum dan tawa canggung. Tapi tak lama setelahnya dia memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya ke wajah gue.

"Setelah resmi jadi suami-istri nanti, lo bisa cium gue sepuasnya."

Kedua alis gue terangkat seiring dengan seulas seringai yang perlahan muncul di bibir gue.

"I'll do it until you can't breathe properly, just so you know."

"Sure thing."

This woman.

Seems like I'm not gonna protect her only, but also devour her with all of my heart







Dils' Note:

Iseng aja sih nulis ini wkwkwk

Semoga kalian pada suka ya hehehehe

Nantikan extra-extra yang lainnya ya! 

(Kalo aku sempet bikin huhuhu)

Continue Reading

You'll Also Like

972 102 4
Ketika semesta selalu mempertemukan dua orang yang sedang berusaha saling melupakan. *** Trisha dan Javier memutuskan berpisah setelah tiga tahun men...
189K 26.5K 39
(Completed) Tidak semua yang singgah dalam hidup ditakdirkan untuk tetap tinggal. Ada yang memang singgah untuk memberi pelajaran hidup melalui cinta...
2.8K 305 18
[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita suda...
379K 55.6K 36
Ini kisahku dan Johnny, yang dicap sebagai pacar terbaik. Ini kisahku, dengan tingkah Johnny dan segala hal yang membuatnya menjadi orang terbaik. T...