Forever After Season 2 (LOVEB...

By dekmonika

50.6K 6.7K 1.3K

Setelah cinta mereka dirajut oleh sebuah ikatan suci pernikahan, maka kebahagiaan yang tak pernah mereka baya... More

All Cast
LOVEBIRD 1: Pantai Carita
LOVEBIRD 2: Senja dan Kita
LOVEBIRD 3: Night Cuddle
LOVEBIRD 4: Greenwich Village
LOVEBIRD 5: Jourdy & Emily
LOVEBIRD 6: La Vie en Rose
LOVEBIRD 7: Yang Tak Terlupakan
LOVEBIRD 8: Kabar dari Jakarta
LOVEBIRD 9: Pelipur Lara
LOVEBIRD 10: Abang Hakim
LOVEBIRD 11: Welcome Home!
LOVEBIRD 12: Get Well Soon
LOVEBIRD 13: Mengidam?
LOVEBIRD 14: Berita Bahagia
LOVEBIRD 15: Tahu Sumedang
LOVEBIRD 17: Sisa Rasa
LOVEBIRD 18: Saling Mengerti
LOVEBIRD 19: Mencari Petunjuk
LOVEBIRD 20: Orang yang Sama
LOVEBIRD 21: Sahabat dan Rahasia
LOVEBIRD 22: Papa
LOVEBIRD 23: Full of Love
LOVEBIRD 24: Bertaruh Nyawa
LOVEBIRD 25: Elzio Sagara
LOVEBIRD 26: Curiga
LOVEBIRD 27: Agen Rahasia
LOVEBIRD 28: Memujamu (21+)
LOVEBIRD 29: Rahasia Kelam
LOVEBIRD 30: Apa Kamu Menyesal?
LOVEBIRD 31: Kepercayaan
LOVEBIRD 32: Sahabat Lama
LOVEBIRD 33: Chaos!
LOVEBIRD 34: Rumah yang Berbeda
LOVEBIRD 35: Supermarket
LOVEBIRD 36: Obsesi
LOVEBIRD 37: Masing-masing
LOVEBIRD 38: Lari dari Masalah?
LOVEBIRD 39: Deep Talk
LOVEBIRD 40: Seperti Dongeng
LOVEBIRD 41: Tipu Daya
LOVEBIRD 42: Dunia Daniel
LOVEBIRD 43: Undercover (18+)
LOVEBIRD 44: Petaka
LOVEBIRD 45: Hilang
LOVEBIRD 46: Bawalah Cintaku
LOVEBIRD 47: Rahasia Hati

LOVEBIRD 16: Roy & Aurora's Wedding

965 171 67
By dekmonika

Senja telah berlalu dan kini berganti malam. Suasana di rumah besar keluarga Aldebaran semakin terasa ramai saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hal itu tidak lain karena kehadiran banyaknya teman-teman Roy yang pada malam itu akan merayakan pesta pelepasan masa lajang Roy yang tinggal menghitung hari lagi akan menikah.

Damar Mahendra selaku papa mereka yang sangat sangat akrab dengan teman-teman Roy dengan senang hati memfasilitasi pesta kecil itu dengan menyediakan taman rumah mereka sebagai tempatnya serta berbagai hidangan makanan yang mereka inginkan. Ia dan istrinya tidak pernah merasa terganggu dengan pergaulan Roy selama ini, selama putra mereka itu tidak melampaui batas.

"Selamat malam, Om." Sapa seorang perempuan muda yang datang bersama dengan dua orang temannya, seorang laki-laki dan seorang perempuan lainnya.

"Malam, Aurel. Bagaimana kabar kamu?" Balas Damar yang sebelumnya tampak mengobrol dengan sekuritinya di teras depan rumah tersebut.

"Baik, Om. Om sendiri gimana? Sehat?"

"Alhamdulillah."

"Halo, Om Damar. Makin kelihatan awet muda aja deh." Sahut perempuan yang tampak lebih muda dari Aurel itu dengan gaya centilnya. Damar tertawa mendengar celotehan teman putranya itu. Ia sudah hafal dengan sifat teman Roy yang paling kecil di antara yang lainnya itu.

"Ah, yang bener?"

"Iya, Om."

"Heh, dasar bocah!" Teman pria di sampingnya langsung menoyor pelan kepala gadis itu. hal itu menimbulkan tawa dari mereka.

"Kalian baru selesai syuting, ya?" Tanya Damar.

"Iya, Om, saya dan Aurel saja sih. Kalau bocil satu ini habis ketemu di lampu merah tadi." Gurau pria itu yang lantas membuat kepalanya langsung mendapat jitakan dari gadis yang dimaksud.

"Sialan lo, Gio!"

"Boleh kami masuk, Om?" Tanya Aurel kemudian.

"Tentu. Silahkan masuk. Mereka sudah pada berkumpul di taman belakang." Jawab Damar.

"Oh iya. Terima kasih, Om."

"Permisi ya, Om."

"Iya."

Berselang beberapa menit setelah tiga tamu Roy itu masuk ke dalam rumah tersebut, kini malah giliran Andin yang keluar menghampiri sang papa mertua yang tidak juga berpindah dari posisi sebelumnya.

"Pa..." Panggil Andin membuat Damar langsung menoleh ke belakang.

"Hei, menantu papa. Kenapa malah keluar? Di sini dingin, Nak. Nanti kamu masuk angin." Ujar Damar seraya mengusap pundak wanita itu yang dilapisi oleh sebuah sweater tebal.

"Aku menunggu Mas Al, Pa. Kok sudah jam segini mereka belum pulang juga ya, Pa?" Tanya Andin tampak resah.

"Namanya juga perjalanan jauh, Nak. Sumedang-Jakarta kan perlu waktu yang cukup lama untuk sampai."

"Tapi ini sudah empat jam lebih dari waktu keberangkatan mereka loh, Pa. Aku kepikiran."

"Mungkin mereka sudah sampai Jakarta, terus kena macet."

"Iya juga sih." Gumam Andin.

"Sudah, nggak usah mikiran hal-hal yang bikin kamu cemas. Papa yakin mereka pasti baik-baik saja."

"Bener ya, Pa?"

"Iya, Insyaa Allah." Balas Damar, terkekeh.

//TIN TINN!//

Sorot sebuah lampu mobil yang tiba-tiba masuk ke halaman rumah itu sontak membuat Andin sedikit menyeka cahaya itu dengan satu telapak tangannya. Beberapa detik kemudian, Andin tersadar bahwa mobil tersebut adalah mobil yang telah ia tunggu-tunggu kedatangannya sejak tadi. Bibirnya seketika mengukir sebuah senyuman saat melihat sang suami keluar dari jok kemudia mobil itu. Sorot matanya penuh akan kerinduan padahal baru hanya berpisah beberapa jam saja.

"Nah, panjang umur, kan." Cetus Damar.

"Hei, sudah jam segini kok masih di luar, bukannya istirahat di dalam?" Aldebaran yang baru saja keluar dari mobil itu, langsung berjalan cepat menghampiri istrinya.

"Aku nungguin kamu." Kata Andin.

"Ya nungguin saya kan bisa di dalam rumah saja, Andin. Kamu itu lagi hamil, bagaimana kalau masuk angin terus perutnya mual lagi, terus muntah-muntah juga?"

"Maaf. Aku khawatir, aku nggak bisa tenang sebelum kamu pulang." Rengek Andin dengan nada manjanya. Mengerti akan sikap wanitanya itu, Aldebaran hanya menghela nafas dengan maklum.

"Yasudah, oke."

"Uya, tolong kamu bawa semua bingkisan paper-bag yang ada di mobil ya." Perintah Aldebaran.

"Baik, Pak Bos."

"Di dalam sudah rame, Pa?" Kini pria itu bertanya pada sang papa.

"Lumayan."

"Kenapa papa di luar, nggak gabung sama yang lain?"

"Papa mau menyambut semua teman-temannya Roy di sini. Di dalam biar mama yang menjamu mereka semua."

"Ohh."

"Bas, capek?" Tanya Damar pada Baskara yang baru keluar dari mobil yang sama dari Aldebaran. Pria itu keluar sambil memijat-mijat tengkuk lehernya yang sepertinya terasa amat pegal. Matanya juga agak kemerahan akibat baru bangun dari tidurnya selama perjalanan.

"Pegel, Om, hehe."

"Halah, pegel gara-gara keenakan tidur doang itu, Pa." Timpal Aldebaran.

"Satu jam perjalanan dari Sumedang kan aku yang bawa, Kak. Jadi aku masih ada kontribusinya, walaupun setelah itu ketiduran, hehe." Akui Baskara membuat Damar tertawa renyah.

"Yasudah, ayo kita masuk dulu. Ada banyak makanan di dalam, kalian pasti lapar, kan?" Ajak Damar membuat Baskara mengangguk setuju.

"Loh, tadi katanya papa mau di sini saja menyambut teman-temannya Roy?" Aldebaran mengerutkan keningnya bingung.

"Iya itu kan tadi. Sekarang papa sudah capek, mau ikut party sama yang lain juga." Sahut Damar tak mau kalah. Aldebaran dan Andin terkekeh bersamaan.

Mereka pun berjalan memasuki rumah itu dimana Damar dan Baskara berjalan lebih dulu di depan Andin yang sambil bergelayut manja pada lengan suaminya. Sedangkan di belakangnya lagi terlihat Uya yang membawakan beberapa bingkisan yang ia keluarkan dari mobil atasannya.

"Mau ikut gabung sama yang lain nggak?" Tanya Aldebaran pada istrinya.

"Boleh. Tapi nanti aja ya. Aku mau duduk berdua bentar sama kamu di sini." Jawab Andin menunjuk pada sofa ruang tengah tersebut dengan nada manjanya. Aldebaran hanya terkekeh sembari mengelus puncak kepala wanita itu dengan sayang.

"Mau tahu sumedangnya sekarang, nggak?"

"Dapat?" Tanya Andin, takjub.

"Apa sih yang tidak bisa didapatkan seorang Aldebaran? Kamu saja bisa saya dapatkan, kan."

"Ihh!" Andin tersipu malu sambil mencubit pelan perut pria itu, membuat Aldebaran ikut tertawa.

"Mau." Ujar Andin dengan wajahnya yang sangat menggemaskan bagi Aldebaran.

"Bentar, ya."

"Uya, tolong kamu bawa bingkisan itu semua ke dapur dan kamu minta Kiki atau Bik Ratih untuk menyajikannya kemari, ya." Perintah Aldebaran.

"Semuanya, Pak Bos?"

"Satu kotak antar ke sini. Selebihnya, sajikan ke yang lain saja."

"Baik, Pak Bos."

Andin mengambil posisi duduk lebih dulu, lalu kemudian disusul oleh Aldebaran. Masih dengan tangan yang bergelayut pada lengan pria itu, Andin merebahkan kepalanya pada pundak Aldebaran, seakan ingin melampiaskan kerinduan yang bersarang di hatinya selama beberpa jam yang lalu.

"Kenapa, hem?" Tanya Aldebaran sambil merapikan helaian rambut wanitanya dengan lembut.

"Kangen." Aldebaran terkekeh.

"Kan saya sudah pulang, kok masih kangen?" Andin mendongak menatap Aldebaran dengan bibir yang mengerucut.

"Maaf ya, sudah bikin kamu repot."

"Nggak apa-apa. Saya nggak pernah merasa repot kalau buat kamu." Jawab Aldebaran.

"Ngidamku kelewatan ya, Bi?" Tanya Andin, lagi.

"Emmm... nggak sih, cuma agak nyerempet dikit, hehe." Aldebaran menyengir.

"Beneran nggak papa?" Tanya Andin, meyakinkan. Aldebaran pun mengangguk dengan pasti.

"Nggak papa, sayang. Beneran."

"Berarti kalau aku ngidam mie Aceh, kamu nggak papa beliinnya ke Aceh?" Kata Andin iseng membuat Aldebaran mendelik tajam.

"Andin!" Peringat Aldebaran seketika membuat wanita itu tertawa renyah.

"Hehe, bercanda, Baby!" Andin memeluk perut suaminya dari samping dan sesekali menciumi pipi pria itu dengan gemas.

"Makasih, ya."

"Iyaaa."

"Tapi sebentar, deh. Bukannya tadi kamu bilang tahunya nggak dapat? Kok tiba-tiba ada?" Tanya Andin, penasaran.

"Iya. Pas tadi kamu telepon, kami memang belum ketemu tahunya. Tapi setelah itu kami mendapatkannya."

"Oh ya?"

"Jadi begini..."

Aldebaran pun memulai cerita perjalanan mereka selama pencarian tahu sumedang tersebut di kota asalnya. Masih dengan posisi Andin yang memeluk erat perut suaminya, wanita itu mendengarkan Aldebaran bercerita dengan sesekali memberikan respon.

"Silahkan duduk dulu, Nak." Pria tua berjenggot tebal itu mempersilahkan kedua tamunya itu untuk duduk pada sofa ruang tamunya. Tamu tersebut adalah Aldebaran dan Baskara.

Rumah itu hanya berjarak beberapa meter dari mesjid tempat mereka shalat tadi. Tidak besar apalagi mewah, namun juga bukan rumah yang kecil. Rumah itu nampak pas dengan kesederhanaannya yang memikat. Aldebaran Baskara diam-diam mencoba melihat-lihat siapa lagi yang menjadi penghuni rumah itu selain ustadz tersebut, alias Kang Saleh.

"Naira!" Seru Kang Saleh meski cukup nyaring namun terdengar lembut. Aldebaran dan baskara saling melirik.

"Apa kami benar-benar tidak merepotkan, Ustadz?" Tanya Aldebaran, tak enak hati.

"Panggil saja saya Kang Saleh."

"Oh, maaf. Iya, kang." Aldebaran meralat.

"Saya tidak merasa repot. Saya justru sangat senang bisa membantu. Jangan khawatir."

Tepat saat itu seorang perempuan menghampiri mereka. Perempuan itu sangat muda. Ia tampil mengenakan hijab syar'i-nya sambil mengantarkan beberapa gelas minuman di meja tamu tersebut. Baskara terhenyak saat memperhatikan perempuan itu lebih deteil. Bukankah dia perempuan yang ia temui di halte bus beberapa saat yang lalu? Baskara berusaha mengingatnya lagi.

"Ssst!" Desis Aldebaran, pelan, saat melihat adik iparnya itu menatap gadis tersebut tanpa berkedip.

"Biasa aja dong liatin anak orang." Bisik Aldebaran membuat Baskara pun segera tersadar.

"Silahkan diminum." Kata gadis itu, lembut dan menatap kedua pria tersebut. Sama halnya dengan Baskara, gadis itu pun nampak kaget saat melihat Baskara di sana. Ia ingat pria itu adalah pria yang sama dengan yang bertanya padanya di halte bus tadi.

"Ayo diminum." Ujar Kang Saleh, mempersilahkan.

"Iya, Kang." Sahut Aldebaran dan Baskara bersamaan. Sambil menyeruput teh yang sudah disajikan, sesekali Baskara melirik pada gadis itu seraya tersenyum simpul. Gadis bernama Naira itu pun nampak menyadari hal itu dan membalasnya dengan sebuah senyuman pula.

"Nai, bibi-mu ada kan?" Kang Saleh bertanya pada gadis itu.

"Ada wa, lagi menyiram tanaman di belakang." Jawab Naira.

"Kamu suruh bibi untuk kesini, ya. Setelah itu kamu keluarkan persediaan tahu kita yang ada di kulkas dan bantu bibi menggorengnya untuk disajikan ke tamunya uwa ini." Ujar Kang Saleh dan Naira pun mengangguk dengan patuh.

"Baik, uwa. Tunggu sebentar, ya." Naira kembali ke belakang, meninggalkan pertanyaan di benak Baskara. Siapa sebenarnya gadis itu? Apa hubungannya dengan Kang Saleh?

"Tadi siapa, Kang?" Tanya Aldebaran seolah bisa membaca pertanyaan yang ada di kepala adik iparnya.

"Oh, dia namanya Naira. Dia keponakan saya yang dari kecil sudah kami rawat. Kedua orang tuanya menjadi TKI di Arab Saudi sampai sekarang." Ungkap Kang Saleh membuat Baskara mengangguk, mengerti. Terjawab sudah rasa penasarannya.

"Sekarang dia mulai disibukkan dengan kuliahnya. Maklum, masih mahasiswa baru." Lanjut Kang Saleh.

"Oh, sama dengan adik saya berarti, Kang." Ucap Aldebaran sambil menepuk bahu Baskara.

"Oh begitu? Baskara mahasiswa baru juga? Jurusan apa?"

"Iya, Kang. Saya mengambil kuliah robotik di Tokyo." Jawab Baskara.

"Oh ya? Wah, hebat sekali. Beasiswa?"

"Iya, Kang."

"Luar biasa. Sudah tampan, sopan, pintar pula. Laki-laki yang seperti ini yang seharusnya tumbuh subur di negeri kita."

"Benar sekali, Kang. Dia juga sangat dekat dan menyayangi mamanya." Tambah Aldebaran membuat Baskara sedikit tersipu, lalu mendelik pada sang kakak, seolah memperingati.

"Masyaa Allah, paket lengkap berarti." Respon Kang Saleh.

"Kakak saya memang suka melebih-lebihkan, Kang." Sahut Baskara, terkekeh.

"Oh iya, tadi saya sempat bertemu ponakan Kang Saleh. Berarti itu dia pulang kuliah, ya?" Tanya Baskara.

"Dimana?" Tanya Aldebaran. Sebab Aldebaran rasa ia tidak melihat seseorang yang di maksud selama perjalanan mereka.

"Di halte tadi, Kak. Pas kita lagi nanya-nanya."

"Masa?"

"Ya kakak nggak sadar lah, kan yang turun aku."

"Iya juga, sih."

"Benar, Bas. Biasanya kalau kuliah sampai sore, Naira dijemput sama bibinya, alias istri saya. Nah, posisi jemputnya biasanya di halte itu." Kata Kang Saleh.

"Ohh."

"Pantesan tadi melihatnya sampai nggak berkedip. Ternyata sudah pernah ketemu sebelumnya, Kang." Ujar Aldebaran membuat Kang Saleh ikut tertawa bersamanya. Sedangkan Baskara nampak tersenyum salah tingkah.

"Kalau dilihat-lihat cocok juga sih, Kang." Aldebaran tak berhenti menggoda adik iparnya itu.

"Kak Al, jangan iseng deh." Ujar Baskara.

"Nggak papa, Bas. Nggak ada salahnya dicoba untuk saling kenal dulu." Timpal Kang Saleh diakhir dengan tawanya kembali. Hal itu membuat Baskara kian tak berkutik, dan hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Andin tertawa begitu mendengarkan cerita dari suaminya mengenai adiknya saat mereka sedang berada di Sumedang beberapa jam lalu. Itu untuk pertama kalinya ia mendengar perihal Baskara yang berkaitan dengan perempuan. Saat SMA dulu adiknya itu mana pernah dekat dengan perempuan, apalagi sampai berpacaran. Andin hanya tahu Baskara senang belajar dan sering mengikuti kesukaannya, yaitu geng motor, meskipun pada akhirnya Andin dan mamanya memaksanya untuk keluar dari geng motor tersebut.

"Jadi menurut kamu Baskara suka sama perempuan itu?" Tanya Andin, penasaran.

"Terlalu cepat sih kalau saya menyimpulkan Baskara suka atau nggak. Tapi yang pasti sepertinya ada sedikit ketertarikan." Jawab Aldebaran.

"Cantik?" Selidik Andin. Aldebaran mengingat sejenak.

"Cantik." Jawab Aldebaran, singkat.

"Cantikan mana sama aku?" Andin menyipitkan matanya. Aldebaran terkekeh mendengar pertanyaan yang baginya sangat lucu.

"Ih, kok nggak jawab?" Andin memprotes.

"Andin, semua perempuan itu terlahir cantik." Aldebaran menjawab.

"Berarti menurut kamu aku sama saja dong sama perempuan lainnya?"

"Ya secara kodrat sih sama, tapi selain cantik kamu juga istimewa. Dan buat saya keistimewaan kamu itu yang tidak dimiliki sama perempuan mana pun." Jawaban Aldebaran kali ini mampu membuat Andin perlahan mengulum senyumannya.

"Istimewanya aku apa emangnya?"

"Pertama, kamu punya saya. Kedua, kamu punya kunci hati saya. Ketiga, kamu sudah membuang kunci hati saya itu jauh-jauh, sampai tidak bisa ditemukan lagi, dan yang terkurung di sana hanya kamu." Andin terkikik geli mendengar jawaban konyol suaminya itu. andin lantas mencubit pelan dagu Aldebaran yang kini menatapnya seakan memuja.

"Narsis banget." Celetuk Andin. Aldebaran tertawa renyah.

"Dan yang keempat, yang paling penting, kamu istimewa karena sudah menjadi perempuan yang kuat dan menguatkan saya. Setelah semua hal buruk yang menimpa hidup saya, kamu adalah orang yang pertama membuat saya bersyukur atas hikmah dari semua itu. Saya bersyukur karena hal-hal menyedihkan itu ternyata menghantarkan saya pada kebahagiaan yang sempurna. Dan pusat atas segala kebahagiaan itu adalah kamu." Lanjut Aldebaran dengan tatapannya yang penuh cinta. Andin pun tersenyum haru mendengarnya.

"Dan sekarang, ada bonus si kecil juga, hehe." Timpal Aldebaran seraya mengelus perut wanita itu dengan raut bahagia.

________________________________

Hari yang dinantikan Roy dan Aurora beserta seluruh keluarga mereka itu pun akhirnya tiba. Para keluarga dan seluruh tamu undangan telah berkumpul di sebuah aula yang akan menjadi saksi proses ijab kabul yang akan diikrarkan Roy sesaat lagi.

Roy tampak telah siap dengan setelan akadnya yang bernuansa putih dilengkapi dengan peci yang berwarna senada dengan motif manik-manik kecil. Pria itu terlihat tegang dan tentu saja gugup. Jika biasanya dalam segala situasi Roy selalu santai, namun tidak dengan momentum sakral itu. ia berkali-kali meremas tangannya yang terasa basah dan sesekali melirik pada sang kakak yang juga sudah stand by duduk di dekatnya.

Roy menunjuk Aldebaran sebagai saksi pernikahan dari pihaknya, sebab Roy rasa tidak ada yang lebih pantas duduk di kursi itu untuknya selain kakaknya sendiri. Aldebaran pun menyanggupi dengan senang hati, sebagaimana ia telah siap dengan kemeja batik yang membuatnya semakin menawan dan berkarisma. Sedangkan pada deretan bangku utama keluarga, terlihat Andin yang nampak cantik dengan kebaya yang senada dengan sang mama dan mama mertuanya.

"Sudah siap?" Tanya sang penghulu pada mempelai pria.

"Iya, Pak." Jawab Roy denan gugup.

"Baik. Mari kita mulai..."

Pria berpeci setengah tua itu memulai membuka dengan membacakan doa sebelum berlanjut kepada prosesi inti, yaitu ijab kabul. Suasana terasa tenang dan khidmat. Mempelai wanita memang sengaja tidak dimunculkan lebih dulu. Aurora akan keluar setelah proses ijab kabul dinyatakan selesai dan sah tentunya.

"Saya terima nikahnya Larissa Aurora ..............."

Dalam sekali helaan napas, Roy berhasil mengucapkan ijab kabul tersebut yang membuat dirinya saat itu juga telah resmi menjadi seorang suami dari kekasihnya, Aurora. Doa dan harapan pun kembali terpanjatkan dalam suasana haru.

Damar tak terasa meneteskan airmata diam-diam sesaat setelah Roy melafazkan kalimat sakral itu. Pria setengah tua itu masih tidak menyangka bahwa putra yang selama selalu ia anggap bocah tengil, selengean, bahkan sering menjadi lawan debatnya, kini benar-benar telah menjadi pria dewasa yang akan bertanggung jawab dengan hidupnya dan pasangannya.

Perasaan bangga dan haru juga turut dirasakan Aldebaran. Sebab adik semata wayang yang selama ini ia kenal sebagai pribadi yang konyol dan kerap kali bergonta-ganti pacar, kini telah sungguh-sungguh menetapkan pilihannya kepada seorang wanita yang beebrapa detik lalu telah resmi menjadi istrinya. Aldebaran tersenyum dengan perasaan lega.

Seusai acara akad berlangsung, mereka pun memiliki waktu jeda menunggu acara menjelang malam hari, yaitu resepsi di hotel yang sama. Para keluarga dan kerabat lainnya memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat di hotel tersebut, begitu pula dengan Roy dan Aurora selaku raja dan ratu di hari istimewa tersebut, meskipun waktu istirahat mereka tidak begitu panjang karena harus lebih awal bersiap-siap.

"Huh!" Aldebaran melempar tubuhnya di atas tempat tidur hotel yang akan menjadi tempat mereka menginap malam ini. Dengan mata yang terpejam, ia mengambil napas sedalam-dalamnya, lalu membuangnya secara perlahan. Tatkala ia kembali membuka mata, beruntung sekali, sosok wanita bak bidadari tampak berdiri di depannya dengan menatapnya penuh cinta.

"Cantik banget." Puji Aldebaran masih dengan posisi berbaring dimana lengan kanannya menopang kepala.

"Tadi papa telepon." Beritahu Andin sambil duduk pada tempat tidur di dekat pria itu.

"Sudah sampai Jakarta?" Tanya Aldebaran. Andin diam sesaat, lalu tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Satu tangannya bergerak pada kancing kemeja batik Aldebaran, melepaskannya satu-persatu.

"Dalam perjalanan ke bandara, sakitnya papa kambuh lagi. Mama langsung membawanya ke rumah sakit." Ujar Andin dengan rasa sedih.

"Ya Tuhan." Aldebaran sedikit dari tidurannya, lalu mengambil posisi duduk.

"Lalu, bagaimana kabar papa selanjutnya?"

"Mama bilang sekarang sudah membaik, tapi harus menjalani perawatan beberapa hari sejak kemarin." Jawab Andin. Aldebaran sangat mengerti perasaan sedih bercampur gelisah yang sedang istrinya rasakan. Pria itu pun meraih kepala Andin dan membawanya masuk ke dalam dekapan dadanya.

"Kita doakan papa ya, semoga papa bisa sehat lagi dan sehat terus." Kata Aldebaran membuat Andin menganggukkan kepalanya dengan sinar mata yang sedih dalam pelukan pria itu.

"Nanti kalau kondisinya sudah memungkinkan, kita jenguk papa lagi ke KL, ya." Aldebaran menunduk berbicara pada istrinya yang kini mendongak menatapnya.

"Iya, Mas." Jawab Andin dengan tersenyum manis, lalu kembali menyembunyikan wajahnya pada dada pria itu.

"Masih sering mual nggak?"

"Kemarin sih masih, sedikit."

"Vitaminnya diminum terus, kan?"

"He'em."

"Hari ini?" Aldebaran bertanya dengan protektif. Andin melepas pelukannya dan menatap pria di depan matanya itu.

"Sudah." Jawab Andin membuat Aldebaran tersenyum lebar.

"Pinter. Istrinya siapa coba ini?" Aldebaran mengelus rambut wanitanya yang masih tersanggul.

"Istrinya siapa, ya?" Andin balas mempermainkan dengan senyuman usilnya. Aldebaran terkekeh melihat wajah istrinya yang menggemaskan, lalu mengceup kilat bibir wanita itu.

"Istri saya tentu saja." Jawab Aldebaran dengan wajah keduanya yang sangat dekat.

"Genit, ah." Andin memalingkan wajahnya dengan tersipu malu. Padahal sudah jelas-jelas ia tengah mengandung buah hati pria itu, tetapi Andin masih saja sering gugup saat mendapat tatapan yang intim dari suaminya sendiri.

"Ehem! Masih siang ini. Waktu istirahat kita kayaknya masih lumayan panjang deh." Aldebaran nampaknya sedang memberikan suatu kode rahasia pada Andin yang kini membelakanginya. Pria itu terlihat senyum-senyum sendiri sambil sesekali mencolek lengan Andin.

Oh tidak, ia tidak senyum-senyum sendiri. Ternyata Andin pun sedang berusaha menahan senyumannya atas godaan pria itu padanya. Tingkah keduanya seperti sepasang kekasih yang baru merajut asmara saja.

"Saya belum dapat vitamin hari ini." Tutur Aldebaran membuat kening Andin mengerut heran. Wanita itu pun menoleh kembali pada sang suami.

"Vitamin kamu sudah habis, Mas?" Tanya Andin, polos. Aldebaran tertawa kecil.

"Nggak, vitamin saya nggak akan habis."

"Heh?"

"Vitamin saya kan ada di hadapan saya sekarang." Ungkap Aldebaran dengan mengulum senyumanya. Spontan jawaban itu membuat kedua pipi wanitanya memerah.

"Apaan sih, Baby, jayus deh!"

"Jayus tapi bikin pipi kamu merah begitu." Aldebaran terkekeh.

"Ih, mana? Nggak!" Andin mengelak.

"Sayang, masa kamu sudah ada di sini tapi mama kamu masih malu-malu sama papa?" Aldebaran beralih mengelus perut Andin yang sudah mulai membuncit secara perlahan itu, seolah buah hatinya di dalam sana dapat berinteraksi dengannya. Andin semakin tersenyum melihat tingkah suaminya itu.

"Kamu yang anteng ya. Papa mau pacaran dulu sama mama." Sambung Aldebaran sambil melirik pada Andin yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tersenyum.

Aldebaran kembali menegakkan duduknya sembari meraih satu tangan Andin. Ia mengecup mesra punggung tangan itu dengan sepasang mata keduanya yang terus saling tertaut. Aldebaran nampak sangat merindukan wanitanya, sebab beberapa hari terakhir mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Aldebaran dengan perusahaannya yang sudah mulai berjalan bersama konsultan barunya, sedangkan Andin disibukkan membantu persiapan pernikahan dan resepsi adik iparnya sendiri.

Bibir keduanya tersenyum simpul seolah sedang menyalurkan perasaan rindu yang sama bersamaan dengan wajah mereka yang kian memangkas jarak hingga berakhir dengan pertautan kedua bibir itu. Aldebaran mengecapnya dengan lembut, merasakan sensasi yang selalu membuat dadanya berdesir dan darahnya seolah mengalir cepat. Andin menyambutnya dengan senang hati, seraya berbalas mengelus tengkuk pria itu.

"I miss you." Lirih Aldebaran menjeda ciumannya.

"I miss you too," Balas Andin, lalu ia memulai kembali ciuman mereka lebih dulu.

Kali ini ciuman mereka nampak lebih menuntut dan liar. Keduanya semakin bersemangat untuk saling membalas satu sama lain. Bahkan tanpa Andin sadari, pria itu telah mendorong tubuhnya secara perlahan hingga keduanya terbaring di atas tempat tidur tersebut, dimana posisi Aldebaran di atas Andin dengan posisi masih saling bercumbu.

//TING TONG!!//

Baru saja cumbuan pria itu beralih ke leher jenjang sang istri, tiba-tiba bel di kamar mereka berbunyi yang menandakan ada seseorang di luar kamar yang ingin menemui mereka. Andin pun refleks menjauhkan kepala Aldebaran darinya sambil melirik pintu kamar mereka dengan napas yang tak beraturan.

"Astaga!" Aldebaran menggeram, kesal. Siapa yang tidak kesal, saat hasratnya sudah berada di puncak kepalanya, tiba-tiba digagalkan oleh suara bel.

"Aku buka pintu, ya. Baju kamu rapihin dulu, sayang." Ujar Andin sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Aldebaran dengan malas bangun dari posisinya, sedangkan Andin segera menuju pintu kamar tersebut untuk membukakan seseorang di baliknya.

"Andin!" Begitu Andin membuka pintu, di depannya tampak telah berdiri seorang perempuan yang merupakan mempelai wanita di hari istimewa itu. Aurora tersenyum lebar pada wanita yang kini telah menjadi kakak iparnya tersebut. Sedangkan Andin membelalakkan matanya, terkejut melihat Aurora ada di sana.

"Ra, kok di sini? Bukannya istirahat."

"Mana bisa gue istirahat dengan tenang, Andin?"

"Terus ke sini mau ngapain?"

"Loh, memang nggak dikabarin sama Iren kalau siang ini ada meeting evaluasi sebentar di ballroom? Gue kesini mau jemput kamu biar barengan." Ujar Aurora membuat Andin diam sejenak, seperti mengingat sesuatu.

"Oh iya, gue lupa!" Andin menepuk jidatnya pelan membuat Aurora tertawa.

"Tuh, kan! Emangnya lagi ngapain, sih? Pacaran, ya?" Tebak Aurora iseng dengan mengulum senyumnya.

"Kepo deh!" Andin terkekeh.

"Kak Al, Andinnya kupinjam dulu, ya!" Seru Aurora pada Aldebaran yang masih duduk pada pinggiran tempat tidur sambil memainkan ponselnya.

"Jangan lupa dibalikin!" Sahut Aldebaran. Andin mengulum senyumnya saat mendapati raut kekesalan itu masih nampak pada sang suami.

"Aman pokoknya!" Balas Aurora, lagi.

"Yaudah, gue ganti baju dulu deh kalau begitu."

"Jangan lama-lama. Gue tunggu di sofa depan lift, ya."

"Oke!"

Begitu Aurora melangkah pergi, Andin menutup pintu kamar itu kembali. Ia tertawa melihat raut muka sang suami yang terlihat menjadi lucu saat menyimpan kekesalan karena kegagalan aksinya beberapa saat yang lalu. Ia berhenti di depan Aldebaran sesaat dan memberikan sebuah ciuman singkat di bibir pria itu.

"Maaf, ya. Aku ke ballroom dulu, nggak papa?" Tanya Andin, lembut. Suara lembut wanitanya itu selalu bisa membuat benteng ego yang ada dalam diri Aldebaran luluh lantak. Wanita itu benar-benar kelemahannya.

"Iya." Jawab aldebaran, tersenyum simpul.

"Oww, thank you, Baby." Ucap Andin senang, sebelum akhirnya melenggang pergi menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

________________Bersambung___________________

Holaaa, apa kabar readers?!!

Wkwkwk udah berapa windu ini author vakum? *eh nggak vakum sih, lebih tepatnya mager aja buat ngetik hehehe. Mana kemarin sempat hilang 'feel' soal Al-Andin ini gara-gara habis terdikta-dikta di series dikta dan hukum. Mana sumber vitamin kita kan udah nggak ada, biasanya rewatch episode2 baru. Sekarang udah jarang bgt rewatch episode lama.

Author emang gitu, kalau lagi ngerasa 'hambar' sama sesuatu jadinya susah buat nulisnya karena merasa 'feel'-nya berkurang. Tapi sekarang mencoba memunculkan lagi jiwa aladin lovers-nya biar wattpad jalan lagi xoxo.

Okedeh, selamat membaca!

Continue Reading

You'll Also Like

9.9M 645K 75
Yaduvanshi series #1 An Arranged Marriage Story. POWER!!!!! That's what he always wanted. He is king of a small kingdom of Madhya Pradesh but his pow...
3.4M 215K 93
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
45.9K 3.6K 34
hey! everyone On some Requests I am going to recreate the story "When my soul return" by @abiarumugam this is a beautiful story but some readers requ...
531K 11.8K 24
Lucy Hale, your typical omega. Shy, nerdy, loner and anything her pack would like to punch and boss around. Her life was turned upside down after an...