Syahdan ✓

By SkiaLingga

755K 123K 24.2K

Sebagai seseorang dengan kekuatan supernatural, Ametys tentunya sudah terbiasa dengan beberapa hal mistis yan... More

PEMBUKA
1. Legenda Batu Pengantin (a)
1. (b)
1. (c)
2. Karma Berjalan (a)
2. (b)
2. (c)
3. Ganjaran Kebaikan (a)
3. (b)
3. (c)
3. (d)
4. Pemanggul Karma (a)
4. (b)
4. (c)
5. Keberuntungan yang Menguap (a)
5. (b)
5. (c)
6. Menemukan Bintang yang Hilang (a)
6. (b)
6. (c)
7. Kutilang Emas Bersuara Merdu (a)
7. (b)
7. (c)
7. (d)
8. Yang Baik Bernasib Buruk (a)
8. (b)
8. (c)
9. Jangan Membandingkan Hujan di Awan dengan Kotoran dalam Lumpur (a)
9. (b)
9. (c)
10. Setiap Manusia Mengharap Surga yang Berbeda (a)
10. (b)
10. (c)
11. Musuh dari Masa Lalu (a)
11. (b)
11. (c)
12. Mereka yang Pergi Lebih Mengharap Senyum daripada Air Mata (a)
12. (b)
12. (c)
12. (d)
13. Janji Berutang Janji (a)
13. (b)
13. (c)
14. Seperti Pasir yang Terlepas dari Genggaman (a)
14. (b)
14. (c)
15. Mengambil Kembali Takdir yang Seharusnya (a)
15. (b)
15. (c)
16. Sebuah Nama Berarti Harapan Untuk Pemiliknya (a)
16. (b)
16. (c)
17. Kasih Sepanjang Masa dan Benci Sepanjang Hayat (a)
17. (b)
17. (c)
18. Sesal Itu Terkubur di Masa Lalu (a)
18. (b)
18. (c)
19. Kehancuran Akan Selalu Menjadi Akhir Kejayaan (a)
19. (b)
19. (c)

1. (d)

13.6K 2K 186
By SkiaLingga

Malam hari di desa sangat sepi dan tenang. Pertama itu jauh dari keramaian kota dan kedua, suhu di dataran tinggi sangat dingin sehingga siapa pun lebih memilih duduk di dalam rumah mereka untuk berkumpul bersama keluarga daripada berkeliaran di luar dan harus minum obat flu keesokan harinya.

Ametys juga berpikir demikian, tapi sayangnya dia harus melakukan sesuatu malam ini sehingga meskipun itu sangat dingin, Ametys masih mendaki ke bukit. Kakeknya di masa lalu tahu bahwa Ametys tidak tahan dengan dingin, jadi pria tua itu mengajarinya mengukir azimat yang bisa menghangatkan tubuh. Sayang sekali media untuk membuatnya tidak bisa menggunakan batu biasa, atau itu hanya akan bertahan selama beberapa menit.

Tidak seperti kebanyakan orang yang harus menggunakan senter, Ametys berjalan hanya dengan bantuan cahaya bulan yang pucat, itu tampak dingin ketika jatuh di dedaunan dan rumput sepanjang jalan. Hanya suara serangga dan burung malam yang menemaninya.

Sesampainya di dekat Batu Pengantin, Ametys pertama-tama menggosok tangannya yang dingin, sebelum kemudian berjalan mendekat dan menepuk dinding batu.

"Maaf karena mengganggu lagi," ujar Ametys. "Kamu pasti sangat marah karena orang-orang itu hendak mengotori tempat ini lagi, bukan?"

Tidak ada yang menjawab, tapi bagi orang yang sensitif, anehnya mereka bisa merasakan udara berat di sekitar sana. Itu seperti seseorang yang menyebarkan kemarahannya melalui angin dan menindas orang lain.

"Zaman sudah berubah dan orang-orangnya telah menjadi lebih pintar. Praktik bunuh diri seperti itu sudah tidak lazim dilakukan, jadi kamu bisa tenang." Ametys masih berbicara sendiri. "Yah, Ratmi itu cukup bodoh kupikir."

Batu Pengantin awalnya tidak disebut demikian. Itu tidak memiliki nama, jadi orang-orang zaman dulu menyebutnya sebagai 'kepala bukit', karena letaknya yang berada tepat di tengah-tengah dataran paling tinggi. Tampak seperti kepala yang mencuat dari bahu, terlihat jelas bahkan dari kejauhan.

Karena lokasinya, apabila hujan turun di desa, batu ini adalah yang pertama terkena, begitu pun dengan sinar matahari pagi. Itu telah ada di sana sejak waktu yang tidak bisa dihitung, menyaksikan perubahan musim dan orang-orangnya, jadi tentu saja akan memiliki energi alam. Namun, energi ini tidaklah memiliki jiwa, itu adalah kepercayaan orang-orang terdahulu akan hal metafisika sangat kuat sehingga memberikannya 'kehidupan' dan lambat laun, roh alam muncul di sana.

Ketika orang pertama bunuh diri dengan melompat dari batu, energi di tempat itu berubah buruk karena niat jahat tersebut. Hal ini terus berlanjut sampai bertahun-tahun saat kebiasaan melompat dari atas batu menjadi lumrah apabila seorang calon pengantin gagal menikah. Kemudian ketika bencana longsor besar terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, seorang paranormal yang diundang dari luar berkata bahwa itu adalah penunggu batu yang marah kerena mengotori tempatnya.

Benar atau tidaknya, siapa yang tahu, tapi semua orang seharusnya mengerti bahwa tidak ada akibat tanpa sebab. Mungkin perbuatan menyimpang orang-orang di masa lalu memang sudah keterlaluan sehingga teguran diturunkan.

Energi di sekitar batu menjadi lebih baik setelah praktik menyimpang itu dihentikan, jadi ketika Lilike hampir mati di sini, roh alam tempat itu pastilah sangat marah.

Ametys merasakan sengatan tajam di lehernya, tidak ada luka di sana, tapi seolah-olah ada seseorang yang sedang mengancamnya dengan meletakkan pisau di permukaan kulitnya. "Aku melindunginya bukan tanpa alasan, karena Lilike tidak bersalah. Sementara Ratmi, meskipun dia juga korban, tapi karena dia yang memulai semua ini, dia pantas dihukum." Ametys menyipitkan matanya, menatap ke lembah di mana banyak lampu dari rumah-rumah orang di kota berkedip seperti bintang di langit. "Tapi, kamu tahu siapa yang seharusnya menerima hukuman paling besar, bukan? "

Rasa dingin di leher Ametys menghilang secara perlahan seolah pisau tajam di sana telah ditarik. Meskipun Ametys tidak takut, tapi tetap saja rasanya mengerikan ketika diancam oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Pada kesempatan itu, Ametys juga berpamitan, "Di masa depan mungkin aku tidak bisa lagi datang ke tempat ini sesering sebelumnya." Hawa dingin itu kembali, tapi alih-alih kemarahan, yang dibawa oleh 'itu' adalah perasaan tertekan. "Jangan seperti itu, kami anak muda punya banyak hal yang ingin dicapai. Tidak sepertimu, hidup kami manusia hanya beberapa dekade, jadi harus dimanfaatkan selagi bisa."

Ametys mengatakan beberapa hal lagi, sampai kemudian tidak tahan dengan hawa dingin itu. Melihat jika tengah malam sudah lewat, Ametys akhirnya berdiri. Satu tangannya bertumpu pada batu itu, tampak berpikir.

Dia mengeluarkan pisau ukir yang selalu dibawa ke mana pun dan berkata, "Hadiah perpisahan."

Ada ukiran kecil di permukaan batu. Itu bukan azimat, melainkan ukiran runik kebaikan karena batu itu sendiri sudah menjadi material azimat yang bagus. Dengan ini, selama runiknya tidak dirusak, siapa pun yang akan datang ke Batu Penganti dengan tujuan buruk tidak akan pernah bisa sampai ke sana.

Di masa depan, hal ini juga yang kemudian menyebabkan banyak orang-orang dengan tujuan buruk untuk batu tersebut tersesat di dalam hutan. Dan Ametys yang tidak menggunakan kemampuan meramalnya mungkin tidak pernah menebak bahwa apa yang dia lakukan ini akan membuat lebih banyak wisatawan datang ke desa mereka, tujuannya tentu saja untuk menguji kebenarannya mitos tersebut.

Di jalan menuruni bukit, angin kencang tiba-tiba berembus, hampir menerbangkan Ametys sekaligus jika gadis itu tidak cepat memeluk sebatang pohon.

"Sama-sama, tapi bisakah kamu melakukannya dengan lembut lain kali?" Ametys tak berdaya saat membenarkan rambutnya yang kusut.

Tentu saja tidak ada jawaban, tapi saat Ametys berjalan kembali ke desa, cahaya bulan tampaknya menjadi lebih terang karena daun-daun di pepohonan tersibak memberi ruang.

* * * * *

Di kota, tiba-tiba terjadi keributan di sebuah rumah dua lantai bercat jingga. Anehnya, dengan suara keras seperti itu, tidak ada tetangga yang keluar, seolah mereka semua tidak pernah mendengar apa pun dan masih terlelap dalam tidur.

Di dalam salah satu kamar yang biasanya dijadikan ruang praktik, seorang wanita setengah baya meringkuk kesakitan. Segala macam benda yang ada di sekitarnya meledak tiba-tiba, dan seolah tubuh wanita itu adalah magnet yang menarik besi, semua hal dari pecahan itu mengarah padanya.

Namun, bukan luka-luka itu yang membuat wanita tersebut kesakitan, melainkan perutnya yang seolah diaduk dari dalam dan jeroannya dipelintir dengan tangan besi.

Melihat sesajennya yang terbalik dan semua hal di atasnya berubah menjadi busuk, wanita itu merasa takut untuk pertama kalinya.

"Siapa ... siapa yang melakukan ini?!" teriak wanita itu.

Dalam pikirannya, itu adalah dukun lain yang ingin menyerangnya. Sayangnya, orang itu juga sangat kuat sehingga dia tidak bisa bertahan.

Suara gedoran pintu terdengar, dan mungkin karena itu tidak terbuka untuk waktu yang lama, orang yang berada di luar langsung menerobos masuk. Itu adalah seorang pria yang merupakan suami wanita itu dan juga gadis seumuran Ratmi.

"Mak, apa yang terjadi?" tanya gadis itu saat melihat semua hal di dalam ruangan hancur tak bersisa.

Pria itu buru-buru berlari ingin mendorong istrinya, tapi tersandung pecahan tembikar dan jatuh tepat di atas wanita itu.

"Aduh!" Dukun wanita itu berteriak histeris karena perutnya ditusuk oleh siku suaminya, membuatnya memuntahkan darah saat itu juga.

"Mak!" teriak gadis itu ngeri. Melihat darah segar mengalir dari mulut ibunya, gadis itu setengah jijik tapi masih pergi mencari kain untuk membersihkannya.

Pria itu buru-buru bangun, kemudian membantu istrinya duduk. Tapi karena wanita itu mengalami sakit yang sangat mengerikan di perutnya, mereka tidak bisa bergerak banyak. Pada akhirnya, sebelum wanita itu bisa mengatakan apa pun, matanya sudah terbalik dengan mulut berbusa.

Ketika wanita itu bangun kembali, dia melihat bahwa itu adalah ruangan di rumah sakit. Hanya suaminya yang ada di sana untuk menunggu, terkantuk-kantuk sampai hampir tersungkur dari kursi.

Kaget, pria itu buru-buru duduk dengan benar, lantas melihat jika istrinya telah bangun. "Oh, kamu sudah sadar?"

"Kenapa kamu membawaku ke rumah sakit?" tanya wanita itu.

"Kamu memuntahkan banyak darah, ke mana lagi aku harus membawamu?" tanya sang suami bingung.

Wanita itu berdecak. Sangat menyesal dia dulu mengguna-guna pria ini karena melihat yang lain tampan, tapi sebenarnya tidak berguna. "Aku tidak sakit, jadi urus kepulanganku segera," perintahnya.

"Dokter berkata kamu setidaknya harus diobservasi setidaknya satu hari lagi," jawab pria itu. "Mereka masih mencari tahu apa yang menjadi penyebab kamu memuntahkan darah sebanyak itu, hasil lab-nya baru akan keluar sore ini."

"Itulah sebabnya aku katakan aku tidak sakit!" teriak wanita itu kesal. Dia jelas tahu bahwa dirinya hanya bisa menjadi seperti ini karena disantet oleh dukun lain atau terkena tulah dari ilmu hitam yang gagal.

"Jangan marah, dokter berkata kamu terlalu stres. Kamu harus tenang--"

"Diam!" Wanita itu meraung. "Jika kamu tidak membawaku pulang, aku akan mengusirmu dari rumah!" Karena telalu banyak mengeluarkan tenaga, wanita itu terbatuk-batuk dan darah kembali tumpah di atas selimut. Itu sangat mencolok di atas latar putih bersih sehingga menatapnya saja membuat orang merinding.

Pria itu panik dan hendak memanggil dokter saat pintu ruang rawat inap didorong dari luar. Putri mereka masuk sambil memegang ponsel di telinganya, bertanya, "Apa yang terjadi? Suara kalian terdengar sampai di luar!"

"Kamu juga bodoh, kenapa mengkuti ayahmu membawaku ke sini!?" Wanita itu tak ketinggalan memarahi putrinya.

Sementara itu, sang putri yang tengah berbicara dengan temannya melalui telepon mendadak berhenti. "Apa kamu bilang?" tanyanya pada orang di seberang.

Ratmi, yang menghubungi temannya karena teringat pesan Ametys, mengulang, "Guna-guna ibumu gagal. Dan seseorang di sini berkata bahwa kita telah menyinggung roh alam yang tinggal di Batu Pengantin." Dengan takut dia melanjutkan, "Dia menyuruhku menyampaikan pesan pada ibumu, 'tunggu saja ganjarannya sendiri'. Itulah yang dia katakan."

Gadis itu tercengang, kemudian menatap ibunya yang masih memuntahkan darah dan ayahnya yang panik. Selama ini dia tahu jika ibunya adalah dukun yang disegani oleh orang lain, tidak ada yang berani menyinggungnnya karena takut celaka. Namun, sekarang temannya berkata bahwa guna-guna ibunya gagal. Lebih buruknya, mereka telah menyinggung roh alam dari suatu tempat?

Dia pernah mendengar ibunya mengatakan sesuatu di masa lalu. Di dunia ini, ada dua yang tidak bisa disinggung secara sembarangan. Satu, orang yang memiliki banyak uang dan kedua, roh alam, atau yang sering disebut orang-orang sebagai 'penunggu' tempat.

Yang pertama mungkin masih bisa diatasi karena mereka berwujud, tapi yang terakhir, biasanya hanya ada bencana yang menanti.

"Mak," panggil gadis itu dengan wajah pucat. "Kita sudah tamat!"

Wanita itu hanya menatap anaknya bingung, tidak sempat menanggapi, sebelum pingsan kembali.

* * * * *

Di sebuah gunung batu pedalaman yang sebelumnya tidak pernah tersentuh tangan manusia, secara tidak terduga ditemukan sebuah situs sejarah yang menurut perkiraan sudah ada di sana sejak ribuan tahun lalu.

Awalnya, para arkeolog dan tim peneliti lain mengira itu adalah situs prasejarah yang ditinggalkan manusia purba, tapi mereka justru menemukan sebuah makam yang jelas tidak dibuat oleh bangsa primitif prasejarah dan tidak bisa tidak tercengang.

Penelitian itu tidak didanai oleh pemerintah, melainkan sebuah perusahaan besar yang salah satu cabangnya bergerak di bidang arkeologinesia. Mereka membuka museum sejarah peradaban manusia, menghadirkan konsultan cagar budaya dan arkeolog ahli, termasuk mendanai penggalian situs yang dirasa akan membawa keuntungan.

Namun, siapa yang tahu bahwa alih-alih menemukan gua milik manusia prasejarah, tim tersebut justru menemukan sebuah makam besar dari era kerajaan yang tampaknya lebih tua dari kerajaan yang pernah tercatat di negeri ini.

Itu awalnya adalah hal baik, karena penemuan tersebut bisa jadi membawa perubahan sejarah dan siapa pun yang bergabung dalam kegiatan ini, pasti akan dihargai dengan tinggi dari segala instansi. Namun, sialnya adalah, mereka justru sudah terjebak di dalam makam selama lebih dari tiga hari.

Awalnya tim hanya takut mati kelaparan, tapi saat ini semua orang hampir gila karena harus menghindari bahaya di segala situasi. Makam itu penuh dengan jebakan mematikan, bahkan jika mereka ingin mundur, itu tidak mungkin bisa dilakukan. Dari jumlah awal yang hampir 20 orang, kini hanya 11 yang tersisa dan meskipun selamat, mereka juga penuh luka.

Tidak ada orang bodoh di dalam kelompok itu, jadi setelah satu, semuanya kemudian menyadari bahwa jebakan hanya akan aktif satu persatu. Yang artinya, jika satu orang saja bersedia untuk tinggal di dalam area jebakan yang aktif, maka yang lainnya akan bisa melarikan diri.

Akan tetapi, manusia itu egois. Mereka mungkin tidak mengatakannya secara langsung, tapi dari sikap 11 orang yang ada di sana tiba-tiba berubah saling waspada, telah menunjukkan siapa pun bisa menjadi tumbal kecuali diri mereka sendiri.

Dikta bersandar lemah ke dinding, lapar dan haus. Airnya sudah habis tadi malam, jadi ia berusaha meminimalkan gerak yang tidak perlu agar tidak cepat lelah. Melihat dua rekannya tengah berdebat tentang metode penyelamatan, ia lebih memilih duduk di sisi lain.

Seseorang menyarankan agar satu orang pergi lebih dulu untuk meminta bantuan, sehingga dengan 10 orang yang tertinggal, alasan untuk menolong mereka lebih besar.

"Itu tidak bisa dilakukan. Daripada mengambil risiko apabila tim penyelamat terlamat dan 10 orang mati sia-sia, lebih baik satu orang berkorban," jawab pria satunya.

"Kalau begitu kenapa bukan kamu yang tinggal, Andro," ujar satu-satunya wanita di sana, Tanissa, yang merupakan seorang profesor muda dalam bidang arkeolog.

Andro menoleh dan menatap Tanissa, jelas sangat marah tapi pada akhirnya tidak mengatakan apa-apa lagi. Pikirnya, bahkan jika seseorang harus tinggal, itu tidak akan pernah menjadi dirinya.

Seorang pria yang tampak memiliki aura terpelajar di samping Dikta akhirnya berkata untuk menenangkan semua orang. "Hentikan, jangan habiskan energi kalian." Suaranya lembut tapi tegas. "Semua orang harus berpikir dengan perlahan untuk menemukan cara terbaik agar bisa selamat dari sini, karena keluarga kita menunggu di rumah."

Dikta masih duduk diam, tidak mengatakan apa pun. Mungkin satu-satunya yang tidak memiliki seseorang untuk menunggu mereka pulang adalah dirinya, karena Dikta tidak punya siapa pun lagi di keluarganya.

"Aku akan istirahat sebentar," ujar Dikta pada orang di sampingnya itu.

Pria yang diajak Dikta bicara, Nabil, mengangguk. "Ya, semua orang lelah, sebaiknya kita semua istirahat. Hati-hati, jangan bergerak sembarangan dan mengaktifkan jebakan."

Meskipun Nabil bukan yang paling tua, tapi dia telah ditunjuk secara resmi sebagai pemimpin tim tersebut sehingga bahkan jika yang lain memiliki pikiran sendiri, mereka masih harus menurut. Akhirnya, setelah beberapa saat, semua orang pergi mencari sudut yang agak berdekatan untuk beristirahat.

Tubuh mereka lelah dan penuh luka kecil atau besar karena menghindari jebakan. Meskipun mereka mungkin tidak akan mati seketika itu juga, tapi jika dibiarkan terlalu lama, itu bisa terinfeksi dan konsekuensinya tidak akan bagus.

Nabil melirik ke arah Dikta yang memejamkan mata, memastikannya tidur, sebelum kemudian berdiri. Ia memberi isyarat pada Tanissa, yang kemudian mengikuti dengan bingung. Beberapa saat kemudian, setelah mendengar apa yang Nabil katakan, Tanissa refleks berteriak.

"Tidak mungkin!" kata wanita itu.

Nabil menatap wajah cantik Tanissa dan menghela napas kasihan. "Hanya ini caranya, pikirkan apa yang terbaik untukmu." Pria itu tidak mengatakan apa pun lagi, sebelum kemudian menemukan Andro dan meninggalkan Tanissa dengan ekspresi kesulitan.

Tidak mungkin mengetahui apakah saat itu pagi atau malam, tapi saat Dikta bangun dan melihat jam digital di pergelangan tangannya, cahaya biru itu memperlihatkan bahwa sekarang adalah pukul 3 pagi. Ada cahaya redup di dalam gua, berasal dari dua senter milik anggota tim yang semakin redup setiap harinya, terpantul ke mineral torbernit yang tertanam di dinding dan lantai.

Seorang ilmuan atau ahli hanya akan berkata bahwa mineral jenis ini sangat beracun karena sifatnya yang radioaktif, tapi jika seorang paranormal berada di sana, mereka pasti akan mengatakan bahwa keberadaan batu itu sendiri menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat jahat di sana.

Tepat saat Dikta akan bangkit, dia merasakan tubuhnya lemah. Entah karena itu kelelahan dan terluka, atau mungkin sudah terlalu lama terpapar torbernit. Sambil menatap bingung ke perutanya yang lapar, Dikta menemukan bahwa ranselnya sudah tidak ada. Ia baru saja bertanya pada yang lain saat melihat benda itu ada di tangan Andro yang sedang mengobrak abrik isinya tidak jauh dari sana.

"Andro, apa yang kamu lakukan?! Kembalikan ranselku!" teriak Dikta.

Semua orang yang saat itu tengah bersiap menoleh serentak. Mereka tidak menduga jika Dikta akan bangun secepat itu. Sambil saling menatap, mereka secara perlahan dan anehnya sinkron mulai berjalan menjauh.

Dikta terlambat menyadari itu karena masih fokus pada ranselnya. "Apa kamu ingin merampok orang lain sekarang?!" tanya Dikta kesal sambil merebut ranselnya kembali.

Andro berdecak. "Aku hanya melihat-lihat, tapi sayangnya hanya ada sedikit di sana," jawabnya. "Lagi pula kamu tidak akan membutuhkan itu nanti, jadi kenapa tidak menyumbangkannya pada yang lain. Setidaknya beberapa alat dan obat masih akan membantu."

Dikta yang baru saja memasang ranselnya kembali mendongak dengan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya.

Tepat saat itu, Nabil datang memisahkan keduanya. "Baiklah, berhenti bertengkar. Kita tidak punya waktu saat ini, jangan habiskan waktu kalian dengan sia-sia." Menoleh ke arah yang lain, ia bertanya, "Semua orang sudah siap?"

Masing-masing menjawab dan mengangguk. Tidak ada yang merasa situasi mereka baik sekarang, mereka lelah, lapar dan mual karena paparan torbernit. Akan tetapi, karena harapan yang diberikan Nabil, mereka berusaha mengerahkan kekuatan terakhir untuk bisa keluar dari makam ini.

"Edi, kamu pimpin jalannya di depan sesuai rute yang sudah kita pilih. Pak Adnan ambil posisi tengah," perintah Nabil pada dua pria yang memiliki satu-satunya senter yang masih menyala.

Edi dan Adnan mengangguk dan berjalan lebih dulu, diikuti oleh yang lain, sebelum kemudian Nabil dan Dikta berjalan berdampingan di paling akhir.

Nabil terus-menerus mengingatkan yang lain agar tidak terpisah, dan sambil lalu berbicara dengan Dikta. Sementara itu, Dikta terus merasa ada yang salah pada rekan-rekannya, karena entah itu sengaja atau tidak, siapa pun yang kebetulan bertemu tatap dengannya akan dengan cepat berpaling seolah mereka menghindari sesuatu.

"Berhenti!" seru Nabil tiba-tiba, tapi sayang sekali ia terlambat mengingatkan karena salah satu anggota telah melewati area dan tanpa sengaja mengaktifkan jebakan.

Lantai gua tiba-tiba bergetar, membuat orang-orang yang sudah kelelahan itu hampir tidak bisa mempertahankan kaki mereka untuk stabil. Di saat mereka mengira bahwa getaran sudah berhenti dan hampir lega, retakan muncul dari ujung lain.

"Cepat lari!" teriak Dikta. "Lantainya akan roboh!"

Semua orang bergegas lari menuju satu arah yang ada di depan mereka. Cahaya dari senter bergerak seiring langkah kaki, membuat beberapa orang tersandung karena kesulitan untuk melihat.

Untungnya ada mulut gua di depan, selama mereka bisa melewati area ini, mereka semua akan selamat. Dikta menghela napas lega dan mengerahkan kekuatan kakinya untuk sampai lebih cepat, ketika getaran besar lain terjadi dan seseorang menyenggolnya.

Dikta hampir mengira itu tidak sengaja, saat sebuah suara tiba-tiba terdengar. "Maaf." Orang itu berucap.

Mata Dikta membelalak, tapi kejatuhannya tidak bisa ditahan. Dia melihat rekan-rekan yang berhasil melewati mulut gua, beberapa terus berlari tanpa menoleh sementara ada dua orang yang masih berdiri di sana. Melalui cahaya redup di dalam gua, Dikta bisa melihat ekpresi keduanya samar-samar.

Tanissa melihat Dikta jatuh dan kakinya terjepit tanah yang retak. Mata wanita itu merah, tapi dia tidak mengatakan apa-apa sebelum berpaling dan menyusul rekan lainnya. Satu yang tertinggal, Nabil, juga melihat ke arah Dikta dengan rasa bersalah.

"Dikta, tolong bantu yang lain. Kami harus kembali, ada orang-orang yang menunggu di rumah." Nabil berkata dengan penuh penyesalan.

"Kenapa?" tanya Dikta pelan.

Nabil tidak mungkin bisa mendengarnya karena gemuruh di dalam ruang itu sangat keras, tapi yang lain mungkin bisa menebak apa yang Dikta ucapkan sehingga ia menjawab, "Hanya kamu yang tidak memiliki siapa pun untuk menunggumu kembali." Nabil menundukkan kepalanya sekali, mengulangi, "Maaf, dan terima kasih."

Melihat punggung yang lain menghilang dari mulut gua, Dikta masih dibiarkan tercengang di sana. Karena tidak pernah terpikir olehnya bahwa Nabil yang selama ini selalu stabil dan tidak memihak siapa pun, yang tidak hanya menjadi mentor tapi juga teman Dikta, akan melakukan sesuatu yang begitu kejam. Tidak, tidak hanya Nabil, tapi semua orang yang melarikan diri itu, mereka benar-benar tidak punya hati.

"Karena aku tidak memiliki keluarga, aku tidak pantas hidup?" bisik Dikta. Dia merasa sakit hati karena dikhianati, bahkan sebelah kakinya yang sudah remuk karena digiling tanah yang berguncang tidak lagi dipedulikan.

Mereka semua menyadari bahwa selama satu orang tinggal di area yang jebakannya aktif, jebakan di tempat lain tidak akan terpicu. Jadi, dengan mengorbankan Dikta di sini, 10 orang lainnya akan memiliki banyak waktu untuk mencari jalan keluar.

Pada akhirnya, mereka masih menjalankan rencana Andro dan sialnya, Dikta adalah yang terpilih sebagai korban hanya karena tidak memiliki siapa pun yang menunggunya.

Saat retakan tanah semakin besar dan Dikta akhirnya tertelan, pria itu tidak bisa tidak melepaskan tawa miris. Teman yang selama ini ia anggap saudara, wanita yang ia sukai, dan rekan seperjuangan itu, pada akhirnya benar-benar tidak ada yang tersisa untuknya.

Lantai gua runtuh sangat dalam. Benturannya tidak kecil, sehingga Dikta merasa heran bagaimana ia masih hidup setelah jatuh dari ketinggian seperti itu dengan tubuhnya yang ditimpa massa berat.

Berkedip beberapa saat, mata Dikta akhirnya menyesuai dengan situasi gelap di sana. langit-langitnya tidak terlihat, tapi dinding tempat itu masih cukup jelas dengan bantuan cahaya berwarna kehijauan.

Satu-satunya yang masih bisa digerakkan di seluruh tubuh Dikta hanyalah lehernya, jadi pria itu menoleh dan menyadari bahwa sumber cahaya hijau di ruangan itu berasal dari api yang menyala di tengah altar. Berwarna hijau seram yang membawa udara suram, di mana hanya dengan melihatnya, seseorang tidak bisa lagi memikirkan kehidupan.

Dikta hanya pernah melihat gelap dengan matanya, tapi kali ini ia bisa merasakan apa yang disebut gelap itu dengan seluruh tubuhnya, seolah pori-porinya telah meresapi semua ketakutan yang ada di sana dan membuatnya menggigil.

Ada banyak sarkofagus di tempat itu, berbagai ukuran dengan berbagai ukiran di permukaannya. Kabut aneh melayang di sekitarnya, itu seperti asap, tapi tampaknya memiliki massa dan berdetak. Bentuknya tidak jelas, tapi Dikta bisa merasakan ngeri di sekujur tubuhnya seolah mata monster purba yang kejam telah melihatnya langsung.

Dikta hanya bisa menebak bahwa ini mungkin adalah lokasi peristirahatan pemilik makam tanpa bisa mengonfirmasinya, saat kegelapan menyerang dan sakit di tubuhnya menjadi tak tertahankan. Apa yang terakhir kali Dikta ingat adalah, jika ia diberi kesempatan sekali lagi untuk hidup, ia akan membalas orang-orang itu dan membuat mereka merasakan bagaimana yang namanya ketakutan.

...ooOoo...

Skia
Selasa, 4 April 2023

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 785 65
Ini sebuah pesan. Dari diriku yang dulu. Terima kasih sudah sampai sejauh ini. Kamu hebat dan berharga. Juga, kamu yang membaca ini. Kamu juga hebat...
292 87 21
Surat-surat berisikan hal aneh terus berdatangan, membuat Luna nyaris gila berkatnya. Pertanyaannya, siapa dalang yang melakukan hal tak berfaedah in...
4.7K 1.5K 75
Anna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelu...
146K 18.7K 27
Seri #2 Humaniorama Ada pepatah Jepang yang mengatakan bahwa setiap manusia itu memiliki tiga wajah. Wajah pertama adalah wajah yang ditunjukkan ke s...