Serambi Masjid

By rakyatjelataa_

765K 91.7K 11.8K

[Romance - Spiritual] Dunia Ilana itu hanya dipenuhi luka, derita, dan air mata. Terlebih, setelah mamanya ti... More

01 : Ruang Gelap
02 : Gerbang Ketenangan
03 : Cita-cita?
04 : Terbiasa
05 : Kepulangannya
06 : Berujung Petaka
07 : Keputusan dan Takdir
08 : Ikatan
09 : Bersama yang Asing
10 : Kenyamanan
11 : Menjauh
12 : Cadar
13 : Pernyataan dan Kebohongan
14 : Kisah Pembawa Hikmah
15 : Kejutan
16 : Surat dari Bapak
17 : It's Okay
18 : But Not Be Okay
19 : Genggaman Tangan
20 : Resep
21 : Membuang Kenangan Menyakitkan
22 : Ruang Healing
23 : Larangan Fillah
24 : Innerchild [Keluarga]
25 : Semanis Es Krim
26 : Sahabat Kecil Fillah
27 : Bukan Gila
28 : Bisikan yang Membunuh
29 : Berani Melangkah
30 : Pendukung Rahasia
31 : Jum'at Bersamamu
32 : Kekurangan Bukanlah Kelemahan
33 : Simpati
34 : Api dan Air
35 : Stigma yang Sirna
Cerita Baru : KAFA
37 : Bukan Sekadar Nafsu
38 : Bukan Salah Takdir
39 : Kita, Hujan, dan Sorban
40 : Lembar Tersembunyi
41 : Nutrisi Vitamin Mahabbah
42 : Babulah
43 : Romantisme Mahalul Qiyam
44 : Hadiah dari-Nya
45 : Janji Jiwa
46 : Segitiga Sama Kaki
47 : Tetap Terikat Walau Bersekat
48 : Ombak Kerinduan
49 : Prahara
50 : Hilangnya Sebuah Percaya
51 : Painfulness
52: Kepedulian Cakra dan Kawan-Kawan Ilana

36 : Asem Kecut Gula Legi

5.9K 832 141
By rakyatjelataa_

Setelah sekian purnama, akhirnya berjumpa lagi sama Fillah dan Ilana yang mulai tumbuh rasa-rasa cinta:)

Dan seperti biasa, setiap bab SM itu panjang-panjang. Jadi, bacanya yang pelan dan diresapi.

Berikan vote dan komentar juga di setiap paragraf sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kepada penulis yang sudah mendedikasikan diri menulis kelanjutan cerita ini di tengah-tengah kesibukan...^^

Saya harap, kalian bisa lebih antusias ^^

Jangan lupa ubah umpatan menjadi istighfar.


UPDATE SELANJUTNYA SETELAH 1,5K VOTE & 800 KOMENTAR!

Selamat membaca!





Jika kamu mengingatnya, kejadian itu sungguh takdir luar biasa yang telah Allah berikan.”

_________Serambi Masjid__________

-
-
-

Akibat kejadian konyol yang terjadi antara Fillah dan Ilana beberapa saat yang lalu, maka di sinilah kini mereka berada. Meski suasana di luar telah senyap dan gelap, namun tak dapat mengalahkan suasana di dalam ruangan ini yang mencekam dan penuh ketegangan.

Dua orang yang menjadi objek penglihatan ketiga orang yang lebih tua di sana; Ustadzah Marwah, Fahmi, dan Nabila, terdiam seribu bahasa dengan rasa tak nyaman. Sesekali Ilana menyenggol kaki sang suami yang duduk di sisinya agar membuka suara dan mencairkan suasana. Berpandangan sembari memberi isyarat, yang pada akhirnya hanya sia-sia, sebab apa yang mereka lakukan tak luput dari ketiga pasang mata yang terus menatapnya.

"Ekhem!" Suara dehaman Ustadzah Marwah memecah keheningan. Perempuan paruh baya itu mengulas senyum samar, lantas bertanya pada anak dan menantu keduanya, "Jadi, ada di antara kalian yang ingin menjelaskan perihal kejadian tadi?"

"Eum, Bun--" Fillah hendak mengucapkan kalimat sanggahan, namun tak sempat lantaran Fahmi tiba-tiba memotong begitu saja.

"Sudah, Bun, jangan diinterogasi kayak gitu. Kasihan mereka jadi tegang. Bahkan, telinga Fillah sampai merah, entah karena malu atau..?" ujar Fahmi menggantung kalimatnya sembari menahan tawa. Terlebih melihat Fillah yang tak menyuarakan pembelaan, Fahmi semakin gencar untuk menjahili dan memanas-manasi adiknya itu.

"Kalau diingat lagi, jadi deja vu juga, Bun. Kejadian yang sama, suasana yang sama, bahkan tempat duduk yang sama seperti enam bulan yang lalu," imbuhnya sembari menyapu pandangan ke seluruh sudut ruangan dan bernostalgia. 

Sementara itu, Ustadzah Marwah dan Nabila menanggapi dengan tawa. Memang benar, jika diulas dan diingat kembali, enam bulan yang lalu adalah hari di mana mereka berkumpul di ruang tamu ini dengan suasana dan duduk di kursi dengan posisi yang sama. Hanya saja, tentu ada sedikit perbedaan antara kejadian enam bulan yang lalu dan kejadian yang terjadi sekarang, yaitu status.

"Fillah, Ilana." Ustadzah Marwah memanggil, yang lantas disahuti oleh empunya. "Bunda tahu kalian sudah sah, sudah halal mau melakukan apa pun. Berbeda dengan yang dulu. Tapi, jangan di ruang tamu juga. Kalau ada yang lihat, bagaimana? Masih untung kami yang memergoki kalian, apatah kalau yang memergoki itu santri? Bisa gempar kalian jadi bahan bulan-bulanan," ujar Ustadzah Marwah memberi saran.

"Bunda..." panggil Fillah lirih, seakan-akan tengah merengek karena dituduh yang tidak-tidak. "Apa perlu Fillah jelaskan kayak waktu itu, tentang apa yang sebenarnya terjadi?"

"Nggak perlu, Nak." Sang bunda menggelengkan kepala dengan masih terkekeh kecil mendengar suara anaknya. "Tapi, kalian harus tanggung jawab, lho. Gordennya rusak. Kalian yang harus memasangnya besok."

"Na'am, Bunda."

Kedua netra keabu-abuan Ustadzah Marwah beralih melempar pandang pada sang menantu keduanya. "Kasihan menantu Bunda. Pasti nggak nyaman, ya, ada di posisi seperti saat ini? Maaf, ya, Sayang."

"Tidak apa-apa, Bunda."

"Adik ipar."

Ilana menoleh ke arah Fahmi yang memanggilnya, dan menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk. "Na'am, Bang?"

"Tolong sampaikan ke suami kamu, kalau mau ngajakin, ya, bilang password-nya dulu. Jangan sok cemen. Gengsi kok dipelihara," pesan Fahmi pada Ilana yang tak dapat adik iparnya itu pahami apa maksud dari perkataannya.

"Apaan, sih, Abang!" Fillah mendengkus begitu mendengar penuturan sang kakak. Meski menggunakan kata kiasan, tetapi Fillah mengerti maksud dari ucapan kakaknya. Dan lagi pula, mereka masih berada di ruangan yang sama, masih dapat bertatap muka satu sama lain, lantas kenapa mengatakannya pada Ilana? Kenapa tidak langsung saja?

"Biasanya kamu nggak peka," timpal Fahmi.

"Abang ngaca juga, dong. Ingat anak sama istri. Abang juga nggak peka orangnya," balas Fillah. "Bukan begitu, Mbak?" tanyanya pada Nabila, yang lantas dibalas anggukan oleh perempuan tersebut.

"Jangankan peka, dikasih kode saja nggak paham-paham."

Fillah tergelak mendengarnya. Ia menatap Fahmi dengan raut wajah mengejek dan menggerakkan bibirnya, lalu berkata lirih, "Mampus kau!"

"Kamu, kok, bilangnya begitu, Yang?" tanya Fahmi pada istrinya dengan nada manja. Yang membuat Fillah ingin sekali memanggil semua santri untuk menyaksikan sendiri bagaimana calon Kyai mereka bertingkah layaknya anak kecil.

"Bila cuma mencurahkan isi hati, Mas."

"Nah loh, Abang harus berubah, ya. Kasihan Mbak Nabila dan Hanin jadi korban," ujar Fillah sembari yang masih tergelak, seolah puas membalas Fahmi.

"Berlebihan kamu, Dek. Ingat, Ilana juga jadi korban gengsimu."

Ilana memandang orang-orang di sana dengan mengernyitkan kening. Kenapa namanya dibawa-bawa dalam guyonan kakak beradik itu?

"Sudah, Bang, jangan diteruskan lagi bercandaannya. Fillah juga. Sekarang sudah malam, sebaiknya kalian istirahat," lerai Ustadzah Marwah yang sebenarnya sudah lelah meladeni kedua anaknya yang mau dibilang akur, tetapi mereka saling membalas cibiran, mau dibilang tidak akur, tetapi mereka juga memiliki sikap kekeluargaan. Pun kasihan dengan Ilana yang terlihat sudah diselimuti kantuk meski tak terlalu ketara, tetapi tetap di sana dan turut menjadi korban candaan mereka.

"Siap, Bunda," jawab kedua anak dan kedua menantunya bersamaan.

"Kalau Fillah sama Ilana, mau pulang atau menginap di sini?"

"Kami pulang saja, Bun. Nggak mau Fillah ketemu orang satu ini," jawab Fillah, lalu menunjuk Fahmi.

"Bilang saja mau melanjutkan yang tertunda." Fahmi masih tak mau kalah.

"Apaan!"

"Hehe."

Ustadzah Marwah memijat pangkal hidungnya. "Fillah, Abang, sudah, ya... Besok lagi berdebatnya."

"Iya, Bun. Sebenarnya Fahmi pengin ledekin Fillah lagi, Bun. Cuma Fahmi capek. Kasihan juga Hanin di kamar cuma ditemani Raihan. Jadi, meledeknya pending dulu, ya, Dek." Fahmi berkata demikian sebelum beranjak dari duduknya.

"Fillah juga bakal siapin tenaga dulu," balas Fillah sembari menatap sengit ke arah Fahmi.

"Tenaga apaan tuch? Haha."

"Abang..." tegur Ustadzah Marwah pada anak sulungnya tak tak ada habisnya, seolah ingin meneruskan perdebatan.

"Iya, Bun, siap!"

Sebelum benar-benar pergi bersama sang istri menuju kamar mereka, Fahmi terlebih dahulu menepuk pundak Fillah yang sudah berdiri dan hendak pulang bersama Ilana.

"Semangat, Dekku Sayang," pesannya yang diakhiri dengan memberikan flying kiss pada sang adik.

"Idih, astaghfirullah! Jijik, Abang!"

Seusai acara interogasi dadakan yang membuat Fillah maupun Ilana puas dijadikan bahan bulan-bulanan oleh keluarganya, mereka berdua kini bisa membebaskan diri dan pulang ke rumah. Berakhir sudah suasana canggung dan menegangkan yang terjadi tadi, begitu pula dengan ejek-ejekan antara Fillah dan Fahmi.

Keduanya sudah berada di dalam kamar mereka setelah mencuci tangan, menggosok gigi, dan berwudhu sebelum tidur. Fillah membaringkan tubuhnya di sandaran ranjang, sementara Ilana melepas kerudung yang senantiasa membungkus mahkota indahnya.

"Eh, mau ke mana?" tanya Fillah ketika Ilana mengambil satu bantal di sebelahnya dan selimut bersih dari dalam lemari.

"Tidur di sofa."

"Lho, kenapa?" tanyanya sekali lagi.

Sang istri berbalik arah dan menatap lurus-lurus ke arah Fillah yang seakan tak memiliki rasa bersalah. "Memang Gus nggak mikir kalau ini semua kesalahan Gus?"

"Kesalahan apa, Kiya?"

Ilana mengembuskan napas lelah. "Ya, karena Gus mengambil gambar Ila diam-diam, lalu gambar Ila jelek, yang akhirnya Ila mengejar karena nggak terima. Lalu Gus jatuh dan menindih Ila, berakhir dilihat Bunda sama yang lainnya. Itu semua gara-gara Gus!"

"Kok, saya yang salah?" Terdengar nada Fillah seperti tak terima.

"Ya iyalah! Jelas-jelas Gus yang salah dari awal!" tekan Ilana.

"Memang saya pernah bilang foto kamu jelek?"

"Mboh."

"Kiya marah?"

Sudah tahu, tapi masih bertanya!

Ilana tak menggubris pertanyaan suaminya yang masih diam di tempat. Ia berbalik dan berjalan menuju sofa yang ada di kamar tersebut sembari menggerutu pelan. "Gimana, sih, istrinya ngambek bukannya dibujuk, malah dibiarin. 'Kan Ila cuma lagi jaim."

Ia mendengkus sebal. "Bilang kalau Bang Fahmi nggak peka, eh nyatanya dirinya yang lebih nggak peka! Awas saja kalau-- eh eh!"

Seketika Ilana terkejut begitu tangannya ditarik kencang oleh Fillah dari belakang.

Bruk!

Ilana terjerambab di sisi Fillah dan serta-merta masuk ke dalam dekapan laki-laki itu. Pucuk kepalanya diusap pelan lalu dikecup penuh rasa sayang.

"Maaf."

Lirihan Fillah sangat jelas didengar oleh Ilana yang berhadapan langsung dengan dada bidang suaminya tersebut. Sebenarnya ingin menyamankan diri, tetapi ia ingat lagi bahwa dirinya masih marah dan sok jual mahal pada sang suami.

"Ada yang sakit, hm?" Fillah bertanya dengan intonasi lembutnya. "Pasti sakit, ya, tertimpa tubuh besar saya?"

"Sadar diri juga badannya kayak Titan." Ilana mendongak, lalu mendorong dada suaminya. "Awas! Ila mau tidur."

"Shutt... Sudah, jangan berlagak mau tidur di sofa. Tidur di sini saja." Fillah menahan Ilana tetap berada di dalam dekapan hangatnya.

"Nggak mau! Ila mau tidur sendiri!" tolak Ilana yang meronta-ronta dan berusaha lepas.

"Jangan, ya? Nanti siapa yang saya peluk kalau kamu tidur bukan di samping saya?"

"Ada bantal guling," cetus Ilana.

Namun, tanpa disangka, setelahnya Fillah justru membuang bantal guling di sebelahnya ke sembarang arah. Membuat Ilana menganga tak percaya.

"Sudah nggak ada bantal gulingnya. Sekarang kamu jadi bantal guling saya," tutur Fillah yang tak dapat dibantah. Ia menaikkan kakinya dan kaki Ilana ke atas tempat tidur, lalu menarik selimut menutupi setengah tubuh mereka. Fillah kian menenggelamkan tubuh mungil Ilana dalam dekapannya, tak lupa juga menindih kaki perempuan itu dengan kakinya agar tak banyak bergerak.

"Gus!"

"Tidur, ya. Jangan lupa berdoa."

"Gus!"

"Mau saya puk-puk?"

"Guuss!"

"Mau pilih saya nyanyikan shalawat atau bacakan ayat kursi supaya kamu tidur, hm?"

Kedua netra Ilana terbelalak mendengar tawaran tersebut. Tetapi, alih-alih membantah lagi, Ilana pasrah lantaran dirinya memang sudah mengantuk. "Ya sudah, shalawat."

Dan akhirnya, malam itu ditutup dengan Fillah yang menyanyikan shalawat Natawassal bil Hubabah hingga Ilana jinak di dalam dekapannya dan tertidur lelap.

*
*
*
Siang ini tak seperti biasanya. Jika pada hari-hari sebelumnya Sang Surya masih memberi kesempatan pada manusia untuk menjalani aktivitasnya dengan separuh semangat dengan adanya sedikit angin sejuk ataupun sekadar rintik hujan meskipun jarang, tetapi tidak untuk hari ini yang panas dan gersang tanpa adanya angin menyejukkan. Teriknya membakar jalan-jalan beraspal. Mungkin sudah masuk pada awal musim kemarau.

Tapi, jangankan kemarau, di musim yang masih seringkali diguyur hujan saja suasana Kota Semarang begitu panas, apa lagi di musim kemarau nanti.

Namun, kendati demikian, mau tak mau manusia tetap melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya menuntut ilmu. Seperti yang dilakukan oleh para santri dan santriwati Pesantren Al-Hidayah yang tetap menjalankan aktivitas sekolah maupun kuliahnya. Begitu pula dengan kelima orang perempuan yang saling beriringan keluar dari gerbang kampus dengan semangat di bawah terik matahari yang menyengat setelah mata kuliah masing-masing usai.

"Sobat-sobat gue, melipir yuk!" ajak Nasya yang baru saja sampai di hadapan Ilana, Hanum, Muna, dan Yesi.

"Melipir? Ke mana?" tanya Muna.

"Beli seblak."

"Ya kali panas-panas begini beli seblak," sahut Yesi.

"Ya nggak apa-apa, gue yang kepengin." Nasya membalasnya acuh tak acuh seperti biasa. "Kalau kalian nggak mau, ya udah gue ajak Ilana aja. Yuk, La."

"Eh eh, maksudnya, lo mau traktir kita semua?" Yesi langsung tertuju pada Nasya yang kemudian mengangguk.

"Yakin?"

"Bener."

"Dalam rangka apa, Sya?" Kali ini Ilana yang bertanya.

"'Kan, kebetulan mulai besok gue nggak ngampus, gue mau traktir kalian sebagai tanda perpisahan."

Sontak perkataan Nasya tersebut dihadiahi gelak tawa keempat teman barunya. Membuat sang empu menatap dengan sorot bingung.

"Di-skorsing, kok, syukuran, Sya?" Yesi tergelak.

"Lagian kamu kayak mau pergi ke mana saja. Cuma nggak kuliah, bukan berarti kita nggak bertemu lagi." Hanum ikut menambahkan.

Nasya berdecak pelan, lalu menggelengkan kepala dua kali. "Ck, nggak apa-apa lah, terserah gue. Mumpung transferan gue kebetulan lebih dari biasanya."

"Uihh, sultan."

"Haha."

"Ya sudah, deh. Karena kita nggak boleh menolak penawaran baik dari orang lain, jadi nggak ada salahnya kita ikut saja," kata Muna.

"Benar. Sekalian es degan boleh, nggak, Sya?" pinta Yesi.

"Siapp!"

"Kalau Ilana, gimana?"

Ilana yang ditanya, lantas menatap temannya satu per satu. Kebetulan meski hari ini Fillah cuti, tetapi laki-laki itu tengah pergi ke suatu tempat selepas mereka membenarkan gorden di ruang tamu Ndalem tadi pagi. Jadi, tak ada salahnya ia ikut Nasya, asalkan meminta izin terlebih dulu.

Ia pun menjawab, "Aku ikut kalian saja maunya gimana. Aku bebas. Yang ada kalian yang susah mau ke tempat lain, nggak langsung pulang ke asrama."

"Oh iya juga."

Kemudian, secara serentak, Nasya, Muna, dan Yesi berbalik dan menatap pada Hanum yang mematung. "Han, boleh, ya, melipir sebentar?" pinta Yesi.

"Iya, Han. Sekali-sekali beli makanan luar ditraktir teman," tambah Muna.

"Benar, Han. Lo tenang aja, gue yang bakal bayar semuanya, kok." Nasya meminta dengan binar di matanya.

"Lagi pula Ning kita juga setuju, nih."

Hanum selaku pengurus pesantren, meski dirinya bukan bagian keamanan, tetapi tetap saja jika ada santri yang melanggar peraturan di depannya, ia tak boleh tinggal diam. Dan di Pesantren Al-Hidayah sendiri memiliki peraturan bagi mahasantri agar pulang tepat waktu dan tidak berada di luar kawasan pondok, kecuali ketika ke kampus. Dan jika ada kepentingan di luar, mereka harus membuat surat izin kepada ustadz maupun bagian keamanan. Pun harus diabsen ketika pulang.

Tetapi, melihat sendiri binar-binar penuh permohonan di mata teman-temannya, mau tak mau Hanum mengizinkan meski hanya kali ini saja. "Ya sudah, karena kebetulan aku juga pengin sesekali ditraktir, aku nggak bakal, deh, kasih tahu ke santri keamanan," putusnya.

"Yeay! Syukran, Hanum!" sorak mereka berempat.

Setelahnya, mereka berlima pun pergi ke tempat langganan membeli makanan bernama seblak tersebut yang rasanya tak ada duanya. Membutuhkan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Dan begitu sampai di sana, mereka langsung memesan dengan porsi sesuai keinginan masing-masing. Dan bukan hanya itu, penjual seblak tersebut pun ikut senang dengan kedatangan mereka.

"Syukran katsiir, Nasya!"

"Makasih ya, Sya.."

Nasya hanya mengangguk.

"Ngomong-ngomong, Ning Tyas nggak bareng sama kamu dari tadi, Sya?" tanya Ilana yang memang tidak melihat eksistensi Tyas yang biasa bersama Nasya.

"Beliau mulai sibuk mengurus skripsi, jadi nggak bareng dulu," jawab Nasya. "Tapi tenang, bakal gue beliin juga, kok," lanjutnya.

"Ternyata Nasya pemurah juga orangnya," kata Yesi terkesan mencibir, tatapi juga terkekeh setelahnya.

"Ya itu makanya, Si, jangan menilai orang dari apa yang dilihat sekilas, tapi ditelaah dulu," sahut Hanum.

"Siap, Ustadzah Hanum!"

"Maa Syaa Allah! Haha!"

Mereka berlima saling melontarkan tawa sembari menunggu pesanan siap. Sesekali juga bercengkrama ramah dengan penjual seblak yang tak kalah seru orangnya. Sampai pada akhirnya, dua anak laki-laki kembar kisaran usia sembilan tahun mendekat dan menarik tas salah satu di antara kelima perempuan itu.

"Eh eh, ngapain tarik-tarik tas aku, Sya?" kata Yesi, lalu memindahkan tas gendongnya ke depan.

"Siapa juga yang tarik-tarik? Noh, lihat bocil-bocil di sebelah lo."

Mendengar perkataan Nasya, sontak Yesi, Hanum, Ilana, maupun Muna segera membalikkan tubuh dan mendapati anak kembar tersebut.

"Ada apa, Dek?" tanya Hanum.

"Kak, boleh aku minta tolong, nggak?" tanya anak itu sembari menarik tangan Ilana dan Muna bersamaan.

"Minta tolong apa?" tanya Ilana.

"Ayo ikut aku dulu, Kak," jawab anak yang satunya.

"Eh, Dek, minta tolong apa dulu?" Yesi bertanya.

"Nanti aku kasih tahu, Kak. Sekarang genting banget ini."

Mereka berlima saling bertatapan. Membantu bagaimana yang harus mereka lakukan pada anak-anak itu?

"Sudahlah, bantu saja, teman-teman. Kasihan adiknya butuh bantuan," ujar Ilana bersimpati.

"Terus ini seblaknya gimana?"

Penjual seblak yang mendengar itu, lantas menyahut dari belakang, "Nggak apa-apa, Neng, bantu adik-adik itu dulu. Seblaknya biar Mamang jaga. Uangnya nanti saja setelah membantu mereka."

"Ya sudah, Mang, terima kasih. Nanti kami ke sini lagi."

"Siap, Neng."

"Oh iya, Dek, nama kalian siapa?"

"Aku Ihsan, dan ini adik aku, Ilhan," balas anak yang terlihat lebih pendek di antara mereka berdua. Kelima perempuan dewasa itu lantas mengangguk.

Setelahnya, mereka mengikuti ke mana kedua anak kembar tersebut melangkah. Dan sesampainya di tempat tujuan dengan menempuh perjalanan kurang lebih lima menit lamanya, para perempuan dewasa tersebut terheran-heran kala Si Kembar menyingkirkan tumpukan daun yang menutupi tiga buah melon berukuran besar.

"Kak, tolong bantu bawakan ini. Kami nggak bisa bawa ketiganya sekaligus. Berat," pinta Ihsan.

"Buah melon besar-besar begini kalian dapat dari mana, Dek?" tanya Muna.

"Dari kebun Bapak, Kak," balas Ilhan. "Ya sudah, Kak, ayo cepat bantu. Kami takut Bapak marah kalau nggak buru-buru pulang."

"Oh, oke-oke."

Muna, Nasya, dan Yesi akhirnya membawa masing-masing ketiga buah melon itu, sedangkan Ilana dan Hanum tidak diperbolehkan dan hanya mengikuti saja. Begitu pula dengan Ihsan dan Ilhan yang sudah di depan untuk memandu jalan ke rumah mereka.

"Tolong jalannya yang cepat, Kak," pinta anak kembar itu seperti terburu-buru.

"Iya, Dek, iya."

Tak berselang lama, mereka sampai di salah satu rumah bercat biru yang merupakan rumah Ihsan dan Ilhan. Ketiga perempuan yang membawa melon tadi, kemudian meletakkannya di atas dipan yang berada di teras rumah.

"Terima kasih atas bantuannya, Kak," ucap mereka bersamaan.

"Sama-sama."

"Kalau perlu bantuan lagi, jangan sung-"

"Oh, jadi ini malingnya!"

Deg!

Lima perempuan berhijab itu terperanjat dengan suara keras yang tiba-tiba menginterupsi, diikuti suara derap langkah yang kian mendekat. Mereka berlima lantas menoleh, mendapati dua orang lelaki paruh baya yang diselimuti amarah. Sementara Si Kembar bergidik ketakutan sembari saling menggenggam tangan.

"Jadi, kalian yang mengajarkan tuyul-tuyul ini mencuri, 'kan?!" tuduh laki-laki paruh baya yang memiliki kumis tebal.

"Maaf, Pak, apa yang Anda maksud, ya? Kami hanya membantu mereka," tanya Ilana yang sebenarnya merasa was-was sebab dua laki-laki itu datang-datang langsung menuduh tanpa alasan.

"Oh, jadi kalian yang membantu kedua anak ini maling buah melon saya?!" Laki-laki berperut buncit yang satunya ikut menuduh.

Sementara Ilana dan teman-temannya saling berpandangan dengan kening yang mengerut bingung. Mereka tentu tak terima dituduh tanpa bukti seperti itu, sementara mereka saja tak melakukan kesalahan apa-apa.

"Maaf, Pak, boleh dijelaskan kronologinya?" Hanum meminta dengan nada ramah.

Laki-laki berkumis tebal pun menjelaskan, "Kedua anak itu mengambil tiga buah melon yang saya tanam di pekarangan rumah, tanpa izin. Mereka mencurinya begitu saja dan langsung lari ketika ketahuan!"

Kontan Hanum, Muna, Nasya, Yesi, dan Ilana saling berpandangan dengan pupil yang terbelalak luar biasa. "Jadi, kita nolongin orang buat nyolong?!"

"Wah, juanc--"

Yesi segera membungkam mulut Nasya yang ada di sebelahnya. "Dilarang toxic, apa lagi di saat-saat kayak sekarang, Sya."

"Tapi-- Woilah, ya kali kita ditipu mereka!" murka Nasya.

"Shutt, sudah sudah," lerai Ilana. Kemudian ia beralih pada Ilhan dan Ihsan. "Apa benar kalian mencuri, Dek?"

Namun, alih-alih memberikan jawaban, kedua anak kembar itu hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca.

"Ck ck! Beginilah anak zaman sekarang. Pakaian tertutup, tapi nggak punya adab dan nggak malu berbuat maksiat!" cecar Si Laki-laki Berperut Buncit.

"Pak, tapi kami tidak mencuri," sanggah Muna.

"Iya, Pak, kami hanya menolong mereka membawakan melon itu. Mereka bahkan tidak mengatakan pada kami bahwa mereka mencuri," imbuh Nasya.

"Sama saja! Mana ada pencuri mau mengaku!" terang laki-laki berkumis sembari menunjuk-nunjuk mereka berlima.

"Ayo akui saja kesalahan kalian!"

"Kami tidak akan memberi keterangan apa pun dan mengakui yang bukan kesalahan kami."

"Jadi, lebih memilih kasus ini dilaporkan ke jalur hukum?"

"Jangan, Pak!"

"Duh, Dek, bicara, dong. Kasih tahu yang sebenarnya."

Kelima perempuan itu frustasi lantaran terus dituduh yang tidak pasti, sementara anak kembar penyebab mereka seperti ini hanya diam saja dan justru menangis sesenggukan. Niat membantu, tapi malah membawa petaka.

Hingga sekian detik, panggilan seorang laki-laki terdengar dari arah yang berlawanan.

"Loh, Pak Syamsuddin? Kenapa di sini?"

"Bapaaakkk!" Ihsan dan Ilhan yang semula menangis, serta-merta menghambur memeluk kaki laki-laki paruh baya yang baru saja tiba.

"Anak-anakmu ini tadi mencuri buah melon saya lagi, Pak Kresna!"

"Astaghfirullah." Laki-laki paruh baya tersebut menatap anaknya. "Apa benar begitu, anak-anak?"

Lain hal dengan sebelumnya, anak-anak itu kini mengangguk, mengakui tuduhan tersebut. "Ican sama Iyan kepengin melon manisnya Pak Syam."

"'Kan, sudah Bapak bilang, jangan nakal lagi. Tunggu Bapak ambil uang di ATM untuk beli melonnya."

"Tapi, melon yang beli nggak semanis melonnya Pak Syam. Kami cuma kepengin makan melonnya Pak Syam."

Kresna menghela napas lelah mendengar pernyataan anak-anaknya. Lantas ia beralih pandang ke arah perempuan-perempuan berbalut pakaian syar'i di hadapannya. "Dan kalian?"

"Mereka yang membantu anak-anakmu mencuri, Pak Kresna," kata Syamsuddin yang masih tak melepaskan tuduhannya.

"Bukan begitu, Pak," sanggah Hanum. "Kami tadi dimintai tolong oleh Ihsan dan Ilhan agar membantu membawa buah melon itu ke rumah, tanpa kami tahu jika mereka mencuri. Mereka malah mengaku melon tersebut milik Bapak."

"Benar begitu, Ihsan, Ilhan?"

Dan sekali lagi, Si Kembar mengangguk, membuat sang Bapak memijat pangkal hidungnya.

"Begini, Pak Syam.. Saya yakin mereka orang-orang baik. Jangan menuduh lagi ataupun memiliki dendam kepada mereka. Jangan pula menjatuhkan harga diri mereka sebagai muslimah mulia dengan menuduh yang tidak-tidak. Ini murni kesalahan saya dan anak-anak saya, sedangkan mereka tidak ada sangkut-pautnya sedikit pun. Dan untuk tiga buah melon itu, jika Pak Syam berkenan, saya akan membayarnya. Maafkan kami, Pak," ujar Kresna penuh sesal dan kerendahan hatinya sembari menelungkupkan kedua tangan di depan dada, memohon maaf.

"Baik, Pak Kresna. Sebenarnya kalau mereka izin terlebih dahulu, saya akan senang hati memberikan buah melon itu. Tapi, karena mereka sudah salah, Pak Kresna cukup membayarnya saja sebagai ganti rugi. Dan maaf karena telah menuduh kalian," balas Syamsuddin.

Ilana dan teman-temannya membungkuk dan mengatakan tidak apa-apa.

Setelah membayar dan kedua laki-laki paruh baya itu pergi, Kresna lantas meminta maaf sungguh-sungguh pada Ilana, Hanum, Yesi, Muna, dan Nasya.

"Maaf atas kesalahpahaman yang terjadi dan tuduhan yang menimpa kalian. Maafkan anak-anak saya juga."

"Tidak apa-apa, Pak. Yang terpenting masalah ini sudah terselesaikan dengan baik," ujar Ilana yang diangguki keempat temannya.

"Ya sudah, kalau begitu, ini untuk kalian sebagai tanda maaf dan terima kasih dari saya." Kresna menyerahkan satu buah melon besar itu pada mereka.

"Tidak perlu, Pak."

"Tidak apa-apa, terima saja. Saya akan semakin merasa bersalah kalau kalian menolaknya."

Dan, diterima lah pemberian itu.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, kami undur diri."

"Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Kelima perempuan itu melenggang pergi meninggalkan kawasan rumah Ihsan dan Ilhan. Mereka mampir terlebih dahulu ke gerai seblak untuk membayar pesanan mereka tadi. Sementara di perjalanan menuju pesantren, mereka terus berharap tidak akan ketahuan oleh bagian keamanan. Sesekali mereka berniat untuk menyelinap ke kawasan penjara suci itu dengan memanjat pagar tinggi di belakang pesantren.

Namun, sayang sekali, kali ini keberuntungan tak berpihak pada mereka berlima. Belum sempat rencana itu terlaksana dan baru saja mereka berjalan ke arah tembok besar pembatas Pesantren Al-Hidayah dengan lingkungan luar, eksistensi Ustadz Mishal selaku pemimpin santri keamanan, telah berdiri tegak di hadapan mereka berlima dengan tangan bersedekap di depan dada. Membuat perempuan-perempuan yang telah melanggar peraturan itu membulatkan mata lebar, terkejut secara bersamaan, tak terkecuali Ilana.

Terlebih, ketika santriwati yang telah menjadi Ning itu baru teringat ia belum sempat meminta izin kepada Fillah. Alhasil, tak ada lagi yang dapat menolong nasib mereka.

"Mampus! Mati kita!"

*
*
*

Jam setengah delapan malam, Fillah baru pulang dari luar. Keadaan hening menyambutnya begitu ia mengucap salam hingga menjejakkan kaki di dalam rumahnya, tak seperti biasanya yang disambut oleh pemandangan indah presensi sang istri.

Kedua tungkainya melangkah pelan sembari menyapukan pandangan ke segala arah. Hingga sepersekian detik, netranya menangkap sosok yang dicarinya sedari tadi, kini melangkah mendekat dengan segaris senyuman.

"Assalamu'alaikum, Kiya."

"Wa'alaikumussalam, Gus," jawab Ilana sembari mengecup tangan sang suami.

"Maaf, Gus, tadi Ila di kamar mandi, jadi nggak dengar Gus pulang," lanjut perempuan itu.

"Nggak apa-apa, Kiya." Fillah menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum tipis. "Sudah shalat isya?"

Ilana mengangguk. "Kalau Gus sudah shalat? Atau Gus juga mau mandi sekalian, biar Ila siapkan air hangat?"

"Saya sudah shalat, sudah mandi juga."

Timbul kerutan di kening Ilana mendengar itu. "Memang di sana ada kamar mandi? Gus ke mana sebenarnya? Terus, Gus memangnya bawa ganti?" tanyanya bertubi-tubi.

"Ada, Kiya. Saya juga bawa ganti. Lihat sendiri, baju saya nggak kayak yang tadi pagi," jawab Fillah, sedangkan Ilana mengangguk paham.

"Ya sudah, mau Ila buatkan kopi atau teh?"

"Nggak perlu."

"Benar?"

"Iya, Kiya."

Akhirnya, keduanya melangkah ke ruang keluarga dan duduk bersisian. Fillah siaran berita di televisi, sementara Ilana melanjutkan kegiatan membacanya yang sudah ia lakukan semenjak ba'da maghrib. 

Ilana tetap fokus pada buku bacaannya. Selain karena itu merupakan hobi, Ilana juga tengah berusaha menghindar bilamana nanti Fillah akan menyinggung mengenai masalah tadi siang. Bukan tidak mungkin jika Ustadz Mishal memberitahukan bahwa Ilana dan teman-temannya dihukum karena telat pulang ke pesantren dan melewatkan acara muhadharah. Sudah pasti Fillah akan memberikan hukuman tambahan kepadanya.

"Kiya."

"Eum, ya?"

"Kamu mau ini?" Fillah menyodorkan satu tusuk dango yang entah sejak kapan sudah berada dalam genggaman laki-laki itu.

"Dari mana itu?" tanya Ilana.

"Saya beli tadi sewaktu pulang."

Ilana mengangguk satu kali. "Buat Gus saja."

"Yakin kamu nggak mau?" tawar Fillah lagi.

Sebenarnya Ilana ingin mencicipi walau sedikit, ia penasaran karena sudah lama tak memakan makanan seperti itu. Tapi mengingat kembali kejadian tadi siang, dan mengira Fillah hanya berusaha baik sebelum pada akhirnya memberi hukuman, Ilana lantas menolaknya.

"He'em. Gus saja yang makan," sahut Ilana pasti. "Lagian cuma satu."

"Ya sudah kalau begitu. Saya makan, ya?"

"Monggo."

Satu bulatan makanan kenyal itu mulai masuk ke dalam mulut Fillah, dikunyah perlahan, dan masuk ke dalam pencernaan. Gigitan demi gigitan terlampaui, hingga membangkitkan rasa nikmat yang menular pada Ilana.

"Maa Syaa Allah, enak banget ternyata," ujar Fillah dengan sumringah.

Sedangkan Ilana pura-pura menghiraukan, menutup sebagian wajahnya dengan buku yang hanya ia bolak-balikkan halamannya tanpa berniat melanjutkan bacaannya. Sesekali ia melirik ke arah suaminya yang melahap suapan terakhir kue beras tersebut.

"Gus beli cuma satu?" tanya Ilana sembari tak henti menatap ke mulut Fillah yang masih mengunyah, sedangkan buku di pangkuan ia letakkan di atas meja dan sengaja dibiarkan terbuka begitu saja. 

"Iya." Fillah mengangguk. "Dan ternyata benar, kalau beli satu pasti rasanya lebih enak dibanding beli banyak tapi mubazir."

"Gus beneran cuma beli satu?" ulang Ilana sekali lagi. Ia beringsut ke sisi Fillah lebih dekat

"Iya, Kiya."

"Aaa... Gus nggak sisain buat Ila!" Ilana merengek dengan wajah murung. Sementara Fillah terhenyak.

"Lho, wau ngendikane mboten purun?"

[Lho, tadi bilangnya nggak mau?]

"Purun, Guusss. Ila 'kan, juga pengin cobain."

[Mau, Gus.]

"Yakin?"

"He'em."

Melihat istrinya yang tampak sedih, Fillah lantas menjulurkan tangan ke belakang sofa. Mengambil kresek ukuran sedang yang berisi dua kotak dango dan dua cup regal milkshake, lalu menyerahkannya pada Ilana.

"Nggak mungkin saya nggak belikan untuk kamu," ujar Fillah. "Sudah, jangan sedih lagi," imbuhnya sembari menempelkan satu cup dingin di pipi Ilana.

Dilihatnya wajah sang istri berubah sumringah melihat makanan dan minuman tersebut. "Ini buat Ila?"

Sekali lagi, Fillah mengangguk yakin.

"Tapi, tumben Gus belikan Ila jajan yang manis begini. Memang Ila boleh makan?" tanya Ilana guna memastikan. Pasalnya, di atas jam tujuh malam Ilana biasa dilarang mengonsumsi banyak makanan manis demi menjaga kesehatannya yang terkadang lemah.

"Sekali ini saja, boleh."

"Beneran, Gus?"

"He'em."

Netra Ilana memancarkan binarnya. "Nggak bohong, 'kan?"

"Iya."

"Beneran boleh, Gus?"

"Angsal, Sayang."

[Boleh, Sayang.]

Seketika mulut Ilana terbungkam dengan panggilan Fillah barusan. Ia terperangah, memiringkan kepala sembari mengerjap lambat. Entah kenapa, sensasi kala Fillah memanggilnya dengan sebutan 'Sayang' kali ini begitu berbeda dengan saat Fillah memanggilnya demikian hanya untuk bercandaan. Alhasil, ia diam selama memakan jajanan yang dibelikan suaminya.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

Sedangkan Fillah sendiri, ia terus memperhatikan Ilana seolah atensinya terserap penuh oleh perempuan yang khidmat menyantap memakan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Sesekali tertawa kecil kala pipi sang istri menggembung menggemaskan. Ingin sekali melayangkan cubitan, tapi tak ia lakukan sebab takut Ilana akan tersedak.

"Oh ya, Gus tahu ka--"

Fillah mengangkat satu tangan dan meletakkan jari telunjuknya di hadapan bibir Ilana. "Habiskan dulu makanan dalam mulut kamu, Kiya."

Ilana pun menurut dan segera menelan makanannya sejemang, barulah ia bertanya. "Gus tahu kalau Buya Hamzah ke sini?"

"Tahu."

"Buya Hamzah itu beneran pamannya Gus? Ayahnya Ustadz Raihan?"

"Iya."

"Gus sudah bertemu beliau, belum?"

Fillah menggelengkan kepala. "Tadi saya sempat sowan ke Ndalem, tapi Buya sudah tidur. Jadi, besok saja bertemunya, ba'da subuh."

Ilana lantas mengangguk-angguk. Ingin bertanya lebih banyak, tetapi ia tahu sang suami pasti lelah, ditambah ia juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk menikmati makanan-makanan di depannya. Jadi, Ilana memutuskan untuk bertanya esok hari saja.

"Milkshake-nya mau lagi?" Fillah menawarkan tatkala Ilana hendak meraih cup miliknya.

"Nggak usah, Gus. Punya Ila masih ada setengah," tolak Ilana.

"Nggak apa-apa, ini buat kamu saja. Punya saya masih penuh, belum diminum." Laki-laki itu menyodorkan cup miliknya yang masih utuh.

"Ila mau saja, tapi nanti bakal kembung kalau kebanyakan."

"Ya sudah, tukaran saja. Punya kamu untuk saya, dan punya saya untuk kamu."

Selepas mendapat persetujuan dari Ilana, Fillah lantas menyerahkan regal milkshake miliknya kepada Ilana, lalu meraih milik Ilana untuknya. Laki-laki itu kemudian ikut meneguk minuman tersebut secara perlahan dan penuh khidmat tepat di atas jejak bibir Ilana.

Itulah tujuannya menukar gelas miliknya dan milik sang istri.

To Be Continue


Notes :
Untuk informasi, jadi latar waktu di cerita ini sekarang itu Maret 2019. Sementara Fillah dan Ilana menikah pada November 2018, di mana Fillah baru menginjak 23 tahun (8 November) dan Ilana belum genap 19 tahun (12 April). Mereka menikah belum genap enam bulan, tapi pada narasi cerita saya bulatkan menjadi enam bulan. Jadi, di sini belum ada covid-19 sehingga aktivitas masih bebas bepergian. Selain itu juga belum diberlakukannya UU tentang minimal usia menikah pada perempuan yaitu harus 21 tahun.

Sebenarnya saya sendiri nggak terlalu mempermasalahkan perihal waktu karena agak rumit. Tapi, supaya lebih detail dan nggak bikin bingung, sekarang ditambahi di sini hehe. Nanti juga bakal diperbaiki kalau ada ketidaksesuaian yang menyangkut kenyataan di waktu-waktu tertentu.

Jadi, sudah paham ya, umur Fillana?
Dan mungkin juga kenyataan Fillah di umur 23 udah selesai S2 itu agak nggak realistis. Tapi, nanti bakal dijelaskan di part-part selanjutnya ^^

Review tentang bab ini? Apa yang menarik dan apa pembelajarannya?

Kritik dan saran?

Jangan lupa mampir ke instagram author @priluxyy untuk mengetahui informasi-informasi dan spoiler bab selanjutnya!

Instagram Gus Fillah : @fillah.shf

Terima kasih 💗💗

Continue Reading

You'll Also Like

10.1K 1.5K 33
[ARABY Season 2] *** Hasby dan Aisyahra kembali dikaruniakan seorang putri kecil di usia pernikahan mereka yang ke-tujuh tahun. Kehadiran bayi perem...
2.7K 312 28
"Aku akan lalui semuanya, walau luka itu harus datang lagi dan lagi." "Arti nama kamu kekuatan bukan? Aku yakin kamu kuat, sesuai nama kamu. Buktinya...
4.6K 546 26
Roman - Mahasiswa - Guru . . . Nadheera Asyfa, gadis berusia duapuluh tahun. Dia merupakan mahasiswa di salah satu universitas swasta di kotanya. Dia...
5.5K 619 22
Squel Takdir Cinta[HmHs] Hasnah Nurasyafa. Seorang gadis remaja yang memiliki hobi melukis dan menulis. Pecinta warna coklat akut, sampai makananpun...