Tricky House 🎲 joonghwa [⏹]

بواسطة ichinisan1-3

24.6K 2.5K 4.7K

Bukan salah Hongjoong jika ia membawa Seonghwa ke tempat yang tidak pernah Seonghwa bayangkan akan ia lihat d... المزيد

Maze runner?
Strictland
Dystopia
Order
Black Hwa
Gamblauction
Battlefield
Dice Grotto
Dolorous
Brave
Horizon Gulf
Femme Fatale
Lethal Fury
Desire Treasure
Uriman pueblo
Snatch away
Planet Hollywood
S U S
Pregunta
Zhushi Clan
Respuesta
Elenco
Escritora
Show time
Insight
Paralel
Justice
Feast
House of tricky
The last chapter
Jackpot Wonderland
Hyperemesis gravidarum
Rolling Dice Diner
Grand Hazard
Epilogue
🧋🧃🍹🍧🍨

Pekerjaan

3K 172 151
بواسطة ichinisan1-3

Warning! 

Ini bukan sesuatu yg baru, aku remake dari masterpiece aku yg lain

Jadi kalo familiar, ini bukan plagiat

Buat yg dah tau ceritanya jan spoiler

And this is mpreg story, if you can’t deal with it, just leave

Kalo kamu bisa diajak kerjasama, silakan lanjut baca

Enjoy your ride!

"Apa kau bilang?! Kenapa aku harus mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk sebuah cincin pertunangan?!"

Seonghwa tidak bisa menghentikan suara yang naik beberapa oktaf tanpa disadari. Para pengunjung taman lain mendelik ke arahnya. Beberapa ibu-ibu yang sedang bergosip sambil menunggui anak mereka bermain perosotan memasang tampang ingin tahu.

Gadis yang sedang berada di jaringan lain telepon terkikik geli. Imut, pikir Seonghwa. Tapi dengan cepat berubah jadi desahan lelah. Shit, pikirnya.

"Tentu saja oppa. Kau tahu sendiri kan kalau pertunangan adalah sebuah momen yang berharga? Kita harus membuatnya jadi istimewa. Terutama bagian cincinnya." Gadis itu mendesah terlebih dahulu. Nada bicaranya seperti sedang menjelaskan kepada anak kecil bahwa makanan dibuat untuk dimakan. Bukan untuk dilempar-lempar seperti mainan.

"What’s so special about the diamond ring compared to the regular titanium one?" Seonghwa berpikir bahwa seharusnya ia tidak memulai pembicaraan lewat jaringan telepon. Setidaknya jika mereka melakukan perbincangan secara langsung, ia bisa mengeluarkan tampang memelas andalannya. Tidak selalu berhasil, tapi tidak ada salahnya dicoba.

Memang bukan dia juga sih yang memulai pembicaraan. Ia sedang berjalan-jalan santai ke taman. Mencari hiburan gratis, mengingat kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuknya mencari hiburan dengan berfoya-foya.

Dan yap, begitu saja pacarnya meminta barang mahal padanya.

"Pretty different. Made of 20 carat white gold and 8 carat 18 diamonds. Can you imagine how attractive it is? And how stunning I am with it?"

Seonghwa mulai tidak yakin bahwa ia masih berada di saluran yang benar. Kekasihnya kini terdengar terlalu mirip dengan iklan-iklan di TV komersial. Seonghwa mempertanyakan pendengarannya untuk sesaat. Barang yang baru saja dideskripsikan pacarnya lebih terdengar seperti sesuatu yang biasa dibeli oleh orang-orang dengan tabungan jutaan won. Bukan lelaki seperti ia yang hanya punya dua ratus won untuk ongkos pulang ke rumah saat ini. Jadi ia akan jalan kaki. Untuk apa? Tentu saja untuk menghemat.

"You’ve been already stunning by default, no need such expensive shit." Ia mencoba taktik rayuan gombal. Para gadis membencinya, tapi menginginkannya dalam waktu bersamaan.

"Don’t make an excuse." Tidak berhasil. Thank you very much. Seonghwa mengolok-olok diri sendiri dalam otak.

Payah.

"Tapi Hwang Sinbi. Delapan juta won. Seriously. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu saat ini? Kau tahu kan aku hanya lelaki biasa yang baru saja lulus SMA? Bahkan aku masih mencari pekerjaan sambilan untuk membiayai kuliahku kelak. Dan bahkan kita sudah berencana untuk menikah sepuluh tahun lagi. Kau ingat itu? SEPULUH TAHUN LAGI. Kita masih punya banyak waktu. Tidak perlu terburu-buru."

Kasarnya, ia lelaki miskin. Ayahnya sudah tidak pernah lagi bekerja sejak dipecat dari pekerjaannya sebagai kuli pengangkut barang beberapa tahun yang lalu. Pria paruh baya itu melanjutkan hidup dengan uang hasil berjudi dan taruhan pacuan kuda. Dan kemenangan tidak selalu berpihak padanya. Ia akhirnya meminjam sejumlah besar uang pada lintah darat. Dari situ pula ia membiayai uang makan dan sekolah Seonghwa. Utangnya sudah menumpuk terlalu banyak. Satu-satunya harta yang ia miliki—rumah kecil di ujung gang buntu sebuah pelosok—terancam disita sebagai jaminan. Ia harus segera melunasi utang itu. Dan sebagai orang terdekat yang terlibat, Seonghwa jadi ikut pusing memikirkannya.

Suara desahan dengan sentimen negatif di ujung telepon terdengar. Seonghwa tahu ia tidak akan memenangkan perdebatan ini.

Ia hanya berdoa gadisnya tidak mengeluarkan kata terserah. Alamat kiamat sudah hubungannya.

"Siapa yang tahu kalau dalam jangka waktu se-lama itu aku bisa jatuh ke pelukan pria lain? Pria yang benar-benar mencintaiku dan rela melakukan apa pun untukku?"

That is actually scarily accurate. Tapi bukan berarti Seonghwa akan menyerah begitu saja dalam perdebatan penting-tidak penting ini. Penting karena memenuhi permintaan calon tunanganmu berarti memastikan kelanggengan hubungan. Tidak penting karena perempuan waras macam apa yang akan meminta cincin luar biasa mahal ke pacarnya yang nyaris gelandangan?

Jadi Seonghwa berusaha menegaskan lewat nada suara, "No other guys, no one but me. I love you with all my heart."

Ia merendahkan suara yang sudah rendah. Berusaha menyontek adegan-adegan drama dimana para pria berhasil meyakinkan wanitanya bahwa dia adalah satu-satunya. Setidaknya di drama yang mereka mainkan. Di drama berikutnya tentu ada wanita lain yang satu-satunya.

"Then prove it." Lihat betapa realistisnya gadis pujaan Seonghwa ini? Setengah logika di kepala Seonghwa melempar sarkasme habis-habisan pada setengah bagian lain kepalanya yang jatuh cinta habis-habisan pada gadis ini.

Seperti yang Seonghwa katakan. Ia sangat mencintai sang kekasih. Gadis itu begitu cantik, populer, dan semua orang memujanya seperti tuan putri. Seonghwa sudah berjuang selama tiga tahun penuh untuk mendapatkannya. Dan setelah akhirnya berhasil mendapat kencan bersamanya, ia tidak akan melepasnya begitu saja.

Ayolah, ia tidak akan membiarkan usaha tiga tahun pengejaran ditambah usaha dua tahun mempertahankan hubungan, sia-sia hanya karena uang sejumlah delapan juta.

Kali ini giliran ia yang mendesah lelah.

"Sure, I’ll try."

Kim Hongjoong seharusnya lulus sekolah tahun ini. Way too bad, he didn’t make it. Ia harus mengulang di kelas tiga SMA lagi. Padahal tempat terakhirnya menuntut ilmu ini adalah sekolah buangan. Tapi ia masih tidak lulus juga? Bagaimana jika ia bersekolah di sekolah favorit yang lebih bonafit apalagi bertaraf internasional?

Saat menduduki bangku kelas dua SMA di sekolah sebelumnya—sekolah swasta bagi kalangan menengah ke atas—ia dikeluarkan. Kriterianya telah ia penuhi. Membolos sebanyak lebih dari lima kali, sering berkelahi, melawan para guru, ketahuan berjudi dengan jumlah taruhan sebesar tiga belas juta won, berbuat mesum di kelas bersama dua anak laki-laki seangkatannya, dan drastisnya kemerosotan prestasi dengan nilai rata-rata 58 di setiap mata pelajaran.

Kalau melihat teori kuno, sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu, para guru akan membantu siswanya untuk meraih cita-cita dengan cara memberikan pengajaran dengan tulus. Juga mendidik siswa dalam segi moral, tata krama, dan pembentukan karakter.

But that’s not how the schools work these days.

Persetan dengan teori itu. Zaman sekarang semua sekolah hanya ingin mempertahankan citra, penghargaan, dan pandangan di mata masyarakat. Mereka hanya menerima siswa yang baik dan pintar. Tanpa dua hal itu, seseorang tidak akan diterima. Atau jika sudah diterima, mereka akan dikeluarkan. Sekolah tidak akan peduli dengan mereka yang akan tertinggal. Yang penting sekolah itu tetap memiliki nama.

Hongjoong tidak bodoh untuk ukuran siswa seusianya. Sifat malas lah yang telah membuatnya menjadi semakin buruk dari hari ke hari. Seakan kehilangan semangat belajar.

However it’s not his fault when he believes the education systems in his country sound ridiculous. Tidak, lebih tepatnya sistem skoring di seluruh dunia terdengar komikal baginya. Bagaimana kau tahu bahwa nilai 60 milik si A punya kualitas yang sama dengan nilai 60 milik si B? Bagaimana kau tahu bahwa nilai 80 milik si C didapatkan dengan kerja keras yang sama besarnya dengan nilai 80 milik yang lainnya?

Ia tidak melihat poin dari belajar sudah sejak lama, tapi baru mulai berani beraksi di SMA. Sampai SMP, nilai-nilainya masih cukup bagus. Bahkan tanpa belajar giat pun nilainya ada di atas rata-rata. Kredibilitas keilmuannya bisa dipercaya. Jadi apa poinnya belajar? Apa poinnya berusaha mendapatkan nilai bagus? Lulus dengan ijazah memuaskan agar bisa mendapatkan pekerjaan kantoran yang membosankan?

Itu sebabnya ia tidak tampak tergiur dengan perguruan tinggi dan pendidikan lebih lanjut yang harus ia jalani.

Filosofi ini mendukung gaya hidupnya karena ia berasal dari kalangan orang berada. Sejauh ini segala fasilitas dalam hidupnya terpenuhi. Tentu dengan kulitas yang bagus juga.

Ayahnya adalah seorang jutawan pemilik sebuah resort mewah di ibukota.

Dan tentu saja, Hongjoong adalah calon pewarisnya.

Jadi Hongjoong tidak perlu bersusah payah memikirkan masalah pendidikan yang juga akan membawanya pada karir yang lebih dari layak untuk bisa menghidupi dirinya.

Tapi ayah Hongjoong tidak akan menyerahkan sebuah tanggung jawab besar pada sembarang orang.

Pemilik sebuah perusahaan tetaplah harus seseorang yang berkompeten dan berpendidikan tinggi. Maka dari itu tuan Kim tidak keberatan jika putranya harus bersekolah di sekolah buangan—karena melihat riwayat kepindahan Hongjoong dari sekolah sebelumnya, tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya. Yang penting Hongjoong tetap bersekolah dan bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak seusianya. Tidak ada perbedaan dalam mata pelajaran dan kurikulum di sekolah tersebut dengan sekolah lainnya. Yang membuatnya berbeda adalah, sekolah itu adalah pilihan terakhir dimana semua orang tua tidak ingin menyekolahkan anak mereka di sana. Sebutan sekolah buangan lebih terdengar seperti tempat pembuangan terakhir. Tempat sampah. Seakan semua muridnya adalah sampah.

Tapi sebagaimana sekolah pada umumnya, mereka menyediakan beasiswa ke perguruan tinggi ternama di dalam maupun luar negeri bagi siapa saja yang mau berubah. Bagi setiap siswa yang belajar lebih giat untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dan terhitung sudah lebih dari seratus siswa lulusan sekolah ini mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Harvard, salah satu dari top 3 di Amerika.

"Mana bisa. SMU Timber Park kan adalah sekolah buangan. Kau tidak bisa menyogoknya untuk meluluskanmu." Itu suara omelan Jinsoul. Kakak perempuan Hongjoong yang sedang magang di tempat ia berdiri saat ini. Perusahaan milik ayahnya sendiri. Ia tampak berbicara dengan sang adik di dalam lobi.

"Aku tidak suka belajar. Kalau harus mengulang, kapan semua ini akan berakhir?" Hongjoong mau repot-repot berkunjung ke tempat ini hanya untuk meminta sang kakak menjadi wali ketika akan menyogok nanti. Karena ia tahu bahwa ayah dan ibunya tidak akan bersedia melakukannya.

Kedua orang tua Hongjoong memiliki alasan kenapa mereka tidak membuat putra kesayangannya menjalani sekolah bisnis khusus secara homeschooling.

Gadis itu melipat kedua tangan di dada, "You’re wasting the youth. Just follow the rules."

Hongjoong memutar bola matanya bosan, "Don’t tell me what to do."

"Then don’t tell me what I won’t to." nada suara kakaknya dingin. Ia kesal terhadap sikap adiknya. Banyak orang yang ingin bisa berada di posisi dengan kesempatan mendapatkan pendidikan seterbuka yang Hongjoong punya. Tapi pemuda ini malah tidak peduli soal itu.

Seonghwa yang sedang memindahkan berbagai macam minuman segar dari nampan ke atas meja, mendengar percakapan yang terjadi antara Kim bersaudara itu. Jarak mereka hanya sekitar lima langkah darinya.

Jadi mereka adalah anak dari pemilik resort ini ...

Jika kau bertanya sedang apa Seonghwa di sini? Jawabannya adalah, ia baru saja memulai pekerjaan barunya sebagai seorang pelayan. Setelah menjalani masa melelahkan training selama seminggu penuh. Terlalu singkat memang. Karena beberapa pegawai baru saja hengkang baik itu karena mengundurkan diri mau pun dipecat, perusahaan ini membutuhkan penggantinya dengan cepat.

Seonghwa tidak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Ia akan melakukannya di tahun berikutnya. Ia harap.

Itu jika ia bisa mengumpulkan uang cukup banyak untuk universitas yang biayanya tidak sedikit. Dan juga mendapatkan biaya untuk membeli cincin super mahal permintaan calon tunangannya.

Jinsoul begitu saja meninggalkan Hongjoong. Seonghwa bisa melihat dengan jelas bahwa Hongjoong sedang frustrasi.

Karena tanpa sadar ia terus memperhatikan Hongjoong.

"Kau lihat apa?" Hongjoong berujar kesal. Mendelik ke arah pemuda dengan pakaian pelayan baru itu.

Seonghwa membungkuk sopan, "Maaf tuan."

Karena nervous, Seonghwa terdiam lebih lama lagi selama beberapa saat. Sambil menatap ke sepatu pinjaman resort yang mengkilap.

"Get back to work. Jangan diam saja." Hongjoong berujar dingin. Kalau kehidupan mempersulit situasinya, mungkin sebaiknya ia juga mulai mempersulit sirkumstansi hidup orang lain. Kedengarannya menyenangkan.

Seperti memarahi karyawan baru yang gugup ini.

Namun justru sebuah ide berputar di otak Seonghwa.

Jadi, ia menggenggam erat nampan yang telah kosong di tangannya, "Tuan Kim."

"Apa?" sang lawan bicara masih terdengar kesal. Ia yang sudah akan pergi menjauh, berhenti. Entah kenapa juga dia berhenti. Padahal seharusnya ia tidak perlu mempedulikan manusia satu ini.

"Anda adalah putra dari tuan Kim, bukan?" Seonghwa bertanya dengan nada hati-hati.

"Memang kenapa?" Hongjoong sejujurnya sudah tidak tertarik dengan percakapan ini. Tapi entah kenapa kegugupan–namun–di–satu–sisi–keberanian  bicara pelayan baru ini membuatnya bertahan.

"Bisakah anda membantu saya meminta pada ayah anda untuk memberikan saya pekerjaan yang—"

"Itu bukan urusan ayahku. Apalagi aku. Perusahaan ini sudah berada di tangan tuan Choi Siwon sebagai manajer eksekutif. Seperti yang kau tahu, ayahku adalah pemilik. Ia tidak melakukan pekerjaan. Hanya menerima profit dan income." Hongjoong merotasikan bola mata, menjelaskan dengan nada monoton yang mempertegas kebosanan.

Tapi anehnya, ia masih tetap menjelaskan.

"Tolong saya tuan. Saat ini saya sedang membutuhkan banyak uang." Seonghwa memasang tampang memelas dan maju dengan semakin membungkukkan postur. Meminta belas kasihan.

"Itu juga bukan urusanku. Everyone needs a lot of money, heaven knows that." nada bicara Hongjoong semakin kesal dengan tuntutan menjelaskan perkara gamblang macam begitu pada pelayan ini.

"Saya mohon tuan." Seonghwa setengah keras kepala dan setengah mengiba.

Hongjoong menghela napas lelah. Efek suara memelas Seonghwa sepertinya bekerja.

"Berapa jumlah uang yang kau butuhkan?"

"Delapan juta won." Seonghwa tidak ingin mengeluarkan kalimat bodoh lainnya. Ia sudah mendiskreditkan harga diri. Terlihat bodoh adalah hal terakhir yang akan ia lakukan di dunia ini.

Hongjoong terlihat menimbang selama beberapa saat. "Apa yang bisa kau lakukan?"

Sementara Seonghwa menahan napas. Memikirkan keputusan. "Saya akan melakukan apa saja." Kalimat ajaib yang biasanya membawa masalah setiap kali keluar dari mulut karakter apa pun dalam drama.

"Apa pun?" Hongjoong memasang tampang skeptis.

"Apa pun." Seonghwa sudah kepalang basah, jadi sekalian saja ia mengeluarkan suara tegas.

"Baiklah. Ikut aku."

Hongjoong menarik Seonghwa ke arah lain lorong.

Dalam imajinasi terliarnya sekalipun, tidak pernah terbesit dalam benak bahwa Seonghwa akan ditiduri seorang pria.

Ia adalah seorang hetero, dan ia benar-benar tidak pernah memikirkan hal hingga sejauh ini. Dan lagi, ia adalah tipe pemuda konservatif yang di dalam pikirannya hidup adalah belajar, kuliah, kerja, menikah, punya anak, lalu mati.

Tapi keadaan memaksanya. Untuk berpikir di luar perspektifnya yang biasa. Dan untuk melakukan tindakan apa saja untuk memenuhi kebutuhan.

Jadi, itu yang dia lakukan. Ia melakukan apa saja.

Hongjoong langsung mencoretkan tinta di atas sebuah kertas cek. Menuliskan sejumlah angka, begitu selesai mengenakan kembali seluruh pakaiannya. Orang tuanya mungkin tidak begitu saja mempercayakan perusahaan padanya. Tapi ia punya buku cek sebagai ganti jatah bulanan untuk uang jajan. Dan beberapa kartu kredit. Bahkan salah satunya adalah unlimited platinum black card.

Ia terlihat rileks setelah kegiatan panas dengan pelayan baru ini. Masa bodoh dengan tubuhnya yang kini benar-benar lengket sehabis bercinta selama satu jam. Ia akan membersihkan diri di rumah nanti.

"Take it." Ia menyodorkan selembar kertas itu pada Seonghwa.

Tidak ada sehelai benang pun yang membalut tubuh kurus Seonghwa ketika ia menerima lembaran putih itu di tangannya, "20 million? It’s too much." Ia hanya ditutupi selimut tebal di bagian bawah tubuhnya. Di atas tempat tidur.

"Delapan juta terlalu murah untuk kepuasan yang kau berikan padaku. Kau yakin ini adalah pertama kali bagimu?" Jujur saja, kegiatan satu jam bersama pelayan polos ini adalah salah satu pengalaman menggairahkan. Dan pemuda ini mengaku padanya ketika ia baru melepas kemeja seragam bahwa ia belum pernah melakukan seks dengan pria sebelumnya.

"Ya, Hongjoong. My orientation is education, not a sexual desire. Itu hanyalah distraksi di saat-saat tertentu." Ia bisa memanggil Hongjoong dengan namanya sekarang. Sejak Hongjoong memintanya untuk mendesahkan namanya ketika berada dalam permainan hebat tadi.

"Seperti saat ini kan?" Hongjoong hanya membalas sindiran tidak langsung Seonghwa dengan seringai dingin.

"Ya."

"Okay, I’m going. You too. Get back to work." Hongjoong melangkah santai sambil bersiul. Meninggalkan begitu saja Seonghwa yang setengah mempertanyakan keputusan hidup.

Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu tadi, Hongjoong sempat berkata, "And don’t ever see me again." Kemudian berlalu. Seonghwa hanya menatap kosong ke arah pintu selama beberapa saat. Tanpa sadar beberapa titik air mata jatuh meluncur di pipinya.

Seonghwa mengusap buliran bening itu.

Dua puluh juta terlalu murah untuk keperjakaanku yang sangat berharga …

Sesungguhnya begitulah yang dikatakan hatinya. Kontradiktif dengan apa yang ia katakan pada Hongjoong soal jumlah uang yang diberikannya. Paradoks.

Ia menyingkap selimut, menatap jijik cairan di sekitar selangkangan. Miliknya, tercampur dengan milik lelaki tadi. Dan sedikit bercak merah yang mengotori seprai putih itu.

Rasanya sakit sekali.

Ia terluka.

Di bagian selatan tubuh.

Juga harga dirinya.

Bagaimana lagi? Ia sudah sepakat. Bersedia menyerahkan apa yang paling berharga pada dirinya. Ia bisa saja menolak. Tapi ia tidak ingin kehilangan kerja keras selama tiga tahun untuk bersama kekasihnya karena dipisahkan oleh syarat bodoh sebuah cincin mahal.

Jadi ia melakukan apa saja. Hanya demi Hwang Sinbi seorang.

"After fucking 5 months, you’ve just told me now?"

Seonghwa tidak tahu harus menanggapi seperti apa pada kalimat Sinbi barusan. Seonghwa sudah bisa mendengar insult. Ia sudah memprediksi seberapa hina dirinya saat ini di mata Sinbi.

Dengan perut sedikit membesar, dan ia tidak bisa menyembunyikannya dari gadis itu. Sesungguhnya, jika ia bisa, ia ingin menyembunyikan semua kenyataan ini bahkan dari dirinya sendiri.

"Kau hamil. Itu artinya kau lebih dulu melakukan hubungan seks sebelum melakukannya denganku." Sinbi mulai bersuara lagi setelah beberapa detik hening memuakkan. Nada bicaranya judgemental. Menyalahkan semua kondisi, tentu pada siapa lagi selain Seonghwa?

"I did it for reason. I need to, so I can buy you the diamond ring."

Gadis itu mendelik. Seonghwa menatap miris cincin berlian yang ada di jari manis kekasihnya.

"Tapi bukan begitu caranya." Sinbi mendesah pasrah. Putus asa dan kesal. Ia merasa dikhianati. Merasa direndahkan dengan kenyataan bahwa ia memadu kasih dengan manusia rendah yang menjual dirinya. Seharusnya Seonghwa bisa melakukan sesuatu yang lebih baik sebagai kekasih.

Seonghwa tidak terima dengan hinaan terimplikasi dari kalimat gadis itu. "So you think I can get an appropriate job with a big fee easily?"

"Kau membawa anak milik orang lain di dalam tubuhmu sekarang. Kau sangat menjijikkan Park Seonghwa." Persetan dengan sirat menyirat. Sinbi merasa jijik pada laki-laki di depannya, jadi ia akhirnya mengatakannya.

Seonghwa tidak menyangka kekasihnya tega bicara begitu setelah apa yang ia lakukan untuk mengikuti kemauan kekasihnya itu. "Tolong jangan salahkan aku. Aku sendiri baru tahu kalau aku hamil."

Sinbi memasang wajah skeptis, cenderung sinis, "Sudah empat bulan. Kira-kira segitu kan usianya? Kenapa tidak kau gugurkan sejak awal?"

"Karena aku benar-benar baru tahu sekarang." Seonghwa tidak berbohong dengan itu. Ia memang baru memeriksakan diri ke dokter ketika merasakan beberapa kejanggalan. Dan di saat itulah ia juga baru mengetahui bahwa ia adalah seorang carrier. Suatu keadaan dimana ia memiliki rahim sebagai salah satu alat reproduksi. Setidaknya itulah yang dikatakan dokter padanya.

Bagi Sinbi saat ini adalah sebuah penghinaan besar pada dirinya—yang dikejar-kejar banyak laki-laki—untuk menjadi kekasih pemuda yang mengandung anak haram.

Jadi, ketika Seonghwa menatap matanya, ia tahu. Ia sudah kehilangan kekasihnya.

"I don’t give a fuck. I don’t wanna know you anymore, goodbye." Sinbi dengan wajah angkuh, melangkah keluar tanpa rikuh.

Ia pergi, tetap membawa cincin berlian itu di tangannya. Melingkar di jemari lentiknya.

Lengkap sudah semuanya.

Penderitaan yang Seonghwa alami.

Terlebih ketika mengingat bahwa ia juga baru dipecat karena beberapa minggu terakhir ini ia mudah sekali kelelahan. Membuat pekerjaannya kacau. Tidak terhitung sudah berapa lusin piring dan gelas yang ia pecahkan. Berapa banyak makanan Eropa yang ia jatuhkan. Berapa liter minuman yang ia tumpahkan.

Horizon Gulf Hotel & Resort tidak membutuhkan pekerja tidak becus seperti Seonghwa. Ia mengerti, ia tidak membantu profit dan income perusahaan sama sekali dengan kinerjanya. Tapi tetap saja ia mengharap belas kasihan.

Ia tidak akan menyalahkan kehamilannya untuk ini. Karena bayi yang sedang bertumbuh di dalam perutnya kini, tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Makhluk mungil itu juga tidak meminta untuk diciptakan, lagi pula. Jadi, tidak akan ada siapa pun yang Seonghwa salahkan.

"Hongjoong."

Seonghwa tidak menyangka akhirnya ia menemui lelaki ini lagi. Karena tuan muda satu ini tampaknya sibuk sekali. Foya-foya kemungkinan besar. Atau meniduri gadis-gadis atau para lelaki lain.

"Seonghwa. Didn’t I tell you not to see me again?"

Tentu Seonghwa ingat soal perintah spesifik itu.

Dan ia kini memiliki harapan kecil muncul dari pertemuan ini.

Seperti ketika bertemu pertama kali, mereka kembali dipertemukan di lobi.

"Tapi pertemuan ini kan tidak sengaja terjadi." Awalnya Seonghwa tidak berharap apa-apa. Tapi sekarang melihat lelaki yang menghamilinya, Seonghwa jadi ingin mengeluhkan segalanya dan menyalahkan Hongjoong atas semua penderitaan yang terjadi padanya.

"Baiklah. Hai. Sudah lama kita tidak bertemu. Sudah berapa lama ya?" ujar Hongjoong melempar basa-basi sarkastis.

"Lima bulan."

"Wow. Bagaimana bisa kau mengingatnya dengan tepat seperti itu?"

Tentu saja. Aku tahu usia kandunganku. How can't I know when exactly you've knocked me up!

"You look healthier now, you must enjoy your job here." Hongjoong melanjutkan basa-basi. Karena jujur saja, sebenarnya dari berbagai partner seks yang Hongjoong jajal, Seonghwa adalah satu dari yang paling luar biasa. Jika bukan yang luar biasa.

Wajah Seonghwa memerah, "Er … soal itu …" ia tidak bisa melanjutkan.

Enjoy your ass! Aku telah mengacaukan segalanya di sini.

"Aku cukup sering datang kemari. Tapi kenapa kita tidak pernah bertemu?" tanya Hongjoong. Lanjut dengan metode basa-basi busuknya.

"Seperti yang kau tahu. Ini adalah tempat yang sangat luas. Setiap kali kau datang kemari, kita pasti berada di spot yang berbeda. Aku berpetualang ke setiap penjuru tempat di sini. Tidak selalu berada di lobi."

"Bisa jadi. Ngomong-ngomong, aku baru sadar kalau kau tidak memakai baju seragammu. Lalu koper besar yang berdiri di sampingmu? Apa maksudnya semua itu?"

"Aku keluar dari dormitory pelayan." Seonghwa benar-benar menahan diri untuk tetap tampil tenang. Kalimat yang dikeluarkan Hongjoong terus menerus bernada sarkastik. Untuk beberapa alasan, itu lebih menyakiti hati Seonghwa dibandingkan hinaan Sinbi padanya.

"Kenapa? Memang kau bisa datang pagi-pagi sekali ke sini dari rumahmu nanti setiap hari?"

"Aku tidak akan datang lagi." sederhana dan informatif. Seonghwa sedikit bangga dengan dirinya.

"Apa maksudmu?" Hongjoong dibuat mengernyit dahinya atas pernyataan ini.

"I got fired."

"What?! How come? You asked me a better job to get more money but now you’re fired?" Hongjoong sedikit bingung. Setahunya Seonghwa adalah satu dari karyawan yang cukup cekatan.

"Aku pantas dipecat."

"Tuan Choi bukanlah orang yang mudah memecat orang. Ia biasanya selalu memberikan toleransi pada kesalahan yang dilakukan para pekerja."

"Itu dia masalahnya." Seonghwa mengingat tumpukan piring pecah yang sudah ia buat.

"Kau pasti telah melakukan kesalahan fatal sampai ia memberhentikanmu."

"Fatal sih tidak. Hanya kesalahan kecil. Tapi berulang-ulang. Hampir setiap hari."

"Contohnya?"

"Memecahkan gelas."

"Dasar ceroboh. Sudah kuduga sistem training dalam waktu yang terlalu singkat bukanlah ide yang bagus. Seandainya aku manajer di sini, aku akan mengadakan rapat untuk membahas perihal itu."

"That’s not the point."

"Then?"

"Aku sangat mudah kelelahan."

"Dasar manja. Kalau tidak mau bekerja keras tidak usah bekerja di sini sejak awal. Kami tidak membutuhkan orang sepertimu di sini."

"Apa kau bilang?" nada protes Seonghwa keluar lemah. Tapi tetap nada protes, bagaimanapun juga.

Ia tidak terima. Ia bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Ia bisa mendapatkannya dengan bekerja di tempat ini. Dan ia berusaha sebaik mungkin selama ini. Lalu barusan dengan ringannya lelaki di hadapannya mengatakan ia manja dan tidak mau bekerja keras? Ia ingin sekali memukul wajah Hongjoong saat itu juga. Tapi sesuatu menahannya dari melakukannya.

"Aku bilang kau manja. Kenapa? Kau mau protes?" Hongjoong merasa mendapat tantangan untuk membuat Seonghwa benar-benar naik pitam.

Park Seonghwa pantas memprotesnya. Ia memiliki argumen untuk itu.

"Aku hamil. Tentu itu akan menjadi sangat wajar ketika aku mudah kelelahan."

"Hah? Serius?"

"I. Do. Carry. A baby. Inside. My. Body." Seonghwa membuat penekanan di setiap kata-nya.

"Who ... does it belong to?" Hongjoong mulai waspada. Menyambungkan satu titik ke titik lainnya. Tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini ia berhati-hati mengambil kesimpulan. Karena kesimpulan yang terbentuk di otaknya tidak menyenangkan baginya.

"You."

Hongjoong terbahak, "Say it again Park."

"Kau adalah satu-satunya manusia yang tidur denganku. Aku berani bersumpah."

"Seperti apa pun sumpah itu, itu hanyalah sebuah kalimat yang keluar dari mulutmu. Apalagi kau hanyalah orang lain bagiku. Bukan siapa-siapa. Kau bisa saja berbohong."

"Aku bisa melakukan tes DNA ketika anak ini lahir jika kau masih tidak percaya. Aku tidak takut, karena aku tidak berbohong." Seonghwa mengangkat dagu. Berusaha agar posturnya terlihat dominan. Ia mengatakan kebenaran dan tidak takut soal konsekuensinya.

Hongjoong sempat terdiam setelah mendengar kalimat terakhir Seonghwa. Ia melihat keseriusan ketika lelaki itu mengatakannya.

"Ya sudah. Lalu kenapa? Kau bisa melakukan apa pun padanya. Kau bisa menggugurkannya." Hongjoong menjawab santai nada menantang dari Seonghwa.

"Ya, aku memang bisa melakukannya. Tapi aku tidak sejahat itu. Ia bernyawa. Dan ia adalah darah dagingku sendiri. Aku tidak akan membunuhnya." penjelasan Seonghwa membuat Hongjoong menelan ludah. Sedikit rasa kemanusiaannya membenarkan alasan Seonghwa.

Tapi ia belum mau menyerah, dan ia tidak ingin terlibat dalam masalah ini, "Kau hanya membebani dirimu sendiri."

"Aku akan merasa bersalah selamanya jika aku menghilangkannya."

"Hei. Dengar ya. Hidupmu itu sudah cukup susah. Dengan membesarkan anak ini, kau hanya menambah beban hidupmu."

Seonghwa yang berusaha diyakinkan, diam saja untuk beberapa saat. Terlebih suara Hongjoong keluar lebih seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah hening, Seonghwa berkata lagi, "But that’s exactly what I’m planning. To let them grow inside me."

"Terserah. Selamat mengurus anak. Sampai jumpa." Hongjoong sudah melangkah pergi jika bukan karena Seonghwa sekarang mencengkeram lengannya. "The fuck is wrong with you?" intonasi Hongjoong lebih tinggi kali ini. Ia tidak terima dengan perlakuan Seonghwa. Dan ia hanya tidak tahu saja kalau Seonghwa bahkan lebih tidak terima diabaikan seperti tadi.

Masalahnya, ini bukanlah perkara main-main.

"Kenapa kau tidak mengerti? Ini adalah anakmu. Kita seharusnya menanggung ini bersama-sama." Seonghwa tahu rasanya dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Dia tidak mau anaknya besar hanya oleh seorang ibu yang hidup kesusahan. Meskipun saat ini ayah anaknya berakting seperti bajingan. Ini akan lebih baik dibandingkan membesarkannya sendirian.

Hongjoong tidak suka tanggung jawab, di sisi lain. Please, untuk menyelesaikan sekolah saja ia tidak mau. Apalagi membesarkan anak?

"Aku sudah menyarankanmu untuk menggugurkannya. Kau menolak melakukannya, tapi kau ingin melibatkanku dalam merawat anak itu? How ridiculous."

"Aku tidak bermaksud melibatkanmu. Tapi kenyataannya, kau mutlak terlibat. Karena kau adalah ayah dari anak ini. Kau adalah penyebab kehadirannya di dunia ini."

"Kau yang meminta. Kenapa aku yang disalahkan?" Hongjoong merasa makin tersudutkan.

"I asked you a job, but you fucked me instead." Seonghwa mengeluarkan trik lama. "Kau memperdaya orang yang sedang kesusahan, kau tahu itu." Membuat Hongjoong semakin merasa bersalah.

"Aku tidak memiliki wewenang untuk mengatur dan memberikan pekerjaan pada seseorang di tempat ini. Jadi aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya ingin menolongmu."

"Jangan bercanda. Iya, kau menolong. Tapi memanfaatkanku. Kalau kau ingin menolongku, kau akan memberiku uang tanpa harus meniduriku." Nada Seonghwa makin menukik.

"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Ada sesuatu yang harus kau bayar dan korbankan untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan." Hongjoong beradu argumen sekarang.

Dan setidaknya kali ini Seonghwa yang berhasil dibuat terdiam.

Hongjoong melanjutkan argumen, "Kau bilang kau straight. Lalu kenapa kau ingin hidup bersamaku?"

Benar juga, pikir Seonghwa.

Tapi seberapa hetero-pun seseorang, ia memiliki kadar setidaknya satu persen orientasi seksual menyimpang dalam dirinya. Dan setelah merasakan sentuhan terdalam dari Hongjoong, sepertinya satu persen yang Seonghwa miliki telah bertambah sedikit-banyak.

"Take me with you Kim Hongjoong. Hidupilah anak ini. Anakmu. Anak kita." sekarang Seonghwa tidak peduli soal argumen.

"Jangan membuat ikatan seperti itu."

"Ikatan itu sudah tercipta tanpa aku harus mengatakannya."

"Whatcha expect from a high school student like me? Sisa uang jajan yang hanya cukup untuk makan malammu?" Hongjoong berujar sarkastik. Karena kenyataannya, semua orang juga tahu betapa banyak uang yang Hongjoong pegang.

"Aku mohon …" Seonghwa membawa tubuhnya turun perlahan. Bersujud di lantai dengan hati-hati—agar tidak menyakiti perutnya. Ia akan memeluk kaki Hongjoong kalau perlu.

"Hei. Apa yang kau lakukan? Jangan seperti ini. Bangunlah. Tunjukkan harga dirimu." Hongjoong menarik lengan Seonghwa. Mencoba untuk membawanya bangkit. Tapi Seonghwa kukuh dengan posisinya.

"Aku sangat membutuhkanmu …" Seonghwa setengah mendesah, mengiba.

"Hentikan, Park Seonghwa. Orang-orang mulai memperhatikan kita."

Benar sekali. Apalagi para pelayan yang sedang melakukan tugasnya di sekitar mereka.

"Ia pasti sedang memohon pada tuan Kim muda untuk dipekerjakan kembali," bisik beberapa pelayan perempuan di sekitar mereka.

Sahut rekan pelayannya yang lain, "Benar. Ia pasti sangat membutuhkan pekerjaan saat ini. Sampai melakukan itu."

"Okay, Park Seonghwa, do as you please." Hongjoong kehabisan akal untuk saat ini. Sebaiknya turuti yang bisa ia turuti.

"Terima kasih banyak … Kim Hongjoong …" Seonghwa tersenyum. Untuk saat ini merasa lega.

Meski entah bertahan berapa lama omongan seorang bajingan yang meminta menggugurkan anaknya sendiri. Setidaknya kali ini Hongjoong mengalah.

Kamu bakal nemu sesuatu yg ga diduga kedepannya

Ini bukan sekedar cerita biasa soal cowo brengsek buntingin anak orang, but there will be a lot more

Temanya bakal sama persis dengan cover

And as usual, bbrp persen english

Look forward to it

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

6.7K 642 17
[Sedang tahap revisi sedikit-sedikit] Haris Sung yang awalnya tidak mempercayai adanya 'Soulmate' bertemu dengan Mahasiswa cantik yang sedang mencari...
60.9K 7.2K 13
"there is nothing more beautiful than loving you, Jung Wooyoung" ㅡSan, choi.
28.1K 2.8K 27
- Born as a descendant of wolves and demons. become the leader of his nation. and love his mate with all his soul. Sebuah awal kelahiran dari ketiga...
5.2K 619 21
setelah kematian sang bunda, sanggrada harus menerima kenyataan bahwa sahabat sang bunda akan menjadi ibu tirinya. tragedi terulang dan nyawa kembali...