Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

19K 3.2K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.14 [1/2]

32 9 0
By monochrome_shana404

Di sepanjang padang rumput yang luas, bunga-bunga berjajar rapi tumbuh menyambut musim semi. Matahari bersinar, tak begitu terik hingga membuat hari lebih enak dinikmati di luar. Angin yang berembus santai juga mendukung suasana.

Gadis kecil berambut kepirangan tergopoh-gopoh memasuki taman. Wajah pucatnya utuh memerah sementara sepasang mata menyipit melawan semua yang tampak menyilaukan baginya. Betapa pun lelah yang tergambar jelas dari segala engah yang ia embuskan, tetap saja ia tak melepas genggaman eratnya dari tangan mungil yang tengah berlari mengekorinya.

Mimiknya tampak bahagia tepat mereka hampir sampai ke tujuan. Ya, pohon rindang bersama sepasang ibunda yang tengah bercengkrama. Dirinya tak mengatakan apa-apa, tetapi kala itu ia berseri-seri menoleh kepada bocah empunya tangan mungil yang senantiasa menemaninya.

"Setidaknya aku masih mengingat segelintir masa lalu dari ingatan yang tersisa di dalam kepalaku."

Lantas patah kata itu membuyarkan segala bayangan dalam pikirannya sendiri. Demikian ia masih mendapati Kirika berada di tempatnya, seolah benar-benar mendengar dengan khidmat.

"Segalanya sangat menggangguku, kau tahu? Aku bahkan meragukan kita pernah memiliki hubungan sebaik itu dulu." sambungnya. Dia melangkah ringan menuju ujung meja lantas menumpu kedua tangannya di atas sana. "Jika memang benar adanya, tidakkah kau berpikir kami seperti kelinci polos yang sudi berteman dengan hyena kelaparan yang siap menerkam kami kapan saja?"

Kirika menggeleng miris bersama senyum samar kala ia mengerti satu hal melalui topik yang tengah diangkat kali ini.

Alex tidak hanya mencuci otak dan membuat anaknya lupa akan masa kecilnya, tetapi juga utuh mengotori hatinya dengan kebencian.

"Hyena sesungguhnya ada di pihak kalian—ayahmu. Mau sampai kapan kau terus-terusan menyangkalnya?" Kirika menghela napas sembari berpaling. Pandangannya persis tertuju kepada bercak-bercak hitam yang menjelma kerak di sudut ruangan. Lantas tak membutuhkan waktu baginya menyentak dagu ke sana. "Kudengar kau membunuhnya di sana."

Kenji tak menyangkal soal itu. Dia sekadar mengangguk-ngangguk ringan sembari menoleh ke arah yang serupa.

"Dia meracuni pikiranku teramat sangat. Tak tanggung-tanggung mendatangkan ibuku dalam wujud yang sangat mengerikan di dalam kepalaku," katanya. Begitu ringan ia bertutur, setitik pun tak terlihat mimik penyesalan di wajahnya. "Kupikir membunuhnya cukup, tetapi agaknya aku harus membunuhmu juga—"

Gesit langkahnya hingga hampir-hampir Kirika lengah. Satu sabetan belati ia tangkis dengan pedangnya. Sempat ia lirik belati musuhnya itu, demikian dirasa dirinya mampu membalikkan serangan, lantas pandangannya berpindah kepada Kenji yang menyeringai lebar.

"... Dengan begini kalian akan lebih mudah dikenang sebab berakhir di tempat peristirahatan yang sama, bukan?!"

Gesekan keras dari kedua bilah benda tajam melaung bersama suara Kenji yang kian meninggi di setiap ujarannya. Bersama dengan mundurnya Kirika, ia menyentak belati, mengubahnya menjadi tongkat pedang bermata dua. Ayunan tiap putaran yang ia lakukan tampak enteng. Sama sekali tiada keberatan setiap langkahnya, lincah lagi lihai menyerang setiap sisi musuhnya.

Kenji berhasil mendorong Kirika mundur. Empunya manik delima itu terpojok, tetapi tetap saja ia enggan menyerah menangkis segala serangan. Kala kemudian satu lubang dari keramik yang terpecah menjegal tumit, punggung Kirika harus menghantam lantai bersama pedang yang terempas dari tangannya.

Lekaslah Kenji mengarahkan mata pedang ke wajah Kirika. Beberapa kali Kirika mengelak. Anggota geraknya yang enggan berdiam barang sejenak, lantas menggenggam seonggok batu. Dia lemparkan batu itu kala mendapat kesempatan, barulah ia menyeret diri. Begitu cepat pula tendangan ia ayun tepat ia mengaktifkan bilah dari sepatu roda elektrik.

Meski ia tak berhasil memberikan luka kepada Kenji, setidaknya itu sudah lebih dari cukup menghentikan pria muda tersebut barang sejenak sementara Kirika masih berada dalam posisi berlutut.

"Padahal kau bisa saja membunuhku tanpa melakukan segala hal yang sudah-sudah." Demikian Kirika bersuara, sedikit pun tak memedulikan badan memanas usai pertarungan singkat. "Namun, tampaknya kau memang senang merepotkan diri sendiri, benar begitu?"

Kekehan kecil lantas melantun dari lawan bicara. "Aku tak akan puas jika hanya mengakhiri hidupmu begitu saja. Mungkin aku pun tak pernah tenang di akhirat sebelum melihatmu tersiksa. Lagi pula hidup juga kurang menyenangkan jika tidak memiliki pengalaman yang sering memicu adrenalin dan mengguncang kewarasan, bukan?"

"Ah, rupanya ada orang gila kesepian yang hendak mencari teman di sini." Kirika bangkit. Tampaknya Kenji tak keberatan jika ia memungut kembali pedangnya. "Agaknya aku tak memiliki pilihan selain menemani dan menghiburnya di sini."

"Harap-harap kau tak keberatan jika kita bermain sedikit lebih lama. Kau ingat, bukan? Kita memiliki satu permainan penting dalam agenda kita."

Lantas bersamaan dengan ujarannya melantun, Kenji merogoh jaket yang kemudian tak lama mengangkat sebuah benda tinggi-tinggi seolah membantu Kirika agar ia bisa melihat benda itu lebih mudah.

"Kau mungkin sudah mengetahuinya dari Akira mengenai hal ini. Pun, aku percaya karena kendali inilah kau sudi mendatangiku," katanya sembari menyeringai tipis. "Hanya sekali tekan sudah mampu meratakan wilayah ini dalam radius belasan—tidak. Puluhan? Namun, apa pentingnya itu sementara ledakannya mampu menambah ratusan korban baru?

"Bagaimana? Tertarik untuk bergabung dalam berebut mainan ini? Aku akan memberikanmu waktu, anggaplah aku sedang bermurah hati hingga sudi menunggumu memutuskan. Kau tahu, bukan? Jarang orang gila mau bersabar, apa lagi menyenangkan hati orang."

Kesabaran itu tak membutuhkan waktu lama bagi Kirika untuk melunasinya. Bagai orang yang memang sama sekali enggan berutang budi dari kata 'sabar', dengan sepatu roda elektrik ia segera maju mengayun pedang.

Mudah bagi Kenji menangkis serangan yang terbaca. Kali ini ia tak membiarkan tongkatnya beradu dengan pedang Kirika, lantas ia sentak kuat-kuat hingga tangan musuhnya terempas.

Kirika tak berhenti sampai di sana. Untuk kali pertama ia menggunakan pistol. Dia harus mengaku bahwa menembak subjek bergerak dalam jarak dekat teramat menyulitkan. Kenji berhasil mengelak dengan menelengkan kepala.

Pemuda tersebut memilih tak hirau terhadap rasa sedikit panas berikut kebas di ujung daun telinga, lantas menyambar Kirika kembali tepat ia hampir menembakkan satu peluru lagi. Satu tebasan membelah angin cukup membuatnya melompat untuk menyingkir, lantas ia melanjutkan serangan hingga mereka adu senjata.

Seluruh tenaga dikerahkan penuh ke semua anggota gerak. Namun, itu pun masih saja tak mampu membuat Kirika bertahan lebih lama. Kedua kakinya terseret-seret mundur, tetapi ia terus melawan.

Tak sebentar pula mereka terus beradu dalam posisi yang sama. Masing-masing pikiran mereka sibuk mencari celah selagi keduanya masih saling terus bertatapan sengit.

Kirika mungkin memang sama sekali tak menyadarinya. Kenji lebih dulu menurunkan salah satu tangan, maka ia harus mengerahkan tenaga lebih untuk tetap berada di posisinya. Ya, bahkan jika ia harus gemetar sementara otot lengan atasnya tak lagi mampu terus mendorong tenaganya.

Kala itu, secepat kilat hingga tanpa sedikit pun ujung mata Kirika mampu menangkap gerakannya, satu sabetan cakar berhasil melukai leher hingga rahangnya membuat pertahanan lekas mengendur.

Perih menguar, darah segera mengalir menuju bahu bahkan dada yang sedang memburu detaknya akibat serangan dadakan. Itu hal pertama yang ia rasa tepat ia berhenti bergerak. Segera pandangannya tertarik kepada musuhnya yang memutar tongkat sembari mengangkat tangan yang satu.

Tangan kanan itu tak lagi berbalut sarung tangan, lantas menunjukkan bahwa kini ia memiliki bentuk sebagaimana Kirika pertama kali melihatnya. Tampak lebih kurus, juga memanjang bersama kuku yang menajam. Sejumlah urat nadi menonjol jelas seolah dipaksa menekan otot menumbuhkan setiap bagian tangan tersebut agar mengeras.

"Terkejut?"

~*~*~*~*~

Uap hangat tampak jelas tepat Daniel mengembuskan napas. Kini ia telah disuguhi minuman hangat, berikut kompres pemanas dan jaket.

Sesungguhnya ia terbiasa cuaca seperti ini. Ya, musim dingin di Jepang sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Rusia. Namun, setidaknya ia bisa melakukan kegiatan baru seperti mengibas-ngibas jaket ketimbang terus-terusan menggoyang-goyangkan kaki.

Terkadang Silvis tak bisa memperhatikan Daniel sebagai pria yang nyaris mencapai paruh baya dari segala kelakuannya. Dia ramah pula terhadap siapa saja; hampir semua yang melintas di hadapannya ia sapa selalu. Seharusnya memang tak mengherankan jika demikian, sebab Daniel selalu dihadapkan banyak pekerjaan di depan layar monitor. Hanya dengan itu pula ia baru bisa diam.

Mungkin Silvis pun bisa mencoba membiasakan diri dengan sikap santai dan kegemaran Daniel dalam berseloroh mulai sekarang ... tetapi sifatnya yang banyak bicara? Silvis sebenarnya tak betah.

"Omong-omong ...." Nah, baru saja dipikirkan, dia mulai bicara lagi. "Tiba-tiba saja aku mengerti kekhawatiran Edward mengenai Madam."

"Mengapa demikian?"

"Jangan pura-pura lupa. Kau bahkan tahu, Alex selalu berusaha meyakinkan bahwa eksperimennya bisa membuat manusia abadi dan mampu mendominasi dunia semudah membalik telapak tangan. Pun, kau salah seorang yang menolak keras untuk melakukan eksperimen itu." Manik kebiruan Daniel melirik Silvis. "Apa perlu kuingatkan kau juga merupakan saksi hasil eksperimen penggabungan DNA serigala di dalam tubuh Kenji?"

Jelas kening Silvis berkedut mendengarnya.

Lama sekali ia menutup mata soal itu. Bahkan usai melihat monster-monster bermoncong serigala yang dikeluarkan di Tokyo, Silvis mencoba melupakannya.

Ya, mereka merupakan puluhan dari kumpulan kelinci percobaan Alex Oohara yang selamat. Atau mungkin kasarnya, merekalah korban yang masih bertahan hidup usai ditidurkan dengan metode kriogenik.

Bujuk rayu pria itu memang sangat berbahaya. Hanya dengan menjanjikan pendengarnya mampu menambah kekuatan dan menyembuhkan penyakit dan disabilitas yang mereka idap, banyak sekali di antara mereka yang rela mengantri menjadi subjek eksperimen.

Lantas mereka menjadi bukti kegagalan terbesar Alex sepanjang hidup mereka. Ada yang mati sebab tak mampu menjadi wadah bagi serum ciptaannya, ada pula yang menjelma seperti monster-monster hilang akal.

Oh, tentu ia tak berhenti di sana.

Dia malah berganti spesies untuk diteliti. Kelelawar, kadal; apa pun itu yang pasti merupakan reptil dan sejumlah mamalia lainnya ....

Kini tak mengherankan lagi dari mana macam rupa monster itu berasal, bukan?

"Keseluruhan subjek memang mengalami kegagalan parah. Hebatnya, bocah ringkih itu mampu bertahan dan menerima kekuatan super seperti yang diharapkan ayahnya," sambung Daniel. "Manipulasi anggota gerak hingga memiliki akselerasi yang tak manusiawi ... itu mungkin sudah cukup untuk membuat Madam kewalahan."

Silvis mendesah mendengarnya. Yah, siapa pula yang tidak panas mendengar cara bicara Daniel yang seolah berada di pihak musuh sekarang?

Namun, percuma rasanya jika Silvis ambil pusing mengenai itu.

"Kalau dilihat dari reaksimu, agaknya kalian memiliki sesuatu yang disembunyikan."

"Tepat sekali," balas Silvis tak sabaran. Demikian ia mendengkus kasar untuk kesekian kali sementara maniknya melirik persis kepada lawan bicara. "Jika Kenji memiliki sesuatu yang tak Madam punya, maka bisa jadi keadaan pun berlaku sebaliknya, bukan?"

Lantas senyum merekah di wajah Daniel.

"Dua keluarga yang sedang kuhadapi memang memiliki banyak misteri, ya," katanya sembari mengangkat bahu. "Aku penasaran. Jangan-jangan aku baru mengetahui lapisan kedua atau ketiga saja?"

"Ceritanya panjang. Bahkan lebih panjang dari kronologi tragedi menuju pesta mantan tuan mudamu itu ... jadi, bukankah lebih baik menunggu semua ini cepat berakhir terlebih dahulu sebelum kita memulai cerita itu?"

Daniel manyun mendengarnya. Namun, toh pada akhirnya ia manut-manut saja dan memilih diam dan beralih kepada Edward yang baru saja menyelesaikan tugasnya. Setidaknya kini Silvis lebih lega dengan kedatangan pria muda tersebut; ialah satu-satunya orang yang rela dijadikan korban cipratan celoteh Daniel.

Meski mengambil waktu singkat untuk beristirahat, kedatangan Edward kali ini cukuplah bagi Silvis mengalihkan perhatian ke mana pun ia mau.

Entah mengapa kali ini ia tertarik untuk meraih wadah kecil berupa botol silindris yang sedari tadi ia kantongi. Ukurannya setengah genggaman tangan pria normal, tetapi sudah cukup menyimpan cairan obat atau serum sesuai dengan dosis.

Namun, isinya tak lagi tampak barang setetes. Konon itu menjadi pemicu kuat ingatan atas percakapannya dengan Kirika beberapa waktu lalu.

~*~*~*~*~

"Ini cukup untuk meningkatkan imun serta mempercepat regenerasi jaringan. Kupikir sangat ampuh membantu kemampuan penyembuhanmu yang tergolong cepat."

Wanita pemilik netra merah itu sekadar menatap botol mungil berisi serum bening tersebut; tak berminat memungut maupun bertanya soal fungsi dari serum lebih lanjut. Ya, dia agaknya tahu tidak ditanyai pun Silvis akan tetap meneruskan percakapan agar interaksi di antara mereka tetap hidup.

"Kau bisa membawanya jika kau tak siap menyuntikkannya sekarang," tawar Silvis. "Efek serum akan bekerja kurang dari sepuluh menit, jadi tak masalah jika kau meinjeksikannya ketika kau benar-benar sudah siap."

"Sekarang saja. Suntikkan di tengkukku."

Melihat dirinya yang kemudian berbalik dan menyingkap sisa-sisa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan, tampaknya ia sungguhan siap menerima serum buatan Silvis itu. Akan tetapi, justru ekspektasi pria tersebut tak terlalu besar sebab ....

Kirika sedari dulu membenci jarum suntik.

"Ironis, ya. Tidakkah kau merasa demikian?" Silvis kembali bersuara di kala ia mengelap keringat dan mengusap tengkuk dengan alkohol. "Padahal kau menerima banyak luka, tetapi kau masih tak sanggup menerima suntikan."

Respon pertama yang Silvis terima ialah sebuah dengkus singkat. Betapa mengesankan, sama sekali tak terdengar sirat tersinggung dari dengkusannya.

"Maaf telah merepotkanmu," ucap keponakannya. "Usai dilatih dengan ribuan suntikan di masa kecil pun, rasa tidak sukaku terhadap suntikan tidak pernah sembuh."

Senyum Silvis sedikit tertahan. Yah, ia bisa meluruskan tuturan penuh gengsi barusan; bahwa Kirika takut jarum suntik.

"Tak masalah. Cara seperti ini cukup untukmu agar tak memandangnya secara langsung, bukan? Siap?"

Persetujuan mutlak kemudian ditunjukkan dengan satu anggukan. Maka tanpa berbasa-basi Silvis mulai melakukan pekerjaannya.

Hampir Kirika meringis terang-terangan. Tusukan benda itu ternyata lebih sakit dari yang ia kira. Nyaris serentak napas yang ia embus perlahan seirama dengan masuknya serum melalui tengkuknya.

"Melihat kau mau repot-repot kembali berkutat di laboratorium bersama Bibi, tampaknya kau benar-benar percaya diri dengan hasilnya."

"Mungkin? Anggap saja begitu." Demikian Silvis mencabut jarum perlahan, menyisakan rasa sakit kecil bagai digigit semut di tengkuk Kirika. "Kau tahu? Hanya kau yang bisa membuatku ingin kembali meneruskan penelitian kecil."

"Suatu kehormatan bagiku dirawat kembali oleh Dr. Silvis Alford." Kirika membalas sembari ia berbalik.

Senyum samarnya sudah kembali, tetapi tetap saja itu tak mampu menyembunyikan sendu di maniknya yang tertuju persis kepada netra Silvis. Ya, pada akhirnya ia berhasil mencuri perhatian sang Madam.

Ah ... kapan terakhir kali Silvis mendapati wajah keponakannya bermimik seperti ini? Tanpa sadar bahkan tangannya segera bergerak menangkup wajah Kirika. Beruntungnya ia menerima satu tangkupan itu dengan hangat.

"Kau membaca perasaanku, benar?" terka Silvis. Bagai refleks, sejenak ia turunkan pandangannya. "Kupikir aku memang aktor yang payah, bukan? Bohong jika aku tak khawatir akan dirimu meski aku mengizinkanmu berhadapan dengan Kenji. Lagi, apapun larangan yang hendak kulontar untuk mencegahmu sekarang, aku yakin kau pun tidak mau mendengarkan."

"Akhirnya kau mengerti." Kirika terkekeh. "Bagaimana denganmu? Bukankah kau sendiri tak akan menurut jika aku berkata untuk tidak perlu khawatir mengenai diriku?"

Bersama pandangan yang menunduk, Silvis tersenyum mengiyakan. Lekas turun pula tangannya menggenggam tangan Kirika, kontan meremas-remasnya lembut seiring desah napas keluar jelas dari mulutnya.

"Aku tak akan menyangkal bahwa aku sempat membenci eksistensimu pada awalnya. Namun, kau berhasil menghapus rasa itu pelan-pelan," katanya sembari ia membalik punggung tangan Kirika. "Agaknya aku terlalu manja dibuai waktu menyaksikan bibit bunga yang dahulu belum kupahami akan menjadi apa dirinya.

"Aku akan terdengar sangat tua jika mengatakan ini, tetapi ... seingatku kemarin tangan ini masihlah mungil; tenggelam jika kugenggam. Sosok empunya bahkan ringkih dan sensitif, betapa rapuh ia sampai aku harus sungguh berhati-hati menimangnya.

"Tanpa kusadari, ia telah dewasa. Tak bisa lagi kumanjakan dengan kupu-kupu, boneka salju atau hal sederhana yang membuatnya tersenyum." Manik biru langitnya kini berpindah pandang kepada netra kemerahan yang serentak mengangkat pandangan pula. "Dia menjadi mawar cantik. Sangat cantik sampai aku sendiri tak sanggup melihatnya harus berdarah-darah dipukuli takdir—"

Ujarannya yang panjang terputus. Suara Silvis utuh terkunci oleh satu perlakuan lembut yang ia terima.

Sebuah pelukan.

"Aku tahu kau tak pernah terbiasa menyampaikan rasa sayangmu dengan sentuhan fisik ketika aku dewasa, tetapi ... harap-harap kau tak keberatan untuk tetap seperti ini sementara waktu. Sebentar saja. Tak masalah, bukan?"

Ya, bagaimanapun Silvis tak keberatan. Malah ia membalas pelukan itu begitu hangat lagi erat seakan enggan melewatkannya lebih cepat. Andai ia mampu melihat senyum Kirika akibat reaksinya pun, barangkali sensasi hangat di dalam dadanya kian meruah.

Rasanya memang Kirika tak memberi ampun dalam mencecoki haru di hati Silvis.

"Betapa aku menyayangimu, Paman." Ya, ucapan ini pun juga meluluhkan hati Silvis pula. "Barangkali aku terlambat mengatakannya ...."

"Kadangkala untuk mengakui perasaan paling jujur dari lubuk hati tak pernah memandang waktu terlebih dahulu, bukan? Lagi pula, aku baru melakukan hal yang sama."

"Benar juga," tanggap Kirika yang kemudian mengecup bahu pamannya. "Betapa aku menghargai setiap perlakuanmu padaku. Namun, aku tak pernah membalas semuanya dengan benar dan malah sering membuatmu naik darah. Kuharap kau mau memaafkanku untuk itu."

Sekadar bungkam yang ia terima, tetapi tak mampu ia lihat senyum tipis Silvis saat ini.

"Sekali lagi aku tak akan menghimbau untuk jangan mengkhawatirkan diriku ...."

Demikian Kirika melepas pelukannya, manik delima lantas mulai menjelajah setiap lekuk wajah Silvis yang menyirat lelah memikul usia. Pun, ia mengukir senyum kala merapikan rambut paman tampak berantakan di dahinya.

Maka Kirika meneruskan, "Mau tak mau kau harus merelakan aku pergi. Ditambah kau tak ingin serumnya terpakai sia-sia, bukan?"

Kembali mereka melakukan kontak mata, di sanalah Silvis tersenyum bersama kernyitan jelas di keningnya.

"Sesungguhnya aku akan lebih rela mengantarkanmu ke altar pernikahan ketimbang merelakanmu pergi berperang, tetapi ...." Dia mendesah. "Aku harus percaya bahwa mawar cantik juga memiliki ketangguhan dari duri-durinya yang tajam."

Hirupan napas darinya kala kemudian membuyarkan segala ingatan singkat yang berputar di kepalanya. Lagi pula itu sudah lebih dari cukup bagi Silvis.

Ya, untuk apa ia mengenang banyak-banyak hal yang baru saja terjadi? Kirika sendiri menjanjikan bahwa dirinya bersedia untuk dijemput pulang jika saja ... jika saja wanita muda itu tak kunjung kembali sampai fajar tiba.

Refleks Silvis menurunkan pandangan kepada jam tangan karetnya. Namun, ketimbang berlama-lama berkutat kepada jam yang sulit ia terawang ke mana jarumnya tengah mengarah, empunya rambut keperakan tersebut lebih memilih cepat-cepat berpaling kepada lorong sepi dan dingin.

Itu ... tempat kali terakhir baginya memandang punggung Kirika.

Tentu. Itu juga tempat harapan di hati kecilnya yang meminta agar ia menjadi saksi Kirika kembali padanya.

~*~*~*~*~

Continue Reading

You'll Also Like

7.8K 1.5K 31
[Reading List WIA Indonesia Periode #5] | Dark Fantasy | High Fantasy | Thriller | Adventure | Dalam gelapnya malam, seorang gadis terbangun dari mi...
43.9K 4.7K 38
[Featured story WIA Indonesia Periode #4] [Reading List WIA Indonesia Periode #4] Dunia terbagi menjadi dua kubu: Perserikatan Negara yang dipimpin...
390K 37.3K 19
tran·quil·i·ty the quality or state of being tranquil; calm. Pada hari pernikahannya, Savannah Wright memutuskan untuk lari meninggalkan semua hal ya...
24.9K 1.6K 15
dari yang membenci menjadi saling suka? gimana cerita nya? langsung aj di bacaakk WARNING! di cerita ini kemungkinan bakal ada 18+ nya jdi harap desk...