NEGASI ( SELESAI )

By utiniverse

161 75 0

Pernahkah kau memikirkan alasan di balik setiap pertemuan? Pernahkah kau merasa tidak senang dengan takdir ya... More

Prolog - Negasi
01 - Basis Dua
02 - Melankolis
03 - Variabel X
04 - Periode
05 - Kombinasi
06 - Variabel Y
07 - Bilangan Kompleks
08 - Variabel Z
09 - Lema
10 - Himpunan Kosong
11 - Hampiran
12 - Infinitesimal
13 - Implisit
14 - Kolinear
15 - Titik Stasioner
16 - Satu Interval
17 - Kalimat Terbuka
19 - Fungsi Iterasi
20 - Titik Balik
Epilog - Integral

18 - Fungsi Turun

2 3 0
By utiniverse

KAYAKNYA sosialisasi hari ini udah selesai deh.” Aku sedikit mendongak. Kulihat siswa-siswi SMA Arunika keluar ruang XII MIPA 5. Para polisi yang menjadi pembicara sosialisasi turut menyertai mereka.

Arinda mengangguk. “Kayaknya gitu. Kamu udah dijemput?”

Kualihkan penglihatan ke arah Arinda. “Udah kok,” ujarku disertai anggukan. “Kita pulang sekarang? Kayaknya kamu mau ada acara sama anak-anak teater.” Aku menambahi.

Beberapa saat lalu, sempat kudapati Arinda menerima panggilan dari teman satu ekstrakurikulernya, teater. Dari perkataan Arinda, sepertinya ia akan berkumpul dengan anggota ekstrakurikuler teater.

Arinda mengangguk. “Boleh, yuk.”

Aku berdiri setelah Arinda bangkit dari tempat duduk. Kami melangkah beriringan menyusuri jalan yang biasanya dilewati mobil kebersihan SMA Arunika sekaligus satu-satunya jalan menuju pintu masuk dan keluar peserta didik putri.

Aku mencoba rileks kala melewati kerumunan siswa dan para polisi laki-laki. Aku sempat merasa heran saat salah satu polisi tampak tak suka kami melintas. Secercah takut mulai hinggap di benakku.

“Anak-anak mana ya?” Aku mencoba mengalihkan prasangka buruk dengan bertanya.

Arinda menengok ke sana kemari. “Itu Indira.” Ia menunjuk dengan dagu salah satu siswi yang duduk di belakang pagar besi warna hijau sembari mengenakan sepatu.

“Kenapa nggak ikut sosialisasi?” Indira bertanya saat aku dan Arinda menghampirinya.

“Tadi pas mau masuk, ada Pak Savero. Nggak enak, masa tiba-tiba nyelonong gitu aja.” Arinda bersuara.

“Iya, tadi juga udah penuh ruangannya. Makanya nggak jadi ikut.” Aku mengimbuhi.

“Harusnya tadi masuk aja, nggak pa-pa.” Raisa yang masih bersama Indira dan Dea menyahut.

Aku tersenyum kikuk. “Udah terlanjur.” Kujeda perkataanku. “Kalau gitu, aku duluan ya. Udah dijemput soalnya,” pamitku. Kujabat tangan Indira, Dea, dan Raisa bergantian.

Raisa, Indira dan Dea mengangguk. “Hati-hati, Al.” Raisa bersuara.
Aku tersenyum.  “Terima kasih,” ujarku tulus.

Aku dan Arinda berpisah saat ia berbelok ke lahan parkir siswa. “Duluan, Rin.” Aku berucap dengan sedikit berteriak.

“Iya, Al.”

Aku dan Arinda berjalan berlawanan arah. Kini fokusku hanya untuk meninggalkan area sekolah, tak ingin membuat ibu menunggu. Kulangkahkan kaki menyeberang jalan saat tak ada satu pun kendaraan melintas. Kuhampiri ibu yang sudah stay di atas motor di bawah pohon mangga. Tak berselang lama, kuda baja ini melaju menyusuri jalan raya, bersama sebuah tanda tanya mengganjal sukma.

Sesampai aku di rumah, kurebahkan diri di singgasana paling nyaman sedunia setelah kuganti seragam dengan pakaian kasual. Tentunya setelah mengisi perut dengan nasi lengkap dengan lauk.

Kubuka roomchat dengan Arinda saat sebuah pesan muncul di layar gawai. Sebelumnya aku sempat menanyakan kehadiran Arinda disekolah besok.

Arinda Fadhilasha XIA5

Mager banget Al
Masuk terus nggak ngapa-ngapain
Diam aja di sekolah nggak ada kegiatan

Iya sih emang :"
Kayak tadi telantar

Iyaa wah
Tadi aku nggak pulang-pulang
Mau keluar gerbang
Polisinya kayak menghalangi gitu
Anak-anak juga nonton polisinya yel-yel
Jadi nunggu aku (TT)

Lhoo itu tadi sebenarnya udah pulang atau belum sosialisasinya?
Aku tadi mikir, malu banget dilihatin polisinya pas kita lewat (TT)

Belum waah
Itu tadi masih ada kayak yel-yel gitu
Terus sama foto foto
Samaaa (TT)

Sudah kuduga (TT)(TT)(TT)
Serius, kayak kita dengan wajah tanpa dosa tiba-tiba lewat di depan polisi tanpa merasa bersalah (TT)(TT)

Aku kira udah pulang
Ngakak plis (TT)(TT)

Iya tauu, aku juga berpikir demikian(TT) ternyataaa
Pas kita lewat tadi lho jadi bahan perhatian(TT)(TT)(TT) pak polisi yang udah berdiri duluan ngeliatin kita aku jadi takut

Heey iya kah??
Pas lewat sebelum gerbang tadi kahh?
Rada ngeri sih emang
Kita di tengah-tengah

Iyaa
Beneran kayak dilihatin
Aku langsung merasakan hawa hawa yang berbeda
Atmosfernya lho serem

Hahaha :D
Emang iya sih
Soalnya kayak tinggi tinggi bangeet

Betull(TT)(TT)
Udah, malu-maluin aja hari ini

Iyaa waah

Tak lagi kubalas pesan dari Arinda. Aku beralih memandangi sebuah kalender yang tergantung di salah satu sisi dinding kamar. Dua puluh satu.  Sudah seminggu aku melaju. Sudah seminggu tak lagi kutemui sosok yang biasanya menyemangati dalam sunyi. Sudah seminggu tak lagi kulihat lukisan angka yang biasa ia sematkan dalam kanvas semesta. 

Aku menghela napas. Dua puluh satu Juni. Artinya, besok aku harus menunjukkan cerpen ciptaanku pada Bu Jasmine.  Karangan sederhana pengabadian sepotong kaset semesta.

Aku bangkit dari ranjang. Mulai kuketikkan huruf demi huruf pada keyboard saat laptop hitam ini menunjukkan pesonanya.
Bagian terpenting kisah ini, segera ditulis.

1110-110-10110

Aku membuka sebuah aplikasi dengan bentuk kotak bernuansa merah. Sebuah unggahan dari sebuah akun resmi menyita perhatianku. Setelah lama di ambang ketidakpastian, unggahan dari Puspresnas membuat jantungku berdetak kencang.
Kuberanikan membuka situs resmi yang tertera memunculkan sebuah tautan mengunduh dokumen. Kutekan lagi dengan jantung yang tidak berhenti berdetak kencang hingga tulisan 'selesai' tertera di layar gawai.

Aku membuka dokumen yang membuat hatiku mencelos. Air mata meluncur bebas dari pelupuk netra. Batinku teriris, bak dihujam ribuan belati. Harapanku luntur, impianku hancur lebur, nasi sudah menjadi bubur.

Rasa nyeri semakin menjadi, dari lima nama yang terpilih mewakili kabupaten, tiga di antaranya adalah sainganku ketika sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Aku memang tidak sebanding mereka. Aku hanya seorang manusia yang mencoba meraih cakrawala. Melampaui batas tanpa memikir risiko kandas.

Sekarang semuanya sirna. Sehelai daun terakhir yang mencoba bertahan telah jatuh ke tanah. Tak ada yang tersisa. Aku gagal. Aku lemah. Aku pengecut. Aku telah menghancurkan harapan semua orang. Aku hanya bisa berucap kosong.

Aku tak pernah bisa membuat orang tuaku bahagia. Aku tak bisa membalas pengorbanan Pak Arka yang rela bolak-balik ke sekolah demi mengajarkan ilmu Matematika. Aku tak bisa membuat semua orang bangga. Sejatinya aku hanya sebuah beban, tak pernah bisa menjadi tumpuan.

“Belum ada info KSN kah?”

“Belum, nanti kalau ada aku kabari.”

“Pak Arka nggak bilang apa-apa soal KSN?”

“Nggak, Al.”

“Kok lama ya? Masa tahun ini nggak ada KSN?”

“Nggak mungkinlah, pasti ada cuma terlambat gitu aja.”

“Kapan ya bimbingan?”

“Aku nggak sabar deh bimbingan bareng Pak Arka.”

“Sebenarnya aku pingin tanya ke Pak Arka tentang KSN ini, tapi nggak berani.”

“Tanya aja, Al. Nggak pa-pa, Pak Arka lho baik. Katanya dulu kalau mau tanya silakan kalau belum tidur pasti dijawab. Terus Pak Arka juga bilang kalau tidur itu larut banget.”

“Iya, Pak Arka bilang gitu karena beliau ngajar di kelasmu. Lha aku nggak diajari Pak Arka masa tiba-tiba nge-chat, kan nggak enak.”

“Seandainya aku diajari Pak Arka.”

“Al! Pak Arka bilang Rabu seleksi.”

“Eh masa langsung seleksi sih?”

“Tahun lalu lho dibimbing dulu baru seleksi.”

“Bu Risha juga bilang kalau dibimbing dulu.”

“Dia lho ikut KSN.”

“Kita ketemu lagi pas aku lolos KSN-P.”

“Nanti, ruang kosong ini buat aku. Thropy KSN itu buat Smanika.”

“Doakan ya.”

“Gampang, Al? Gampang dong, Alfa.”

“Kamu harus jadi juara satu kabupaten.”

“Minimal dua lah yang lolos.”

“Saya justru senang, kerja keras saya selama ini nggak akan sia-sia.”

Aku tak bisa mencegah setiap kalimat itu mengalun merdu melintas rungu. Memori itu saling menjalin, membentuk ikatan batin dari masa tak tersalin.

“Kenapa, Al?”

Suara ibu membuatku menahan tangis. Aku membisu sesaat. “Pengumuman KSN ... udah keluar.” Kujeda perkataanku sejenak.

“Aku, nggak lolos seleksi.”

Pertahananku luruh setelah mengucap satu kalimat sederhana. Tubuhku bergetar. Tangis yang kubendung mulai runtuh.

Kudengar langkah kaki ibu mendekat. Ia duduk di depanku.

“Siapa yang lolos?”

“Nggak ada yang lolos perwakilan Smanika.” Aku membeku. “Dari lima nama, tiga di antaranya sainganku semasa sekolah dasar sampai SMP. Almira, Adnan, sama Eraldo.”

Aku tak berani menatap netra ibu.
“Nggak papa, belum rezeki.”

Aku tak merespon apa pun. Aku menatap nanar ranjang di hadapanku. Gawai yang tergeletak berulang kali mengeluarkan cahaya. Tubuhku begitu lemas, sampai aku tak mampu membalas pesan masuk.

“Kenapa, Bu?”

Ayah yang tadinya di ruang tamu menghampiri. Ia bersuara saat berada di ambang pintu kamar.
“Hasil KSN udah keluar, Alfa nggak lolos.”

Aku tak tahu apa yang ada di pikiran ayah sekarang. Yang jelas aku sudah menghancurkan harapan mereka; semua orang yang percaya padaku.

“Lha, siapa yang lolos?” Ayah kembali bersuara, masih tak bergerak dari posisinya.

“Saingan Alfa dari SD sampai SMP, Almira, Adnan, sama Eraldo.”

Ayah menghela napas. “Emang belum rezeki, nggak usah ditangisi. Nangis nggak akan merubah apa pun.” Ia menjeda perkataan. “Bilang ke Pak Arka. Minta maaf, kamu belum bisa lanjut ke provinsi.”

Tak kudengar lagi suara ayah setelahnya. Bahkan ibu yang tadinya berada di depanku bergerak ke musalla rumah untuk menunaikan salat Maghrib.

Kuketikkan sekelumit pesan pada Pak Arka sebelum kuletakkan gawai ke tempat semula.

Perlahan kuraih buku catatan yang hampir satu semester tak pernah kusentuh. Mulai kucurahkan segala rasa diabadikan aksara yang tak pernah memberi dusta.

Satu lentera yang digantungkan di puncak pohon terakhir telah padam
Sinar yang dulu diagungkan telah menghilang
Menyisa beberapa bintang dengan kilau yang sempat terhalang
Netra terjaga mulai terpejam
Lidah nan kaku kini membisu
Tak ada lagi ungkapan rindu
Tak ada lagi langit nan biru
Sekarang segalanya kelabu
Mengharap netra menatap semu
Tak berganti menjadi abu

10101-110-10110

Kumatikan laptopku usai menekan tombol “simpan” pada bagian pojok kiri atas layar. Kuletakkan laptop bersejarah di lemari. Aku beranjak ke kamar mandi untuk membasuh kaki dan wajah. Kubaringkan diri di tempat tidur saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh.

Rentetan kejadian kembali melintas di otakku di antara keheningan petang. Aku masih tak menyangka, kisah istimewa ini akan berakhir sirna. Aku masih tak mengira, sosok yang dulunya menjadi alasanku untuk menjauh justru membawaku sampai di titik penuh peluh lika-liku. Memori saat placement test terputar saat aku mencoba memejamkan mata.

Aku mengambil kotak hitam dengan gambar tablet pada salah satu sisi sebelum duduk di bangku yang kutempati empat hari terakhir. Hari ini adalah hari terakhir ujian penjurusan. Aku akan menghadapi psikotes sebentar lagi.

Kukeluarkan powerbank dari tas. Kedatangan pengawas ruangan disambut kesunyian dari segala penjuru. Ujian berlangsung dengan kondusif hari ini.

Aku menjawab satu per satu soal dengan hati-hati. Tiga puluh menit pertama, sudah begitu banyak siswa-siswi yang meninggalkan ruang ujian mereka. Bahkan aku sempat mendengar pembicaraan siswa yang melintas—berhasil menggoyahkan konsentrasiku.

“Dapat berapa?”

“Jelek.”

“Terlalu kamu pikir sih. Aku tadi ngerjain asal-asalan dapat bagus. Kalau dipikir sungguhan malah tambah jelek.”

Perlahan satu per satu rekan ujian meninggalkan ruangan. Mereka turut membaur dengan siswa-siswi yang berlalu-lalang di koridor depan laboratorium bahasa.
Sepuluh menit terakhir aku masih berkutat dengan soal Matematika yang sempat kulompati. Kertas putih di hadapanku yang tadinya bersih tanpa isi telah dipenuhi coretan tinta hitam. Bahkan pengawas ruang yang tadinya memainkan gawai, menghampiri.

“Kurang berapa soal?” Pengawas perempuan itu bertanya.

“Kurang lima soal Matematika, Bu.” Aku menjawab dengan jujur. Secercah ketakutan dan rasa sungkan menghantui benakku.

Pengawas itu tak memberi respon apa pun selain kembali ke mejanya. Jemarinya kembali memainkan gawai. Di sela-sela mencari jawaban, aku melirik Alfallisya Khirannia Umbriella—teman baruku—yang berdiri di depan pintu. Jika saja aku bisa memintanya pulang lebih dahulu...
Jemariku tak pernah berhenti menggoreskan mata pena tumpul di atas kertas. Pengawas yang tadinya bermain gawai kembali mengantongi benda pipih itu. Ia bangkit, lantas menemui seorang guru laki-laki yang melintas.

“Anak itu lho fokus banget ngerjain soal Matematika.” Kudengar pengawas perempuan itu bersuara.

“Matematika? Wah, Pak X senang ini.”

Guru laki-laki itu tampak excited. Kulihat ia memasuki ruangan diikuti pengawas perempuan di belakangnya. Tak berselang lama seorang guru laki-laki turut bergabung. Diperhatikan oleh tiga guru sekaligus membuat jantungku berdetak tak keruan. Meski begitu aku masih mencoba mengerjakan dua soal terakhir sembari merapal doa dalam hati agar tiga guru di hadapanku beranjak pergi.

Aku sampai di nomor terakhir saat guru-guru itu keluar ruangan. Bahkan pengawas yang sejak tadi tampak tidak nyaman pun memutuskan untuk pergi.

“Kalau selesai nanti, taruh tabletnya di tempat semula. Tolong kamu bawakan ke ruang sebelah.” Ia bersuara sebelum meninggalkan ruangan.

“Iya, Bu.”

Saat punggung pengawas wanita tak lagi nampak, aku telah mengakhiri ujian hari ini. Kumatikan tablet layar sentuh sebelum kumasukkan ke kotak. Kukemasi alat tulisku lantas bergerak ke meja depan.

Kuletakkan tablet di ruang yang masih tersedia pada kotak berukuran lebih besar sebelum mengantarkannya ke ruang sesuai permintaan pengawas wanita. Beruntungnya, Rani bersedia membantuku.

Hari ini akan kukenang sepanjang hidup. Untuk kali pertama di awal perjalanan SMA, aku menjadi peserta ujian yang selesai paling akhir saat tak ada satu pun siswa melintas di pekarangan sekolah.

Aku tersenyum mengingat hari itu. Sampai saat ini pun aku masih tidak tahu siapa Pak X yang dimaksud guru laki-laki. Bahkan aku tidak mengingat siapa pengawas wanita dan guru laki-laki itu.

Semoga semesta bersedia memberikan jawaban atas segala teka-teki yang masih menjadi misteri.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

Continue Reading

You'll Also Like

41.8K 3.5K 13
Hanya sebuah cerita tentang kehidupan irene yang berwarna setelah datangnya sesosok lelaki misterius. ©2016, Beaglehoon [Completed! | Was #237 in fan...
28K 4K 53
COMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bang...
1.4M 128K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...