NEGASI ( SELESAI )

By utiniverse

161 75 0

Pernahkah kau memikirkan alasan di balik setiap pertemuan? Pernahkah kau merasa tidak senang dengan takdir ya... More

Prolog - Negasi
01 - Basis Dua
02 - Melankolis
03 - Variabel X
04 - Periode
05 - Kombinasi
07 - Bilangan Kompleks
08 - Variabel Z
09 - Lema
10 - Himpunan Kosong
11 - Hampiran
12 - Infinitesimal
13 - Implisit
14 - Kolinear
15 - Titik Stasioner
16 - Satu Interval
17 - Kalimat Terbuka
18 - Fungsi Turun
19 - Fungsi Iterasi
20 - Titik Balik
Epilog - Integral

06 - Variabel Y

6 3 0
By utiniverse

11000-11-10110

Bimbingan hari ini masih digelar bersamaan dengan adanya Ujian Satuan Pendidikan kelas dua belas. Dua jarum arloji menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit saat aku, Nada, dan Adena berada di ruangan kemarin. Kondisi sekolah yang sunyi—ujian kelas dua belas berlangsung di laboratorium komputer—menambah ketenangan dalam hati.

“Aku jadi ingat tahun lalu,” ujarku memecah kesunyian.

Nada dan Adena mengangguk setuju. “Bertiga,” ujar Adena.
Aku tersenyum. Tidak berselang lama, Luna memasuki ruangan. Usai meletakkan tas di bangku yang biasa Luna tempati, Pak Arka datang membawa beberapa lembar kertas.

“Seperti biasa kalian kerjakan terlebih dahulu, setelah USP jalan kita bahas bersama,” ujar Pak Arka membagikan beberapa lembar soal.

“Sandra belum datang, Pak.” Adena bersuara.

“Sandra izin, tadi sudah kirim pesan ke saya,” ujar Pak Arka kemudian.

“Pak, hari ini jangan siang-siang ya.” Nada tiba-tiba bersuara.
Pak Arka menatap Nada sekilas. “Lho, kenapa?” Ia bertanya dengan ramah.

“Nggak jadi deh, Pak.” Nada tersenyum kikuk.

“Oh iya, sepertinya besok saya ada rapat. Untuk bimbingannya tunggu info dari saya. Kalau misalnya rapatnya lama, terpaksa kita bimbingan via daring.”

Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Pak Arka. Sejujurnya, aku sedikit merasa tidak nyaman jika bimbingan via daring. Tapi, bagaimana pun via daring lebih baik daripada tidak bimbingan sama sekali.

“Kalau begitu, silakan dikerjakan.” Pak Arka meninggalkan ruang bimbingan.

Kubaca satu per satu soal yang ternyata mencakup materi modulo dan kombinatorika. Seulas senyum terbit di wajahku, materi hari ini sama persis dengan video pembelajaran yang dikirim Pak Arka via pesan grup. Tanda faktorial yang menghiasi beberapa baris membuatku teringat masa-masa bimbingan bersama seorang guru yang membuatku mencintai Matematika.

Dahulu, aku begitu senang ketika naik ke kelas lima sekolah dasar. Kesenanganku ini bukan tanpa alasan, melainkan di kelas lima selalu terdapat seleksi perwakilan sekolah mengikuti Olimpiade Sains Nasional. Kala itu, Pak Reza—guru kelas lima—mengumpulkan aku dan teman-teman satu kelas untuk mengikuti seleksi.

Pak Reza sempat menanyakan keinginanku untuk mengikuti lomba Matematika atau IPA. Aku yang mendapat penawaran pun menjawab ingin ikut serta di mata pelajaran IPA seperti kakak kelas yang pernah menjadi idolaku, Kak Nadella. Waktu itu aku tidak begitu mencintai Matematika. Bisa dibilang, aku belum begitu nyaman berkutat dengan angka. Namun Pak Reza yang notabenenya menjadi pembimbing OSN Matematika dan IPA memutuskan agar aku mengikuti olimpiade Matematika. Mau tak mau, aku menjadi wakil sekolah di OSN Matematika.

Bimbingan yang dilakukan setiap hari saat di sekolah dan di rumah Pak Reza membuatku terbiasa mengerjakan Matematika. Tak ada hari yang kujalani tanpa belajar Matematika bersama Pak Reza. Sebenarnya, Pak Reza adalah guru paling disiplin dan ditakuti di sekolah dasar.

Didikannya yang tegas namun sering dibumbui candaan selalu berhasil menginspirasi anak didiknya. Pak Reza sudah mengajarkan begitu banyak hal saat aku tak mengerti jalan cerita semesta. Ia mengajarkanku untuk berpandangan luas. Aku yang mulanya tidak memiliki kepercayaan diri, perlahan dapat menatap lurus ke depan. Ia selalu mempercayai kemampuan anak didiknya melebihi dirinya sendiri. Kepercayaan itu, mengantarkanku untuk sampai di titik ini.

Aku tersenyum. Aku tak pernah bisa membalas jasa Pak Reza. Namun aku selalu berdoa, agar dapat membuatnya tersenyum bahagia melalui KSN ini, dengan bantuan Pak Arka. Aku tak pernah menyesal ditunjuk langsung oleh Pak Reza menjadi perwakilan OSN Matematika. Meski tak berhasil mendapatkan gelar juara, aku memperoleh begitu banyak pengalaman berharga dan teman dengan kemampuan luar biasa.

Kubuka tutup bolpoin lantas menggoresnya. Mata bolpoin tak berhenti menari di atas kertas bergaris. Seulas senyum tak pernah berhenti mengembang sepanjang aku berkutat dengan rentetan angka yang menjadi duniaku.

“Al, boleh lihat jawabanmu yang nomor lima?” Adena bersuara.

Aku mengangguk, lantas meminjamkan selembar kertas penuh dengan guratan tinta.
Kulanjutkan menorehkan jawaban di lembar kertas yang lain. Saat membaca soal nomor sebelas, bayang-bayang bunga lampau terputar di netraku. Tak ingin hanyut, kulanjutkan mengerjakan soal lainnya hingga Pak Arka menghampiri kami. Ia memilih duduk di kursi yang kosong di tengah-tengah kolom satu dan dua dari kanan.

Pak Arka tak mengatakan sepatah kata pun. Sementara Adena, Luna, dan Nada masih melihat lembar pengerjaanku, aku mencoba mengerjakan soal nomor tiga belas, tujuh belas, dan delapan belas yang membuatku tertantang.

Saat aku mencari lembar jawaban yang dipinjam temanku, secarik kertas itu telah berada di tangan Pak Arka. Ia tampak membaca satu per satu tulisan yang tertera di sana. Secercah kegugupan menyelinap dalam sukma. Aku tidak tahu nilai kebenaran jawaban yang kulukiskan di setiap barisnya. Meski demikian, aku melanjutkan mengerjakan soal berikutnya seolah tak sesuatu pun yang terjadi.

Aku melirik Pak Arka yang meletakkan kembali lembar jawabanku.

“Coba kita bahas nomor satu.”

Pak Arka mengambil sebuah lembar soal. Aku memperhatikan penjelasan Pak Arka dari tempat duduk berjarak satu kursi dengannya. Meskipun telah menemukan jawaban setiap persoalan, metode pengerjaanku dengan Pak Arka tidak berbeda jauh. Hanya saja ia mengerjakan dengan metode yang lebih lugas tetapi jelas.

Setelah sampai di nomor tiga, Pak Arka beralih membahas soal nomor delapan. Kali ini jawaban akhirku dengan Pak Arka berbeda. Sementara Adena dan lainnya mencatat, aku sibuk mencari letak kesalahanku. Kuperhatikan satu per satu angka dengan saksama namun tak kunjung menemukan kejelasan.

“Mengerjakan nomor berapa, Al?”

Suara Pak Arka membuatku menoleh.

“Ini, Pak. Pengerjaan saya ada yang salah di nomor delapan, tapi nggak tahu di bagian mana.” Aku berkata dengan jujur.

Pak Arka meraih lembar jawabanku dan memeriksanya. Ia membuka penutup bolpoin gel lantas menorehkan sesuatu di atas secarik kertas bergaris yang dipenuhi warna hitam. Setelah ia mengembalikan lembar jawabanku, kubandingkan tulisanku dengan Pak Arka. Rupanya aku melewatkan tanda negatif yang membuat perbedaan di antara jawaban kami.

“Terima kasih, Pak.” Aku berujar dengan lirih, entah Pak Arka mendengarnya atau tidak.

Kami membahas soal nomor sepuluh. Penjelasan Pak Arka selalu berhasil menjawab tanda tanya besar dalam benakku. Tidak heran jika ia dipercaya membimbing wakil KSN Matematika sekolah kami.

“Nomor berapa lagi yang sekiranya perlu dibahas langsung?”

Aku membaca ulang satu per satu soal, hingga kutemukan dua soal yang menarik perhatianku. “Nomor tiga puluh dua sama dua belas, Pak,” ujarku.

Pak Arka membalik lembar jawaban hingga ke lembar terakhir. “Jika dalam kurung x faktorial difaktorial per x faktorial sama dengan seratus dua puluh, maka nilai sin fi x per dua sama dengan. Ide pengerjaan soal ini kita misalkan x faktorial sebagai a, sehingga a faktorial per a sama dengan seratus dua puluh. A faktorial kita ubah menjadi a dikali dalam kurung a kurang satu faktorial per a sama dengan seratus dua puluh. Kita bagi habis a dengan a sehingga tersisa dalam kurung a kurang satu faktorial sama dengan seratus dua puluh.”

Pak Arka menjeda perkataannya.
“Seratus dua puluh sama dengan lima faktorial, sehingga kedua ruas menjadi dalam kurung a kurang satu faktorial sama dengan lima faktorial. Kita coret tanda faktorial di kedua ruas sehingga tersisa a kurang satu sama dengan lima. Kita pindah minus satu ke ruas kanan dan memperoleh hasil a sama dengan enam. Kita ketahui x faktorial sama dengan a, sehingga x faktorial sama dengan enam. Kita tahu bahwa enam sama dengan tiga faktorial sehingga kita dapatkan nilai x sama dengan tiga.” Mata bolpoin Pak Arka seolah-olah kuas yang menari di atas kanvas, menggambarkan rentetan angka dengan estetika luar biasa.

“Selanjutnya kita ganti x dengan tiga pada sin fi x per dua sehingga sin tiga fi per dua sama dengan sin tiga kali seratus delapan puluh per dua sama dengan sin dua ratus tujuh puluh. Dengan demikian jawaban akhir dari sin dua ratus tujuh puluh adalah negatif satu.”

Aku menghela napas usai Pak Arka memberikan penjelasan. Kucatat jawaban Pak Arka dengan pemahamanku sebelum ia menjelaskan soal nomor dua belas.

“Nomor dua belas, faktor persekutuan dua ratus empat puluh tujuh dan dua ratus sembilan puluh sembilan sama dengan d dan d sama dengan dua ratus empat puluh tujuh m tambah dua ratus sembilan puluh sembilan n, untuk b dan m bilangan bulat. Maka nilai d, m dan n berturut-turut adalah.”

Pak Arka membuka sisi kertas yang masih kosong. “Untuk mengerjakan soal nomor dua belas kita menggunakan algoritme Euclid. Semisal kita mencari FPB dari enam puluh empat dan delapan belas maka kita ubah enam puluh empat menjadi kelipatan delapan belas. Dalam hal ini enam puluh empat sama dengan delapan belas kali tiga tambah sepuluh. Selanjutnya kita ubah delapan belas menjadi kelipatan sisanya, yaitu sepuluh sehingga delapan belas sama dengan sepuluh kali satu tambah delapan. Kita tahu bahwa sepuluh sama dengan delapan kali satu tambah dua. Terakhir kita dapatkan delapan sama dengan dua kali empat tambah nol. Berhubung sisanya sudah nol, maka kita dapati nilai FPB enam puluh empat dan delapan belas adalah dua.”

Ia meletakkan bolpoin. “Selanjutnya untuk mencari variabel dari persamaan, kita substitusikan kembali satu per satu angka dari urutan terbawah, mulai dari delapan dan seterusnya hingga diperoleh bentuk yang diminta soal. Berhubung Nada bilang tidak siang-siang, jadi kalian coba mengerjakan di rumah kalau sudah besok kalian kirim ke grup. Sambil rapat bisa saya bahas.”

Aku sedikit kecewa mendengar penuturan Pak Arka.

“Palingan besok yang mengerjakan Alfa semua,” ujar Pak Arka seraya tertawa kecil. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa usai mendengar perkataan Pak Arka. Yang jelas, aku hanya dapat tersenyum begitu teman-temanku.

“Oke, kita akhiri bimbingan hari ini. Hati-hati di jalan dan sampai jumpa besok via daring,” ujar Pak Arka lantas meninggalkan ruangan.

Aku mengemasi perlengkapan bimbingan, lantas meninggalkan ruangan. Aku dan Nada berpisah dengan Luna dan Adena saat sampai di parkiran. Kami memutuskan menunggu jemputan di luar gerbang sekolah.

“Masih lama?”

Nada yang semula sibuk memperhatikan gawai mendongak. “Kurang lebih tiga puluh menit lagi,” tuturnya.

“Gimana kalau kita tunggu di lobi, sepertinya ibuku masih jemput adik,” ujarku menawari. Nada tampak berpikir sebelum mengangguk setuju.

“Oh iya, materi integral itu gimana? Aku belum paham.” Nada kembali bersuara.

“Integral itu kebalikan turunan atau antiturunan. Kalau turunan dikurang, integral itu ditambah satu pangkatnya,” ujarku seraya berjalan melewati lobi.

“Iya, kok bisa jadi dy per dx itu gimana?” Nada kembali bertanya.

“Itu sebenarnya dari turunan. Turunan bisa disimbolkan f aksen x, dy per dx atau df(x) per dx. Makanya di integral khususnya integral substitusi ada du per dx,” jelasku lagi. Nada mengangguk, lantas duduk di kursi yang terletak di lobi.

“Kalau kamu mau tahu lebih lanjut, lihat aja di kanal YouTube Pak Arka. Beliau jelasin materinya lengkap banget. Aku belajar dari situ,” ujarku. “Atau kalau kamu mau, aku kasih link-nya.” Aku mengimbuhkan.

Nada mengangguk. “Boleh,” ujarnya.

Aku membuka aplikasi pesan di gawai lantas kukirimkan tautan video pembelajaran pada Nada. “Terima kasih,” ujarnya.

Aku mengangguk. “Sama-sama.”
Selama beberapa saat kesunyian menyelimuti kami, hingga Pak Arka berjalan mendekat. “Lho kok belum pulang, Al?” Ia bertanya usai berada tepat di depan kami.
“Nunggu jemputan, Pak.” Bukan aku, Nada yang menjawab.

“Lho dijemput?” Pak Arka kembali bertanya sembari melihat ke arahku.

“Iya, Pak,” jawabku seadanya. Kulihat ia tersenyum dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia yang tampak tergesa-gesa pun memasuki salah satu ruangan yang berlokasi tepat di depan ruang tata usaha. Selepasnya, aku dan Nada pun memilih menunggu di depan gerbang sekolah.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
11.6K 1.8K 88
(Romance-Action-Comedy-Drama) Perjalanan menggunakan Le Wiston the Seas akan membuatmu melupakan permasalahan hidup sejenak. Nama kapal yang begitu t...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.4M 128K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...