Fate : A Journey of The Blood...

بواسطة monochrome_shana404

18.2K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... المزيد

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.13

63 9 10
بواسطة monochrome_shana404

Pintu akhirnya terbuka. Secepatnya para relawan masuk bersama prajurit penjaga, lantas membopong Leon yang semakin lemah kesadarannya karena darah kian berkuras. Di sampingnya pula, Vanessa yang belum menunjukkan tanda-tanda siuman.

Hendaknya salah seorang prajurit menghampiri sang Madam yang duduk berlawanan arah dengan pintu masuk, Leon segera melarang. Sama sekali ia tak berikan alasan meskipun ia paham dengan kondisi Kirika saat ini. Toh, prajurit berpangkat rendah selalu mematuhi perintah atasan. Maka tinggallah Kirika sendiri di ruangan itu.

... bersama android tercinta yang seolah tampak tertidur pulas di pangkuannya, tentu saja.

Kirika usapi pipinya tanpa henti. Bahunya terkulai bersama kepala yang terus tertunduk menujukan pandangan kepada wajah teduh si android, silih berganti ke dada yang baru saja ia lubangi. Lubang yang sangat besar, Kirika mengakuinya. Pun, ia tahu itu merupakan salah satu kerusakan fatal yang ia perbuat.

Sejauh ini tiada air mata darinya; tak lebih sekadar tatapan sendu yang dilontar si manik delima. Dia mengabaikan hawa dingin yang kian terasa membelai pipi kala ia pada akhirnya berdiam diri. Lantas tangannya berpindah menggenggam tangan Akira begitu erat, tatapannya masih belum lepas dari wajah si android.

Tiada lagi suara langkah kaki serta manusia yang tengah berinteraksi. Pintu tak ditutup, indra pendengaran bahkan mampu mendengarkan suara derap-derap sepatu bot yang semakin samar, benar-benar sampai jauh hingga menyisakan senyap. Kirika tak mengeluhkan itu. Justru inilah yang ia inginkan; berdua saja dengan kekasih tercinta, serupa sebagaimana waktu yang telah dihabiskan ketika masih bersama.

Demikian Kirika mengecup dahi, begitu lembut ia tetap mempertahankan bibirnya di sana sangat lama dengan mata terpejam. Hingga berakhir ia merasakan balasan genggaman tangannya yang begitu lemah, barulah ia bisa kembali tegak.

"Pangeran tidurnya sudah bangun." Begitu ucapnya kala mendapati sepasang lensa dengan dua warna bertolak belakang itu.

Namun, agaknya si android enggan menerima sambutannya dengan baik.

Dia seolah tampak sedang mengerang, pula ia sulit melampiaskan sakit dari kerusakan yang ia dapatkan. Lensanya berkedip-kedip dengan tempo abnormal. Pun, sulit baginya untuk mengangkat tangan agar ia dapat merengkuh pipi Kirika.

Dampak dari menghancurkan jantung imitasinya ternyata sangat besar. Akan tetapi, jauh di dalam memorinya, betapa ia mengerti apa yang sedang ia rasa kini tepat ia memandang keadaan sang Madam.

"Madam ...." Akhirnya, meski terdengar distorsi di antara suaranya, ia berujar. "Anda ... terluka lagi ... penuh darah."

"Bukankah katamu aku cocok dengan warna ini?"

Pelan gerakannya, tetapi Kirika yakin tangan Akira sedang berusaha mempererat genggamannya. Lantas, meski lamban, senyum tipis yang berujar sendu kini terukir di wajahnya.

Kembalilah tangan sang Madam mengusapi pipinya seolah paham bahwa si android tak senang gurauannya barusan.

Yah ... lagi pula, siapa yang ingin menghias dirinya dengan darah di tengah pesta normal?

Cukup lama mereka terdiam, tetapi manik mereka sama sekali belum lepas dari kegiatan saling pandang; seolah saling bertatapan saja sudah cukup melontarkan masing-masing segala rasa dan ucapan yang hendak disuarakan.

Tetap saja itu belum utuh untuk melampiaskan kerinduan kala berinteraksi bersama, bukan?

"Kulihat kau memotong rambutmu?"

Meski dimulai dengan topik yang terdengar membosankan, agaknya si android tak keberatan.

"Ya ... sebenarnya saya tak begitu ingat sebab saya jarang bercermin," tanggapnya. Lensanya lagi-lagi berkedip, kali ini silih berganti kanan dan kiri begitu cepat tepat ia mencoba mengubah ekspresi. "Anda tak suka?"

"Suka. Kau tampak tampan." Demikian Kirika membalas, kini tangannya berpindah membelai puncak kepalanya. "Sepertinya batin gadis-gadis akan selalu mengharapkan undangan berdansa bersamamu dalam sekali tatap."

Si android mencoba terkekeh sebagai reaksi. Kembali dengan suara tersendat-sendat ia menanggapi, "Betapa pun ... saya akan tetap memilih untuk terus bersama Anda."

"Aku tahu," kata Kirika. "Aku pun tak ragu memilihmu yang penuh kenekatan untuk maju menghadapku meski hanya bermodal kesungguhan. Namun, bagiku itu sudah cukup. Akan tetapi, kupikir kau tak perlu repot-repot berusaha lagi, sebab aku sudah berada dalam genggamanmu lebih dulu, ingat?"

Melebar senyum Akira karenanya, pula mengangguklah ia. Hati-hati tangannya bergerak menautkan jari-jarinya dengan milik Kirika, pelan-pelan ia kembali mempererat genggaman.

"Kalau begitu ... jika di pesta ... saya mengenakan topeng, apakah Anda akan tetap mengenali saya?"

Cukup lama Kirika mencerna pertanyaannya. Sekadar ia pandangi lekuk-lekuk wajah Akira yang tampak lecet guna mengulur waktu.

Ya, dia tetap melakukannya meski ia mengerti apa maksud perkataan Akira. Rasanya ia lebih memilih agar si android mau menerangkan sendiri, meski indra pendengarannya pun sebetulnya enggan mendengarkan itu pula.

"Anda tahu ... setelah semua yang terjadi ... saya tak lagi memiliki wajah yang pantas untuk diperlihatkan di keramaian." Lensa biru Akira berkedip tepat lensa hitamnya hendak memalingkan pandangan. Dia pada akhirnya menutup rapat kelopak lensa biru yang enggan bersinkronisasi dengan lensa yang satu. Demikian pula senyumnya surut. "Pun, barangkali ... saya ... saya tak pantas di undang ke dalam pesta yang tengah Anda adakan."

Akira membicarakan perihal yang nyaris serupa dengan kala ia sedang bersama Aoi di VirtualWorld; tak memiliki keberanian untuk kembali menghadap orang-orang yang ia sayangi. Kembali ia mereka ulang segala kejadian yang baru mereka alami secara singkat di dalam kepala, menyaksikan bukti bahwa benar dirinya sendiri yang menyakiti mereka.

Salah seorang korban insiden ini pun sedang berada di hadapannya; tengah memangkunya pula.

"Saya gagal melaksanakan kewajiban saya; melindungi manusia ... melindungi Anda." Selagi nada suaranya naik turun tak beraturan akibat kewalahan menanggulangi emosi tanpa jantung imitasi, bulir air mata mulai tampak di pelupuk matanya. "Madam ... sungguh saya tak bermaksud melakukan ... semuanya. Anda ... mungkin memahami ... duduk perkara mengapa semua ini terjadi. Namun, apakah mereka akan mengerti?

"Betapa saya mencintai Anda ... meskipun jantung saya kini mengalami malfungsi karena kerusakannya, saya ... saya masih bisa merasakan itu. Akan tetapi ... justru saya malah menyakiti Anda yang merupakan salah seorang ... dari mereka yang saya cinta pula." Sekilas ia berkedip, lantas jatuhlah air matanya. "Madam, kini saya tak lebih dari mesin penghancur."

"Sudahlah," sanggah Kirika segera. "Semua orang mengerti terhadap kondisi mengapa kau melakukannya. Aku ... tidak. Kami semua memaafkanmu, bukankah Aoi berkata begitu di dalam mimpimu? Kita akan pulang, dengan begitu divisi robotika akan memperbaikimu dan kita semua akan baik-baik saja."

Rasanya rekaman terhadap segala pemandangan semakin memburam. Air mata Akira telanjur banjir. Dari gelengannya yang tampak begitu kecil dan berat, betapa Kirika mengerti bahwa kesedihan si android kian memuncak kala mengira bahwa semua ucapannya terdengar tidak mungkin.

"Saya memang tak mengatakannya kepada Profesor ... sebab ... saya ...." Akira berhenti sejenak mengatur suara dengan susah payah. "Saya takut menyakiti hatinya dengan pernyataan ... bahwa memulihkan saya sebenarnya upaya yang percuma. P-pun ... saya ... saya tak bisa pulang utuh bersama raga saya."

"Apa maksudmu?"

Hening barang sejenak. Si android pula tampak sedang berupaya mempersiapkan diri untuk kembali bertutur. Demikianlah ia mempersiapkan diri, sepasang lensanya kembali tertuju kepada Kirika.

"Madam, secara sadar ... saya mengerti ... mengapa Oohara juga memberikan saya peran sebagai kunci cadangan," ucap Akira. "Di dalam diri saya ... tepat di bagian leher terdapat ... kendali peledak otomatis yang aktif ketika saya keluar dari gedung ini."

Satu kerjapan agaknya cukup memperlihatkan keterkejutan batinnya. Lantas Kirika terus mendengarkan.

"Tampaknya kendali ini tidak memiliki program yang mampu diganggu gugat ketika sudah terpasang dan dipicu untuk menyala ... sehingga ... baik saya dan Tuan Abrahamovich tak mampu meretasnya. Sementara barangkali kendalinya juga ... tetap berjalan meski sewaktu-waktu saya kembali dinonaktifkan.

"Madam ... mungkin tim pelindung masyarakat di bawah tanah berhasil menyapu ... habis semua penyusup yang telah kami sisipi ... tetapi ... agaknya perbuatan itu pun percuma ...." Pelupuknya kembali basah sembari ia meremas-remas tangan Kirika. "Di kala rekontruksi Districts Underground berjalan, beberapa pekerja telah menyembunyikan ... sejumlah bom yang tersambung dalam kendali ini.

"Semuanya ... Oohara mengetahui semuanya. Bom tidak hanya dipasang di sana, tetapi beberapa tempat di sini, juga sekitar distrik-distrik penting di Tokyo dan Kawasaki." Demikian Akira meneruskan di kala keningnya mengernyit dalam-dalam. "Madam ... saya pun tahu ... ledakan bomnya mampu meratakan wilayah di sekitarnya dengan radius belasan meter. Hanya satu langkah, Madam ... bom akan menghitung mundur dan menghancurkan ... semuanya."

Sesungguhnya Kirika tak membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna semua perkataannya. Sekadar ia diam, lantas mengaktifkan kembali earphone dan menghubungkan diri kepada Edward.

"Serahkan earphone-mu kepada Misha ...." Lantas tanpa menunggu Edward bersuara, ia langsung menitah.

Sejenak Edward melempar pandangan kepada Daniel. Dia pun agaknya paham, lantas sekadar mengangguk sembari mengulurkan tangan.

"Saya di sini, Madam," ucapnya begitu berat usai ia memasang earphone dengan benar. Lantas maniknya kembali kepada kode yang telah diterjemahkan di hadapannya; masih belum berhenti mencatat segala pergerakan kecil Akira.

"Kau melihat segala pembicaraan kami bicarakan, bukan?"

Sedari tadi hanya Daniel yang diam memperhatikan perangkatnya, membaca satu per satu setiap ucapan Akira ... dan, ya. Jika pergerakan kecil saja sukses tercatat baik-baik di sini, maka mudah pula merekam suara percakapan pun ikut tertulis jelas meski Akira menuturkannya dengan terbata-bata.

Bagaimana pula ia bisa menampik apa yang kini sang Madam tanyakan?

"Pada awalnya, saya tidak mengetahui rencana pemasangan kendali sama sekali. Barangkali salah seorang pemantau atau yang andil di bidang peretasan di sini pelaku utamanya. Atau entahlah." Usai mengiyakan, Daniel mulai menjelaskan. "Saat melakukan pengecekan kondisi Akira secara berkala sebelum perang, saya menemukan anomali dari bagian tubuhnya; kendali itu. Saya telah mempelajari semua tentang kendali peledaknya ...."

"Katakan."

Daniel menarik napas sembari berpaling di kala ia merasakan pedih di matanya. Begitu hati-hati ia mengembuskan napas, mempersiapkan diri untuk meneruskan tuturan.

"Saya tak begitu yakin apa pemicunya selain mengeluarkan Akira dari sini, tetapi ... asumsikan saja pemicu lainnya adalah ketika Akira dinonaktifkan secara total, maka kendali peledak secara otomatis akan mulai menghitung mundur," sambung Daniel. "Ditambah baterai Akira yang terkuras banyak ... Madam, satu-satunya cara menghentikan kendali itu adalah—"

Daniel tak bisa meneruskan. Ya, percuma pula ia melakukannya setelah mendengar nada sambungan yang putus. Namun, ia yakin Kirika mengerti apa yang hendak ia katakan.

Tiada cara selain menghancurkan Akira untuk menyelamatkan masyarakat.

Bahu sang Madam kian terkulai, tatapannya kosong nan sendu berlarian meneliti setiap bagian tubuh Akira. Dia pula mengangkat tangan si android kala kemudian, mengecup telapaknya dengan penuh kasih sembari batin sedang meratap ....

Mengapa ia tak pernah memiliki pilihan yang utuh mampu menyenangkan hatinya barang sekali saja?

Seolah segala hidupnya telanjur hampa, kilau di matanya menjadi ikut sirna. Masih tak tampak sedikit pun air mata menggenang barang setitik, bahkan manik delima itu tak berkaca-kaca pula.

Sungguh, tak sanggup sang kekasih memandanginya demikian. Konon dirinya pun tak memiliki sepatah kata yang mampu menyenangkan hati.

"Tak apa ... Madam," ucap Akira pada akhirnya. "Lakukan saja."

Demikian tangannya bergerak membelai pipi Kirika. Begitu kaku, tetapi empunya netra delima tersebut mengindahkan gerakannya, justru lebih memilih menikmati setiap sentuhan hangat darinya.

"Setidaknya ini sepadan dengan nyawa-nyawa yang telah ... saya renggut." Kala meneruskan, satu lensanya lagi-lagi berkedip spontan. "Saya ... tak pernah berkeinginan menjadi pahlawan, pula ... saya tak mengharapkan ... orang-orang menganggap saya begitu setelah ... setelah saya mengorbankan diri. Namun, Madam ... barangkali ini satu-satunya ... penebusan yang bisa saya lakukan.

"Hancurkan leher saya dan semuanya ... semuanya akan hidup dan baik-baik saja ...." Pelan-pelan Akira mengumbar senyum. "Meski saya ... tak dapat melihatnya setelah ini ... saya bisa membayangkannya. Warna manusia yang sering saya perhatikan ... akan kembali.

"Madam ... Anda pun tahu ... betapa besar cinta saya kepada manusia, bukan? Keberagaman ... segala kesibukan ... serta ribuan ekspresi penuh sukacita, ialah hal yang tiada henti saya kagumi. Akan teramat sangat sia-sia jika saya diselamatkan, sementara ... sementara saya tak dapat menyaksikan segala hal yang ... saya cintai. Saya mungkin akan menyesal jika ... jika hanya saya yang selamat."

Sepanjang celotehnya, Akira hanya menerima kernyitan dalam dari sang kekasih.

"Tolong jangan memandang saya begitu ...," kata si android lirih. "Lakukan saja ... tak apa. Kita ... kita bisa bertemu lagi jika ... semuanya telah usai, bukan?"

"Aku tahu ...."

Entah mengapa Akira merasa itu respon yang kurang tepat atas pertanyaannya. Namun, ia mengerti akan satu hal.

Kirika tak siap merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya.

"Waktu kita ... terbatas, Madam." Akira kembali bersuara. "Akan tetapi nantinya ... kita akan kembali menghabiskan waktu ... bersama-sama lagi. Sampai Anda bosan ... tentu, jika Anda tak keberatan.

"Lalu ... Madam ... berjanjilah akan satu hal."

"Apa?"

"Berjanjilah untuk tidak menangis."

Sekadar Kirika terkekeh. "Apa yang kau ekspektasikan, Kaleng Bodoh?"

"Berjanjilah."

Entah mengapa Kirika tak lagi mampu bersuara sekarang. Lama ia tak merasakan sensasi cekat di tenggorokannya, sungguh ia tak terbiasa dengan hal itu.

Namun, pada akhirnya ia mengangguk-ngangguk bersama senyum samar. Sekali lagi ia kecup telapak tangan Akira sebelum beralih membelai rambutnya, kemudian merunduk mempersempit jarak wajah mereka.

Perlahan, gerakannya bagai malu-malu ... tetapi ia sukses berakhir mencium bibir Akira. Lembut dan hangat Akira rasakan, lantas senyum tipis ia umbar kala menikmati kecupan dari sang Madam yang bertahan cukup lama.

Demikian ia mengerti keputusan yang disepakati akan dijalankan ... maka sembari menggenggam tangan Kirika yang terbebas, Akira utuh menutup kedua lensanya.

~*~*~*~*~

Dingin semakin mencekik, padahal salju sama sekali belum turun. Berada di dalam gedung ini pun sama sekali tak membantu memberikan kehangatan. Silvis hanya mampu merutuk sebab ia melupakan pelindung kepalanya. Hawa dingin melukiskan rona di wajah hingga telinga, pun menciptakan uap selagi ia bernapas.

Kembali ia menyibukkan diri mondar-mandir membopong para rekan yang gugur. Sementara itu, yang lain juga menyeret monster untuk diteliti divisi biogenik nantinya.

Semakin dekat Silvis dengan pintu yang tak tertutup utuh, kian terundang rasa penasarannya kepada seisi ruangan itu. Secepatnya ia mengoordinasikan tim untuk bergerak cepat mengangkat mayat dan mengatasi korban lainnya, demikian ia mengendap-ngendap masuk ke sana.

Sejenak mata Silvis mengedar ke seluruh ruangan yang begitu porak-poranda dengan segala reruntuhan serta dinding dan lantai yang retak. Berhias cairan merah yang menguar bau anyir ke mana-mana pula. Akan tetapi, tak membutuhkan waktu lama baginya untuk segera tertuju ke tengah ruangan.

Ya, sosok keponakannya ada di sana; sedang duduk bersama bahu yang tengah merosot, seperti sedang mendekap sesuatu erat-erat sembari mati-matian menahan sengguk yang kian berdatangan.

Kala ia menengadah kepada bulan yang nyaris utuh tertutup awan, kilau dari air mata yang menetes-netes tertangkap basah oleh manik Silvis. Dia tak meraung, tak juga menjerit. Akan tetapi suara pelan lagi tertahan yang ia lantun sudah cukup menyayat hati siapa saja yang mendengarkannya.

Enggan rasanya Silvis bertanya-tanya lagi usai maniknya bergeser kepada sesosok mayat yang terbujur kaku, pula terbiar begitu saja di samping Kirika. Dia pun tak perlu memastikan dua kali bahwa jasad itu tak lagi memiliki kepala.

Konon ia yakin, bahwa itulah yang membuat keponakan terpukul teramat sangat.

... Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

6.6K 2.7K 35
Kita sama-sama hidup di dalam dunia hitam, tidak ada yang namanya kebenaran. Bahkan yang terlihat benar pun bisa dimanipulasi dengan begitu mudahnya...
1.6K 314 6
🥇1st cerita terbaik Juni 2022 @WattpadFanficID "Jika kau bisa menikmati musim semi sebanyak yang kau mau―bahkan selamanya, lantas mengapa cukup han...
1K 273 12
Kina melihat sebuah guling aneh mengambang di rawa kecil di belakang tempat kosnya. Temannya bilang, itu mungkin pocong. Namun Kina tahu bahwa ada se...
10.6K 540 12
Kisah ini mengenai cinta seorang suami, kisah mengenai sejarah, kisah mengenai seorang warga biasa yang ingin melihat negaranya bebas dari penjajah. ...