A Riddle Upon Us

By aritanda

2.7M 170K 21.5K

Sabrina, cewek cuek yang tiba-tiba sebangku dengan cowok yang gayanya sok. Semua cewek memuja cowok itu sebag... More

Introducing
One - Bad Luck
Two
Three
Four - Sportday
Five - His Point of View
Six - His Other Side
Seven
Eight - Both Point of View
Nine - Meeting Him
Ten
Eleven - Is it Over?
Twelve
Thirteen - Newcomer
Fourteen - Meeting Her
Fifteen - Weird Sentiments
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty - Friend By Chance
Twenty Two
Twenty Three - Realizing
Twenty Four
Twenty Five - This Won't Be Good
Bonus Chapter
Twenty Six - Nonsense
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three - Good Bye
Then
Epilogue
Authors' Note

Twenty One

66K 4.6K 426
By aritanda

His POV

"Elah, udah ditutup!"

Gue masih mengatur napas gue yang terengah-engah.

Gue tadi telat berangkat. Jadilah gue lari-lari ke sekolah. Dan nyatanya? Gerbang udah ditutup.

Sial.

Masih merutuki gerbang yang udah ditutup, tiba-tiba gue mendengar napas terengah-engah, yang jelas bukan dari gue. Gue pun menoleh ke asal suara tersebut.

Dan ternyata ada orang lain yang telat.

Tapi fakta adanya orang lain yang telat malah memperparah keadaan. Karena orang itu adalah--hft, bisa dibilang pembawa kesialan. Ke gue doang, sih.

Yah, orang itu, Mile.

Persetan dengan semua ini.

Kelihatannya sih, dia belom sadar ada gue di sini, yang lagi nunggu pak satpam bukain gerbang.

Nah, baru sekarang dia nengok.

"E-eh kak Angga?" Ucapnya terbelalak. Gue hanya membalas dengan menatap dia, dengan tatapan yang gue sendiri nggak bisa jelasin. Campuran muka capek karena lari, muka capek ketemu dia--gue merasa jahat--dan lain lain.

Tiba-tiba gue dengar suara gerbang dibuka.

"Kenapa kamu telat?" Tanya pak satpam sambil melotot.

"Ya tadi ada urusan pagi-pagi, pak." Jawab gue seadanya. Ya, emang begitu, sih.

"Urusan apaan pagi-pagi?" Tanyanya balik. Tsk, ini hal yang paling gue hindari.

Untung sebelum gue terpaksa menjawab, pak satpam itu udah ngalihin pandangannya ke anak di samping gue dan mulai gantian menginterogasinya. Hm, gue nggak perlu mendengarkan sesi interogasinya dia.

Lalu pak satpam itu kembali melihat ke arah gue.

"Kalian berdua, bisa-bisanya ya, telat sampai tiga puluh menit?" Ucapnya sambil melotot. Heh, mungkin gue salah masuk ke sekolah yang terlalu taat gini.

"Kalian nggak boleh masuk ke kelas sampai jam pelajaran kedua! Sampai jam kedua, kalian pungutin sampah di sekitar lapangan!"

Cih.

Dengan malas pun gue memasuki gerbang sekolah yang di depannya langsung disambut dengan lapangan sekolah.

Untung gue telat tiga puluh menit. Jadi jam pertama bentar lagi selesai dan gue bisa balik ke kelas. Nggak untung banget juga, sih.

Ini nggak lucu banget kalau nanti dilihatin temen sekelas lagi mungutin sampah.

Ya, mau gimana lagi, gue pun mulai memunguti sampah di sekeliling lapangan. Cuma sampah dedaunan, sih.

Setelah beberapa menit mengerjakan aktivitas ini, gue baru sadar kalau yang telat bukan gue aja. Ada Mile juga.

Dia kelihatan ragu untuk memungut daun-daun kering. Walau jumlahnya bisa dihitung jari, tetep aja lapangan ini bakal lama bersihnya. Ya, walaupun nggak kotor juga, sih.

Alhasil gue pun berjalan ke arahnya dan mulai ngebantuin dia.

"E-eh kak, makasih." Ucapnya yang cuma gue bales dengan gumaman.

"N-ng, kak Angga telat juga, ya. Makasih ya kak, ngebantuin Mile mulu, Mile ma--"

"Gue cuma mau ini cepat selesai." Potong gue.

Dan mungkin doa gue dikabulin karena beberapa menit setelahnya, bel terdengar.

"Gue duluan, ya." Ucap gue lalu ngibrit ke kelas gue--gue merasa jahat lagi sama dia--sebelum guru pelajaran selanjutnya masuk.

Begitu gue masuk, keadaan kelas yang tadinya sempat gue lihat lagi bergerombol satu lingkaran, langsung pada misah.

Aneh. Ini ada apaan, deh?

Gue pun menghampiri kursi gue dan langsung duduk di situ sambil menghela napas.

Tumben-tumbenan nggak ada yang datengin meja gue. Apalagi gue kan telat. Harusnya pada nanyain gue kenapa.

Dan semua orang kelihatan ngacangin gue. Nggak ngelihat keberadaan gue.

Ada sebersit kecurigaan gue kenapa mereka pada diam gini. Tapi langsung gue tepis pemikiran itu karena kayaknya nggak mungkin.

Akhirnya gue pun mendatangi Faizal. Dan gue mencoba berbasa-basi.

"Oy, tadi ada pengumuman penting, nggak?" Tanya gue. Dia cuma ngelirik gue sekilas dan kayak menimbang-nimbang perlu ngejawab atau nggak.

"Hm. Tadi dibilangin minggu depan UTS."

"Oh."

Dan kemudian diam lagi.

Gue udah biasa sih dengan suasana hening. Tapi itu cuma sama Sabrina.

Tsk, udah mau UTS semester genap aja, sih. Berarti tahun depan tahun terakhir gue.

Masih sibuk dengan pikiran gue sendiri, tiba-tiba muncul guru mata pelajaran selanjutnya.

Kelas yang tadinya udah hening karena kehadiran gue--entah kenapa--jadi tambah hening.

***

"KRIIINGG!!"

Bel istirahat.

Gue lihat Faizal dan kawan-kawan keluar kelas. Kayaknya mau ke kantin. Lucu, gue nggak diajak.

Jadilah gue wandering around di koridor. Dan nggak ada yang menegur sapa gue. Sedih banget kedengerannya.

Tapi nggak terlalu menjadi menyedihkan setelah gue ngelihat orang itu di kursi koridor. Dia sering sendirian, tapi nggak kelihatan menyedihkan.

Gue pun mendekatinya. Siapa lagi, kalau bukan Sabrina.

"Oy."

"Hm?"

Dia nengok ke gue, abis itu balik natap ponselnya, abis itu berdiri.

Jangan bilang gue mau ditinggal lagi.

"Lo mau ke mana?" Tanya gue.

"Ke perpus." Jawabnya singkat.

"Gue ikut." Gue pun ngikut di belakang dia menuju perpustakaan. Padahal memori gue di perpustakaan nggak ada yang bagus, kayaknya. Cuma ngajarin Fisika bocah aneh doang.

"Lo mau ngapain di sini?" Tanya gue.

"Kayaknya gue yang harusnya nanya itu ke lo." Balasnya sambil menempelkan earphone-nya ke telinganya.

Ya, gue dikacangin lagi.

Bosen.

Hft.

Gue pun mengambil salah satu earphone-nya. Penasaran apa yang dia dengar.

Tapi belum sempat gue dengar apa-apa, dia menarik lagi earphone-nya.

"Lo kenapa, sih?" Tanya dia akhirnya.

"Ya lo ngacangin gue." Ucap gue.

"Ya lo ngikutin gue." Balasnya.

"Tsk, kenapa semua orang tiba-tiba ngacangin gue?" Ucap gue bermonolog.

Sabrina terlihat melepas salah satu earphone-nya.

"Lo dikacangin semua orang?" Tanya dia.

"Hm. Gue nggak tahu kenapa." Jawab gue.

"Haha, Mr. Popular dikacangin." Ucapnya lagi.

"Lo emang nggak ngebantu, ya." Balas gue.

"Jangan berharap gue mau membantu lo juga." Ucapnya terkekeh. Bisa juga dia terkekeh begitu.

Gue terdiam sebentar. Entah kenapa otak gue mikirin hal yang nggak  terlalu penting.

Apa gue bakal dikacangin hari ini doang?

Apa besok juga?

Ah, sial.

***

"KRIIINGG!!"

Bel pulang. Bebas.

Bebas dari semua keheningan di kelas gue.

Beberapa cewek tadi ada yang ngelihat gue iba. Aneh juga sih, biasanya mereka ngerubungin meja gue. Entah gue harus bersyukur atau apa.

Ya udahlah. Apa peduli gue.

Tsk, gue peduli.

Apa gue yang kelamaan ngelamun sampai pas gue sadar udah nggak ada orang di kelas?

"Cklek!"

"Oy, siapa yang matiin lampunya?" Tanya gue setelah sadar kelas jadi gelap.

"Oy!" Seru gue lagi berharap ada yang mendengar.

Hari ini aneh. Gue pun berdiri dari kursi. Cahaya matahari yang menyisip dari balik gorden membuat gue bisa melihat ke sekitar.

Ternyata kelas sudah benar-benar kosong. Bahkan tidak ada tas sama sekali kecuali tas gue sendiri.

"Oy--"

Dan begitu gue mau melangkah ke pintu, lampu tiba-tiba menyala dan semua teman sekelas gue masuk lagi ke kelas.

Sekarang gue tahu kenapa mereka ngacangin gue tadi pagi.

***

Her POV

Akhirnya, bel pulang juga. Aku pun bergegas merapihkan alat tulisku dan lain lain, lalu bergegas pulang.

Sesampainya di rumah, aku pun segera merebahkan diri di kasur.

Keletihan adalah kewajiban tiap hari sepertinya.

Tapi istirahatku sepertinya harus diganggu, karena ...

"Sabrina!" Teriak ibu dari bawah.

Hfft .... Aku menghela napas. Baru istirahat, bu, pikirku.

"Apa?" Balasku pelan. Tentunya tidak mungkin didengar oleh ibuku yang berada di lantai yang berbeda denganku.

Ya, pintu kamar akan terbuka dalam ... tiga ... dua ...

"BRAAK!"

... satu.

"Kasian pintunya, bu." Ucapku malas.

"Kamu ibu panggil kok nggak jawab?" Tanya ibu

"Jawab, kok. Ibu nggak denger aja." Balasku.

"Hfftt ... dasar kamu ini." Ucapnya geleng-geleng. Sedangkan aku masih melepaskan keletihanku di kasur.

"Oh iya, ibu hampir lupa. Kamu tahu nggak, Angga menang olimpiade internasional?" Tanya ibu tiba-tiba.

"Haaaah?" Tanyaku balik.

"Iyaa, dia menang baru pengumuman hari ini, padahal katanya olimpiadenya pas libur kenaikan kelas sebelas. Cuma sehari doang sih dia keluar negeri waktu itu buat lomba, terus balik lagi. Makanya kita nggak tahu, orang waktu libur itu dia sempet ke sini kan nganter-nganter makanan dari ibunya?" Lanjut ibu.

"Haah ... pantes sih tadi temen-temennya kayaknya mau ngerjain dia. Tapi karena nggak upacara kali ya, jadi nggak diumumin?" Tanyaku lebih kepada diri sendiri.

"Nah iya kali. Ya udah, terus, kamu mau ngasih kado apa ke dia?" Tanya ibu.

"Haah? Ngapain." Balasku malas.

"Ha. Rus." Tegas ibu. Aku hanya meliriknya singkat.

"Hm, kenapa nggak ibu aja yang ngasih kado, ngewakilin aku juga? Lagian tahun lalu kita nggak ngasih kado." Tanyaku. Berniat memejamkan mata.

"Dasar. Kok malah kamu yang nyuruh ibu. Ih, tahun lalu kan nggak nyampe internasional!" Balasnya. Kemudian menarik kakiku agar turun dari kasur. Dan aku hanya bisa menghela napas.

"Sana cepetan, nggak seru kalo ngasihnya telat." Lanjut ibu.

Ya, ya, ya ... Terserah mau ibu.

Aku pun dengan terpaksa beranjak dari kasur setelah ibu meninggalkan kamarku. Aneh juga, sih. Untuk apa ibu sememaksa itu.

Hft. Kado apa untuknya?

***

"Selamat datang!"

Aku mengangguk perlahan. Hft, terpaksa juga aku datang ke toko ini untuk mencari kado. Awalnya, ogah sekali memberinya kado. Lagipula, tahun lalu aku tidak memberinya apa-apa. Tapi, sialnya, otakku tiba-tiba mengingat gagasan 'teman'.

Ha, aku rasa itu lucu.

Beberapa menit kubutuhkan untuk berpikir.

Ah.

Dengan segera aku mengambil sebuah benda di ujung rak lalu membayarnya di kasir.

Ugh, pilihan kertas kadonya semua bernuansa ... ergh.

Akhirnya aku memilih tas kertas polos saja. Ya sudahlah, buat dia ini. Aku harus cepat. Aku tidak mau memberikan ini ketika dia sudah pulang. Bahaya bersitatap dengannya.

"Terima kasih, silahkan berkunjung kembali!"

***

His POV

"Congratulation Angga!!"

Bersamaan dengan seruan itu semua teman sekelas gue masuk dengan dua kue.

Gue nggak nyangka.

"Heheh .... Maap ya kita-kita pada ngacangin lo. Soalnya kita tuh baru tahu lo menang dan kita mendadak entah kenapa sepakat ngacangin lo." Ucap Faizal.

"Sialan lo." Ucap gue sambil tertawa, yang dilanjutkan tawa yang lainnya.

Ternyata semua yang ngacangin gue tadi itu sengaja. Karena gue juara satu olimpiade fisika internasional, yang diumumin baru pagi ini. Ya ... olimpiadenya emang udah lama, tapi baru diumumin pemenangnya hari ini. Dan gue nggak nyangka temen-temen gue pada tau.

Ini juga yang bikin gue tadi pagi telat. Karena nyokap gue yang terlalu drama itu kayaknya seneng banget anaknya juara. Jadilah dia nyiapin banyak hal di pagi hari yang bisa dibilang bikin gue telat.

Sempet sih, gue mikir ini alasan yang lain pada ngacangin gue. Tapi gue nggak yakin pada tau hal yang cukup privasi gue.

Ya, gue melupakan kalo banyak yang nge-fans sama gue. Pastilah pada langsung tau.

"Eh, jangan pada pulang dulu! Ada acara terakhir!" Seru Faizal pas ngelihat beberapa anak udah bersiap pulang.

Tsk, acara apaan lagi. Ngasih gue dua kue aja menurut gue udah berlebihan. Ngapain coba beli kue dua buah? Yang satu gedee banget, yang satu kecil banget.

"Woy, Ngga. Sini ke depan." Suruh Faizal. Gue pun berjalan ke depan-dekat meja guru.

"Napa?" Tanya gue.

Gue lihat yang cewek pada ngebuka kotak kue yang kecil.

Dan tiba-tiba, semua anak cowok ngebawa kue yang kecil itu dan ngelempar ke gue.

Sial.

Pantesan kuenya ada dua.

"Woy, sialan lo pada!" Ucap gue berusaha ngelempar balik kue yang di baju gue.

Tapi percuma, anak cowok langsung kabur semua. Sambil berteriak, "Selamat ya Anggaa, kalo mau pergi lagi ajak-ajak yaaa!"

Dan gue, terlalu males untuk ngejar mereka. Beresiko. Yang ada gue yang jadi tontonan orang-orang. Lagian, kasihan juga nih kue dilempar-lempar.

Sekarang tinggal ada gue dan anak-anak cewek. Dan gue lagi berusaha membersihkan baju gue.

Gue lihat beberapa cewek ketawa tersipu nggak jelas. Gue nggak ngerti jalan pikiran mereka.

Gue pun segera ngambil tas gue dan kotak berisi kue tadi dan berniat untuk pulang. Gue harus ngebersihin badan gue.

Tiba-tiba, Nabila ngedatengin gue.

"Mau foto bareng-bareng nggak, Ngga?" Tanyanya.

Gue menaikkan satu alis gue.

"Ngg, sori, tapi gue harus cepet pulang." Ucap gue mencari-cari alasan. Dan gue bersiap keluar kelas.

"Tunggu dulu, Ngga." Ucapnya lagi.

Gue pun dengan malas menoleh ke belakang. Anak perempuan di kelas gue mengulurkan beberapa kado.

"Ini buat lo, Ngga."

Gue menaikkan satu alis gue. Kayaknya orang kalo olimpiade nggak nyampe dikasih kado temen sekelas, sih. 

Melihat bawaan gue yang cukup besar dan tas, ditambah gue buru-buru, gue pun menyarankan mereka untuk meletakkan kado-kado tersebut ke dalam loker gue. Gue nggak ngerti ngapain mereka bela-belain ngasih gue kado? Bahkan gue nggak deket sama mereka. Tapi okelah. Resiko orang ganteng.

"Nih kuncinya," ucap gue sambil melempar kunci loker tersebut. "Besok balikin."

Setelah itu gue bergegas keluar kelas menuju gerbang. Tapi sayangnya, kesialan gue belom selesai sampai sini. Gue ketemu orang yang sama yang tadi pagi gue lihat di gerbang yang sama.

Mile.

Gue pun berpura-pura nggak menyadari kehadiran dia dan jalan melewatinya.

"Kak Angga!" Serunya tiba-tiba.

Tsk, ketahuan.

Gue pun nengok ke arahnya dengan tatapan 'apa?'.

"Ngg ..." Gumamnya.

"To the point." Potong gue. Dia sempat kaget sesaat. Ya mau gimana, gue bener-bener harus cepet pulang.

"Gini kak, Sabtu ini kakak ada acara nggak, kak?" Tanyanya.

Gue memutar bola mata gue.

"Emang kenapa?" Tanya gue balik.

"Ngg ... kalo nggak ada acara, Mile mau ngajak kakak pergi ...." Lanjutnya tergugup sambil menunduk.

Gue menaikkan satu alis gue. Haah?

"Dalam rangka?" Tanya gue masih dengan satu alis terangkat. Ck, gue mau cepet pulang.

"Ngg, karena kakak selalu ngebantuin Mile makanya Mile mau berterima kasih ..." Lanjutnya. Dia kelihatan gugup dan seperti yang selalu gadis itu lakukan, wajahnya memerah.

Baru kali ini gue nyesel udah ngebantuin orang.

Tanpa sadar, gue menghela napas panjang.

"Hmph. Gue pikirin nanti, ya. Gue harus cepet nyampe rumah sekarang." Balas gue.

"Oh, ya udah kak. Maaf Mile ganggu." Ucapnya. Kasihan juga dia, udah nungguin gue pulang daritadi.

"Lo nggak ganggu. Ya udah, gue duluan, ya." Ucap gue dan langsung berlalu melewatinya.

Gue harus cepet nyampe rumah.

***

Her POV

Sial. Tidak ada orang di rumahnya.

Ergh. Terus aku harus menunggunya?

Nah, thank you.

Tapi kalau balik ke rumah, bakal ditanyain ibu.

Belum sempat aku mendapat solusi, aku mendapati orang itu sudah berada di sebelahku.

Sial.

"Lo ngapain di sini?" Tanyanya. Aku hanya membalas dengan memutar bola mataku. Malas banget menjawab ini.

"Rumah lo nggak ada orang, ya?" Tanyaku balik.

"Hah? Ada nyokap gue, kok." Jawabnya.

"Daritadi gue mencet bel nggak ada yang keluar." Balasku.

"Hah? Masa, sih?" Balasnya tidak percaya. Dia pun masuk ke rumahnya lalu mencoba membuka pintu rumahnya.

Nihil.

"Hah? Kok dikunci?" Ucapnya sambil berusaha membuka pintunya. Udah dibilangin, nggak percaya.

Kulihat dia segera mengambil ponselnya dan sepertinya menelpon ibunya. Dan aku hanya diam menunggu jawaban kemana ibunya itu.

.

"Hft. Pergi nggak bilang-bilang ke gue." Ucap Angga kembali memasukkan ponselnya ke kantongnya.

"Kalo tau gitu ngapain buru-buru pulang, coba." Dapat kudengar ia bergumam.

"Balik jam berapa?" Tanyaku.

"Paling tiga puluh menit atau sejam lagi." Jawabnya.

"Oh." Gumamku.

Nah, aku harus ngapain sekarang? Akan bertambah canggung kalau kuberi kado itu sekarang.

Terus aku harus pulang? Atau tetap di sini? Argh.

"Kayaknya kejadian gini pernah tejadi, deh." Ucapnya tiba-tiba, keluar dari halaman rumahnya.

"Hm-hm." Balasku.

"Ke taman aja, yok." Ucapnya lalu mulai berjalan.

"Gue juga ikut, gitu?" Tanyaku.

"Ya emang lo mau pulang? Lo nyariin nyokap gue, kan?" Tanyanya balik.

"Hmm ..." Gumamku. Aku bukan mencari ibunya, sih. Ya tapi mau gimana, aku pun akhirnya mengikutinya.

Sesampainya di taman, aku baru menyadari bajunya Angga yang belepotan ... kue?

"Baju lo kenapa, Ngga? Lagi trend, ya?" Tanyaku, menyindir.

"Oh, ini. Tadi dikerjain temen sekelas." Jawabnya. "Nge-trend? Lo bermaksud ngejek apa gimana?" Lanjutnya beberapa saat kemudian.

"Hm, nggak. Kan lo Mr. Fashionist." Jawabku. Lalu segera duduk di salah satu kursi taman.

"Kalo itu, apaan?" Tanyaku lagi sambil menunjuk tas kertas yang cukup besar yang daritadi dia jinjing. Hitung-hitung untuk mengisi keheningan.

"Ini kue yang dikasih temen sekelas." Jawabnya.

Aku hanya menanggapinya dengan ber-'oh'-ria.

Hening.

"Lo emang mau ngapain, di depan rumah gue tadi?" Tanyanya.

"Hm, ya ada-lah." Jawabku asal. Tadi aku sudah menghindar dari pertanyaan ini dan dia menanyakan lagi.

Beberapa menit, kita hanya saling diam. Duduk di kursi taman yang jaraknya cukup berjauhan.

"Argh, gue bosen." Ucapnya, sekali lagi memecah keheningan. Aku hanya membalasnya dengan meliriknya.

"Makan kue ini aja yok." Lanjutnya.

Aku menatapnya bingung.

"Woy, jangan bengong." Ucapnya lagi. Mungkin karena aku tidak merespon, dia mulai berdiri dan berjalan mendekatiku.

"Ayo makan," lanjutnya.

"Ya udah, makanlah." Ucapku.

"Lo juga." Balasnya.

"Nggak."

"Iya."

"Nggak."

"Iya."

"Ng-gak."

"Iya."

"Nggak!"

***

His POV

Ha.

Ada apa dengan saraf gue.

Kok tangan gue bergerak tanpa perintah gue.

Oy, gue bahkan nggak pernah berpikir buat masukin sendok berisi kue itu ke mulutnya Sabrina.

Gila, ini bakal canggung.

"Sial, gue bilang gue nggak mau." Ucapnya.

"Sori, gue nggak sadar." Jawab gue, sambil menjauh.

"Tapi enak kok." Ucap gue abis nyobain kuenya juga. Sabrina langsung ngelirik ke arah gue dengan sinis.

"Tenang, tenang. Gue nggak pake sendok bekas lo." Lanjut gue.

Gue lihat dia mulai pake earphone lagi.

Daripada seharian dikacangin sama temen sekelas tadi, gue lebih nggak tahan dikacangin manusia depan gue ini. Walaupun seharusnya udah biasa.

"Oy." Gumam gue. Gue tahu dia nggak bakal denger.

Tiba-tiba dia ngelirik gue.

"Oh, lo denger." Gumam gue lagi. Tapi dia kembali menghadap depannya lagi.

Tanpa gue sadari, gue menghela napas panjang.

Gue dikacangin, gue trauma ama kue tadi, terus gue sekarang perlu ngapain?

Dan pikiran gue melayang dengan sendirinya ke situasi Mile-Mile itu.

Dia ngapain tiba-tiba ngajak gue? Gue jalan sama dia? Nggak kebayang.

Nggak, pikirin hal lain aja.

Tapi nyatanya gue nggak menemukan hal menarik lain untuk dipikirin.

Di otak gue cuma muncul niatan gangguin manusia depan gue ini. Gue pun berniat mengganggunya lagi.

"Oy. Lo kok nggak ngasih gue ucapan?" Tanya gue sambil memainkan--menggoyangi--rambutnya dengan pisau kue yang belom kepake. Kok gue kesannya desperate banget pengen kado dari manusia ini? Padahal gue nggak peduli sama kado dari temen-temen gue yang lain.

Ya, dan bahkan manusia ini nggak nanggepin gue daritadi.

"Oy, Sabrina." Ucap gue lagi.

Tiba-tiba dia merogoh kantong celananya, lalu ngeluarin sesuatu.

"Mendingan lo kuncir sendiri rambut lo, lo main-mainin sendiri." Ucapnya ke gue sambil ngasih ... kuncir rambut.

Gue masih diam ngelihatin apa yang dia kasih. Akhirnya gue ambil juga.

"Ini nggak mungkin kado buat gue, kan?" Tanya gue.

"Terserah lo nganggep itu apaan." Jawabnya.

Nyeh, gue dikacangin lagi abis itu. Ada sih, niatan ngisengin lagi. Yaitu narik earphone-nya Sabrina. Tapi gue menghilangkan niatan gue itu.

Tsk, nyokap gue kok baliknya lama banget, deh?

Dan sekarang nggak ada hal yang bisa gue kerjain.

Jadilah kantuk menyelimuti gue.

***

"Drrt .... Drrt .... Drrt ...."

Mata gue terbuka secara terpaksa karena getaran yang nggak berhenti-berhenti di kantong gue.

Gue pun merogoh kantong gue dan mengambil ponsel gue.

"Kenapa, bun?"

"Oh, udah nyampe?"

"Oke."

Gue memasukkan lagi ponsel gue ke saku.

Kok gue merasa ada yang janggal, ya?

Bentar, gue masih perlu mengumpulkan ingatan-ingatan gue sebelum gue ketiduran tadi.

Jadi tadi sambil nunggu nyokap gue pulang, gue ke taman. Dan kayaknya gue nggak sendiri.

Ah, iya. Ada Sabrina.

Tadi.

Sekarang gue nggak tau manusia itu kemana.

Ah, tapi gue harus pulang sekarang. Mengingat baju gue yang jauh dari kata bersih ini. Mikirin manusia itu kemana, urusan nanti aja.

Pas gue berdiri, gue lihat ada tas kertas di sebelah kaki gue. Ini ... buat gue atau punya siapa?

Gue lihat sekilas di dalamnya ada kertas bertulisan 'buat yang merasa pede'. Pft. Gue tau ini buat gue.

Tunggu, berarti gue pede? Entahlah.

Gue pun menyambar tas itu lalu segera pergi ke rumah.

.

Sampai di rumah, nyokap gue nanyain gue banyak hal. Masalah baju gue-lah, apa yang gue bawa-lah, dan lain lain.

Tapi gue memutuskan untuk buru-buru ke kamar gue.

Awalnya, gue berniat buat langsung mandi. Tapi tas kertas yang gue tahu dari Sabrina itu lebih menarik perhatian gue.

Tunggu, berarti tadi dia di depan rumah gue bukan nyari nyokap gue? Wow, gue cukup kaget untuk itu. Dan gue merasa sedikit bangga.

Abaikan keanehan gue.

Gue pun akhirnya mendekati tas itu. Gue ambil kertas yang ada di dalamnya.

'buat manusia pede, atau yang merasa pede.

selamat.

*kado itu biar lo nggak narik-narik punya gue lagi.

**dan gue ngasih karena dipaksa nyokap.'

Gue cukup terkejut. Isinya singkat, padat, dan jelas.

Gue pun makin penasaran sama apa yang dia kasih ke gue. Gue mengambil barang yang ada di bawah kertas itu.

Oh, earphone.

Kado dia sukses membuat gue senyum nggak jelas sendiri.

Ah, mungkin setelah make otak gue untuk olimpiade itu, sisanya tinggal error yang ada.

.

To: Sabrina

Thanks.

.

-tbc

Hai...

Maaf buat late update nyaa

Semoga chapter ini bisa menebus keterlambatan satu bulannya:(

14.05.15

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 118K 49
Mencuri umpan bola dari lawan? Itu sih gampang! Mencuri mangga tetangga sebelah? Duh, cetek banget. Tapi mencuri perhatian Dila? Delo harus mati-mati...
1.9K 316 53
"Gue tiba-tiba PMS setiap ngeliat lo! Hormon gue jadi gak terkendali," ucap Chilla. Karena sebuah tragedi berdarah pada masa pengenalan lingkungan se...
3.8M 272K 38
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Ander...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.3M 251K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...