Renjana

Von idrianiiin

4.1K 1K 201

SELESAI || PART MASIH LENGKAP Allah akan menguji iman masa mudamu dengan didatangkannya sosok yang dulu perna... Mehr

Prolog
Malioboro
Pantai Indrayanti
Pulang
Senandika Cafe
Secarik Kertas
Sepucuk Surat Tak Bertuan
Arhan Azhari
Asing
Haidar Gumilar
Kisah Masa Lalu
Kehilangan
Arhan Vs Haidar
Selayaknya Bumi dan Matahari
Antara Duha dan Senja
Rahasia
Ada Cerita di Kedai Mang Darsa
Gundah
Pangalengan
Sejenak Berbincang
Hati ke Hati
Sebuah Rencana
Pertemuan Tak Terduga
Obrolan Sore Hari
Terkagum-kagum
Pengakuan
Pertemuan Dua Keluarga
Wedding Dream
Hari-H
Renjana
Epilog

Kembali Berjumpa

108 32 0
Von idrianiiin

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Hati-hati dengan pria humoris, karena pemikatnya tersembunyi di balik mulut yang manis."

°°°

"Teh Anin ada yang mau ketemu, ditunggu di area outdoor meja nomor tujuh,," ungkap salah satu karyawannya.

Anin yang tengah bergulat di balik meja barista pun segera mendongak dan melihat ke arah karyawannya. "Siapa?"

"Kurang tahu, Teh."

Anin menggeleng sekilas. Karyawannya ini ada-ada saja, katanya ada yang mau bertemu, tapi giliran ditanya siapa malah jawabnya kurang tahu.

"Iya saya ke sana," ujar Anin setelahnya.

Dia pun melepas appron terlebih dahulu, meminta barista lain untuk melanjutkan racikan kopinya.

Kafe cukup ramai di sore hari, baik di lantai satu, lantai dua, maupun outdoor. Alhamdulillah, usahanya dilancarkan dan dimudahkan oleh Allah. Walaupun sedikit lelah, tapi senyum sumringah tak pernah luntur di wajahnya.

"Permisi, maaf ada yang bisa saya bantu?" tutur Anin setelah sampai di meja nomor tujuh.

Dia menghela napas singkat kala menjumpai seorang pria yang tengah menunduk, seperti tengah mencari sesuai dalam tasnya.

Anin kurang nyaman jika harus berhubungan langsung dengan pengunjung non mahram. Tapi, dia pun harus profesional dan tetap memberikan pelayanan terbaik.

"Lho? Ngapain, Mbak di sini?" tanya lelaki yang baru saja mendongak dengan tangan memegang sebuah bolpoin beserta notes.

"Astagfirullahaladzim! Seharusnya saya yang tanya, Mas ngapain di sini?" sahut Anin tak kalah terkejutnya.

"Jangan bilang kalau, Mbak owner Senandika Cafe," ungkapnya.

"Kalau iya bagaimana?"

Dia terkekeh pelan lantas berujar, "Dunia sempit banget yah, Mbak. Saya kira setelah pertemuan di Yogyakarta kita gak akan bertemu lagi, tahunya ketemu lagi di Braga."

Anin hanya tersenyum tipis saja. Bingung harus menimpalinya.

"Maaf ada keperluan apa yah, Mas dengan saya?" seloroh Anin langsung pada intinya.

"Saya jurnalis dari Kata Media, berniat untuk memuat Senandika Cafe sebagai bahan berita, artikel lebih tepatnya," terang Haidar menjelaskan.

Anin yang sedari tadi berdiri, akhirnya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan sang lawan bicara. "Kenapa harus Senandika Cafe? Bukankah di kota ini banyak kafe-kafe lain yah?"

Haidar mengangkat lebar kedua sudut bibirnya. "Memang banyak, tapi yang berciri khas dan paling berbeda dari kebanyakan kafe ya hanya Senandika."

"Alasan apa yang membuat saya harus menerima tawaran, Mas?"

"Benefit, jelas kami akan memberikan Mbak keuntungan berupa promosi dan juga materi. Sekaligus Mbak juga bisa memperkenalkan pada khalayak ramai, bahwa berwirausaha dengan tetap berpegang teguh pada syariat agama itu bisa dilakukan. Aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar sesuka hati," terang Haidar diakhiri dengan sunggingan lebar.

Anin mengangguk singkat dan berucap, "Baiklah saya menyetujui, tapi Mas tidak perlu memberi saya bayaran."

"Lho kenapa begitu, Mbak?"

"Saya hanya ingin membantu dan mempermudah pekerjaan Mas saja, sekaligus Mas juga membantu memperkenalkan usaha saya. Itu sudah lebih dari cukup," pungkas Anin.

Haidar cukup tertegun dengan jawaban yang Anin berikan. Baru kali ini dia mendapati narasumber yang tidak mau dibayar. Belum lagi tutur kata Anin sangat ramah menyapa indra pendengar.

Perempuan yang tak sengaja dia temukan di Yogyakarta itu ternyata berbeda dari kebanyakan wanita. Lain daripada yang lain.

"Baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusan, Mbak. Terima kasih atas kesediaannya," ungkap Haidar setelah beberapa saat terdiam karena merasa kagum.

Anin mengangguk. "Mau pesan minum apa? Terlalu serius mengobrol sampai lupa kalau mejanya masih kosong."

Haidar tertawa kecil. "Gak papa santai aja, Mbak. Apa saja terserah Mbaknya," putus Haidar.

Anin melambaikan tangan, memanggil salah satu waiters agar menghampirinya. "Renjana dua, colenak dua yah," pintanya.

Dia pun mengangguk patuh. "Baik, Teh."

"Apakah itu menu best seller di sini?" tanya Haidar saat karyawan Anin sudah menghilang.

Anin mengangguk mantap.

"Oh iya, dengan Mbak siapa? Apakah sekarang saya boleh mengetahui nama Mbaknya?" imbuh Haidar seraya tertawa kecil untuk menutupi rasa cemas yang entah mengapa tiba-tiba datang.

Sepertinya dia masih trauma akan penolakan yang pernah Anin berikan pada saat perkenalan pertama mereka.

"Anindira Maheswari, panggil saja Anin. Jangan Mbak, saya bukan orang Jawa," kekeh Anin membuat Haidar lega.

Syukurlah dia tak mendapat penolakan kedua.

"Haidar Gumilar, panggil saja sayang kalau Mbak berkenan," kelakarnya berhasil membuat Anin terbatuk-batuk karena kaget.

"Maaf, Mbak, saya hanya bercanda saja. Haduh, sampai batuk-batuk gitu lagi," sambungnya panik.

Anin sedikit tersenyum. "Lebih baik dibercandain, daripada diseriusin, Mas."

"Ehhh, kok gitu?"

Anin terkekeh melihat ekspresi Haidar yang sangat lucu. Terlihat linglung dan terkaget-kaget.

Tawa Anin reda kala ada pramusaji yang mengantarkan pesannya.

"Selamat menikmati."

"Terima kasih," kata Anin dan Haidar bersamaan.

Untuk beberapa detik keduanya saling berpandangan. Tak menyangka akan berkata kompak dan serempak.

"Astagfirullahaladzim," gumam Anin seraya memalingkan pandangan.

Sesegera mungkin dia pun memohon ampun pada Allah, karena matanya sudah begitu lancang memandang yang bukan mahram.

Suasana seketika menjadi canggung. Keduanya terdiam cukup lama. Entah apa yang tengah mereka pikirkan.

Haidar berdehem untuk mencairkan suasana, dia pun menikmati secangkir renjana. Aroma kopi yang kuat, warnanya yang pekat, dan rasa yang begitu nikmat langsung menyapa kerongkongan.

Pantas kopi ini menjadi primadona, karena memang rasanya tidak main-main.

"Kopinya jempolan, Mbak. Mantap!" Haidar mengacungkan dua jempolnya.

"Alhamdulillah, terima kasih."

"Oh iya kapan Mbak ada waktu untuk wawancara?"

"Mungkin besok atau lusa, kalau sekarang saya tidak bisa. Sebentar lagi magrib, saya harus segera pulang," jawab Anin menjelaskan.

Haidar melirik ke arah arloji yang melingkar apik di pergelangan tangan kanannya. Jam menunjukkan pukul lima lebih, hampir setengah enam malah.

"Baik, Mbak besok saya akan kembali lagi ke kafe ini," putus Haidar.

Anin mengangguk menyetujui. "Boleh silakan. Jangan panggil saya Mbak terus, Mas. Saya kurang nyaman."

Haidar tertawa, terlalu asik dan menikmati perbincangan sampai lupa akan permintaan Anin yang tak mau dipanggil dengan sebutan tersebut.

"Mau manggil sayang takut saya yang malah terlanjur nyaman. Ya sudah, Teh Anin saja kalau begitu."

Perkataan Haidar spontan membuat Anin tersedak renjana yang belum sempurna ditelannya.

Allahuakbar!

Pria di depannya ini memiliki mulut manis yang berbisa. Jika yang digombali bukan Anin, sudah pasti akan terbawa perasaan dan berbunga-bunga.

Haidar menyodorkan sapu tangan yang ada di dalam tasnya pada Anin. "Masih baru kok, belum saya pakai."

"Terima kasih," sahut Anin menerima sapu tangan tersebut. Sekitaran mulutnya belepotan karena kopi yang menyembur, ada sebagian juga yang mengotori khimarnya.

"Maafin mulut saya yang sembarangan ini, Teh Anin. Suka spontan dan gak ada remnya," ungkap Haidar merasa bersalah.

"Gak papa, saya hanya tak terbiasa saja. Hanya Mas yang berani melakukan hal tersebut pada saya," terang Anin.

Haidar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rasa bersalah kian mengakar kuat. Tak henti-henti dia mengutuk dalam hati atas kelancangan mulutnya.

—BERSAMBUNG—


Padalarang,
Senin, 19 September 2022

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

89.9K 5.2K 30
Kata pembaca, cerita ini seperti drama Fated Love (Korea) yang bersatu dengan Ayat-ayat Cinta (Indonesia). Kisah yang sama-sama mengharu biru di seti...
591K 71K 19
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
19.5K 664 6
Dibelahan bumi manapun engkau berada, Sejauh apapun engaku melangkah, sekeras apapun engkau menjauh jika memang kita di takdirkan bersama maka pasti...
ALIF Von Ismaawtn

Spirituelles

7M 495K 60
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...