Epilog

224 34 12
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Renjana bukan hanya tentang secangkir kopi yang terhidang di meja, melainkan tentang secangkir rasa berwujud cinta."

°°°

Garis takdir takkan pernah keliru, sekalipun jalan yang dilalui terjal berbatu. Ia akan tetap menemukan jalan baru, agar dua hati yang saling mencari bertemu dan bersatu.

Ini bukan hanya perihal buku yang tak sengaja tertinggal, tapi ada serpihan hati yang terselip nyaman di sepenggal halaman. Sebuah kisah yang menjadikan gerbong kereta sebagai awal pertemuan.

Saksi bisu, terpautnya dua insan yang kini sudah saling menemukan.

Yogyakarta, kami kembali.

Kini aku tak lagi sendiri, ada seseorang yang sudi menemani, bahkan sosoknya pernah tak sengaja kutemui. Kuucapkan terima kasih, karena telah menghadirkan seorang kekasih di hidup ini. —Anindira Maheswari—

Anin menutup novel berjudul Langkah Kaki karya Shineeminka dan menyimpannya di atas pangkuan. Senyum perempuan itu tidak pernah surut sedikit pun, bahkan kian mengembang kala mendengar lantunan surah Ad-Duha di bibir lelaki yang duduk di depannya.

Tak ingin melewatkan momen, dia pun mengarahkan kamera yang sedari tadi menggantung apik di lehernya. Beberapa foto berhasil diabadikan. Lengkungan bulan sabit itu benar-benar sangat indah, terlebih saat melihat betapa bagusnya hasil karya yang dipotret.

"Cukup, Anin. Jangan terlalu lebar tersenyum," katanya setelah menyelesaikan membaca Alquran.

"Kenapa?"

Arhan tak langsung menjawab, dia membawa tangan Anin dalam genggaman, saling berpandangan, lantas berujar, "Aku pernah jatuh cinta karena senyuman itu, dan aku tak ingin ada laki-laki lain, yang juga terperangkap akan senyuman kamu."

Anin tersipu malu, rona merah timbul begitu saja. Jari jemari keduanya saling bertautan, bahkan mata mereka pun seolah berbicara.

"Buku apa yang sekarang kamu bawa?" tanya Arhan saat Anin tak kunjung buka suara.

Anin melepaskan salah satu tangannya, untuk mengambil novel yang berada dalam pangkuan. "Langkah Kaki. Sebagaimana judul yang tertera di sini, aku berharap langkah kaki kita akan senantiasa berjalan beriringan untuk mencapai sebuah tujuan."

Salah satu tangan mereka saling menggenggam, sedangkan yang lainnya memegang buku tersebut, mereka pun kembali mengunci pandangan.

"Berawal dari gerbong kereta, berakhir di sebuah KUA, dan semoga sampai ke surga-Nya," ungkap Arhan dengan senyum mengembang.

"Aamiin allahumma aamiin, bismillah until jannah."

—SELESAI—

Padalarang,
Sabtu, 24 Desember 2022

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menyelesaikan cerita ini. Aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada teman-teman yang sudah menemani aku berjuang.

Kalau bukan karena dukungan vote dan komen dari kalian, aku gak mungkin bisa melanjutkan kisah ini. Karena jujur aku sudah putus asa dan merasa tidak percaya diri.

Tapi, qodarullah melalui Kak asrabintiahmadnoho yang selalu rajin kasih komentar, semangatku kembali muncul dan menjadi salah satu alasan untuk menyelesaikan naskah ini.

Bacain komentar kalian itu moodboster banget. Yang semula gak niat nulis, jadi suka tiba-tiba ada kemauan. Maka dari itu kalau berkenan, mungkin bisa tinggalkan jejak. Setidaknya aku tahu, bahwa ada yang suka dan menunggu cerita yang aku tulis.

Terima kasih yah, semoga ada kebaikan yang bisa kalian petik. Jika ada banyak keburukan mohon dimaafkan, dan diingatkan.

Boleh tulis sedikit pesan/kesan setelah membaca Renjana? Boleh drop di sini yah 😊

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang