Pengakuan

89 29 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Selesaikan sesuatu yang sudah dimulai, tidak boleh lari apalagi lepas tangan. Semua harus dipertanggungjawabkan."

°°°

Rasa cemas selalu menghantui, apalagi jika sedang berjauhan dan tak terlibat komunikasi sama sekali. Berulang kali menghubungi, tapi hasilnya tetap nihil. Sudah sekitar tiga minggu Haidar menghilang tanpa kabar, dan Arhan cukup dibuat kelimpungan.

Entah berada di belahan kota mana sang kakak berada, sampai sangat sulit untuk dihubungi. Apa mungkin di pelosok kota dengan kualitas sinyal yang tidak mendukung? Jika memang benar begitu, untuk apa mengasingkan diri?

"Haidar sudah bisa dihubungi, Ar?" tanya Anjar.

Sebuah gelengan sang putra berikan. "Terakhir saling berkabar ya pada saat Bang Haidar sampai di tempat tujuan. Sisanya gak ada, bahkan sampai sekarang panggilan Arhan hanya dijawab operator."

Anjar menghela napas berat. "Anak itu sebenarnya ke mana? Bapak bener-bener mencemaskannya. Bapak takut dia kenapa-napa."

"Kamu gak tahu abang kamu pergi ke mana, Ar?" Kini sang ibu ikut larut dalam perbincangan.

"Arhan gak tahu, Bu."

Keheningan seketika menyelimuti, ketiganya bergelut dengan pikiran masing-masing. Bahkan, pisang goreng dan teh manis yang terhidang di meja pun dianggurkan.

"Mungkin Haidar kurang nyaman tinggal sama kita, jadi dia memutuskan untuk hidup seorang diri saja," tutur Asma melirih.

"Gak mungkin seperti itu, Bu. Bang Haidar malah betah tinggal di sini, tapi katanya ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan dan itu memakan waktu yang tidak sebentar," sanggah Arhan mencoba menenangkan sang ibu.

"Semoga saja seperti itu, Ar."

Arhan termenung, mengingat percakapan terakhir dirinya dengan sang kakak. Dan dia baru teringat sesuatu, sebuah amplop yang Haidar titipkan untuk disampaikan pada Anin. Dia yakin, di dalamnya pasti ada petunjuk ihwal keberadaan sang saudara.

Sepertinya besok, dia harus mempertanyakan hal tersebut pada Anin. Walaupun harus kembali terjebak kecanggungan serta perbincangan yang pasti serius dan menusuk hati. Tapi apa boleh buat, mungkin memang hanya itu jalan keluar satu-satunya.

"Masih terjebak lampu merah, Ar?" tanya Asma mencoba mengalihkan pikirannya agar tak berpusat pada Haidar terus menerus.

Arhan meringis. "Sepertinya begitu, akan tetap merah dan tidak mungkin berubah."

"Kalian lagi ngomongin apa? Kok bawa-bawa lampu merah?" seloroh Anjar merasa paling bodoh dan tak tahu menahu ihwal perbincangan anak dan istrinya.

"Kisah percintaan Arhan yang kandas sebelum berperang. Meredup sebelum dinyalakan, dan terjebak di persimpangan jalan karena lampu merah yang tak kunjung menghijau."

"Siapa perempuannya?" tanya Anjar penasaran.

Asma mengedikkan bahu. "Sampai sekarang Arhan gak pernah ngasih tahu siapa perempuan itu, mungkin dia malu karena ditolak dan tidak kunjung mendapat restu."

Arhan tak mampu menjawab, mau mengiyakan ataupun menyangkal tidak akan merubah keadaan. Jika dia berterus terang, malah takut permasalahannya kian melebar.

Anjar mengembuskan napas kecewa. "Kirain kamu belum ada calon, Ar. Tadinya Bapak mau lamarin Anin buat kamu. Kalau dilihat-lihat kalian cocok, Bapak juga sudah sreg sama orang tuanya. Mau mempererat tali persaudaraan, jadi besan."

Renjana Where stories live. Discover now