Haidar Gumilar

93 27 10
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jadilah wanita yang berpegang teguh pada agama, bukan dunia. Sebab, untuk menjadi penghuni surga pondasi utamanya ialah akhlak yang mulia."

°°°

Anin melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia heran dengan kedatangan Haidar di waktu seperti ini. Apakah lelaki itu tidak bersiap untuk melaksanakan salat jumat?

Padahal para karyawannya sudah bergegas ke masjid untuk menunaikan kewajiban kaum lelaki tersebut. Tapi Haidar justru duduk nyaman dengan ditemani secangkir renjana serta seporsi roti bakar.

"Maaf kemarin saya berhalangan hadir, sekarang baru bisa," tutur Haidar saat Anin baru saja duduk di kursi kosong yang berada di hadapannya.

"Gak papa, tapi apa sebaiknya selepas salat jumat saja kita melakukan wawancara?" sahut Anin memberi saran.

Haidar terdiam cukup lama, dia mengambil secangkir renjana lantas menghirup aromanya, lalu meneguknya. Tak lupa dia pun mengukir senyum setelahnya.

"Saya tidak salat."

Tiga kata itu berhasil membuat Anin membatu di tempat. Pandangannya sangat sulit untuk didefinisikan, tapi raut terkejut sangat kentara.

Melalaikan salat saja tidak baik, apalagi jika tidak menunaikannya. Dari penglihatan Anin, Haidar adalah lelaki baik dan dia tak percaya jika lelaki itu sangat mudah meninggalkan kewajibannya.

"Salat itu wajib untuk umat muslim, Mas," katanya penuh kehati-hatian.

Haidar mengangguk singkat lantas berucap, "Saya tahu, tapi saya bukan muslim."

Rasa pening seketika menerjang. Kepala perempuan itu berdenyut sakit bukan kepalang.

Apa dia tidak salah mendengar?

"Maksud, Mas?"

Otaknya belum bekerja secara sempurna, dan kalimat tanya itu justru meluncur bebas dari mulutnya.

Haidar terkekeh pelan lantas berujar, "Saya terlahir sebagai non muslim, agama yang sampai saat ini saya peluk."

Anin meneguk ludah susah payah. Gemuruh dalam dada meronta-ronta tak tahu malu. Dia merapatkan matanya sejenak dan menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan.

"Ma ... maaf, Mas saya tidak tahu. Maaf atas kelancangan mulut saya," tutur Anin merasa tak enak hati.

Haidar malah tertawa kecil, bahkan dia merasa lucu dengan raut wajah Anin yang begitu terkejut tapi menggemaskan di matanya.

"Gak papa, santai saja," sahutnya begitu ramah.

Anin hanya mengangguk saja.

"Apa bisa kita mulai wawancaranya?"

Lagi-lagi Anin mengangguk singkat.

Haidar menyiapkan alat perekam yang akan merekam semua perbincangan mereka, tak lupa dia pun meletakkan note beserta bolpoin.

"Mohon maaf sebelumnya, dengan siapa?" tanya Haidar memulai wawancara.

"Anindira Maheswari."

"Sudah sejak kapan Senandika Cafe didirikan?"

"Dua tahun lalu," jawabnya.

Haidar manggut-manggut paham lantas kembali bertanya, "Alasan apa yang membuat Teh Anin tergerak untuk mendirikan kafe dengan mengusung tema modern islami?"

Renjana Where stories live. Discover now