Renjana

143 31 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Garis takdir sudah dituliskan, tugas kita hanya menjalankan. Tidak ada yang perlu dipertanyakan."

°°°

Kematian menjadi titik akhir dari sebuah kehidupan. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa menyangkal, semua sudah tertulis apik di Lauhul Mahfudz. Sejatinya dunia ini hanya sebatas jembatan, yang akan mengantarkan kita pada kehidupan abadi di akhirat nanti.

Menangis karena kehilangan seseorang yang disayangi, memang hal yang wajar. Namun, kita tak bisa terus larut dalam kedukaan. Hidup akan terus berjalan, jangan sampai hanya karena satu takdir yang tidak dikehendaki kita malah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Allah beri.

Ikhlaskan dan sabarkan hati. Mencoba untuk berdamai dan berlapang dada atas kenyataan yang kini dihadapi.

"Jangan terus-terusan menyalahkan diri kamu, Nak. Ini bukanlah salah kamu, ini memang takdir yang harus kita jalani."

Sang putra yang sedari tadi mengelus nisan sang saudara bertuliskan, Haidar Gumilar itu melirik sekilas sang ibu. "Arhan yang salah, seharusnya Arhan yang terbaring di sini." Digenggamnya erat gundukan tanah merah itu.

Mau sebesar apa pun rasa penyesalan, tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa yang sudah bertemu dengan kematian. Caranya berpulang memang mengejutkan. Tapi bukankah mati memang sudah menjadi takdir yang tidak bisa dihindari?

Bayangan akan kecelakaan yang mengantarkan sang kakak bertemu ajal kian terbayang. Terlebih jika mengingat Haidar yang berteriak lantang, serta berlari kencang, untuk menyelamatkan dirinya yang akan dihantam sebuah kendaraan beroda empat berkeliaran dalam ingatan.

Ini semua murni karena keteledorannya, menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri. Dia tidak bisa berpikir jernih, dan hanya berfokus untuk mengejar langkah lebar Haidar. Benar-benar tindakan konyol yang sampai kapan pun Arhan sesali.

Sebuah kebodohan yang berhasil merenggut nyawa seseorang yang sangat dia sayangi dan hormati.

Anin yang berada di sisi Arhan, tak bisa berkata apa pun. Dia hanya mampu mengelus tangan sang suami untuk menyalurkan ketenangan.

Bukan hanya Arhan yang dihantui rasa bersalah, Anin pun demikian. Mungkin jika mereka tidak tergesa-gesa menggelar pernikahan, kejadian semacam ini tidak akan pernah terjadi. Permasalahan di antara mereka bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, dan tidak harus sampai menghilangkan nyawa seseorang.

Pernikahan yang diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, kini justru menjadi pemicu kematian. Malapetaka yang sangat amat tidak diharapkan.

"Kamu sudah seperti orang yang tidak beriman, Ar. Ini sudah menjadi suratan, kematian pasti akan datang. Terlepas dari bagaimana caranya Allah mempertemukan kita dengan ajal. Cepat atau lambat kita pun akan menyusul, hanya tinggal menunggu giliran," tegur Anjar tegas.

Bohong jika dia mengatakan tidak kehilangan. Bagaimana mungkin dia tidak bersedih hati melihat putranya merenggang nyawa tepat di depan mata, darah segar begitu mengalir deras dan berceceran di mana-mana.

Namun, dia sadar diri. Sebagai seorang hamba dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mendengar sang putra masih bisa mengucapkan dua kalimat syahadat dengan suara melirih dan terbata-bata saja, sudah cukup membuat dirinya lega. Setidaknya sang putra berpulang dengan membawa ketaatan.

Sebuah akhir yang diidam-idamkan seluruh umat muslim di dunia. Dirinya belum tentu bisa.

Kepergian Haidar memang disayangkan banyak pihak. Tapi, bisa jadi itu memang cara Allah untuk menyelamatkan Haidar dari kejamnya dunia.

Renjana Where stories live. Discover now