Pulang

145 33 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Seindah apa pun kota orang, tanah kelahiran akan tetap menjadi tempat untuk pulang."

°°°

Rumah sederhana berlantai satu dengan konsep modern minimalis, serta mengusung tema open space menyapa netra. Pada saat pintu terbuka, semua yang berada di dalamnya terekspos begitu saja.

Ruang tamu dan ruang keluarga yang menjadi satu padu, di sisi sebelah kiri terdapat sebuah kamar yang diperuntukkan bagi Anin, bersebelahan langsung dengan mushola plus tempat wudu yang dibiarkan terbuka, dan tepat di sampingnya terdapat sebuah kamar mandi.

Sedangkan di sisi lainnya terdapat kamar orang tua Anin yang bersandingan dengan mini perpustakaan, di sana terdapat rak buku yang sengaja didesain menyatu dengan meja dan satu buah kursi, tak ketinggalan sebuah ayunan yang terbuat dari rotan pun sengaja disimpan sebagai pemanis ruangan.

Semua itu terekspos tanpa sekat, kecuali kamar tidur dan kamar mandi yang terdapat pintu dan tidak bisa diakses oleh sembarang mata. Tak lupa sebuah dapur yang sedikit tersembunyi berada di pojokan menjadi bagian terakhir dari rumah ini.

"Gudeg pesanan Mama gak kelupaan, kan?"

"Bakpia pathok pesanan Ayah ada, kan?"

Dua pertanyaan itu menyapa rungu Anin kala dirinya baru saja membuka pintu dan mengucapkan salam. Orang tuanya ini ada-ada saja, anaknya pulang bukannya disambut atau dipeluk, ini malah bertanya perihal oleh-oleh.

"Gak ada yang nanyain kabar Anin selama di sana? Anin ngapain aja? Apakah semua berjalan baik-baik saja? Perjalanan dari Yogyakarta ke Bandung itu jauh lho, Ma, Yah," katanya setelah menjatuhkan diri di karpet yang berhadapan langsung dengan sebuah televisi.

Kedua orang tuanya terkekeh pelan, dan dengan lembut Arini menciumi seluruh wajah sang putri yang tengah merajuk. "Bagaimana liburannya, Neng?"

Anin mendelik, dia tak suka dipanggil dengan sebutan tersebut. Terdengar risi di telinga. "Panggil Anindira, atau cukup Anin aja, Ma. Gak usah pake embel-embel Neng segala."

"Ya udah Nyai aja kalau gitu," serobot sang ayah yang kini sudah ikut duduk bergabung, beliau begitu bersemangat membuka koper Anin. Hendak mencari bakpia pathok pesanannya.

"Gak lucu, Yah!"

Kedua orang tuanya menggeleng dan tertawa kecil, hal itu jelas membuat Anin jengkel. Mama dan ayahnya memang senang berguyon, lain hal dengan Anin yang terlalu serius dan sedikit susah jika diajak bercanda.

"Ini rasa apa aja?" tanya sang ayah saat mendapati dua box bakpia pathok.

"Cokelat sama original, sesuai pesanan Ayah, kan?" sahut Anin.

Sang ayah mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

"Gudeg pesanan Mama mana?" tagih sang ibu.

"Nih," kata Anin seraya memberikannya.

"Wihhh, sama nasi hangat enak tuh," cetus sang ayah dibuat ngiler karena aroma dan rupanya yang begitu menggoda.

"Pastilah, kan gratis," timpal sang ibu yang dihadiahi gelengan pelan oleh putrinya.

"Anin capek, mau istirahat dulu," ungkap Anin seraya bangkit dari duduknya untuk bergegas ke kamar.

Kedua orang tuanya hanya mengangguk sebagai jawaban, mereka tengah sibuk dengan oleh-oleh yang dibawa sang putri. Bahkan kini sebakul nasi sudah tersaji, siap memanjakan lidah dan mengenyangkan perut masing-masing.

Renjana Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ