Hari-H

123 28 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika takdir Allah sudah berkehendak, maka tak ada satu pun makhluk yang dapat mengelak."

°°°

Pernikahan menjadi impian hampir semua insan, tak jarang menjadi tujuan dan dijadikan sebagai akhir dari sebuah penantian. Namun, pada nyatanya pernikahan justru awal dari perjalanan, di mana dua kepala disatukan dalam satu mahligai.

Tidak ada dekorasi yang megah ataupun mewah. Pelaminan pun dibuat sesederhana mungkin, warna yang dipilih juga paduan antara biru dan putih. Ruangan yang biasa digunakan untuk mengais rupiah, kini disulap sedemikian rupa menjadi saksi bisu bersatunya dua hati yang akan memadu kasih.

Mempelai pria datang beserta keluarga inti, hanya membawa mahar dan simbolis saja. Tidak ada hantaran sesuai permintaan sang calon mempelai perempuan. Anin benar-benar berusaha untuk menyederhanakan pernikahan.

Hantaran bukanlah syarat sah pernikahan, bukan pula rukun nikah yang wajib ada dalam sebuah pernikahan. Itu hanya tradisi turun temurun yang dilakukan para orang tua terdahulu. Beruntung Haruman, Arini, Anjar, serta Asma menyetujui. Tidak ada perdebatan yang berarti.

Beberapa menit sebelum akad dilangsungkan Anin keluar dari persembunyian dan diapit oleh ibu serta sang calon mertua untuk duduk di pelaminan, guna menyaksikan berlangsungnya akad nikah. Tak jauh dari tempat Anin berada, meja akad beserta kursi telah tersedia.

Haruman dan Arhan sudah saling berjabat tangan, bahkan kalimat ijab pun menguar di tengah keheningan. Tak lama dari itu suara Arhan pun mendominasi dengan begitu tegas dan lantang.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."

Para saksi mengucapkan kata 'SAH' yang diikuti oleh seluruh tamu yang hadir. Lantunan hamdallah beserta doa dipanjatkan, memohon keberkahan pada Sang Pencipta dan para penduduk langit tentu saja.

Arhan melangkah menghampiri Anin, menjemput sang istri untuk duduk di tempat akad. Menandatangani beberapa berkas pernikahan, serta hal-hal lainnya sesuai pengarahan petugas KUA.

Setelahnya Arhan membelai penuh keragu-raguan puncak kepala Anin, pasalnya ini adalah kali pertama dia menyentuh seorang wanita. Dengan suara sedikit bergetar karena rasa haru Arhan pun berujar, “Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi.

Anin yang sedari tadi menunduk, akhirnya mengangkat kepala dengan perlahan. Bola matanya bertemu langsung dengan netra teduh sang suami yang ternyata tengah menatapnya juga.

Detak jantung Anin serasa berdegup begitu kencang, bahkan Anin yakin sekarang pipinya sudah semerah tomat. Perasaan perempuan itu tak menentu, antara senang, sedih, dan haru menjadi satu padu.

Arhan pun tak kalah gugupnya, dia merasakan apa yang tengah sang istri alami. Mereka hanya mampu terdiam dengan mata yang sudah saling berkaca-kaca. Ada ketidakpercayaan di sana, mereka takut ini hanya sekadar halusinasi saja.

Tangan Anin bergerak secara lambat untuk menyalami tangan Arhan. Dia beberapa kali menelan ludah karena ragu untuk melakukannya. Tak pernah sekalipun tangan itu menjamah dan terjamah seorang pria, jadi wajar jika rasa ragu menghinggapinya.

"Assalamualaikum!"

Semua orang yang berada di dalam ruangan, mengalihkan perhatian karena mendengar suara salam yang berasal dari ambang pintu masuk.

Sepasang insan yang baru saja mendapatkan label halal itu membatu dan membisu. Pandangan keduanya terfokus pada sosok di depan sana, yang tengah membawa sebuah bucket bunga beserta kotak beludru berbentuk hati dengan warna merah menyala.

Lutut Arhan rasanya sangat lemas dan sulit digerakkan, tapi pemuda itu memaksakan diri untuk menghampiri seseorang yang sudah lama tidak ditemui. Satu tetes air mata mencelos begitu saja.

"Wa-wa'alaikumusalam warohmatulloh," sahutnya terbata-bata dengan suara melirih.

Arhan hendak memeluk tubuh sang saudara, tapi Haidar justru mundur beberapa langkah lantas berbalik arah. "Selamat atas pernikahan kalian."

Bucket bunga beserta kotak perhiasan yang sedari tadi dipegang erat jatuh begitu saja, bahkan dia pun berlari meninggalkan kerumunan. Perasaannya sudah hancur berantakan, tak lagi bisa dijelaskan. Yang jelas sakit bukan kepalang.

Dirinya merasa ditusuk dari belakang, dipermainkan oleh takdir, dan menjadi manusia paling bodoh karena berusaha memperjuangkan seseorang, yang jelas-jelas sudah berstatus sebagai istri orang, parahnya yang mempersunting sang wanita pujaan adalah adik kandungnya sendiri.

"BANG HAIDAR!" Lengkingan suara Arhan terdengar begitu memilukan, tanpa pikir panjang dia pun berlari mengejar ke mana pun langkah kaki sang kakak pergi.

Para tamu undangan dibuat keheranan, mereka menatap bingung adegan yang baru saja menyapa pandangan. Keheningan sangat amat mendominasi.

Tubuh Anin limbung, beruntung sang ayah begitu sigap menopang. Kesadaran perempuan itu hilang seketika, pandangan kabur entah ke mana.

"Para tamu undangan diharap tenang, silakan nikmati hidangan yang tersedia terlebih dahulu!" seru sang MC saat kericuhan terjadi.

Pernikahan yang diharapkan bisa diselenggarakan secara khidmat dan lancar, kini justru kacau berantakan. Benar-benar sangat di luar dugaan.

Anin dibaringkan di ruang kerjanya, Arini dan Asma setia menemani. Sedangkan Anjar dan Haruman bergegas pergi untuk mencari keberadaan Arhan serta Haidar.

"Sayang, bangun, Nak," pinta Arini sembari mendekatkan minyak kayu putih ke dekat indra pembau Anin.

Sedangkan Asma melepaskan sepatu serta kaus kaki yang Anin kenakan. Tak ketinggalan beliau pun melepas peniti di dagu sang menantu, sebagai bentuk pertolongan pertama.

Mata Anin mengerjap pelan, dan tak lama setelahnya terbuka lebar. Arini serta Asma membantu Anin untuk duduk dan bersandar.

"Minum dulu, biar sedikit lebih tenang," titah Asma dengan lembut memberikan segelas air putih yang tersedia di ruangan tersebut.

Anin menurut tanpa sepatah kata pun dikeluarkan.

"In syaa allah semua akan baik-baik saja," ungkap Asma menenangkan.

"A Arhan di mana?"

Dengan lembut Asma membelai puncak kepala sang menantu. "Jangan khawatir," katanya.

Napas Anin memburu tak menentu, pikirannya seketika kacau, bahkan kini perasaannya pun sudah dihantui kecemasan.

Ketiganya sama-sama membisu, pandangan mereka kosong, bahkan kebisingan yang terjadi di luar sana sama sekali tak terdengar.

Pernikahan yang dipersiapkan dengan sangat matang, berakhir mengenaskan seperti sekarang. Takdir Allah begitu di luar dugaan, tak pernah dapat diterka dan disangka-sangka. Semua terjadi di luar kendali manusia.

Suara deringan ponsel Asma menyita perhatian ketiganya. Dengan cepat beliau mengangkat panggilan yang berasal dari suaminya tersebut.

"Putra kita kecelakaan. Ke Rumah Sakit Santosa Bandung Central sekarang."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Kamis, 22 Desember 2022

Nah lho putra yang mana tuh yang kecelakaan 😅🤣

Boleh dong minta vote dan komennya. Gimana sih bab ini?

Feel-nya nyampe gak sih?🤔

Di mulmed ada gambar foto pernikahan dan juga pelaminan Anin & Arhan. Boleh dilihat 😊

Dadahhh, sampai ketemu di bab selanjutnya 👋

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang