Arhan Azhari

117 34 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Selagi usia masih muda, memperbanyak amal ibadah adalah suatu keharusan. Jangan sampai lalai hanya karena urusan dunia yang tak seberapa."

°°°

Anin termenung di kursi yang berada di depan meja barista. Perempuan itu tengah dilanda kegundahan, pasalnya setelah lamaran dadakan yang dilayangkan si pria tanpa nama, sampai sekarang Anin belum lagi bertemu dengan sosok pria misterius tersebut.

Selama 23 tahun hidup di dunia, baru kali ini dia merasakan apa itu namanya dilema, dan menunggu kedatangan seorang pria. Entah ini sebuah pencapaian rekor muri, atau justru suatu kesalahan yang akan membuat dirinya patah hati untuk yang pertama kali.

"Gak salat duha, Teh? Tumben malah ngeringkuk di sini," tutur Sari merasa heran dengan tingkah laku sang sahabat yang aneh dan berbeda dari biasanya.

"Lagi halangan, Sar," sahut Anin singkat.

Sari memilih duduk di kursi kosong samping Anin, hal itu jelas mengusiknya, dan mau tak mau dia pun mengubah posisi jadi duduk tegak menghadap Sari.

"Mukanya kayak uang lecek kembalian angkot. Kusut bener, perlu saya setrika gak, Teh?" cetus Sari diiringi tawa nyaring.

"Bercandanya gak lucu. Garing tahu!"

"Yang garing itu kerupuk, bukan tahu," timpal Sari masih dengan tawanya.

Anin memutar bola mata malas. "Gak ada lucu-lucunya sama sekali!"

"Yang lucu, kan cuma Mas-Mas yang kemarin yah, Teh. Saking lucunya sampai ketawa mulu," katanya menyindir.

"Ngaco kamu! Dia itu orang yang tak sengaja saya temukan di Yogyakarta. Terus kemarin ke sini buat minta izin mau jadiin Senandika Cafe sebagai bahan berita, artikel lebih tepatnya. Katanya dia itu jurnalis dari Kata Media," tutur Anin menerangkan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Kalau beneran jadi sama Mas-Mas itu juga gak papa atuh, Teh. Cocok!"

"Astagfirullahaladzim! Masih pagi udah berghibah aja kamu ini," sembur Anin.

Sari tersenyum kikuk. "Bercanda doang atuh, Teh. Meni serius-serius teuing jadi manusia teh."

"Yang kayak gitu kok dijadiin bahan bercandaan. Gak lucu tahu!"

"Ya Allah sensi banget jawabnya. Pasti haid hari pertama yah, Teh," tutur Sari ngeri-ngeri sedap. Anin yang sekarang begitu beringas dan bermulut pedas.

"Kalau iya, kenapa?"

Sari langsung turun dari kursi dan berkata, "Saya pamit undur diri kalau gitu. Takut dipecat tanpa pesangon."

Anin hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabat sekaligus karyawannya tersebut.

"Teh Anin ada yang nunggu di mushola," tutur salah satu karyawan cowoknya.

"Siapa?"

"Pelanggan Senandika Cafe yang waktu itu bukunya gak sengaja ketumpuhan kopi," katanya.

Mata Anin seketika berbinar terang. Rasa dongkol yang tadi sempat membayang hilang entah ke mana. Kegundahan yang merongrong pun, sudah lenyap seketika.

"Iya, makasih infonya," ucap Anin sebelum bergegas pergi ke arah mushola, tapi sebelumnya dia pun mengambil sebuah benda yang sudah terbungkus rapi kertas cokelat di dalam tasnya.

"Assalamualaikum." Anin mengucap salam dengan kepala menunduk dan suara gemetar karena gugup.

Melihat pria di hadapannya yang tengah mengikat tali sepatu dengan kondisi rambut yang masih basah membuat detak jantung Anin berulah.

Renjana Where stories live. Discover now