Kehilangan

85 31 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sejatinya kita tidak pernah memiliki, semua hanya sekadar titipan Sang Illahi, yang sewaktu-waktu bisa pergi."

°°°

Anin termenung di dalam kamar, tubuhnya terlentang dengan tangan dijadikan sebagai bantal. Pandangan perempuan itu lurus ke langit-langit. Pikirannya seketika kacau, dipenuhi berbagai hal yang membuat kepala terasa pusing.

Sudah hampir dua pekan setelah pertemuan tak sengaja dirinya bersama Arhan. Tapi, sampai sekarang pria itu tak kunjung datang. Sepertinya Anin terlalu percaya diri dan terlalu tergesa-gesa menyimpulkan, bahkan dia sudah lancang bermain hati.

Dilema, menjadi kawan akrabnya saat ini. Isi kepala dan hati seolah berkompromi untuk semakin membuat Anin kelimpungan menguasai diri. Dia sudah salah langkah, sok tahu, dan mendahului takdir Allah. Seharusnya jangan dulu pakai hati.

Suara pintu yang dibuka membuat Anin refleks menolah dan duduk tegak saat melihat kedatangan sang ibu.

"Kenapa, Ma?"

Arini duduk di samping sang putri lantas berkata, "Seharusnya Mama yang tanya gitu."

Kening Anin terlipat, tak mengerti dengan perkataan beliau. "Maksud, Mama?"

"Ada masalah apa, hm? Akhir-akhir ini kamu sangat murung dan seperti lagi banyak pikiran," cetusnya membuka obrolan.

"Nothing, Ma. Anin baik-baik saja."

Mata Arini menyelidik tak percaya. "Mama bukan orang yang tepat untuk kamu bohongi. Mama tahu kamu sedang tidak baik-baik saja."

Anin terdiam dan memilih untuk menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Tangan perempuan itu mengambil sebuah novel yang berada di atas laci. "Sepertinya Anin terlalu tergesa-gesa menjatuhkan hati, lelaki yang Anin kira akan datang bersama orang tuanya itu tak kunjung datang juga."

Arini menghadapkan diri di depan sang putri, membawa tangan sang putri ke dalam genggaman lantas berkata, "Mungkin nanti, tidak dalam waktu dekat ini. Lelaki yang benar-benar serius akan datang di waktu yang tepat, bukan cepat."

Tangannya beralih merapikan surai sang putri yang sedikit berantakan. "Jangan terlalu terburu-buru, jika memang ditakdirkan untuk bersatu, Allah pasti akan mempermudah jalanmu menuju ke arahku. Itu, kan yang kamu tulis di dalam buku? Bersabarlah, tapi jangan terlalu memupuk harapan agar kamu tidak kecewa jika kenyataan yang terjadi tidak sesuai ekspektasi."

Terkadang yang membuat seseorang kecewa itu bukan karena takdir Allah Ta'ala, tapi karena manusianya saja yang terlalu berekspektasi tinggi terhadap dunia. Terlalu mudah berangan, hingga lupa diri pada kenyataan.

"Tidak semua yang kita inginkan mudah didapatkan, adakalanya harus dibarengi dengan perjuangan agar pada saat kita mendapatkannya, tak ada keinginan untuk berpaling," imbuhnya seraya tersenyum lebar.

Anin mengangguk pelan lantas berujar, "Tapi Anin bingung sama perasaan Anin sendiri. Rasanya campur aduk gak keruan."

Arini tertawa lalu berkata, "Kamu itu lagi galau, Anindira Maheswari. GALAU!"

"Masa iya?"

Beliau mengangguk semangat. "Itu hal wajar, apalagi di antara kalian tidak ada komunikasi sama sekali. Tapi, sudah pernah ada omongan serius untuk menikahi. Antara hati dan pikiran saling berkonspirasi dan membuat kamu pusing sendiri."

Apa yang dikatakan Arini memang benar, sampai detik ini pun Anin dan Arhan tidak saling bertukar nomor ponsel. Bahkan, tidak saling follow akun media sosial, karena memang tidak saling mengetahui dan mencari tahu.

Renjana Where stories live. Discover now