Kembali Berjumpa

101 31 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Hati-hati dengan pria humoris, karena pemikatnya tersembunyi di balik mulut yang manis."

°°°

"Teh Anin ada yang mau ketemu, ditunggu di area outdoor meja nomor tujuh,," ungkap salah satu karyawannya.

Anin yang tengah bergulat di balik meja barista pun segera mendongak dan melihat ke arah karyawannya. "Siapa?"

"Kurang tahu, Teh."

Anin menggeleng sekilas. Karyawannya ini ada-ada saja, katanya ada yang mau bertemu, tapi giliran ditanya siapa malah jawabnya kurang tahu.

"Iya saya ke sana," ujar Anin setelahnya.

Dia pun melepas appron terlebih dahulu, meminta barista lain untuk melanjutkan racikan kopinya.

Kafe cukup ramai di sore hari, baik di lantai satu, lantai dua, maupun outdoor. Alhamdulillah, usahanya dilancarkan dan dimudahkan oleh Allah. Walaupun sedikit lelah, tapi senyum sumringah tak pernah luntur di wajahnya.

"Permisi, maaf ada yang bisa saya bantu?" tutur Anin setelah sampai di meja nomor tujuh.

Dia menghela napas singkat kala menjumpai seorang pria yang tengah menunduk, seperti tengah mencari sesuai dalam tasnya.

Anin kurang nyaman jika harus berhubungan langsung dengan pengunjung non mahram. Tapi, dia pun harus profesional dan tetap memberikan pelayanan terbaik.

"Lho? Ngapain, Mbak di sini?" tanya lelaki yang baru saja mendongak dengan tangan memegang sebuah bolpoin beserta notes.

"Astagfirullahaladzim! Seharusnya saya yang tanya, Mas ngapain di sini?" sahut Anin tak kalah terkejutnya.

"Jangan bilang kalau, Mbak owner Senandika Cafe," ungkapnya.

"Kalau iya bagaimana?"

Dia terkekeh pelan lantas berujar, "Dunia sempit banget yah, Mbak. Saya kira setelah pertemuan di Yogyakarta kita gak akan bertemu lagi, tahunya ketemu lagi di Braga."

Anin hanya tersenyum tipis saja. Bingung harus menimpalinya.

"Maaf ada keperluan apa yah, Mas dengan saya?" seloroh Anin langsung pada intinya.

"Saya jurnalis dari Kata Media, berniat untuk memuat Senandika Cafe sebagai bahan berita, artikel lebih tepatnya," terang Haidar menjelaskan.

Anin yang sedari tadi berdiri, akhirnya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan sang lawan bicara. "Kenapa harus Senandika Cafe? Bukankah di kota ini banyak kafe-kafe lain yah?"

Haidar mengangkat lebar kedua sudut bibirnya. "Memang banyak, tapi yang berciri khas dan paling berbeda dari kebanyakan kafe ya hanya Senandika."

"Alasan apa yang membuat saya harus menerima tawaran, Mas?"

"Benefit, jelas kami akan memberikan Mbak keuntungan berupa promosi dan juga materi. Sekaligus Mbak juga bisa memperkenalkan pada khalayak ramai, bahwa berwirausaha dengan tetap berpegang teguh pada syariat agama itu bisa dilakukan. Aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar sesuka hati," terang Haidar diakhiri dengan sunggingan lebar.

Anin mengangguk singkat dan berucap, "Baiklah saya menyetujui, tapi Mas tidak perlu memberi saya bayaran."

"Lho kenapa begitu, Mbak?"

"Saya hanya ingin membantu dan mempermudah pekerjaan Mas saja, sekaligus Mas juga membantu memperkenalkan usaha saya. Itu sudah lebih dari cukup," pungkas Anin.

Renjana Where stories live. Discover now