Sejumput Dendam Rana

By ArinFerdia

5M 596K 128K

Tentang Rana yang harus menerima kenyataan pahit. Saat suaminya harus menikah lagi dengan anak dari pendonor... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50
Part 51
Part 52
Part 53 (Sisi Lain Daniel)
Part 54
Part 55
Part 57
Bukan Update (Info Plagiat)
Part 58
Part 59
Part 60

Part 56

41.9K 4.4K 759
By ArinFerdia

HALLO AUTHOR KEMBALI
INI PART PANJANG SELAMAT MEMBACA, SEMOGA TIDAK BOSAN

~Sejumput Dendam Rana~

"Lepas dulu tangannya, Sayang."

Rana mendongak, menatap Daniel yang terlihat tinggi menjulang di sampingnya dengan mata melotot tak terima.

"Kenapa?" Sewotnya. "Rana itu cuma gandeng Papa aja! Emang salah kalau Rana gandeng suami Rana sendiri? Lagian biasanya Papa juga terima-terima aja digandeng, kenapa sekarang protes! Ah, jangan-jangan Papa sengaja mau lepasin tautan tangan Rana biar bisa jaga jarak. Biar semua orang nggak tahu Papa punya gandengan terus Papa bisa tebar pesona sama suster-suster genit yang dari tadi lirik-lirik itu, iyakan?"

Mata Rana semakin memicing, menatap Daniel penuh menyelidik. Rasanya sekarang jiwa-jiwa mantan janda yang dijadikan janda karena perawan rasa janda sedang berkobar penuh gelora membara menembus cakrawala.

Jujur saja Rana merasa sedikit sesak dalam dada persis seperti payudara salah ukuran bra, diteruskan semakin mencengkram tak nyaman, dilepaskan gondal-gandul mengganggu ketentraman.

"Ran..."

"Kenapa? Mau protes?" Dengusnya kesal. "Udahlah Pa jangan banyak alasan! Mentang-mentang status Papa sekarang suami Rana terus Papa pikir bisa bertindak semaunya, jelas tidak bisa! Ingat ya, Moyang Daug pemilik ukuran celana dalam xxl, istrimu ini bukan wanita menye-menye yang cuma bisa diem pas suaminya digoda!"

"Cemburu?"

"Nggak!" Sahutnya cepat.

Sungguh Rana melakukan ini bukan karena cemburu, Rana hanya merasa sedikit kesal. Sedikit sekali, kalau diibaratkan seperti kecilnya kemungkinan pantat Nirmala menjadi glowing.

Percayalah sesungguhnya Rana bukanlah wanita pencemburu apalagi posesif yang tidak membiarkan suaminya menghirup udara yang sama dengan manusia berjenis kelamin wanita lainnya. Yang Rana lakukan sekarang hanyalah mencoba waspada. Sedia pengaman sebelum berperang!

Daniel menjawil hidung mancung Rana. "Nggak apa? Nggak salah ya." Kekehnya. "Sejujurnya saya suka kalau kamu cemburu, karena yang saya tahu cemburu itu tanda cinta."

"Nggak cemburu, cuma jaga-jaga aja dari sekarang dari pada menyesal kemudian karena lebih baik mencegah daripada mendesah! Eh!" Rana menepuk pelan keningnya menyadari dirinya salah bicara. Tidak! ini bukan salah Rana, tapi salah bulu dada Daniel yang mengintip di celah-celah kaos hingga membuat tidak fokus itu.

"Nggak gitu! Maksudnya Rana, Rana cuma mau mencegah daripada mengobati. Seperti kata pepatah."

"Kata pepatah?"

"Ya," Rana mengangguk. "Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati! Kalau istilah katanya sedia em sedia ga- em ga..." Rana menggaruk rambutnya yang tak gatal, mengapa disaat begini segala kata-kata mutiara hilang dalam benaknya?

"Ga.. ga.."

"Gayung?" tebaknya membuat Rana mengangguk.

"Ah iya, maksud Rana sedia gayung sebelum jadi nenek gayung!"

"Ngawur!" Elaknya cepat. "Mana ada kata pepatah begitu."

"Ada,"

"Kok saya nggak pernah dengar?"

"Iyalah ini kata petuah khusus dikeluarkan untuk orang-orang tertentu! Nggak semua orang bisa tahu, soalnya ini kata pepatah yang nggak patah patah amat jadi orang kuno kaya Papa nggak bakal ngerti."

Melihat Daniel yang hanya meringis itu Rana hanya mendengus kesal. Padahal tadinya Rana ingin mereka berdebat lebih lama lagi, namun seperti tebakannya jika lelaki yang semalam tidak tidur demi membeli kalung bertahta berlian 24 karat khusus rancangan Bulgarong keluaran terbaru dengan alasan mengidam itu memilih diam mengalah.

"Papa ngeselin!"

"Iya saya tahu kalau saya ngeselin," Daniel mengelus pelan puncuk kepala Rana. "Tolong maafkan suamimu yang ngeselin ini ya, Sayang?"

"Yang..." Panggilnya. "Maaf..."

"Iya,"

"Kalau udah dimaafin lepasin dulu dong tangannya, Sayangku."

"Nggak!" Rana mengeratkan pelukan tangannya. "Pokoknya Rana tetep mau gandeng Papa! Biar semua orang tahu kalau Papa itu milik Rana!"

"Tanpa kamu gandeng saya pun, semua orang juga tahu kalau saya punya kamu, Sayang. Lagian nih mau sebanyak dan sebesar apapun godaan yang datang tidak akan pernah menembus pertahanan hati saya yang penuh terisi nama kamu."

"Gombal amoh!"

"Gombal amoh itu apa?"

"Sejenis kata pujian untuk suami dalam bahasa Jawa."

"I see." Sahutnya dengan mata berbinar. "Pasti artinya tampankan? Udah jujur aja, malu-malu gitu muji suami sendiri, Yang. Meski selama ini saya banyak yang memuji, tapi pujian gombal amohmu yang paling indah menyapa gendang telinga langsung menembus, mengena pas dalam relung hati saya."

"Cah pekok!"

"Punya saya nggak bengkok!"

Mata Rana melotot, "Diem! Kenapa malah jadi pamer sih!"

Lelaki berkaos Sumaminya Rana itu menepuk-nepuk puncak kepala sang istri. "Gemesin banget sih istriku ini, jadi pengen cium."

"Papa jangan macem-macem! Malu sama uban! Inget sekarang Papa udah punya tiga anak bujang! Yang paling kecil udah mau masuk kuliah empat belas tahun lagi kalau Papa lupa."

Daniel terkekeh, "Iya, saya nggak lupa kalau saya udah punya bujang tiga, saya juga nggak lupa kalau beberapa bulan lagi bujang saya jadi empat. Udah daripada kamu mikir aneh-aneh, mending kamu mikirin mau habisin duit yang baru saya transfer buat apa."

"Papa transfer?"

"Iya, tiga ratus juta buat jajan hari ini."

Tanpa banyak kata, Rana langsung melepas rangkulannya pada Daniel, membuka tas dan mengeluarkan gawainya. Begitu mendapati saldonya bertambah tanpa banyak kata langsung memberikan ciuman jauh untuk Moyang Daug itu. "Muaaaahhhh....."

Tidak! Bukannya matre, Rana hanya mencoba menikmati keadaan. Lagipula selama ini Rana tidak pernah menuntut, menerima Daniel dan harta kekayaannya apa adanya.

"Ayo berdiri.."

Daniel sedikit bergeser menjaga jarak lalu berjongkok lalu membimbing istrinya yang sedari tadi bergelendotan di kakinya untuk berdiri bersisihan di sebelahnya dengan penuh kehati-hatian. Takut jika kasar sedikit saja perut Rana akan meledak.

"Jangan gelendotan seperti lintah di kaki saya, Sayang." geramnya.

"Pa..."

"Saya hanya meminta kamu melepaskan pelukan tanganmu sebentar karena kamu menempatkannya pada tempat yang tidak semestinya."

Daniel menempatkan tangan kiri Rana memeluk lengan kanannya. "Kamu istri saya, sepantasnya kamu berada di samping saya, berdiri mendampingi saya, dan menggenggam erat saya seumur hidup kamu, Sayang."

Senyuman Rana melebar, dieratkannya pelukan pada lengan kekar milik sang suami. Kalau saja tak mengingat dimana mereka sekarang mungkin Rana sudah tidak tahan untuk menubruk dada bidang Daniel untuk berlayar bersama bulu-bulu indah mirip sun go kong itu.

Keduanya kembali melangkah, dengan Rana yang sibuk bergelendotan di tangan Daniel dan Daniel yang sibuk mendorong stroller berisikan Onad dan Lean yang terlelap menyusuri koridor rumah sakit.

Rencananya mereka akan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin untuk Onad, memeriksakan kandungan Rana, dan yang terakhir menjaga Damar selagi Nirmala membawa Lean untuk terapi.

"Lagian kamu ngapain sih Ran pake segala gelendotan di kaki saya."

"Kok Papa nyalahin Rana sih! Kan Papa yang suruh!"

Daniel menghentikan langkahnya, menoleh menatap Rana penuh selidik. "Kapan saya nyuruh kamu?"

"Papa waktu itu pernah bilang kalau Rana harus menempatkan diri di tempat yang nyaman, terus mendekatkan diri dengan hal yang positif. Ranakan nyamannya kalau deket Daug, terus Rana bisa positif juga karena Daug! Berarti Rana nggak salah dong!"

"Nggak salah sih tapi..." Daniel menggeleng, enggan meneruskan ucapannya dan memilih kembali berjalan. Lebih baik mengalah daripada berdebat dengan Rana yang berujung tidur tanpa belaian.

"Papa marah?"

"Nggak, saya nggak marah."

"Pasti Papa marah."

"Nggak!"

"Papa! Mama!" Teriakan dan tarikan dari bawah membuat kedunya menunduk menatap sepasang mata jernih yang menatap polos itu.

"Jangan beltengkal, kita ini kelualga! Halus lukun dan selalu belsama tidak boleh telpisahkan."

Daniel membawa lelaki berkaos Anaknya Mama Rana dalam gendongan dan menciuminya gemas. "Pinter banget sih jagoannya Papa."

Onad tergelak, sebelum membalas mengecupi seluruh permukaan wajah Daniel dan meninggalkan air liurnya di sana.

"Let's go baby!"

"Not baby, Papa! Sekalang Nad bukan baby, Nad sudah ABC."

"ABG, Sayang." koreksi Rana membuat Onad mengangguk.

"Nad sudah ABG, sebental lagi masuk sekolah taman bapak-bapak."

"Taman kanak-kanak."

"Iya, Nad masuk taman kanak-kanak telus kuliah jadi bapak-bapak."

Daniel hanya meringis, membiarkan Onad berceloteh ria dalam gendongan tangan kanannya sedang tangan kirinya sibuk mendorong stroller berisi sang cucu yang masih terjaga di alam bawah sadarnya.

"Onaaaad!" Panggilan dari suara mungil itu membuat Onad buru-buru meminta turun dari gendongan Daniel.

"Nanaaaa!"

Onad mendekat, melihat bulir-bulir keringat pada dahi Nana tanpa pikir panjang telapak tangan mungilnya langsung tergerak mengelap.

"Nana kesini sama siapa?"

Nana balik badan menunjuk ke arah lelaki berkemeja biru muda yang berjalan santai ke arah mereka.

Mata Onad berbinar, tangannya melambai-lambai ke arah sahahabat sang Papa itu.

"Teteeeek!"

"Kakek, Nad! Kakek!" Sela Rana yang dihadiahi cebikan bibir oleh Onad.

"Beda ikit, Mama!"

Onad mengabaikan Rana, dan mulai mendekat ke arah Andra yang mendekat. Dengan penuh sopan bocah yang belum genap empat tahun itu mengambil tangan kanan Andra dan mengecup punggung tanganya pelan sebelum kembali beralih memfokuskan diri pada Nana.

"Nana beldua sama Tetek ke lumah sakit mau ketemu Nad ya?"

Nana menggeleng, "Nana mau disuntik sama dokter,"

"Nana nggak takut disuntik?"

"Ndak! Nana suka disuntik-suntik kan biar ndak sakit, Nana ndak suka sakit."

"Wah Nana suka disuntik telnyata, milip sama Mamanya Nad."

"Tante Rana suka disuntik?"

Onad mengangguk, "Iya, setiap hali kalau udah malem biasanya Mama minta disuntik sama Papa."

"ONADIO ALUCAS MAHESWARA! MAMA SUNAT KAMU YA!"

~Sejumput Dendam Rana~

Rana mencebik menatap ke arah Onad yang sibuk menggandeng Nana memasuki ruang rawat Damar, bukan kesal karena Onad menjenguk Ayahnya tapi kesal karena Onad dengan terang-terangan mengusirnya.

Onad lebih memilih menemani Nana yang ikut sang kakek menjenguk Damar sebelum mengikuti imuninasi influenza. Onad benar-benar menyebalkan!

"Jangan beltengkal, kita ini kelualga! Halus lukun dan selalu belsama tidak boleh telpisahkan." Cibir Rana pelan.

"Nyatanya cuma omong kosong doang! Dasar cadel."

Meski sedikit menggerutu tapi Rana tetap meneruskan langkah memasuki ruang rawat mantan suaminya menyusul para dayang-dayang yang sudah masuk terlebih dahulu.

Setelah memasuki kamar, tanpa banyak kata Rana langsung mendekat ke arah Onad yang terlihat kesusahan mendudukan diri di sofa sudut ruangan.

"Lesehan aja di lantai, Nad!"

"Duduk di sofa doang lamanya ngalah-ngalahin pejabat dapet kursi di DPR." Ejeknya. "Kelamaan nunggu kamu duduk, bisa-bisa pas balik badan Nananya udah digondol orang!"

"Mama!" Rengeknya, membuat Rana terkekeh.

"Habisnya kamu, kalau jenguk orang sakit itu harusnya nyamperin yang sakit dulu bukan sibuk nyari tempat duduk! Sana salaman dulu ke Om sama Tantenya, ajakin Nana juga."

Rana memang membenci Damar tapi bukan berarti kebanciannya menjadi landasan Rana untuk mengajari Onad sesuatu yang melenceng. Hati Onad terlalu putih untuk digoreskan tinta dendam.

Untung saja Onad mengangguk setuju, tanpa banyak kata lelaki bermarga Maheswara itu menggandeng tangan Nana mendekat ke arah ranjang untuk menghampiri lelaki yang terus memandang dengan tatapan berkaca-kaca itu.

"Nana jangan takut, Om Jamal nggak gigitkan kok, kan Om Jamal ompong."

Pertama Onad menyalami Damar kemudian disusul Nana, Damar tidak mengatakan apapun hanya mengelus pelan puncuk kepala Onad sedikit lebih lama. Damar enggan bicara, takut giginya yang bercela menjadi bulan-bulanan Onad. Meski belum genap empat tahun menjejaki dunia, namun percayalah lidah Onad bisa bersilat hingga membuat lawan bicaranya trauma.

"Eek Uti," Sapa Onad setelah mengambil tangan Nirmala dan menciumnya hikmat.

"Terimakasih sudah menjenguk Pa..." Mendengar suara deheman dari sang mertua Nirmala buru-buru berdehem, "Terimakasih sudah menejenguk Om Damar,"

Onad mengangguk, sebelum melirik ke arah belakang. Begitu mengetahui Nana hanya terdiam di tempat tanpa banyak kata Onad langsung menghampiri dan mengelus puncuk kepala Nana.

"Nana jangan takut, Eek Uti nggak punya liwayat penyakit mematikan kok, Eek Uti cuma kolengan aja pantatnya."

"Kolengan?" beo Nana membuat Onad mengangguk.

"Iya kolengan, tapi enggak menulal kok. Kan Nana suka makan sayul, kata Mama kalau lajin makan sayul pantatnya glowing dan telhindal dari koleng, kadas dan anu."

Meski tidak mengerti Nana hanya mengangguk, dan menurut untuk bersalaman dengan Nirmala.

"Nana ayo kita duduk,"

"Duduk di mana, Nad?"

Onad menunjuk ke arah karpet tebal di hadapannya. "Nanti Nad duduk sini, telus Nana duduknya dipangku sama Nad."

"Jangan mau dimodusin Onad, Na!" Sela Rana begitu melihat Nana selalu saja menurut pada anak lelakinya itu. "Nana mending duduk sini deketan sama Om Daniel dan Kekek,"

Onad mengerucutkan bibir, menyilangkan kedua tangannya di dada. "Nana jangan duduk di sana!"

"Kenapa?" tanya Nana membuat Onad kembali mengelus pelan puncuk kepalanya.

"Kalena Nana nggak cocok duduk disana!"

"Terus Nana cocoknya duduk dimana?"

"Nana cocoknya duduk beldua sama Nad di KUD."

"KUA Nad KUA!"

Rana menghela nafas panjang, setelah memastikan Nana dan Onad duduk manis di atas karpet bulu langsung saja melenggang  mendekat ke arah ranjang dimana sepasang manusia yang sayangnya masih saja menjadi beban peliharaan sang suami duduk anteng di sana.

"Makan dulu, Jah." Rana menyerahkan kresek putih berlogo rumah makan padang di tangannya pada Nirmala.

"Jangan sampai kamu kekurangan gizi dan nutrisi sampek kekebalan tubuh menurun, jaga-jaga aja takutnya ntar pas kamu lengah terus kena cipok sapi ompong. Ati-ati kena virus mematikan!"

Sejenak Rana mengalihkan pandangan melirik ke arah Damar, "Hallo anak tiri, bagaimana kamu lalui hari-hari setelah beberapa gigimu pergi?"

"Rana!" geramnya membuat Rana terkekeh.

"Aku hanya menanyakan kabar, harusnya kamu senang mempunyai Ibu tiri baik hati yang perhatian begini."

"Oh ya ngomong-ngomong aku ingin memberitahukan tentang hasil pertemuanku dan suamiku dengan dokter gigi yang menangani kamu." Jedanya beberapa saat. "Untuk pemasangan gigi palsu yang permanen haru menunggu kurang lebih tiga minggu lagi karena pembuatannya tidak bisa instan!"

"Kenapa harus menunggu! Aku rasa harta kekayaan Papa lebih dari cukup kalau cuma untuk membayar biaya pembuatan gigi palsu dan biaya berobatku. Ya kecuali jika Papaku kikir harta dan memilih memberikan aku pengobatan dengan menggunakan asuransi kesehatan hingga pelayanannya buruk begini!" Cibirnya.

"Dia yang membuat aku begini, seharusnya dia bertanggung jawab untuk pengobatanku semaksimal mungkin! Bukan malah angkat tangan seperti pengecut begini!"

Rana berdecak, "Seharusnya kemarin suamiku bukan hanya membuat gigimu rontok, tapi juga otakmu bergeser sedikit supaya bisa sedikit ada fungsinya! Kamu pikir ruangan rawat inap dengan fasilitas president suite ditanggung asuransi? Semuanya bayar dan ditanggung oleh suamiku, dasar bodoh!"

"Kalau masalah gigi permanen memang sudah prosedurnya begitu, suamiku sedang mengusahakan yang terbaik! Lagi pula sebelum itu kamu bisa menggunakan gigi palsu sementara! Makanya hari ini aku dan suamiku kesini, kami ingin berkonsultasi pada dokter Aidan dan dokter gigi yang menangani kamu! Semuanya karena apa? Karena suamiku peduli dan ingin melakukan yang terbaik untuk kamu!"

"Memang seharisnya begitukan?"

Rana menaikkan sudut alis, "Kenapa kamu harus sefrustasi ini hanya karena kehilangan beberapa gigi? Harusnya kamu bersikap biasa saja, toh ini hanya tentang gigi bukan tentang adik kecil yang kehilangan fungsi kelekelelakiannya seperti yang kamu alami beberapa bulan lalu." Ejeknya diseertai kekehan sinis.

~Sejumput Dendam Rana~

Bagaimana untuk part ini?

Next gak nih

Salam sayang,
Author

Continue Reading

You'll Also Like

21M 1.9M 91
[CHAPTER MASIH LENGKAP, EXTRA CHAPTER TERSEDIA DI KARYAKARSA] Sembari menunggu jadwal wisuda, Sabrina memutuskan menerima tawaran bekerja sementara d...
13.6M 1.8M 71
[ π™‹π™šπ™§π™žπ™£π™œπ™–π™©π™–π™£! π˜Ύπ™šπ™§π™žπ™©π™– π™¨π™šπ™¨π™–π™©! ] . Amanda Eudora adalah gadis yang di cintai oleh Pangeran Argus Estefan dari kerajaan Eartland. Me...
124K 13K 62
Bersahabat sejak bayi membuat mereka bertujuh menjadi terikat secara tidak langsung, setelah bertahun-tahun berlalu dan satu persatu mereka semua ber...
174K 9.5K 12
menyukai kembaran sendiri wajar bukan? bxb area awas salpak