They Did It

By aileum

41.7K 10.8K 3.1K

Apes! Itulah yang menimpa Sagita, Milan, Vishal, dan Kasta. Alih-alih melepas rindu dalam reuni, mereka mala... More

Sagitarius - Gagasan
Sagitarius - Racun
Milan - Tidak Menarik
Milan - Selamat
Vishal - Petaka
Bab 6
Kasta - Pria Menjijikan
Sagitarius - Seperti Mimpi
Milan - Bukan Aku
Milan - Mempersiapkan Diri
Vishal - Salah Satu
Vishal - Saling Menyalahkan
Keping Masa Lalu
Kepingan Lainnya
Cerita
Macam-Macam
Cari Masalah
Serba-Serbi
Kembali Berteman
Berakhir
Milan - Keresahan
Kasta - Dosa
Sagitarius - Pengakuan
Vishal - Sendirian
Jahat
Madu dan Racun
Aku - Tokoh Utama
Kasta - Perpisahan
Akhir Cerita

Pencarian

952 327 94
By aileum

"Kita sudah bicarakan ini, kan, Bee?" ujar Ismail dengan suara tenang. "Kita sama-sama dibutuhkan. Tugas adalah prioritas."

Sambil mengapit ponsel di pundak, Ismail membaca kasus yang ditanganinya. Rambut yang biasa tersisir rapi tampak kusut masai. Kancing kemeja putihnya terbuka tiga. Letak kacamata tidak simetris.

"Nggak tahu, lah. Bosan ngedengernya."

"Sabar, ya."

"Hmm."

Ismail tersenyum sambil kembali mempelajari berkas. Walau suaranya lesu, Ismail tahu kekasihnya merupakan perempuan paling pengertian sejagat raya. Setahun terakhir mereka hanya bersua satu kali. Itupun karena Bee yang nekat mendatanginya.

"Berapa lama aku harus nunggu?"

"Nanti saya kabari, ya."

"Seminggu nggak ada kabar aku cari laki-laki lain."

Ismail terkekeh.

"Ini bukan ancaman semata, Ismail Sebastian."

Kalau Bee sudah manggil namanya secara lengkap, Ismail tidak bisa bercanda lagi. Oke, saatnya serius.

"Gimana kalau kamu coba bantu? Otakmu lebih encer biasanya."

Ismail menaruh berkas di atas meja kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Sebagai dokter, Bee memang sempat membatunya beberapa kali. Dan malam ini, sepertinya tukar suara mereka akan diisi oleh kajian ilmu. Bukan tukar rindu seperti rencana awal.

"Oke," Bee menyetujui. "Aku sempat mengikuti beritanya. Kudengar sudah ada tersangka."

"Ya," Ismail menginfokan. "Si pemilik kafe."

"Tetap ketahuan, ya?" Bee berkomentar. "Padahal arsenik cukup ampuh. Racun yang nggak berbau. Nggak mengubah rasa dan warna saat dicampurkan."

"Polisi nemuin bukti di kerah kemeja sang korban. Pas dia 'tidur', pipinya nempel ke meja. Nah, sisa sausnya menjejak di kemeja."

"Sudah ada info gimana caranya itu racun masuk ke tubuh si korban? Maksudnya, semua orang di situ makan sesuatu yang sama."

"Nope," kata Ismail sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Hari ini saya menemui Vishal, klien saya. Dia menjabarkan semua lebih detail. Tapi begitulah, masih belum ada petunjuk."

Sepi sesaat. Ismail memijat pelipis. Memang untuk sementara kliennya masih aman, belum ditetapkan sebagai tersangka apa lagi terdakwa. Tapi tetap saja Ismail merasa tidak tenang. Nalurinya yang sok detektif merongrong agar kasus ini dikupas sesegera mungkin.

"Apa mungkin ini pembunuhan yang salah sasaran?"

Sepi untuk sejenak. Ismail buru-buru menuliskan dugaan tadi di catatannya. Pulpen yang biasa ia gunakan rupanya kurang bisa diajak kompromi. Tulisan Ismail tersendat. Pemuda itu mencoreti di bagian lain, berusaha membuat tinta itu bisa berguna lagi.

"Oke, sudah saya tulis," kata Ismail.

"Tapi rasanya kalau tebak-tebak buah mangga, klienmu yang paling mencurigakan, ya. Haha."

Ismail bungkam. Tidak lucu. Bukan saatnya bergurau.

"Dia yang punya ide soal reuni. Yang jadi koordinator acara. Yang nelpon ambulans. Yang nyuruh ART datang. Yah, semacam berperan penting atas poin-poin utama dari kejadian."

"Tanpa bukti, itu semua nggak bisa dijadikan acuan."

"Yep, aku cuma nebak. Anggap saja aku ini orang awam di luar cerita ini. Atas penjabaran kamu sebelumnya, aku rasa Vishal pelakunya."

Ismail tidak langsung menjawab. Satu kalimat Bee membuatnya mencatat sesuatu di buku. Orang-orang di luar cerita. Hmm.

Terdengar suara nguap di seberang sana. Jam memang menunjukkan pukul setengah dua pagi. Ismail belum mengantuk sama sekali. Tapi ia tidak mau kekasihnya ikut bergadang.

"Ya sudah. Kita sambung nanti, ya. Selamat malam."

"Ini sudah pagi, hey," tukas Bee.

"Hmm. Ya, ya, ya. Selamat pagi."

Ismail punya agenda baru hari ini. Dia akan mendatangi beberapa tempat. Semoga ada petunjuk.

*
*
*

"Musuh? Kayaknya nggak, deh. Kasturi orang baik."

Ismail diam menyimak pengakuan lelaki di balik kemudi. Cowok yang mengenalkan diri sebagai Yuggi itu tampak yakin seratus persen. Bahwa Kasturi itu baik, humanis, suka berbagi. Mustahil punya musuh.

"Sebentar, ada telepon masuk."

Ismail mempersilakan Yuggi menjawab panggilan. Inilah risikonya menghubungi orang di hari-h. Harus bersedia dijadikan nomor sekian. Tapi meski begitu, Ismail bersyukur karena sejak menghubunginya, Yuggi cukup kooperatif. Di tengah kesenduan karena kekasihnya ditetapkan sebagai tersangka, ia bersedia menjawab beberapa pertanyaan Ismail.

Setelah menelpon Bee dini hari tadi, Ismail tidak bisa tidur. Ia mencoba memetakan keterkaitan orang-orang. Menuliskan tambahan kemungkinan lainnya. Walaupun pulpen yang digunakannya macet-macet lagi, pada akhirnya beberapa garis berhasil dibuat.

Ia masih belum punya bayangan.
Tapi ia punya beberapa gagasan yang menurutnya masuk akal. Seperti kasus yang pernah ditangani sebelumnya, ia akan memulai dengan orang terdekat dari pihak tertuduh, yang mana salah satunya jatuh pada Yuggi.

"Sampai di mana tadi? Oh, soal musuh. Yeah. Kasturi terlalu baik kalau dianggap punya musuh," kata Yuggi setelah selesai menelpon.

Ia menaruh ponsel di dashboard. Ismail tidak sengaja mengintip wallpaper hape Yuggi. Foto Kasturi di sana. Ada editan norak, bertuliskan my love. Ismail menahan diri untuk tidak mencibirnya.

"Gimana dengan Kasta?"

Yuggi menggeleng. "No clue."

"Kalau Kasta gimana?" Ismail menatap lamat-lamat. Tatapannya menyorotkan tuntunan agar Yuggi menjawab pertanyaannya lebih jelas.

"Kasta juga baik."

"Anda terdengar ragu. Ayolah, katakan saja."

Yuggi diam sejenak. Ismail melihat kebimbangan di irisnya. Lelaki bermata sipit itu seperti berusaha menata kata.

"Kasturi pernah cerita, bahwa Kasta dituduh sebagai pelaku rudapaksa di SMA."

"Perkosa maksudnya?"

"Perkosa terdengar kasar."

Ismail mengangguk takzim, segera merevisi kata-katanya.

"Nggak ada pelaporan resmi, tapi ... "

"Tapi?"

Yuggi menghela napas. "Kayaknya nggak ada korelasi dengan kasus yang kita bahas. Lupakan saja."

"Katakanlah."

Sekali lagi Yuggi menghela napas.

"Pernah ada perempuan yang datang ke tempat Kasturi. Dia bilang Kasta melakukan pelecehan padanya.

"Kasturi marah besar dan minta Kasta tanggung jawab. Tapi dia ngelak dan balik marah. Waktu Kasturi coba tanya pacarnya Kasta (saat itu Sagita), jawabannya sama. Kasta nggak bersalah."

Ismail mencoba menuliskan keterangan tambahan. Tapi sial, lagi-lagi pulpennya macet. Ismail sudah mencoret-coret halaman kosong tapi si tinta tidak kunjung keluar.

"Maaf, punya pulpen?"

Yuggi membuka beberapa dashboard. Didapatinya satu pulpen dengan beberapa pilihan warna tinta di kepalanya. Tinggal klik salah satu, ujung pena bisa muncul sesuai yang dibutuhkan.

"Thanks. Punya Kasturi?" tanya Ismail setelah Yuggi mengangsurkan pulpen itu. Baru ia sadari ada stiker bertuliskan nama perempuan itu di badan pena.

"Punya gue," kata Yuggi. "Kasturi sedikit unik. Budak cinta kalau kata anak muda sekarang."

Ismail menahan diri untuk tidak berkomentar 'kayaknya yang  bucin itu kamu. Pertama wallpaper, sekarang  pulpen'. Ia mulai menekan ujung berwarna hitam dan siap menulis.

Ups. Sial.

Tinta yang hitam tidak keluar. Ismail lantas mengganti ke warna merah dan menulis lagi, sama juga. Sisa biru dan hijau. Ia pilih biru dan kecewa lagi. Begitupun yang hijau.

"Maaf, ternyata nggak berguna," kata Yuggi. Ia menaruh pulpen di tempat semula, kemudian mencoba mencari yang lain. Tapi mobil bukanlah kantor sehingga pulpen tidak ditemukannya.

Mau tidak mau Ismail meraih ponsel. Untuk sementata tulis di hape dulu, pikirnya sambil mengetik. Habis dari sini harus beli pulpen satu lusin, pikirnya.

"Soal perempuan yang datang itu," kata Ismail. "Apa dia bernama Jinan?"

"Kasturi nggak pernah sebut nama. Nanti gue coba tanya kalau memang perlu."

Ismail membetulkan letak kacamata. Berpikir serius. Apa perempuan yang datang itu merupakan tokoh lain di kasus ini? Tanyanya dalam hati. Kalau itu memang Jinan, rasanya masuk akal juga. Mereka pernah satu sekolah. Ada konflik juga yang melibatkan kliennya.

Tapi bagaimana mungkin? Tukas sisi lain pikiran Ismail. Belum ada benang yang menarik Jinan di kasus ini. Kehadiran perempuan itu hanya sebatas cerita. Keeksisannya juga belum terdeteksi.

"Maaf, tapi apa polisi memang sedang seterdesak ini?" Yuggi memecah keheningan. "Proses penetapan Kasturi sebagai tersangka rasanya begitu tiba-tiba. Dia bahkan nggak ada di lokasi."

Ismail mendengar nada penuh harapan dari lelaki di sampingnya.

"Soal itu kita sebaiknya serahkan pada ahlinya. Masih banyak kemungkinan. Bisa saja mereka nemu tersangka baru."

Ismail merapikan bawaan, termasuk pulpen miliknya yang macet. "Terima kasih atas hari ini."

"Sama-sama."

Ismail pamit undur diri, keluar dari mobil. Saatnya mendatangi destinasi lain.

-bersambung

13 Agustus 2022

Continue Reading

You'll Also Like

324K 58.7K 32
Ingin hukum musuhmu tapi tak punya kekuatan? Jangan risau! Segeralah : 1. Buka website kami. 2. Tulis apa saja ulahnya. 3. Transfer dananya. 4. Nikm...
140K 3.9K 46
[Wajib Follow Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertingg...
72.1K 8.6K 33
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga s...
59.5K 6.4K 67
bertahan walau sekujur tubuh penuh luka. senyum ku, selalu ku persembahkan untuknya. untuk dia yang berjuang untuk diri ku tanpa memperdulikan sebera...