Blood & Light

By cutestrcoon

8.5K 1.2K 958

⇢ ft. hwang hyunjin, lee know Tidak ada yang abadi di dunia ini, sekalipun vampir mengatakannya ada. Itu kebo... More

01. Him
02. Would You?
03. Archilles Orpheus
04. The Reason
05. Neoma dan Ardenitte
06. Blood, Sweat and Tears
07. Black Pearl
08. The Red Hood
09. Flowers and Little Girl
10. Deep Forest
11. Sweet Like Sugar
12. Bitter Fact
13. WDYW?
14. Exactly, who is 'Rhino'?
15. Hidden Relationship
16. Planned
17. Villain, who?
18. How Are You?
19. The Last Time
20. Responsibility
21. All of Our Days
22. New Fact
23. FT. At EOTD
24. Benjamin Knows
25. Believe Me, Arselin
26. Full Moon
27. Thirsty
28. Help Me!
29. Traitor
30. Two Choices
31. Desire
32. Our Mixtape
33. Hourglass
34. Snowflake
Star & Moon

35. Epilog: Blood & Light

207 24 36
By cutestrcoon

Mereka bertemu karena memang, mereka akan memulai kisah mereka sendiri.

Belasan tahun berlalu semenjak lahirnya Madelyn serta kembalinya Arselin ke dunia manusia. Semua masih tampak sama, rasanya tidak berubah. Meskipun waktu telah menggiring jauh keduanya, belum banyak hal yang benar-benar berlalu. Arselin yang selalu merindukan Archilles dan Rhino yang masih dihantui rasa bersalah terhadap semua, adalah dua hal yang masih ada sampai sekarang.

Sekalipun adanya status hubungan di antara keduanya, mereka masih berada dalam kesedihan masing-masing. Sangat sulit untuk ikhlas, Arselin hanya berusaha tegar melanjutkan kehidupan. Arselin senang memiliki keluarga, namun tidak dipungkiri Arselin tetap merasa hambar.

Kehadiran anak kedua pun tidak dapat mengapus rasa itu. Rasa cintanya terhadap Archilles... sungguhlah besar, hingga membuat Arselin sendiri kewalahan untuk tegar hidup tanpa kehadirannya.

Arselin terkadang dan sering bertemu Archilles dalam mimpinya. Pujaan hatinya itu selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia juga selalu meminta Arselin ikhlaskan dirinya dan mulailah terima keadaan.

Namun tetap saja, Arselin tidak bisa. Seberapa keras Arselin mencoba hasilnya tetap sama.

Arselin tidak bisa mengusir jejak Archilles dari hatinya.

Sulit sekali untuk Arselin menerima keadaan, menerima kenyataan bahwa Rhinolah suaminya sekarang.

Jangan bertanya. Arselin tentu sudah mencoba membuka hati untuk Rhino.

Jika dipikirkan kembali. Arselin seharusnya dapat menerima Rhino atas segala hal yang sudah Rhino lakukan selepas kembalinya di dunia ini. Mencari uang, membeli banyak kebutuhan, mengurus keperluan Madelyn, menyekolakan Madelyn sampai mengurus Arselin yang kini sangat mudah sakit. Lelaki itu benar-benar berkerja keras untuk melanjutkan hidup di sini.

Arselin sadar akan perlakuan Rhino ini yang bukan hanya semata-mata untuk bertahan hidup. Namun, sama, Arselin tidak mampu.

Tiap kali bersentuhan dengan Rhino, rasa bersalah memenuhi benak Arselin. Arselin selalu menangis dan membayangkan betapa hancurnya Archilles saat tahu ini.

Rhino baik, tapi Arselin tetap menginginkan Archilles bagaimanapun juga.

"Kenapa?" tanya Rhino saat Arselin menolak untuk bersentuhan lebih jauh.

Selama di sini Rhino berkerja sebagai pelaut. Karena pekerjaannya ini Rhino jadi jarang pulang ke rumah. Bahkan sebulan bisa hanya dua kali saking sibuknya ia berlayar.

Setiap pulangnya Rhino ke rumah, Rhino tentu merindukan Arselin.

"Aku hanya sedang tidak ingin." jawab Arselin setelah diam seperkian menit. Arselin membenarkan pakaiannya lalu beranjak dari pinggir kasur.

"Aku baru pulang. Aku rindu kamu."

"Iya, aku tahu. Tapi aku baru selesai datang bulan. Aku takut jika aku hamil lagi."

"Kamu tidak ingin itu?"

Dari pantulan cermin, terlihat jelas wajah Arselin menunjukkan ketidaksukaan. Wajahnya muram dan sama sekali tidak tergambar rasa bahagia akan kepulangan Rhino.

"Kamu tahu kalau aku belum bisa–" Nafas Arselin tiba-tiba tercekat di tenggorokan. "Belum bisa menerima semuanya. Aku masih berusaha untuk menerima dengan cara aku lanjutkan hidup ini."

"Aku tidak mau terlalu banyak mengobarkan semuanya. Perasaan kamu dan perasaan anak kita nanti. Aku tidak ingin rasa bersalah ini semakin banyak mengikutiku."

"Aku kira kamu sudah mulai berdamai."

Helaan nafas berat Rhino terdengar putus asa. Arselin ikut menghela nafas sambil menatap Rhino yang sedang terduduk di pinggir kasur dengan tatapan bersalah.

Tiap detik bersama Rhino, Arselin merasa berbuat dosa. Arselin merasa dirinya terus melakukan kesalahan. Baik itu karena hubungannya dengan Rhino ataupun perasaan hambarnya terhadap Rhino.

Arselin kembali menatap Rhino. Begitu juga Rhino. Keduanya saling bertatap tanpa bicara sampai akhirnya Arselin berujar lagi.

"Kamu mencintai aku?"

"Apakah hadirnya Danrelle tidak cukup membuktikan?"

Arselin pun diam dengan pandangan menunduk. Rasa bersalah tengah memeluknya.

"Aku tahu kamu tidak memiliki perasaan apapun dengan aku. Tapi jika kamu bertanya demikian, itulah jawabanku."

"Sudah berlalu delapan belas tahun semenjak Madelyn lahir, banyak waktu yang kita habiskan bersama, karena hal inilah perasaanku tumbuh." Rhino menatap Arselin. "Lagian tidak ada orang lain sekalian dirimu yang aku punya di sini. Jadi siapa lagi yang harus aku cintai jika bukan kamu?"

Dengan satu tetes air mata, Arselin berujar. "Tapi aku tidak mencintaimu."

"Aku tahu. Sudah kubilang tadi, kan, kalau aku tahu perasaanmu."

"Kamu masih ingin bertahan sekalipun aku mengatakan aku hanya mencintai Archilles?"

Bohong kalau Rhino tidak sakit mendengarnya. Tapi inilah konsekuensi mencintai.

Berbalas atau tertolak.

Apalagi yang Rhino cintai adalah Arselin. Sudah dipastikan Rhino harus siap dengan segala bayang-bayang pujaan hatinya.

"Kaulah yang sebenarnya kalah."

"Mungkin kau belum memahami kalimatku ini, tapi suatu saat nanti, kau pasti memahaminya dan merasakan kekalahan yang sesungguhnya."

Archilles benar. Dugaannya benar.

Kini Rhino telah memahami makna perkataannya dan merasakan kekalahan yang ia maksud.

Rhino kalah dalam mencintai Arselin. Tapi bukan berarti Rhino harus menyerah, kan?

"Iya, aku tetap ingin bertahan." kata Rhino setelah diam beberapa saat.

Rhino beranjak mendekati Arselin, diraihnya kedua tangan perempuan itu. Rhino tatap sepasang mata berembunnya. Saat telah bertatap mata, tetesan air itu makin deras berjatuhan.

"Aku bisa hidup sampai sekarang karena kamu dan aku mencintai kamu di sini. Perasaanku ini tidak harus kamu terima layaknya kamu terima kehadiranku di sini." Rhino mengapus air mata Arselin yang masih terus berjatuhan di pipinya. "Kamu hanya perlu sadar kalau perasaanku ada. Bagaimana kamu meresponnya itu pilihanmu. Aku tidak akan ikut campur, karena tugasku di sini hanya untuk menjaga kamu bukan untuk memiliki kamu."

"Aku tahu kamu sangat mencintai Archilles... aku tidak pernah meminta kamu lupakan Archilles, kan? Sekalipun di sini kita memiliki hubungan suami istri, aku menghargai perasaanmu itu."

"Aku hanya ingin kamu jangan lupakan kehadiranku di sini sebagai lelaki kamu. Hanya itu saja."

Arselin makin terisak dalam tangisnya, ia menjatuhkan dirinya pada pelukan Rhino lalu kembali menangis dengan tersedu-sedu.

Salah satu alasan mengapa dulu Rhino tidak pernah lama singgah ke dunia manusia adalah, pintu dimensi akan terkunci dalam dua puluh empat jam selepas Rhino singgah. Ini artinya, jika Rhino terlalu lama di dunia manusia, Rhino akan meninggalkan semua. Dunia tempat tinggalnya serta apa yang Rhino punya. Sihir, kemampuan dan identitas diri sebagai Rhinolin Zevlanora.

Saat Rhino memutuskan untuk tetap di dunia manusia, Rhino akan memiliki identitas diri baru, kehidupan baru. Rhino tidak tahu siapa yang memiliki identitas dirinya sebelum Rhino singgah di dunia manusia. Tapi, saat Rhino membuka pintu dimensi, pintu itu membawa Rhino dan Arselin menuju ke sebuah kota kecil di negara Eropa.

Dinan, adalah nama kota berdinding yang menjadi tempat tinggal Rhino sekarang. Sebuah kota yang ada di negara Prancis barat laut.

Sebelum terkuncinya pintu dimensi dan hilangnya semua kemampuan serta sihir, Rhino lebih dulu menggunakan kemampuan sihirnya untuk menanamkan pengetahuan mengenai bahasa yang ada di kota ini. Rhino harus segera melakukan ini agar dapat melanjutkan hidup dan mempermudahkannya mencari pekerjaan.

Kehidupan awal di dunia manusia adalah bagian tersulit bagi Rhino. Mulai dari kesulitan beradaptasi, sulit mencari perkerjaan, sampai sulit menghadapi Arselin yang belum dapat menerima keadaan.

Arselin yang dulu dan sekarang sudah cukup membaik. Dulu waktu Madelyn baru lahir dan baru sadar dengan keadaan Archilles– Arselin tidak henti-henti menangis dan meminta untuk dipulangkan ke dunia vampir. Setiap saat Arselin menangis, menyalahkan Rhino, dan bahkan saat itu Arselin sempat enggan mengurus Madelyn yang baru memiliki umur mingguan.

Benar-benar situasi sulit. Sikap Arselin sangat sulit diprediksi dan berubah-ubah. Arselin sempat tidak mengubris Rhino, tidak menganggap Rhino karena menyalahkan Rhino yang menurut Arselin tidak memikirkan perasaannya.

Perasaan jenuh tentu ada. Tidak bohong Rhino lelah menghadapi sikap tak bersahabat Arselin. Rhino sempat berpikiran ingin menyerah, tapi setelah mengingat kembali apa yang telah dititipkan pada dirinya, Rhino urung.

Rhino telah berjanji pada Archilles atau pun pada dirinya untuk menjaga Arselin dan Madelyn apapun yang akan terjadi.

Jadi, apa yang terjadi. Rhino ikhlaskan. Rhino biarkan semua berlalu layaknya air yang mengalir. Begitu juga tentang perasaannya terhadap Arselin.

"Ayahh!" Suara riang itu seketika memenuhi seisi ruang tengah. Seorang bocah lelaki berlari menghampiri Rhino lalu memeluk Rhino dengan erat.

"Ayah kapan pulang? Kok tiba-tiba ada di sini!" seru bocah lelaki itu yang masih berada di pelukan Rhino sebab sedang mencium aroma maskulin tubuh Rhino.

"Ayah pulang semalam waktu kamu tidur."

"Huhh, seharusnya Ayah membangunkan Anrel biar Anrel bisa memberi sambutan!"

Rhino hanya menggeleng kecil melihat respon antusias anak keduanya ini. Namanya Danrelle Zevlanora, usianya baru menginjak sepuluh tahun. Anak lelakinya ini memang sangat hangat, sikapnya periang dan selalu tersenyum. Senyuman Danrelle sangat manis dan kala Rhino memandangi wajahnya, Rhino selalu terbayang satu nama, Benjamin.

Pada dasarnya Rhino dan Benjamin mirip, jadi tidak heran mengapa Danrelle mirip dengan keduanya. Namun tiap kali bertatap mata dengan Danrelle, Rhino selalu saja membayangkan Benjamin-lah yang tengah ada di depannya.

Segala tentang anaknya ini benar-benar mengingatkan Rhino terhadap Benjamin. Terlebih lagi Rhino mengingat kata-kata terakhir Benjamin sebelum pergi yang membuat Rhino semakin yakin bahwa Danrelle adalah reinkarnasi dari Benjamin.

"Besok minggu, ayo kita jalan-jalan!" ajak Danrelle, entah pada siapa sebab kedua orang tuanya ada semua.

"Anrel mau kemana?" sahut Arselin sambil memotong buah-buahan.

"Kemana saja asalkan bersama-sama."

"Tapi, kan, besok kita mau lihat tempat tinggal kak Adel di Rennes?"

"Ohhh... iya, juga."

Rhino di samping Danrelle lantas mengusap-usap kepala Danrelle.

"Setelah selesai melihat tempatnya kita bisa jalan-jalan."

"Oh! Iya juga, ya?"

"Ngomong-ngomong dimana kak Adel? Ayah belum melihatnya sejak tadi."

"Biasa. Bertelur di dalam kamarnya."

"Hei!" tegur Arselin.

Danrelle langsung menutup mulutnya dengan wajah panik. Reaksinya ini sangat lucu yang membuat Rhino dan bahkan Arselin tertawa.

"Siapa tadi yang mengatakan aku bertelur?"

Suara husky itu datang dari belakang Arselin. Ketiganya menoleh ke arah sumber suara yang tentu merupakan suara milik Madelyn.

Perempuan jangkung itu sedang berdiri di depan mini bar. Di sela mengaduk susu, ia melirik Danrelle dengan tatapan sinis. Wajahnya yang memang terlahir dingin menjadikan tatapannya terlihat dua kali lipat lebih menakutkan.

Madelyn benar-benar jiplakan Arselin jika dilihat secara fisik.

Namun saat berhadapan dengan Madelyn, Rhino seketika dapat membayangkan Archilles ada pada dirinya. Cara bagaimana Madelyn menatap dan berbicara sangat mirip dengan Ayahnya itu. Diamnya sangat mirip Archilles.

Hanya ada satu yang mirip dengan Rhino, yaitu bagaimana Madelyn melihat emosinya.

Kaku dan gengsinya sangat mengambil dari Rhino. Sikapnya ini sangat berbanding terbalik dengan Danrelle yang terang-terangan mengungkapkan rasa sayangnya.

"Aku yang bertelur tapi kau juga yang selalu menghabiskan telur di dapur ini."

"Ibu tidak ikut-ikut, ya."

"Ayah, tolong selamatkan Anrel!" Danrelle berseru lebay saat melihat Madelyn mendekat.

"Sudah, sudah. Kakakmu tidak akan mengigitmu, Anrel."

"Ya tetap saja, Yah! Lihat tatapannya, sungguh mengerikan!"

"Huh? Padahal ini tatapan biasa lho. Bukan tatapan mengerikan sesungguhnya." goda Madelyn usil.

"Ihhh menakutkan!" Saat Madelyn ingin duduk di sampingnya, Danrelle dengan cepat menghindar dan berpindah dekat Arselin. Bocah lelaki itu bergelantungan di lengan Arselin sambil sesekali menjulurkan lidahnya pada Madelyn.

"Bagaimana persiapan kuliahmu?" tanya Rhino yang mencoba membuka obrolan lain.

"Lancar semua, kan?"

Madelyn sekarang sudah menginjak umur delapan belas tahun. Ia sudah menyelesaikan pendidikan sekolahnya dan tengah bersiap melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

"Lancar semuanya. Senin depan aku sudah mulai masuk untuk pengenalan kampus." jawab Madelyn sembari mengambil potongan apel.

"Baguslah kalo begitu. Berarti besok kita bisa langsung melihat tempat tinggalmu."

"Yah, apakah kak Adel benar-benar harus pindah?"

"Kak Adel tidak sungguhan pindah. Ia hanya ada rumah singgah untuk mempermudah kuliahnya." jawab Arselin yang menimpali.

"Berarti kak Adel masih pulang kesini kalau ia tidak kuliah?"

"Iya tentu saja."

"Wah, kalau begitu Anrel sendirian dong tidak ada teman."

"Kan, ada Ibu? Kak Adel juga tidak selamanya kok tinggal di rumah itu."

"Belum apa-apa kau sudah mengkhawatirkan aku. Sungguh adik yang baik hati." celetuk Madelyn.

"Jangan narsis! Aku hanya bertanya!"

"Bertanya karena takut kehilangan aku, kan?" goda Madelyn lagi dengan wajah lempengnya.

"Aku tidak takut kehilangan kok!"

"Ah, masa? Aku menginap di rumah temanku saja kau sibuk menelpon layaknya aku ada hutang."

Danrelle menekuk wajahnya. Sedangkan Rhino dan Arselin hanya tertawa seolah sudah biasa dengan pemandangan ini.

Madelyn memang akan tinggal sendiri setelah ia mulai kuliah. Jarak antara rumah dan kampus yang jauh membuat Madelyn memilih keputusan ini. Madelyn ingin tinggal di dekat kampus agar mempermudah kegiatan kuliahnya.

Awalnya Arselin tidak setuju karena khawatir dengan Madelyn yang akan hidup sendirian. Tapi setelah dibujuk beribu kali, akhirnya Arselin memperbolehkan dengan syarat Madelyn harus pulang ke rumah tiap akhir pekan.

"Menurut Papa besok aku mulai bawa sebagian barang atau nanti saja?" tanya Madelyn.

"Itu ide bagus biar hari sabtu nanti tidak kewalahan." jawab Rhino.

"Bulan ini Papa dapat libur tiga hari. Jadi sabtu nanti Papa bisa ikut kamu pindahan." imbuh Rhino sambil menatap anak gadisnya itu.

"Baguslah kalo begitu."

"Anrel boleh ikut juga?" sela Danrelle yang membuat Madelyn melirik sinis.

"Tidak boleh. Anak kecil tidak boleh ikut."

"Kau ikut pasti hanya membuat keributan."

"Ayahh!"

"Mengadu saja sana. Memang itu yang hanya kau bisa, kan."

"Ish!"

"Hahaha." Rhino tertawa cekikikkan.

"Anrel boleh ikut, kan, Yah?" tanya Danrelle dengan wajah memelas.

"Tentu tidak. Papa tidak akan mengajak anak kecil banyak omong."

Danrelle melotot sok galak dengan menunjukkan kepalan tangannya pada Madelyn. Kemudian setelahnya Danrelle kembali memasang wajah memelas pada Rhino.

"Boleh, ya, Yah?"

"Janji tidak membuat keributan."

"Iya, iya."

"Anrel boleh ikut, tapi jangan sampai terlihat kak Adel, oke? Anrel ikutnya diam-diam saja nanti." kata Rhino lagi sambil mengedipkan matanya ke arah Danrelle.

"Yess!"

"Papa!"

"Hahaha."

Arselin yang menyimak percakapan tiga sejoli ini hanya dapat menggeleng-geleng.

Saat suasana menjadi sunyi, Danrelle kembali bersuara.

"Kak, kenapa kau terus-terusan memanggil Ayah dengan sebutan Papa?"

Tak hanya Madelyn, Arselin dan Rhino pun ikut menoleh akibat pertanyaan Danrelle barusan. Diam-diam Arselin menatap Rhino, sedangkan Rhino, ia hanya diam seperti tak ingin memberikan penjelasan apapun.

"Mau panggil apapun tidak ada masalah sayang. Kakak mau panggil Papa atau yang lain pun tidak ada larangan." kata Arselin yang mencoba untuk menghancurkan tembok dingin yang sedang terbentang.

"Setiap orang punya panggilan sayangnya masing-masing."

"Mungkin kak Adel nyamannya panggil Ayah dengan sebutan Papa."

"Ya... tapi, kan, Anrel bingung saja." Danrelle kembali menatap sang Kakak yang tampak mengerucutkan bibirnya.

"Hei!" tegur Danrelle agak sedikit berseru yang langsung membuat kerutan alis Madelyn terlihat.

"Aku bertanya, malah bengong."

"Aku tidak mau menjawabnya, mau apa kau?"

Danrelle berdecak.

"Ayolaah. Itu pertanyaan gampang!"

"Adek, sudahlah. Tanyakan pertanyaan yang berbobot saja." lerai Rhino yang tidak ingin kedua anaknya itu bertengkar.

"Aku hanya ingin tahu, Yah." kata Danrelle. "Semua temanku memanggil orang tuanya dengan sebutan yang sama. Sedangkan di sini kak Adel tidak. Makannya aku penasaran."

"Ayo jawaban pertanyaanku. Aku penasaran!"

"Kenapa? Kenapa kau tidak memanggil Ayah?"

"Ia bukan Ayahku, untuk apa aku memanggilnya Ayah?"

Seketika, semuanya terdiam.

Dengan tatapan super terkejut, ketiganya menatap Madelyn.

Arselin adalah orang yang paling terlihat terkejut di sana. Arselin tidak menyangka kalau Madelyn akan mengatakan hal tersebut dengan segamblang ini.

"Kak... bicara apa kau ini?"

"Kau tidak tahu perkataan kau ini dapat melukai Ayah?"

"Kau yang tidak tahu apa-apa, Anrel, jadi diamlah!" Madelyn tiba-tiba membentak Danrelle.

"Aku tahu bagaimana suara Ayahku! Bagaimana ia memanggil aku, mengajakku berbicara dan menyentuh kepalaku, aku tahu! Aku ingat!" seru Madelyn, ia melirik Rhino. Madelyn mengerjap, matanya berembun. "Semua yang ada diingatanku ini tentang Ayahku, tidak ada sedikit pun yang sama dengan apa yang Papa punya!"

"Bahkan cara Papa menatapku saja berbeda dengan bagaimana Ayahku menatapku."

"Aku tahu keduanya berbeda dan aku tidak bisa melupakan Ayah dengan semudah itu, sekalipun di sini aku punya Papa."

Di sela tegangnya perseteruan ini, Arselin diam-diam menitihkan air matanya. Hati Arselin merasa sakit saat mendengar perkataan Madelyn yang ternyata mengingat betul bagaimana Archilles yang dulu selalu mengajaknya berkomunikasi.

Arselin tidak menduga kalau Madelyn akan ingat itu...

"Ibu?" Alih-alih memperhatikan Madelyn yang tengah berseru, Danrelle malah salah fokus dengan Arselin yang sedang sibuk mengapus air matanya.

"Ibu, kenapa menangis??" tanya Danrelle sambil mendekati Arselin dengan cemas. "Jangan pikirkan perkataan kak Adel, ya? Kak Adel mungkin hanya latihan sandiwara untuk acara kampusnya nanti." Danrelle memeluk Arselin sembari ikut mengapus air mata Arselin.

"Jangan lanjutkan. Kembalilah ke kamar kalian, ini waktunya belajar." titah Arselin pada kedua anaknya.

"Maafkan Anrel, bu."

Arselin hanya mengangguk.

Tanpa mengatakan apapun, Arselin ikut berlalu. Membiarkan Madelyn dan Rhino berperang dingin di dapur.

Rhino jadi tidak enak hati. Perkataan Madelyn tadi sangat-sangat menampar keras. Rhino jadi berpikiran kalau dirinya benar-benar telah mengambil apa yang bukan miliknya.

Tempat ini, bukanlah milik Rhino.

"Papa sadar 'rumah' ini bukanlah milik Papa." kata Rhino sesaat Madelyn ingin pergi.

Ketika Madelyn menoleh, Rhino berujar lagi. "Kamu boleh tidak mau menganggap Papa di sini sebagai orang tua kamu. Ini hak kamu dan memang seperti itu seharusnya karena memang, Papa bukanlah Ayahmu."

"Di sini Papa hanya melakukan amanat dari Ayahmu. Dan sebagai orang yang menjaga kamu di sini, Papa hanya minta satu hal yaitu, hargai perasaan Ibumu."

"Papa yakin kamu tahu banyak mengenai cerita kami bertiga. Alasan mengapa Ayahmu tidak dapat lagi memanggil namamu sampai alasan mengapa Ibumu sangat rapuh akan Ayahmu."

Rhino memperhatikan Madelyn yang sedang diam, tidak bereaksi apapun, hanya memantung dengan ekspresi datar.

"Maafkan, Papa."

"Papa sudah berusaha sebaik mungkin dan akan selalu menguasakan yang terbaik lagi untuk keluarga ini."

Tanpa merespon satu kata pun, Madelyn beranjak dan meninggalkan Rhino.

Rhino tadinya ingin marah karena dianggap angin lalu oleh Madelyn, tapi setelah mengingat yang dulu-dulu mengenai sikap dirinya dan Archilles, Rhino pun mengurungkan niatnya.

Rhino hanya dapat menghela nafas panjang sembari jejak kepergian Madelyn.

"Ia benar-benar tidak sopan seperti Ayahnya."

Selesai makan malam, anggota keluarga disibukan oleh kegiatan masing-masing. Madelyn kembali ke kamarnya lebih dulu karena sibuk packing baju, Arselin sibuk menyuci piring serta berberes, Rhino dan Danrelle sibuk menonton telivisi sembari melipat beberapa pakaian.

Hari sudah menjelang larut, Danrelle beberapa kali menguap lebar karena mulai mengantuk.

"Anrel tidurlah. Kamu sudah sepuluh kali menguap selebar terowongan kereta." tegur Arselin saat menangkap anaknya itu menguap.

"Hooaaam." Danrelle kembali menguap sembari mengucek matanya. Danrelle beranjak setelahnya, ia memeluk Rhino dan Arselin secara bergantian.

"Bonne nuit, tidur yang nyenyak ya sayangnya, Ibu." ucap Arselin sambil sedikit menundukkan kepala sebab anak lelakinya itu ingin mengecup pipinya.

"Bonne nuit juga, Ibu."

"Ayah tidak dapat kecupan?" protes Rhino.

"Oh? Iya juga. Anrel lupa." balas anak itu dengan mata lima watt.

"Hahaha. Hati-hati jalannya, nanti tersandung." tegur Rhino setelah melihat Danrelle berjalan dengan sempoyongan.

Setelah raga Danrelle tak terlihat lagi Rhino menggulir pandangannya menuju Arselin.

"Mau tidur sekarang?"

Arselin mengangguk.

"Ya sudah, ayo."

Rhino matikan telivisi dan beberapa lampu. Selepas semua beres Rhino bergegas menyusul Arselin yang sudah lebih dulu pergi ke kamar dan bahkan sudah di atas kasur.

Tanpa berlama-lama lagi karena sudah mengantuk, Rhino pun ikut naik ke atas kasur. Rhino langsung memejamkan matanya tanpa mengucapkan apapun.

Tidak bohong kalau Arselin merasa aneh, karena pada dasarnya saat tidur Rhino pasti akan memeluk Arselin. Meskipun tidak dibalas, tangan Rhino setia mendekap Arselin, seakan memastikan jika tidak ada rasa dingin yang ikut memeluk.

Namun ada apa sekarang?

Rhino bahkan tidur membelakangi dirinya. Arselin merasa aneh. Perasaannya asing, hatinya gelisah layaknya ada sesuatu yang tak lengkap malam ini.

Arselin diam-diam melirik Rhino, memperhatikan Rhino dalam diam sebab ingin tahu apakah lelaki itu sudah benar-benar tertidur apa belum.

Tak mendapatkan reaksi apapun, Arselin lantas menarik selimutnya agar dapat menyelimuti tubuhnya dan tubuh Rhino. Arselin usap lembut rambut tebal lelaki itu sambil terus memperhatikannya. Perasaan bersalah kembali muncul, hanya karena Arselin menatapnya dari samping.

Munafik kalau Arselin berkata dirinya tidak membutuhkan Rhino.

Arselin butuh Rhino. Kehadirannya sudah cukup bisa mengobati luka hati. Hadirnya Rhino juga menjadi pundak kokoh yang selalu siap menyiapkan sandaran. Lelaki ini... sangat baik, dan Arselin takut menyakitinya.

"Tolong tetaplah bersama aku. Jangan tinggalkan aku, ya? Bagaimanapun juga, aku butuh kamu di sini." Arselin bergumam nyaris tak terdengar.

Dengan posisi yang masih menghadap punggung Rhino, kedua mata Arselin perlahan terkatup, lalu sunyinya malam perlahan membawa Arselin menuju alam mimpi.

Saat Arselin telah ada dalam alam mimpinya, Rhino bangun dari aktingnya– Rhino tidak benar-benar tidur. Ia hanya terpejam dan tak menduga kalau akan mendapat perlakuan tadi.

"Seharusnya aku yang mengatakannya." Rhino menatap Arselin, tatapannya sangat dalam. "Aku yang takut kehilanganmu, Arselin, jangan tinggalkan aku, ya?"

"Aku mencintaimu."

Hari ini adalah hari pindahan Madelyn.

Sejak pagi Rhino membantu Madelyn memindahkan barangnya. Barang-barang kecil dibawa dengan mobil Rhino, sedangkan barang yang besar seperti meja belajar dibawa dengan mobil pick up. Ada juga beberapa barang yang dibeli baru seperti peralatan masak dan makan.

Ini persis pindahan. Ditambah lagi jarak antara rumah dan rumah singgah Madelyn yang cukup jauh membuat kepergian Madelyn ini terasa sangat nyata.

Di lubuk hati Arselin masih terbesit perasaan tak rela meninggalkan anak gadisnya ini. Meskipun akhir pekan Madelyn akan pulang, namun rasa khawatir tetap ada, sebab Arselin tak dapat melihat Madelyn secara langsung.

"Makan yang teratur, oke? Jangan pernah skip jam makan. Sesibuk apapun nanti, sempatkan untuk makan, ya, sayang?"

"Bu, ibu sudah mengatakan itu sebanyak sepuluh kali siang ini."

"Ya karena Ibu tidak tega meninggalkan kamu di sini." rengek Arselin.

"Astaga, aku sudah besar, Ibu. Ibu tidak usah khawatir, aku bisa jaga diriku." balas Madelyn.

"Janji, ya? Jaga diri kamu di sini, jangan sampai sakit. Kalau pun sakit, kembalilah ke rumah. Telpon Ibu, Papa. Oke, sayang?"

"Iyaaa, Ibu."

"Sini, berpelukan dulu."

Madelyn pun menurut dan memeluk tubuh perempuan yang sedikit lebih pendeknya darinya itu. Madelyn kecup kedua pipi Arselin sebelum melepas pelukannya.

Melihat adanya Rhino yang muncul, Madelyn pun melakukan hal yang sama. Tanpa berbasa-basi lagi Madelyn langsung memeluk Rhino, hingga membuat lelaki itu mengernyit bingung karena terkejut. Namun tak lama, karena Rhino langsung membalas pelukan anaknya itu.

"Aku pamit dulu, Pa."

"Belajar yang benar, ya, nanti? Ingat ada Papa dan Ibu yang berharap banyak dengan kamu. Jadilah contoh yang baik untuk adikmu." Rhino sambil menepuk punggung Madelyn. "Kami ada di belakangmu. Pulanglah kalau merasa tak baik, kami akan ada untuk Kakak." kata Rhino lagi

"Papa sayang sama Kakak."

Madelyn yang masih memeluk Rhino lantas merasa sedikit sedih. Tarikan nafasnya menjadi sesak, Madelyn mencoba untuk terlihat tenang.

"Kakak juga-"

"sayang Papa."

Rhino tersenyum. Senyumannya ini dilihat oleh Arselin yang juga ikut tersenyum.

"Ayah, Ibu!" panggil Danrelle yang langsung mendapat atensi dari kedua orang tuanya, bahkan Madelyn juga.

"Kamu darimana saja?" tanya Arselin.

"Hanya berkeliling sekitar." jawab Danrelle.

"Anrel dapat teman baru!" kata Danrelle setelahnya dengan wajah riang.

"Teman baru?"

"Iya." Danrelle manggut-manggut.

"Anrel bisa berteman karena Kakaknya tinggal di samping rumah Kak Adel. Sepertinya ia juga baru pindahan seperti kak Adel."

"Benarkah?"

"Kalau begitu kenalkan pada kami dong."

"Tentu saja! Sebentar– oh, itu Kakaknya!"

Saat melihat lelaki yang ditunjuk Danrelle, Rhino dan Arselin serempak bereaksi terkejut yang kemudian saling melempar tatapan tak percaya.

Rhino paling terkejut di sini, tubuhnya merinding, apalagi saat sepasang mata itu beradu yang sukses membawa Rhino pergi pada memorinya dulu.

"Salam kenal Om, Tante. Saya Dean Marlon."

Bahkan namanya saja mirip... Rhino tak percaya bahwa dirinya akan benar-benar bertemu dengan Jean lagi.

Lelaki itu menepati janjinya.

"Pertama Benjamin, kedua Jean. Mengapa keadaan sekarang semakin membuat kehidupan itu seolah kembali?" Rhino bergumam di sela memandangi jalanan sore melalui jendela rumah. Perasaannya campur aduk setelah bertemu Dean, jadi tak tenang seolah ingin terus melihat remaja itu dan mengajaknya berbicara banyak hal.

Apakah Dean akan berteman baik dengan Madelyn? Apakah persahabatan yang sempat pupus kemarin akan kembali hidup? Apakah Dean dan Madelyn akan menjadi Rhino dan Jean di masa sekarang?

Banyak sekali pertanyaan yang singgah. Rhino ingin tahu karena Rhino sungguh merindukan sahabatnya itu.

Rhino masih ingat bagaimana tatapannya, bagaimana senyumannya terlihat sangat manis di detik-detik terakhir hidupnya. Rhino ingat betul bagaimana Jean hari itu, pengorbanannya, keinginannya, dan janjinya.

Rhino telah mengenalkan Jean pada Madelyn, tapi bagaimana caranya Rhino beritahu Madelyn kalau sosok yang menyelamatkannya itu adalah tetangga barunya?

"Masih kepikiran soal tadi?" Suara lembut Arselin menyadarkan lamunan Rhino. Rhino bergegas mengapus air matanya yang kemudian melirik ke arah sumber suara. Rhino mendapati Arselin dengan secangkir kopi.

"Saat menjemput Madelyn pulang, kita bisa mengunjungi Dean. Kamu juga sudah menyimpan nomor telponnya, kan?"

Rhino mengangguk dengan helaan nafas.

"Perasaanku sungguh kacau setelah bertemunya tadi. Bayang-bayang Jean kembali datang, dan rasanya aku ingin kembali. Mengubah cara pandangku, caraku bersikap dengan Jean."

"Dulu aku banyak melakukan kesalahan, aku tidak memanfaatkan waktu untuk memberitahu Jean kalau dirinya adalah teman baikku. Aku– aku terlalu sering mengacuhkan Jean, meremehkannya dan sedihnya lagi, Jean selalu ada untukku. Bahkan di saat terakhirnya, ia ada. Berdiri di sana, membiarkan aku pergi dengan penyesalan..."

Hening sesaat.

"Apakah Dean benar-benar reinkarnasi Jean?"

"Apakah ini aku waktunya membalas kebaikannya sekarang?"

"Bisa dibilang begitu? Aku tidak tahu pasti, tapi kehadiran Danrelle sudah cukup membuktikan kalau reinkarnasi itu memang ada." Arselin meraih tangan Rhino, lalu ia tersenyum tipis. "Aku tahu ini pasti sulit, tapi yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menerima keadaan. Meskipun sulit, setidaknya kita harus terus melangkah maju. Seperti apa yang kamu katakan, kan?"

Rhino hanya diam, matanya masih fokus memandangi wajah cantik Arselin yang terlihat seperti tidak menua. Bibir perempuan kembali tersenyum.

"Selama ini aku berpikir kalau hanya akulah yang paling merasa tersakiti untuk melanjutkan hidup di sini. Aku pikir hanya aku yang kesulitan untuk hidup tanpa orang yang kusayang. Selama ini ternyata aku salah, karena setelah melihat bagaimana tatapanmu kepada Dean tadi," jeda satu detik. "Aku jadi tahu kalau kamu tidak kalah kesulitannya untuk hidup tanpa seorang sahabat, Jean, satu-satunya rumah yang kamu punya dulu."

"Kamu merasa tersakiti di saat kamu berusaha menyakinkan aku, maafkan aku, karena aku tidak pernah melakukan hal yang sama untuk kamu dan terus menyalahkan kamu."

"Aku terlalu mementingkan perasaanku sampai lupa kalau kamu juga kehilangan sama sepertiku. Maafkan aku, andai aku sadar ini dari dulu, mungkin kamu tidak terlalu jauh tersakiti." Arselin menyudahi perkataannya dengan satu tetesan air yang menetes dari sudut matanya.

Rhino ikut meneteskan air matanya di sana. Air matanya itu turun begitu saja, apalagi bayangan diri Jean semakin memenuhi benak Rhino saat ini.

"Kita sama-sama terluka dan seharusnya kita saling menguatkan, bukan saling menyalahkan."

"Tidak ada yang salah di sini, kita hanya keliru dengan perasaan kita, dengan kehidupan baru kita di sini."

"Kita sudah melakukan yang terbaik selama ini, dan harus selalu yang lebih baik dari kemarin. Kita bisa melakukannya bersama, kan?"

Arselin mengangguk paham. Masih dengan menangis, Arselin bergerak memeluk Rhino, Rhino tentu menyambut pelukan itu sembari mengecup singkat kening Arselin. Didekapnya erat-erat tubuh kecil itu, seolah saling melepas beban masing-masing, keduanya saling merasakan menikmati kehangatan tubuh masing-masing. Keduanya jatuh dalam penyesalan masing-masing, keduanya tersakiti.

"Kita akan selalu bersama, kan?"

"Aku tidak mau lagi kehilangan... cukup Archilles, kamu jangan sampai ikut hilang..."

"Aku tidak kemana-mana. Kalau pun aku diharuskan pergi, itu karena Tuhan."

"Tapi alih-alih memikirkan hari kepergian itu, kita masih punya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama. Kita gunakan kesempatan ini sebaik mungkin agar tidak ada penyesalan saat kita harus pergi."

"Janji, ya?"

"Jangan berhenti melangkah di samping aku?"

"Iya, aku janji."

Rhino menautkan kelingkingnya pada milik Arselin, kemudian Rhino kecup tautan kelingking itu. Keduanya serempak tersenyum.

"Aku mencintai kamu."

"Terima kasih sudah mencintai aku."

Hari ini adalah hari perdana Madelyn sebagai mahasiswa. Acara pengenalan kampus berjalan lancar. Tidak ada drama, tidak ada kejadian yang mengharuskan Madelyn mengeluarkan tenaga lebih.

Sejauh ini Madelyn belum memiliki teman. Mungkin belum? Entahlah, Madelyn tidak akan buru-buru mencari teman. Madelyn selalu biarkan waktu yang berencana. Cepat atau lambat, Madelyn pasti memiliki kenalan.

Kalau tidak punya juga? Ya sudah, Madelyn tidak akan memasalahkan itu!

"Kau memiliki bukunya?! Aishh, tidak adil!"

"Hahaha. Sebenarnya aku dapat karena tak sengaja melihat buku ini terselip di antara buku lain."

"Aku yakin ada orang yang sengaja menyembunyikannya agar tidak dibeli oleh orang lain. Tapi sayang, haha, aku menemukannya, jadi aku miliki lebih dulu!"

"Segera bacalah sampai habis, kalau bisa secepat mungkin. Karena aku juga ingin membacanya."

"Hahaha, kau iri? Kau iri? Aku memegang buku ini lhoo!"

"Aishhh! Jangan menggodaku!"

Sebenarnya Madelyn menyadari satu hal sejak hari pengenalan kampus, yaitu desas-desus mengenai buku yang entahlah tentang apa itu sampai-sampai membuat tiap langkah ada saja orang yang membicarakannya.

Hari ini kehebohan tentang buku itu sudah mampir di telinga lebih dari lima kali.

Madelyn tidak tahu sekaligus penasaran buku yang dimaksud bercerita tentang apa, sampai-sampai membuat orang satu kampus ini heboh ingin memilikinya.

Apakah benar-benar bagus? Madelyn sejujurnya ikut penasaran setelah mendengar semua orang membicarakannya, namun, Madelyn sendiri tidak terlalu senang membaca buku cerita, romansa lagi.

"Ngomong-ngomong, perempuan itu mirip dengan visualisasi Reine. Kau sadar tidak?"

"Astaga, kau benar! Apakah ini nyata?!"

"Haruskah kita bertanya?? Aku jadi penasaran, maksudku– bagaimana bisa semirip ini?!"

"Benar! Kau benar!"

"Aku ingin bertanya dimana Loius, apakah ada versi nyatanya di sini?"

"Sepertinya ada."

"Astaga, aku tidak bisa membayangkan jika ketiganya bertemu!"

Madelyn melirik sekitar. Tidak ada satu pun perempuan di sini selain dirinya dan kedua perempuan yang sedang berbicara tadi.

Tunggu, apa? Mereka bicara apa?

Madelyn melayangkan tatapannya ke arah kedua perempuan itu yang sontak membuat keduanya terkejut. Entah karena aksi terang-terangan Madelyn atau karena menyadari suatu hal yang mengejutkan.

"Kalian membicarakan aku?" tanya Madelyn to the point.

"Eee, maaf kalau lancang."

"Kami hanya berbicara mengenai wajah kau yang sangat mirip dengan Reine."

Madelyn mengerutkan alis. "Reine? Siapa itu?"

Perempuan berambut pirang itu menunjukkan sebuah buku dengan sampul dua bulan yang memiliki warna berbeda, merah dan putih.

"Blood & Light. Kau tidak tahu buku ini?"

"Oh sebelumnya, perkenalkan namaku Oddete dan ini Nataline." kata perempuan berambut pirang itu.

"Baik, aku Madelyn." Madelyn ikut mengenalkan diri. Kemudian Madelyn melirik buku yang dipegang Oddete.

"Aku tidak tahu mengenai buku itu. Tapi aku tahu kalau buku itu sedang naik daun di kampus kita. Bisa jelaskan sedikit tentang bukunya?" ujar Madelyn.

Nataline mengangguk.

"Singkatnya buku ini menceritakan tentang cinta, penghianatan dan pengorbanan Pangeran dari kerajaan vampir yang haus akan kasih sayang dari sosok manusia yang ia cintai. Ada tiga tokoh penting, Abellard, Reine, Louis. Abellard dan Reine adalah sepasang suami istri, namun karena ada balas dendam dari Louis, maka terjadi masalah yang mendatangkan kehancuran. Baik dari hubungan ketiganya, sampai dunia pun ikut hancur. Akhir dari cerita ini cukup tragis, dan membuat pembaca termasuk kami terbawa suasana. Intinya ada yang mengganjal dari kisah cinta mereka bertiga yang tak selesai!"

Madelyn terdiam tak bereaksi selama mendengar penjelasan panjang Nataline.
Jantung Madelyn berdetak kencang selama mendengar ringkasan cerita dari buku itu yang mengapa terasa sangat familar.

Kini, di benak Madelyn terbesit satu pertanyaan.

"Siapa yang membuat buku itu?"

"Luno Eleanor. Penulisnya satu kampus dengan kita. Mahasiswa seni, jadi tak heran mengapa tulisannya dan visualisasi dari ketiga tokohnya sangat bagus. Ia calon seorang seniman."

Madelyn tidak keberatan jika alur ceritanya mirip dengan kisah orang tuanya, mungkin kebetulan, karena ide bisa datang darimana saja.

Namun, bagaimana Madelyn bisa tenang kalau seseorang yang menulis buku ini, bisa mengambarkan dengan sempurna visualisasi dari ketiga tokoh yang begitu mirip dengan dirinya, Ibunya, Papanya dan bahkan Ayahnya... bagaimana bisa?

Bagaimana bisa sekebetulan ini?

Mengapa ini membuat Madelyn berpikir tak masuk akal?

Madelyn tidak ingin berpikiran jauh, namun semua yang terjadi seolah menyakinkan Madelyn bahwa dugaannya benar.

"Bisa jelaskan ini?"

Tanpa berbasa-basi lagi Madelyn langsung menodong lelaki yang sedang duduk santai di suatu sudut di perpustakaan. Lelaki berambut gondrong itu tak langsung mengangkat kepalanya, ia sempat terdiam melihat gambar yang merupakan salah satu visualisasi dari tokoh ceritanya.

"Kau tahu kalau kau telah melanggar hak cipta? Kita bahkan tidak saling mengenal. Bisa-bisanya kau menggunakan wajahku untuk karya kau!"

"Semua orang menuduhku dengan segala kehaluan kau itu! Aku bahkan tidak tahu menahu dengan semua ini!"

"Dan dengan santainya, kau menerima–"

"Hei, Nona, tidak mau berkenalan dulu?"

Pupil Madelyn melebar terkejut.

Sekujur tubuh Madelyn seketika meremang, mulutnya mendadak kelu untuk bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat, hanya karena melihat wajah lelaki ini... yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya.

"Luno Eleanor." Lelaki itu memberikan tangan sambil tersenyum, matanya ikut tersenyum.

"Siapa namamu? Boleh aku tahu, Nona?"

"Kita sepertinya saling mengenal. Ya, kan?"

Layaknya pepatah; mati satu tumbuh seribu. Dimana segala sesuatu yg telah hilang, selalu akan ada gantinya. Meskipun tak sama sebagaimana awalnya, namun yang kembali pasti dalam versi yang terbaik.

Memang ada yang banyak kembali, namun tidak berarti kisah yang telah terjadi akan kembali tertulis dengan tulisan yang sama.

Mereka memang terlahir untuk melanjutkan kisah terdahulunya, memperbaiki apa yang salah, apa yang hancur. Mereka bertemu lagi memang ditakdirkan, namun perlu ditegaskan, bukan untuk mengulangi kisah yang telah tersimpan rapi di ingatan.

Mereka bertemu karena memang, mereka akan memulai kisah mereka sendiri.

Di kota ini, dengan segala keunikan yang mereka punya, mereka mulai akan menceritakan segala hal. Mari berdoa bersama agar kisah baru ini berakhir dengan senyuman dan dapat memberikan ketenangan bagi semua pihak yang telah gugur dalam perjuangannya.

Their love is not dead. They will always live in their bodies.

.
.
.

END.

Akhirnya blood & light selesai!

Gimana? Suka gak sama ceritanya? Aku harap kalian suka sama cerita fantasy pertama aku ini hehe :D

Terima kasih banyak untuk kalian yang udah nemenin Archilles, Arselin dan Rhino sampai di titik ini. Aku sebagai author Blood & Light mau minta maaf kalau ending gak sesuai dengan ekspektasi kalian kkkk.

Kalau nanti (kalau) aku buat cerita lagi tentang kehidupan Madelyn, kalian mau?

*Tp jgn berharap Archilles hidup lagi ya🙏🏻

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 939 31
"I love a criminal" ʙᴜᴋᴀɴ ʙxʙ•
8.5K 1.7K 34
Choi Nari melakukan sebuah pertukaran dengan 𝔦𝔟𝔩𝔦𝔰 yang ia temui pada suatu malam dingin nan bersalju. Apakah ketergesaannya mengambil keputusan...
16.2K 1.6K 33
singkat saja, bagaimana rasanya kerja di perusahaan idola Lo? tremor? itu yang dirasakan Natasya. "it's not a coincidence, it's fate" -Jake.
6.7K 466 39
Sekarang akulah yang akan menanti dirimu kembali bereinkarnasi Thea... Cerita Bercerita tentang reinkarnasi dari Thea/(thesa) Digo/(Zen) yasya/(Ray)...