Lab Love [selesai]

By lanhudiee

1.1K 127 35

Ash, Ashley Christine Hughes siswi tahun pertama di West Hills High School. Salah satu siswi populer, dan dik... More

Lab Love 1
Lab Love 2
Lab Love 3
Lab Love 4
Lab Love 5
Lab Love 6
Lab Love 7
Lab Love 8
Lab Love 9
Lab Love 10
Lab Love 11
Lab Love 12
Lab Love 13
Lab Love 15

Lab Love 14

44 4 2
By lanhudiee


DUA HARI, 15 jam, 34 menit, 20 detik sejak Luke dan Ash beradu argumen di lab anatomi —not that she was counting... it just... that.

Ash menghela napas panjang. Dua hari pula otak Ash rasanya kosong, sama sekali tidak bisa berpikir apa-apa. Berkebalikan dengan Luke, kemarin cowok itu tetap datang untuk sesi belajar A&P. Semua ingin tahu apa yang terjadi—lebih tepatnya bergosip—terutama ketika Luke mendapat detensi bersama wali kelas, dan Uncle Ben. Meskipun detensi di lab anatomi lebih seperti hadiah daripada hukuman. Setidaknya dari sudut pandang Ash, selain muka babak belur, Luke baik-baik saja. Hal lain yang membuat Ash semakin kesal dengan dirinya sendiri adalah fakta bahwa terlihat jelas bahwa dirinya tidak memberikan efek apapun untuk Luke. Cowok itu masih bisa mengajar grup dengan santai, masih bisa menjawab pertanyaan, dan menjelaskan jawabannya dengan baik. Mungkin hanya Ash satu-satunya anggota grup belajar A&P yang kehilangan jiwanya.

Gadis itu mengusap wajah dengan kedua tangan. Lelah. Sejak kemarin, kegiatan favoritnya adalah berdiam diri di tangga teras rumah Uncle Ben. Favorit karena bisa melihat kolam koi, menikmati pemandangan halaman belakang, termasuk perbukitan nun jauh di sana. Salah satu daya tarik tinggal di West Town adalah pemandangan halaman belakang—bagian barat jalan—perbukitan, dan depan—bagian timur jalan—bukit curam yang berbatasan langsung dengan Eastern Coast. Kalau ingin turun ke pantai, warga harus rela menuruni tebing batu, sangat cocok untuk mereka-mereka yang suka kegiatan atau tantangan di luar rumah.

Biasanya Ash juga keberatan bertualang, tapi patah hati membuatnya malas melakukan apapun. Karena itulah berdiam diri di teras rumah Uncle Ben merupakan pilihan terbijak. Tidak perlu repot menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, dan yang paling penting, menghindari interogasi yang sangat berpotensi melibatkan keluarganya.

Mom dan Dad bisa dipastikan, akan seperti orang tua pada umumnya, memberi banyak nasehat atau penyemangat. Sedangkan Asher... bisa jadi dia akan mencari untuk menonjok Luke.

None of them had good potential.

Rasanya sudah seumur hidup Ash menunggu si empunya rumah datang, akhirnya mobil Uncle Ben parkir juga di driveway. Hanya dari tatapan mata, Ash tahu jika Uncle Ben mengasihaninya. Tidak masalah, ia juga tengah mengasihani dirinya sendiri. Kalau tidak, untuk apa Ash menyendiri?

"Kenapa nggak masuk?" tanya Uncle Ben.

Ash tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Ia juga tidak mengekor Uncle Ben masuk rumah. Beberapa saat kemudian, beliau kembali ke teras, menepuk pundak Ash, dan mengisyaratkan gadis itu untuk masuk rumah.

"Ayolah, temani aku makan," pinta Uncle Ben. "I don't take a no."

Mengerucutkan bibir, mau tidak mau Ash bangkit dan mengikuti Uncle Ben. Untuk pertama kali dalam hidupnya, melihat pint Chocolate Chewy favoritnya tidak bisa mengembalikan moodnya yang hancur.

Luke-effect memang ekstrem.

"There's nothing ice cream can't fix," Uncle Ben membuyarkan lamunan Ash tentang Luke dengan kutipan kata-kata Ash. Beliau bahkan tidak menunggu Ash untuk melahap Coffee Cashews-nya.

Sepertinya Uncle Ben memahami tendensi Ash untuk diam, karena beliau hanya menikmati pint-nya sendiri, tidak juga menyilakan Ash. Beliau tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menyendok es krim, dan lagi, dan lagi. Menyerah dengan nasibnya, Ash pun mengikuti jejak Uncle Ben dan Coffee Cashews. Untuk beberapa saat Uncle Ben dan Ash hanya menikmati es krim, tanpa suara. Sesekali Ash mengusap air mata yang tidak disadari ikut pesta mengasihani diri sendiri. Uncle Ben pun menyorongkan kotak tissue tanpa komentar.

"So, what's you gonna do after this?" Uncle Ben memecah keheningan diantara mereka. Beliau menyorongkan pint es krim ke samping, rupanya Coffee Cashews beliau tandas.

"After this?" Ash mengangkat sendok di tangan, mengkonfirmasi apakah yang dimaksud Uncle Ben dengan after this, adalah usai mereka menghabiskan es krim.

"Yep, but also, I mean Luke. What're you gonna do with him?"

"Dunno, one thing for sure, I'm not gonna hang up on this," Ash mencabut tissue, lalu mengusap bagian bawah mata dan pipi.

"For what is worth, Claire also thinks that Luke is fucked up," ungkap Uncle Ben.

Ash mengerang. "Are you two seriously discussing both of us?"

"Claire is his legal guardian, dan kau keponakan favoritku, tentu kami mendiskusikan kalian."

"Oh good grief." Ash menjatuhkan kepalanya ke konter breakfast bar.

"Kami hanya khawatir dengan kalian berdua," imbuh Uncle Ben.

Ash mendengus, tapi tidak berkomentar. Bukan salah Uncle Ben kalau beliau bergosip dengan kekasihnya—yang sialnya juga merupakan kakak Luke. Tapi tetap saja, rasanya canggung, dan aneh.

"Kau bilang nggak akan menyerah—"

"I said, I'm not gonna hang up on this, yang bisa berarti aku move on, one way or the other." Ash mendongak, duduk tegak dan bersedekap.

Satu alis Uncle Ben terangkat. "Move on?"

Ash mengangkat bahu.

"After all the troubles you're getting in, and now you just simply... move on?" mata Uncle Ben menyipit tidak percaya.

Wajar jika beliau tidak percaya. Jangankan Uncle Ben, Ash sendiri pun tidak yakin dirinya akan move on secepat itu. Yang benar saja move on, sekarang saja otaknya masih kosong.

"Aku nggak akan mengemis dan merendahkan harga diriku." Ash tidak yakin mengatakan itu untuk meyakinkan Uncle Ben, atau dirinya sendiri.

"Begging and being persistent are two different things," kata Uncle Ben.

"What are you trying to say?"

"Ash yang kukenal biasanya berprinsip; semakin dilarang maka dia akan semakin keras untuk melakukannya," Uncle Ben mengingatkan.

Dua jam kemudian, Ash bergelung selimut di kamarnya yang gelap. Hanya saja, baik mata maupun otaknya menolak untuk merasa kantuk. Mungkin dirinya sedang mengalami sugar rush akibat es krim di rumah Uncle Ben. Mungkin juga karena ucapan Uncle Ben yang memutuskan untuk tidak mau berhenti mengiang.

Ash yang kukenal biasanya berprinsip; semakin dilarang maka dia akan semakin keras untuk melakukannya.

Uncle Ben benar, larangan apapun biasanya justru menjadi cambuk paling kuat—bukan berarti Luke melarangnya melakukan sesuatu, but same idea.

Begging and being persistent are two different things.

Benar juga.

All she needs to do is just make Luke sees what he was missing. No harm at all, right? Mengembuskan napas panjang, Ash memutuskan jika ucapan Uncle Ben benar, dan dirinya harus berbuat sesuatu, bukan mengasihani diri sendiri seperti pecundang.

"UH OH, I don't like that face," kata Charles dari balik konter. Kening pria itu berkerut dalam ketika Ash meletakkan tas gym di lantai.

Ash meringis. "Memang wajahku seperti apa?"

"Wajah aku-akan-lakukan-apapun-dan-tidak-ada-siapapun-yang-bisa-menghentikanku," jawab Charles.

"Exactly!" Ash menjentikkan jari.

Charles menarik napas dalam dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi.

"I don't know, Ash. Aku suka kau tidak menyerah semudah itu—"

"But?"

"But, is he worth it? Maksudku, seperti yang pernah kubilang kapan hari itu, kau nggak tertarik mengeksplorasi yang lain?" telisik Charles.

Ash mengerutkan bibir. "Not ruling that out, yet, I still have one last try."

Charles mengangkat bahu. "Sure. Good luck with that. Dia di gudang belakang sendirian. Ben nggak akan kembali. Kalau kau butuh tumpangan untuk pulang, let me know."

"Rumahmu dan rumahku berlawanan arah," kata Ash.

"Aku butuh potong rambut," Charles nyengir sambil mengusap kepala yang mulai ditumbuhi rambut.

"Rambut saja miskin, masih berani bilang mau potong rambut," ejek Ash. "Cambang dan jenggot kau biarkan panjang, kenapa nggak sekalian rambutnya juga?"

"You see this?" Charles menunjuk garis rambut yang botaknya nyaris separuh batok kepala. "Lebih baik gundul sekalian, daripada memanjangkan rambut begini."

Ash terkekeh. "Kau benar. Anyway, thanks, Charles, I appreciate it."

Gadis itu menegakkan bahu, menyiapkan diri sebelum membuka pintu lab.

Tidak ada orang, tapi Ash bisa mendengar sesuatu gudang belakang. Apa yang dilakukan Luke di sana? Bersih-bersih? Bisa jadi.

"Mr. Russell, Mr. Hughes minta kau menghidupkan ponsel. Oh, kau," kata Luke ketika Ash membuka pintu gudang.

"Um...,"

Ternyata cowok itu tidak sedang bersih-bersih. Luke memakai jas lab sekolah, googles, dan sarung tangan. Agaknya dia sedang melakukan percobaan.

Mendengar suara Ash, menoleh sekilas, lalu kembali pada tugas di depannya.

"Kita perlu bicara," kata Ash.

"Semua yang perlu kubicarakan sudah kubicarakan kemarin." Luke masih tidak mengindahkan Ash. Entah benar-benar sibuk dengan tugas, atau sengaja mengabaikan Ash.

"Baiklah, aku perlu bicara," ulang Ash membetulkan pilihan katanya.

"Silakan."

"Will you stop acting immature?!" Kesabaran Ash mulai menipis. Dia hanya ingin bicara sejelas-jelasnya, bukan untuk bertengkar, tapi Luke membuatnya sulit!

"Kau ingin bicara, silakan bicara. Aku sibuk."

Untuk beberapa saat Ash hanya menatap Luke dan beberapa gelas ukur untuk bahan percobaan. Dalam hati sedikit ngeri begitu menyadari botol HCL merupakan salah satu bahan percobaan Luke. Untuk sepersekian detik Ash berpikir jika mungkin sebaiknya dirinya menunda konfrontasi, setidaknya hingga Luke selesai bermain-main dengan HCL.

"Please."

Meski tidak suka, akhirnya Ash memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana seperti semula, sebelum dirinya benar-benar menjadi pengecut dan membiarkan masalah berlarut-larut—atau malah tidak mendapat penyelesaian sama sekali.

Luke melepas sarung tangan dan kacamata goggles, lalu menyandarkan bokong di meja dan bersedekap.

"All right, let's hear what you wanna talk about."

"Masih tetap nggak mau mengatakan apa yang membuatmu berkelahi dengan Andreas?" tanya Ash.

"Beri aku alasan kenapa aku harus mengatakannya padamu."

Ash diam. Selain perkelahian tersebut membuat Luke menolak melanjutkan apapun label hubungan mereka, gadis itu tidak punya pilihan lain lagi.

"Karena gara-gara perkelahian bodoh itu, aku jadi kehilangan kesempatan untuk berteman dengan seseorang yang penting. Meskipun sepertinya aku juga harus berterima kasih karena sekarang aku tahu. Aku bukan lagi pengecut karena mau memberanikan diri menghadapi masalah, bukan hanya berlari menghindar, dan berpura-pura tidak ada apa-apa," pungkas Ash.

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 162K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
606K 70K 39
Solyn White tidak sanggup memaafkan tunangannya, Krisna Dananjaya, karena terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Usai memutusk...
4.1K 392 12
Niana menempatkan cinta di luar daftar prioritasnya saat ini. Ada mimpi yang tengah menunggu. Tapi, waktu tak dapat mengatur cinta. Menuju satu arah...
9.2K 1.3K 9
He loved, she didn't. How typical. [Spin-off dari Couldn't Expect That] [DISARANKAN MEMBACA "COULDN'T EXPECT THAT" TERLEBIH DAHULU] © 2017 all rights...