Sejumput Dendam Rana

By ArinFerdia

5M 596K 128K

Tentang Rana yang harus menerima kenyataan pahit. Saat suaminya harus menikah lagi dengan anak dari pendonor... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 49
Part 51
Part 52
Part 53 (Sisi Lain Daniel)
Part 54
Part 55
Part 56
Part 57
Bukan Update (Info Plagiat)
Part 58
Part 59
Part 60

Part 50

50K 6.6K 2.3K
By ArinFerdia

ALLO, AKU YANG SEKSI INI KEMBALI
TERIMAKASIH MASIH SETIA DENGAN SEJUMPUT DENDAM RANA.

PANJANG BERBULU KESUKAAN RANA, TENTU UWAL GODON JAWABNYA.
AUTHOR TAK INGIN BANYAK KATA,
POKOKNYA SELAMAT MEMBACA SEMUANYA

~Sejumput Dendam Rana~

Mengapa cicak diam-diam merayap? Karena yang diam-diam berdiri itu Daug.

~Sejemput Dendam Rana~

Lindap mengukung gelap duka, disusul sang liuk bumantara menyapa semesta. Dingin, kelam menembus sang ulu. Hadirkan beribu andai penuh kelit mimilukan yang hanya mampu ada di angan, sebab sang indra tak bertulang tak mampu mengutarakan.

Diri terasa kerdil, kala telapak tangan takdir berbalik dan memilih persembahkan kenyataan menyakitkan. Lantas bagaimana untuk selanjutnya? Menerima semakin membuat diri seakan bungkuk, menolak pun semesta akan semakin ganas bergejolak.

"Dam," panggil lelaki empat puluh dua tahun itu. "Papa tahu ini berat untuk kamu, berat untuk kita semua. Tapi mau bagaimana lagi? Menyimpan bangkai tak akan membuat baunya hilang, yang ada baunya akan semakin menyengat."

Kedua netra Damar memejam, dadanya tiba-tiba sesak, panas seperti terkena letusan gunung berapi. Sejujurnya Damar juga tidak mengerti asal muasal kesakitan yang dirasakannya, tapi yang jelas hatinya terasa gundah.

"Takdir punya garisnya masing-masing, kita hanya perlu menerimanya dan percaya segala sesuatu yang digariskanNya itulah yang terbaik untuk kita."

Damar berdecih, baginya kata-kata yang keluar dari bibir Daniel hanya kiasan. Seseorang tak akan pernah mengerti sebelum merasakan.

Lagipula fokusnya sekarang bukan tentang dia anak siapa, tapi kemungkinan perubahan dalam hidupnya yang paling ditakuti. Bagaimana kalau akhirnya dirinya diasingkan? Mau jadi apa hidupnya nanti.

Tak terbayang rasanya bagaimana jadinya seorang Damara tanpa marga Maheswara dibelakangnya. Ini lebih mengerikan daripada fakta jika Karmila bukanlah Ibu kandungnya. Damar takut kehilangnya citranya sebagai lelaki tampan banyak uang dambaan semua kaum wanita.

Sebenarnya ada satu hal yang paling mengganjal dalam pikiran Damar, sejak kapan dan darimana Daniel tahu semuanya? Atau jangan-jangan ini alasan Daniel membenci Damar? Ah, memikirkannya membuat kepala Damar serasa ingin pecah, lebih baik menanyakannya langsung saja.

"Jadi ini alasan Papa membenci Damar?"

"Kalau Papa membenci kamu, tidak akan ada nama Alucas Maheswara dibelakang namamu." Daniel menepuk pundak Damar. "Lagipula Papa sudah tahu sejak awal bahkan sebelum Papa setuju untuk menikah dengan Mamamu."

Melihat ekspresi Damar yang terkejut, Daniel hanya terkekeh.

"Hanya orang bodoh yang menikahi seseorang tanpa mencari tahu asal-usulnya terlebih dahulu." Daniel berkata dengan begitu tenang, namun entah mengapa hati Damar sedikit tersentil mendengar itu.

Damar menikahi Nirmala bahkan tanpa mencari tahu asal-usulnya terlebih dahulu, dirinya terlalu naif cenderung bodoh gampang dihasut Karmila hingga buta segalanya.

Bahkan saking butanya Damar sampai menghiraukan fakta tentang pantat Nirmala yang berwarna gelap dan bermotif polkadot.

Damar menggeleng ke kanan dan kiri, berharap ingatannya tentang pantat Nirmala menghilang, dirinya harus fokus berbicara dengan Daniel sekarang. "Kalau Papa tahu sejak lama kenapa tetap setuju menikah dengan Mama?"

"Karena itu masa lalunya, Papa tidak berhak menghakimi atau menyalahkan Karmila atas itu. Lagi pula Karmila bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihannya, bagi Papa itu sudah cukup." jawabnya tak acuh.

Semua perkataan Daniel benar, Karmila mungkin bersalah, tapi dirinya menebus itu dengan konsisten atas pilihannya, membesarkan Damar sepenuh hatinya. Bahkan jika Damar tak sengaja mendengar pertengkaran diantara keduanya pasti Damar tidak akan percaya jika dirinya bukanlah anak kandung dari Karmila.

Tapi tetap saja rasanya ini sulit untuk Damar, meski Karmila menyayanginya namun kenyataan jika diantara mereka tak ada ikatan darah membuat hati Damar sedikit gundah.

Damar memejam sesaat, kala pundaknya mendapat elusan lembut. "Karmila pasti punya alasan kenapa dia melakukan ini semua. Jangan membencinya, meski dia bukan ibu kandungmu tapi jangan melupakan fakta jika Karmilalah yang membesarkanmu."

Hembusan nafas kasar terlontar, bukan itu yang menjadi beban dipikiran Damar. Untuk kenyataannya dengan Karmila, Damar tak terlalu memikirkan. Damar lebih khawatir bagaimana jika Daniel ada niatan terselubung membongkar semuanya ini untuk mengalihkan Karmila menjadi tanggung jawab Damar. Demi Tuhan Damar tidak mau dibebani Karmila untuk kedepannya.

Meski Damar menyayangi Karmila, tapi jika harus menanggung Karmila yang tidak punya apa-apa Damar tidak mau. Hanya orang bodoh yang mau menanggung beban merawat orang tua tanpa harta.

"Tentang tawaran Papa waktu itu Papa minta kamu mempertimbangkannya lagi."

Damar terkekeh miris, "Ternyata Papa sudah lama merencanakan menyingkirkan Damar."

"Papa bukan menyingkirkan kamu," lirihnya. "Papa hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kamu."

"Terbaik? Menurut Papa menjadi penggembala itu terbaik untuk Damar?"

"Dam, menjadi peternak tidak ada salahnya. Kamu ahli dibidang itu, tanganmu terampil jika berkaitan dengan binatang. Mereka pasti gemuk-gemuk dan berkembang di tangan kamu. Lagi pula kamu tidak perlu menyentuhnya dengan tanganmu, kamu hanya perlu mengawasi."

Tangan Damar terkepal, dirinya merasa tersinggung dengan ucapan Daniel. Meski Daniel sudah mengiming-imingi jika luas peternakannya berhektar-hektar dan sudah terisi kambing, domba dan sapi tetap saja rasanya Damar tidak sudi. Harga dirinya serasa dilucuti. Manusia tampan, rupawan sepertinya lebih cocok bekerja di kantor, berpenampilan rapi daripada bergelut dengan hewan dan kotorannya yang menjijikkan.

"Nggak, Pa! Damar nggak mau!"

"Keuntungan yang akan kamu dapatkan akan berkali-kali lipat dari gaji yang sekarang kamu dapatkan."

"Damar tidak peduli!" bantahnya. "Lagipula semuanya terjadi karena Papa! Coba saja Papa waktu itu setuju menyuntikkan dana untuk perusahaan yang Damar pimpin, pasti perusahaan itu tidak diakusisi orang lain!"

Daniel menatap Damar dengan sengit, emosinya benar-benar terpancing sekarang. "Kamu yang tidak pecus mengurus perusahaan, tapi kamu malah menyalahkan Papa?"

"Damar bukan menyalahkan, Damar hanya menyayangkan sikap Papa! Apa susahnya merelakan sedikit harta Papa yang menggunung itu!" ucapnya dengan nada meninggi. "Kalau saja Papa melakukannya Damar tidak perlu bekerja sebagai pegawai rendahan seperti sekarang."

"Kalau kamu terus mengandalkan Papa bagaimana kamu menghadapi dunia nantinya? Papa tidak akan terus hidup! Kalau Papa kamu ini mati, apa kamu akan menyusul Papa hanya untuk meminta bantuan!" Nada Daniel mulai meninggi.

"Ingatlah jika fitrahnya Laki-laki harus bisa berpijak dengan kakinya sendiri tanpa topangan orang lain!"

Sialan! Perkataan dan ekspresi Daniel membuat hati Damar tersentil. Tapi bukan Damar namanya kalau hanya diam saat harga dirinya diinjak-injak!

"Oke Damar terima permintaan dari Papa." jawabnya dengan senyum mengembang. "Asal Papa melepas Rana untuk kembali lagi dengan Damar."

Bugh..

Satu tinjuan mendarat pada pipi kanan Damar.

"Berengsek!" umpatnya. "Kamu pikir Rana mainan yang bisa seenaknya kamu buang dan kamu ambil begitu saja!"

Damar menyeringai, "Anggap saja Damar menitipkan sebuah permen untuk Papa. Kebetulan Papa menyicipinya sedikit,"

Tangan Daniel terkepal kuat, Damar benar-benar kelewat batas.

Bugh...

Bugh...

Bugh...

"Kamu akan menyesal karena bermain-main dengan saya, Damara Wicaksono!" ujar Daniel sebelum meninggalkan Damar yang terkapar.

"Anak pungut tidak tahu diri!" umpatnya.

~Sijembut Idaman Rana~

Rana tersenyum tipis menatap punggung telanjang yang memunggunginya, tubuhnya memang terasa remuk redam berbanding terbalik dengan hatinya berbunga-bunga. Kalau diumpamakan dalam kata yang dirasakannya seperti dihantam uang miliaran. Sakit sih, tapikan langsung terbayar lunas.

Tadi selepas Daniel meminta Rana izin untuk berbicara dengan istri pertamanya, lelaki pemegang tahta tertinggi dalam hatinya itu kembali dan langsung menyeret Rana ke ranjang. Menumpahkan segala emosinya dengan menghujam Rana tanpa ampun. Mungkin jika tak mengingat Rana merupakan seongok manusia, Daniel takkan membiarkannya barang sedetikpun untuk mengambil nafas. Kejam!

Jujur saja rasanya sedikit menyakitkan, namun selebihnya adalah kenikmatan dan Rana suka itu!

Ah, jangan tanya mengapa Rana memilih diam dan tidak bertanya macam-macam saat  Daniel datang. Jujur saja bibir Rana sudah gatal, namun begitu mengetahui aura yang Daniel tampilkan alih-alih menanyakan yang ada Rana malah memilih menurut dibawa ke awang-awang lewat kungkungan lelaki empat puluh dua tahun itu.

Yang belum menikah mana mengerti, jika dalam komunikasi berumah tangga ada masanya untuk saling mengerti, bersama saling menggenggam dan menguatkan lewat telepati hati sebelum mengutarakan semuanya lewat untaian kata.

Intinya pastikan dulu kententraman hati, sebelum mencecar dengan berjuta pertanyaan. Lebih enak mengungkapkan setelah hati tenang dibanding mengungkapkan saat hati meradang. Jadi berdamailah dengan hatimu dulu.

Tangan Rana terulur mengelus punggung telanjang yang memunggunginya saat dirasa tubuh kekar itu bergerak-gerak tak nyaman. Kebiasaan Daniel saat hatinya bergejolak, tidurpun jadi tak nyenyak.

Beberapa saat setelah melihat tubuh tegap itu kembali tenang, tangannya beralih posisi menjadi tumpuan tubuhnya untuk bergerak maju. "I love you, Pak Tua."

Cuup

"Mencuri ciuman hmm?" Daniel membalikkan badan, terkekeh kala mendapati istri cantiknya terlihat salah tingkah. Entah karena pernyataan cintanya atau karena ciuman curiannya.

Sejauh apa yang Daniel pelajari disepanjang pernikahannya, Rana memang begitu, sangat agresif namun dibaliknya tersimpan rasa malu-malu yang selalu membuatnya salah tingkah. Begitu menggemaskan cocok untuk digoyang, eh.

"Papa udah bangun?"

Daniel terkekeh, "Kamu bertanya tentang saya atau milik saya?"

Semburat merah menghiasi kedua pipi Rana, bahkan kini merembet hingga telinga. "Papa!"

"Tenang, Sayang. Kalau kamu mau lagi, saya pasti kasih kok." godanya membuat kedua netra Rana berkedip-kedip lucu.

"Papa jangan godain Rana!"

Daniel mencolek pipi Rana, "Abang nggak mau godain Neng Cantik kok. Abang cuma mau Neng Cantik tahu kalau berapapun agenda silameda yang Neng Cantik minta, pasti Abang ikhlas menerima."

"Jadi gimana Neng Cantik minta berapa ronde lagi?" tawarnya menaik turunkan alis.

"Inget umur! Udah tua, awas encok!" balas Rana tak mau kalah,

"Umur boleh tua, tapi stamina boleh diadu. Kamu nggak lupakan siapa yang tiap malam membuat kamu enak sampe merem melek." ledeknya yang dibalas dengusan Rana.

"Papa!"

Daniel mengedipkan satu mata. "Yeah, Baby?"

"Papa ih."

"Kok Papa sih, Daddy dong. Biasanyakan kalau dipanggil juga Baby balesnya Daddy." Tangan Rana tergerak, seperti ingin mencubit untung Daniel dengan sigap menangkisnya.

"Uh fashter Daddy, ouh yes Daddy." ujarnya dengan nada dibuat mendayu-dayu membuat Rana semakin panas. Daniel ini benar-benar menyebalkan memang!

Sebenarnya Rana ingin menimpali, namun diurungkan kala tawa renyah Daniel menyapa indra telinganya.

Sejenak Rana terpaku, suaminya ini sudah menginjak umur empat puluh dua tahun namun pesonanya tidak pernah luntur. "Tampan," gumamnya.

"Saya tahu, saya ini memang tampan, rupawan dan menawan."

Daniel menegakkan tubuh, menyandarkan diri pada dasboard tempat tidur. Sebelum menarik Rana dan membawanya ke dalam pelukan hangatnya.

"Jangan gerak-gerak, Ran. Saya mau mencharger energi saya dulu. Kalau kamu gerak-gerak nanti bukan energi saya yang naik tapi si Daug."

Rana tertawa, namun tetap menurut membiarkan dirinya berada di dalam pelukan hangat itu. Telinganya berada tepat di dada membuat Rana bisa mendengar dengan jelas degub jantung lelaki itu. Dalam hati Rana berdoa semoga ubun-ubunnya tidak mengeluarkan asap karena serangan ciuman bertubi-tubi yang Daniel lakukan.

"Sudah?" tanya Rana begitu pelukan Daniel mengendur.

Kini dirinya membalikkan badan menjadi terlentang, lalu memposisikan diri bersandar pada dada bidang Daniel. Membiarkan suami tampannya itu memainkan rambut dan sesekali menciuminya.

Daniel ini memang sangat menyukai rambut Rana, bahkan dulu sebelum menikah jika ditanya apa yang membuatnya tertarik jawabannya adalah rambut milik Rana. Daniel selalu mengatakan kalau rambut adalah daya tarik Rana, dengan kata lain jika Rana botak mungkin Daniel tidak akan memelihara Rana sebagai istri, tapi sebagai tuyul pencari uang.

"Bagaimana perasaan Papa sekarang?" Hanya gumaman tidak jelas yang berikan sebagai jawaban.

"Rambut kamu semakin panjang, Sayang."

"Kan emang sengaja nggak Rana potong, soalnya Rana suka yang panjang panjang." Rana menimpali Daniel, dirinya tahu suaminya ini sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Saya suka rambut kamu panjang,"

Rana mengangguk, "Rana tahu, itu juga salah satu alasan Rana nggak mau potong rambut."

"Kalau kamu mau potong rambut boleh kok, asal jangan dipotong terlalu pendek saja. Pokoknya selama masih bisa dikuncir dan dijambak saya tidak akan protes."

Mendengar suara cebikan yang keluar dari bibir Rana, Daniel hanya terkekeh.

"Sayang?"

"Iya, Pa?"

"Maaf, maafkan saya yang tadi menyerang kamu tiba-tiba."

Tangan Rana terulur mengelus tangan kekar berbulu yang melingkari tangannya. "Jangan minta maaf. Papa nggak salah, sudah tugas Rana melayani Papa. Lagipula Rana juga suka," akunya jujur.

"Ran?"

"Kalau Papa merasa belum siap bercerita dengan Rana, jangan dipaksa."

Daniel menciumi puncak kepala Rana, tangannya semakin memeluk erat perut rata itu. "Saya beruntung bisa memiliki kamu, Sayang."

"Rana juga beruntung punya suami kaya raya seperti Papa."

"Matre," cibir Daniel.

"Bukan matre, tapi ini namanya cerdas. Harta memang bukan segalanya, tapi dengan harta kita bisa mendapatkan segalanya."

"Tidak salah saya memilih kamu menjadi istri saya satu-satunya, Ran."

"Istri satu-satunya?"

Daniel mengangguk. "Iya, kamu istri saya satu-satunya dan tidak ada duanya."

"Lalu Karmila?"

"Saya sudah menceraikannya." jawab Daniel enteng seperti tidak ada beban.

Merasakan tubuh Rana yang menegang, dapat Daniel simpulkan jika istri cantiknya itu sedikit terkejut sepertinya Rana belum tahu tentangnya dan Karmila. Padahal mengingat tingkat kekepoan Rana yang melebihi agen FBI itu, Daniel kira jika Rana menguping pembicaraannya tapi nyatanya tidak. Rana benar-benar memberi ruang untuknya menyelesaikan masalah.

"Kenapa kalian bercerai?"

"Karena saya ingin menyudahi semuanya. Saya ingin hidup tenang bersama kamu, Onad dan calon anak kita nanti."

"Tapi..."

Daniel membalikkan badan, dengan sekali sentakan merubah posisi menjadi terlentang di atas Rana, menjadikan kedua sikunya sebagai tumpuan untuk menahan agar tidak menindih Rana.

"Saya mungkin mempunyai dua tangan untuk menggenggam kalian dalam waktu bersamaan," Daniel mengelus pipi Rana. "Tapi saya hanya punya satu hati yang tidak mungkin saya bagi."

"Bukannya Papa sudah berjanji pada istri pertama Papa untuk terus bersama Karmila? Lalu sekarang?" Mata Rana berkaca-kaca, sejujurnya ada rasa bahagia bisa menjadi satu-satunya, namun tak dapat dipungkiri sekeping hatinya yang merasa gundah.

"Saya tidak akan melepas Karmila begitu saja, saya tetap akan bertanggung jawab dengan seluruh kebutuhannya, Sayang. Perlakuan saya akan tetap sama, hanya status saja yang berubah."

Tuuk

Daniel menyentil kening Rana pelan. "Jangan berpikir macam-macam dalam otak cantikmu itu, Sayang." Rana merengut.

"Kamu bukan perebut, tapi saya yang menarik diri dan memilih bersanding dengan kamu."

Daniel memiringkan kepala, mengendus telinga Rana sebelum memberi gigitan-gigitan kecil disana.

"Paaaahhh, cerita duluuu awww." teriaknya saat dirasa Daniel meremas kuat squishi favoritnya.

"Ceritanya kita tunda dulu, Sayang. Ada yang lebih penting yang harus kita selesaikan sekarang."

Melihat Rana yang hendak buka suara, tanpa menunggu waktu lama Daniel langsung membungkam Rana dengan bibir kemerahannya. Mencecap dan mengeksplor di area favoritnya itu.

"Mera paswordnya."

"Kebanggan nih boss, masukin dong!"

~Sejumput Dendam Rana~

Bagaimana untuk part ini?

Next gak nih?

Salam sayang,
Author

Continue Reading

You'll Also Like

419K 46.9K 92
Sang CEO tampan mahabenar akhirnya mantu di usia yang masih thirty something, satu anggota keluarga baru akhirnya hadir. Tapi pekerjaan rumahnya belu...
901K 51.5K 53
BELUM DIREVISI. "Suutttt Caa," bisik Caca. "Hem?" jawab Eca. "Sttt Caa," "Apwaa?" Eca yang masih mengunyah, menengok ke samping. "Ini namanya ikan ke...
174K 9.5K 12
menyukai kembaran sendiri wajar bukan? bxb area awas salpak
15.1K 2.1K 40
Bagaimana jika kenalakan Yibo menurun ke anaknya. Up suka suka