ALKISAH (STEFAN & YUKI)

By ChiMaggie

5K 797 615

Akan ku ceritakan satu kisah, bagaimana semua bermula More

Alkisah : 00
Alkisah : 01
Alkisah : 02
Alkisah : 03
Alkisah : 04
Alkisah : 05
Alkisah : 06
Alkisah : 07
Alkisah : 08
Alkisah : 09
Alkisah : 10
Alkisah : 11
Alkisah : 12
Alkisah : 13
Alkisah : 14
Alkisah : 15
Alkisah : 16
Alkisah : 17
Alkisah : 18
Alkisah : 19
Alkisah : 20
Alkisah : 21
Alkisah : 23
Alkisah : 24

Alkisah : 22 (Flash Back)

162 22 24
By ChiMaggie

Yuki sedang duduk di teras rumah kontrakan. Disampingnya, ada Al yang menemani. Lelaki itu sedang menyeruput kopi dan memakan cookies buatannya, sore itu, mereka menikmati pemandangan awan yang terlihat cantik —berwarna orens kemerahan, khas sinar matahari yang akan terbenam.

Asyik menikmati pemandangan, tiba-tiba ponsel Yuki berbunyi, itu adalah telfon dari mama. Yuki pun segera mengangkatnya. "Halo, ma. Selamat sore!"

Diseberang sana, mama tak membalas salamnya. Yuki tau, mama pasti sedang penasaran dengan lelaki yang sempat diceritakannnya sewaktu berada di Lumajang, dan lelaki itu adalah Stefan. "Coba ceritain tentang nak Stefan, mama penasaran lho, kak. Apa lagi pas mama tanya ke bang Al, bang Al mu juga bilang kalau nak Stefan baik. Benar ya, nak Stefan kakak kelas kamu? Tapi seumuran sama kamu, kak? Beda berapa bulan sama kakak, siapa yang lebih dulu bulannya?"

Yuki berdecak pelan dengan senyum aneh tatkala mendengar serentetan pertanyaan mama yang sudah mirip seperti seorang wartawan haus berita. Disampingnya, Al yang mendengar suara mama, hanya bisa tertawa kecil.

"Sukurin. Makanya kalau kasi penjelasan itu yang lengkap." Ejek Al dengan lidah menjulur —membuat Yuki menarik hidung mancung lelaki Serui Arab itu dengan gemas.

"Udah aku jelasin, kayak kamu gak tau mama aja." Balas Yuki berbisik.

"Kak, halo? Kakak dengar mama gak?"

Mengabaikan rasa kesalnya pada Al, Yuki kembali membuka suara. "Iya ma dengar kok. Iya dia itu kakak kelas ku ma. Kan mama udah aku ceritain, masa mama lupa."

"Bukan lupa, kak. Mama tuh maunya kamu ceritain langsung lewat telfon. Ya udah ceritain gih, mama mau dengar."

Yuki menghela nafasnya sejenak, mengambil air putih untuk diminum, setelah merasa persiapannya cukup, Yuki pun bercerita kronologi pertemuannya dengan Stefan, mulai dari jaman SMA, hingga kisah mereka yang dipertemukan kembali di Lumajang. Tak lupa, Yuki menjawab pertanyaan mama.

"Yuki lebih tua empat bulan ma, Yuki April, kak Stefan Agustus. Harusnya sih Yuki gak manggil kak, tapi karena dia masuk SD waktu umur 5 tahun dan di SMA dia kakak kelas Yuki, ya udah Yuki panggil gitu aja."

"Cocok lah itu, udah seiman... mantap kak. Mama setuju, papa juga. Tapi, mau mama sih anaknya di ajak kesini dulu."

Yuki menggeleng pelan, seoalah tak percaya dengan mama yang lebih antusias darinya. "Aduh mama, kan baru pendekatan, nanti ajalah kalau udah ada kemajuan, ma."

Diseberang sana mama terdengar kecewa namun mama menghormati keputusannya, dan hal itulah yang membuat Yuki merasa beruntung memiliki orangtua seperti mama dan papanya. "Mama dan papa tuh kenal sama orangtuanya. Kita sering ibadah bareng kalau ada perkumpulan ibadah komsel, orangtuanya baik lho, kak."

Yuki tidak kaget ketika mama mengatakan kalau mama dam papa mengenal orangtua Stefan. Toh, saat dulu semasa SMA, Yuki bercerita ke mama dia menyukai nama Stefan dan mama langsung memberitau kalau mama dan papa mengenal orangtua Stefan.

Pikir Yuki, saat ini, mama kembali mengingatkannya karena mama sangat antusias dan merasa hubungannya dan Stefan itu unik, setelah bertahun-tahun malah baru dipertemukan. Dengan begitu, mama tidak keberatan jika andainya suatu saat dia berjodoh dengan Stefan. Al pun juga setuju jika dia bersanding dengan Stefan.

Yuki sempat merasa bingung dengan sikap orangtuanya dan Al, akan tetapi dia bisa apa? Yuki meyakini satu hal, ini adalah garis hidupnya yang telah ditorehkan oleh Tuhan. Yang bisa Yuki lakukan, hanya mengikuti garis itu sampai Tuhan menyatakan kehendak lainnya.

000

Yuki melirik ponselnya berulang kali, dia merasa cemas tatkala mendapati tak ada satupun pesan dari Stefan. Padahal hubungan mereka dua bulan setelah kepulangan Stefan dari Lumajang, baik-baik saja.

Pernah beberapa kali, Stefan ngambek karena melihat komentar para lelaki membanjiri status dan foto yang dia posting ke instagram dan facebook. Akan tetapi, kala itu Yuki tidak sadar jika Stefan sedang ngambek.

Bukan salah Yuki, kan? Kalau Yuki tidak sadar. Toh, Yuki kan bukan cenayang yang tau akan kecemburuan Stefan. Yuki benar-benar dibuat penasaran oleh Stefan yang saat itu sangat cuek dan minim bicara padanya lewat telfon. Berulang kali, Yuki bertanya pada Stefan, berulang kali pula Stefan menjawab, "Gak papa, kok." Atau "Gak ada apa-apa." Hingga membuat otak Yuki berpikir keras mencari jawaban sendiri. Malas berbicara dengannya, Stefan tiba-tiba pamit untuk tidur dan ternyata itu hanyalah bualan belaka.

Kenapa Yuki bisa tau?

Jawabannya, karena jam setengah dua malam, Stefan kembali menelfonnya dan mengatakan kalau dia itu cemburu pada para lelaki yang mengomentari fotonya. Yuki sempat terdiam beberapa detik dengan mulut terbuka. Sungguh, dia tak menyangka kalau Stefan ternyata cemburu. Yuki menahan tawanya dan memberi penjelasan kepada Stefan.

"Itu kan hanya komentar. Toh ibuk gak meladeni mereka, kan? Biarin aja, ibuk tuh masih ingat kali janji ibuk ke bapak ." Begitulah kira-kira, kata-kata Yuki yang membuat Stefan akhirnya luluh. Yah walaupun setelah itu juga, Stefan masih sering ngambek sih.

Kembali ke masa sekarang, Yuki mencoba berpikir. Apa Stefan sedang ngambek lagi? Tapi, mana mungkin. Kan dia sedang tidak aktif di media sosial. Apa lelaki itu sedang sibuk? Kalau sibuk sih, biasanya juga lelaki itu sudah memberitahukan padanya. Lagi pula, Yuki sudah hafal kok, jadwal kesibukan Stefan. Lantas, kalau bukan itu semua, Stefan ini kenapa? Kenapa tidak mengabarinya?

Rasa cemas Yuki bertambah, berkali-kali lipat ketika memikirkan satu kemungkinan. "Apa jangan-jangan, lagi sakit?"

Larut dalam pikirannya, tiba-tiba ponsel Yuki berdering. Yuki menghela nafas lega, ketika tau bahwa orang sedang membuatnya cemas, kini menelfon. Tak butuh waktu lama. Yuki segera mengangkat telfon Stefan.

"Halo, buk? Lagi apa? Maaf bapak baru bisa telfon jam satu malam."

Alis Yuki mengerung tatkala mendengar suara serak Stefan. Yuki benar-benar yakin, kalau Stefan pasti sedang sakit. Tanpa menjawab pertanyaan Stefan, Yuki balik bertanya. "Bapak lagi sakit ya?"

Diseberang sana, Stefan mengiyakan. "Tipes lagi, buk. Soalnya bapak sibuk terus ini. Sempat kehujanan pula." Stefan mengadu dengan suara yang mulai melemas —membuat Yuki semakin khawatir.

"Ish, kalau sakit ya ngapain telfon ibuk malam-malam? Mending tidur sana. Istirahat. Udah minum obat belum?"

000

Stefan tersenyum lemas ketika mendengar suara Yuki yang dia perkirakan saat ini sedang mencemaskannya. Stefan berbalik pelan, memeluk guling.

Denyutan hebat di kepala dan rasa sakit yang mendera tubunya, tidak dihiraukan Stefan. Persetan dengan semua itu, obat yang di minumnnya, membuatnya jadi absen mengabari Yuki dua hari. Karena efek obat itu, membuatnya mengantuk dan tertidur terus-terusan. "Bapak kangen sama ibuk, makanya bapak telfon. Udah minum obat kok."

Diseberang sana, Yuki menghela nafas dan helaan nafas gadis itu terdengar jelas di indera pendengarannya. "Kan bisa besok aja sehabis tidur. Lagian bapak kenapa sih susah banget dibilangin, kalau lagi hujan tuh keluarnya mending pake mobil aja, minimal bawa mantel lah kalau mau nekad pake motor!"

Dinasehati seperti itu oleh Yuki, membuat senyum Stefan semakin lebar. Hatinya menghangat tatkala mendapat perhatian dari gadis sang pujaan hati.

"Udahlah, ibuk gak mau bawel. Kasihan bapak, lagi sakit. Bapak udah makan kan?"

Stefan meletakan lengannya, menutup mata. Sungguh, dia semakin jatuh hati pada kedewasaan Yuki yang malah sering mengalah padanya. "Makasih ya buk. Maafin kalau bapak sakit lagi."

Stefan berucap dengan tulus, seolah merasa bersalah karena tak berhasil menepati janjinya pada Yuki dua bulan yang lalu dan diseberang sana, Yuki memakluminya. Karena Yuki tau, semua itu sudah ada yang mengatur.

"Jangan minta maaf, pak. Ibuk mengerti. Intinya, cepat sembuh ya."

Walau tau bahwa Yuki tak dapat melihatnya saat ini, Stefan mengangguk. Sebelah tangannya menepuk pelan pinggiran kasurnya yang kosong. "Andai ibuk disini, mungkin ada yang ngerawat bapak."

"Udah, yang sabar ya. Kan disana ada mama, papa, dan adek. Toh, ada dokter juga kan. Sekali lagi cepat sembuh ya pak. Bubu gih, besok ibuk telfon lagi."

Sontak, Stefan menggelengkan kepalanya cepat, membuat kepalanya semakin berdenyut hebat. Stefan meringis dan merengek pada Yuki —yang dia pun terkejut kalau dia bisa seperti ini terhadap Yuki. "Jangan, buk. Temani bapak ya? Bapak kangen, sungguh."

Yuki mengamini permintaannya lantas, mereka terdiam sejenak.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Stefan memecah keheningan diantara mereka.  "Buk, boleh sambil Skype gak?"

"Hah, skype? Sekarang banget?"

Stefan mengerungkan alisnya saat mendengar suara Yuki yang terdengar parau. Seketika dadanya terasa sesak tatkala memikirkan satu kemungkinan. "Ibuk, ibuk nangis?"

"Ng—nggak. Siapa yang nangis." Stefan semakin yakin kalau gadis itu sedang menangis. "Skypenya, kapan-kapan aja ya."

"Lah kenapa, buk?" Stefan mengajukan protesnya.

Diseberang sana, Yuki kembali diam, hanya suara nafas khas orang menangis yang Stefan dengar. Tanpa meminta persetujuan lebih lanjut, Stefan segera mengumpulkan tenaganya dan berdiri mengambil laptop. "Buk, bapak gak mau tau, harus angkat Skype bapak ya. Kalau gak, bapak marah ke ibuk!"

"Ish, jangan ih."

000

Yuki sadar kalau dia baru saja tak sengaja merengek pada Stefan. Yuki menghapus air matanya dengan cepat. Sejujurnya, dia tak ingin menangis, tetapi sisi melankolisnya berdesakan keluar tatkala tau kalau Stefan kembali sakit.

Memang, Yuki adalah calon dokter, hal seperti ini harusnya sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tetapi memikirkan berapa lama Stefan tak mengabarinya, membuat Yuki menyimpulkan, kalau sakit Stefan kali ini, bisa jadi lumayan parah.

Yuki tak tau kenapa dia bisa selemah ini, menangisi orang yang bahkan dia sendiri masih bingung, apa dia benar-benar menyayangi orang itu?


Selama ini Yuki merasa hubungan mereka layaknya teman dekat pada umumnya, tapi makin kesini, kenapa Yuki jadi mudah cemas kalau lelaki itu telat mengabarinya? Kenapa Yuki tidak bisa serasional dulu saat lelaki itu sakit?

Entahlah, Yuki tak dapat menjawab pertanyaan itu. Larut dalam tangisnya, Yuki tersadar, kalau Stefan benar-benar melakukan keinginan lelaki itu.

Setelah menghapus air mata dan merasa wajahnya terlihat baik, Yuki menerima Skype dari Stefan. Diseberang sana, wajah Stefan jauh lebih pucat dari keadaan lelaki itu dua bulan yang lalu. Badan lelaki itu terlihat jauh lebih kurus, berbeda jauh saat terakhir mereka bertemu. Air mata Yuki tiba-tiba kembali mengalir, Yuki sudah tak peduli jika Stefan melihatnnya. "K—kok, ba—bapak kurus banget sih? Bapak sakit apa? Apa beneran tipes?" Ucapan Yuki tersendat-sendat karena tangisannya.

Dilayar, Stefan terdiam seolah tak percaya melihatnya sedang menangis. Lelaki itu tersenyum lemas, mencoba menenangkannya. "Ibuk, jangan nangis lah. Bapak baik-baik aja ini. Hanya tipes, kok."

000

Dada Stefan bergemuruh saat melihat gadis pujaan hatinya yang tangguh dan ceria, kini sedang menangis tersedu-sedu. Wajah ayu gadis itu memerah. Suara tangisan Yuki tersendat-sendat. "Bapak bohong kan, paru-paru bapak lagi bermasalah kan?"

Degh... Jantung Stefan berdebar tak karuan ketika Yuki berhasil mengetahui status kesehatannya. Stefan tau, Yuki adalah calon dokter, Stefan juga tau kalau gadis itu pernah melakukan tes pemeriksaan kesehatan melalui sampel darahnya. Tapi Stefan tak pernah menyangka kalau gadis itu masih mengingat semuanya. Seketika, Stefan merasa menyesal karena telah membiarkan gadis itu melihat keadaannya saat ini.

"Kan udah sering ibuk bilang, merokoknya di kurangi. Ibuk kan gak minta bapak langsung berhenti merokok. Yang ibuk minta cuma sehari di kurangi beberapa batang, apa berat banget ya permintaan ibuk?" Tangisan Yuki semakin menjadi-jadi, gadis itu sampai menyembunyikan wajah dibalik kedua telapak tangan gadis itu. "Ibuk juga selalu minta, jangan terlalu capek kerjanya, harus sempatin tidur, tapi bapak malah bandel. Emang permintaan ibuk terlalu berat ya buat dikabulkan?"

Stefan terdiam. Dia merutuki kebodohannya, Stefan merutuki keras kepalanya dan kecerobohannya yang selalu mengabaikan permintaan Yuki tanpa gadis itu ketahui. Dan kini, dengan bodohnya, dia sendiri yang membongkar itu semua kepada Yuki. "Jujur, hati aku sakit kak, waktu lihat keadaan kakak kayak begini. Aku minta maaf kalau kakak merasa aku berlebihan dan mengganggu kakak. Padahal aku gak punya status apa-apa ke kakak. Tapi sekali lagi, jujur, aku takut kakak kenapa-kenapa. Aku gak pernah setakut ini sebelumnya."

Stefan tiba-tiba ikut menangis, dia tak sanggup lagi melihat Yuki yang tengah menangis dihadapannya. Jauh dilubuk hati Stefan, Stefan merasakan ketulusan gadis itu dan ini adalah kali pertama gadis itu terlihat rapuh serta menunjukan perasaan sesugguhnya gadis itu kepadanya. "Maafin aku, dek. Karena udah buat kamu begini. Maaf, aku selalu lalai dan gak nurutin permintaan mu."

Stefan menghela nafasnya cukup panjang dan detik selanjutnya dia melontarkan kata-kata yang membuat Yuki tertegun. "Bapak juga mau tetap sehat. Bapak mau ngelihat ibuk berjalan ke arah bapak, kita ucapin janji sehidup semati di depan pendeta. Bapak mau setiap pagi, saat bapak bangun, ngelihat ibuk yang lagi tidur disamping bapak. Bapak masih mau terus berdebat sama ibuk, mulai dari debat karena cemburu, ataupun debat karena ke absurd-an kita. Bapak mau jadiin ibuk istri bapak. Bapak mau jadi pendamping hidup ibuk, meskipun ini konyol dan gak masuk akal, bahkan kalau ada kebidupan lain buat kita, bapak bakalan minta, ibuk selalu jadi pendamping hidup bapak."

Yuki masih menangis, gadis itu menatapnya dengan raut wajah yang sulit diartikan.

"Love you."

Stefan tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia sudah melewati batas kali ini, sifat sentimentilnya bisa saja membuat Yuki tidak nyaman. Dengan begitu, buru-buru Stefan meminta maaf. "Buk, kayaknya ini efek obat deh sampe bapak bisa bertindak begini. Kayaknya kita tidur aja ya. Maaf buk, bapak minta maaf."

Ketika Stefan hendak menutup sambungan video call mereka, Yuki menggeleng pelan, gadis itu tersenyum disela-sela tangisan. "Terimakasih, terimakasih karena udah cinta ke ibuk. Suatu saat, mungkin ibuk bakalan cinta ke bapak. Lagi pula, ada doa ibuk yang sudah di jawab sama Tuhan." Gadis itu menghapus air mata, lalu semakin tersenyum lebar ke arahnya. "Udah ah, kita gak cocok melankolis begini, kita kan pasangan lawak, semboyan kita, no lawak, tyda swag!"

Stefan mengerungkan alisnya, dia merasa sedikit bingung dan penasaran tatkala mendengar kalimat Yuki tentang doa gadis itu yang terkabulkan, namun Stefan tak bertanya, dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan seperti yang gadis itu lakukan, agar mereka tak menangis. Karena sejatinya, benar kata Yuki, mereka bukanlah pasangan yang melankolis. Mereka tidak cocok berada disituasi seperti ini, mereka memiliki semboyan, no lawak, tyda swag! Berdasarkan hal itulah, Stefan tertawa di ikuti dengan tawa Yuki. "Ah ibuk bisa aja. Jadi, gila lagi kan kita, emang geblek lah ibuk ini."

"Emang ibuk geblek.. bapak bisa apa, hayo?"

Mendengar kata hayo, tiba-tiba membuat wajah Stefan tertekuk. Dia jadi ingat oleh satu komentar temannya di foto Yuki yang memanggil gadis itu, dengan panggilan akrab yang dibuat oleh lelaki itu, Hayo. "Ah, malesin lah buk. Ngapain bawa-bawa kata Hayo sih. Bikin gerah hati aja."

Dilayar, Yuki tampak bingung sesaat, namun kemudian gadis itu sadar dan tertawa cengengesan. "Ish, bapak, ngapain cemburu sih. Orang itu dia yang buat, bukan ibuk yang minta kok."

Diam-diam, Stefan menahan tawa. Saat ini Yuki malah terlihat seperti pacarnya yang sedang mencoba menenangkan hatinya. "Malas lah, buk. Tetap aja. Mending ibuk mikir gih, buatin nama panggilan buat bapak."

Niat Stefan hanya bercanda, tapi siapa sangka, Yuki benar-benar mengamini permintaannya. "Hemh, karena keponakan aku suka nonton Thomas and Friends, gimana kalau aku panggil kakak Thomas aja?"

Alis Stefan mengerung tatkala mengetahui keajaiban lain Yuki. Dia sampai menggeleng pelan. Seolah tak percaya dengan pola pikir gadis itu. "Buk, apa hubungannya Thomas sama nama panggilan? Orang mah normalnya pake sayang kek, honey kek, beb kek, lah ibuk, malah beda sendiri, Thomas bah!"

Yuki berdecak pelan, gadis itu mengajukan protes. "Sayang, honey, beb mah udah biasa kali, pak. Pasaran... harus berani beda, dong. Toh, Thomas tuh lucu lho kak.. kereta bilu unyu gitu!"

Mendengar alasan Yuki, membuat Stefan lagi-lagi tertawa geli. Stefan akhirnya menyerah dan menyetujui nama panggilan yang diberikan Yuki untuknya. "Ya udah deh, apa kata cadel aja dah! Kalau gitu, ibuk bapak panggil Bodat ya!" Sesayang itu, Stefan pada Yuki. Sampai di ajak edan pun tetap mau.

"Bodat, bukannya monyet ya? Emang aku kayak monyet? Eh, tapi monyet juga lucu sih, ya udah deh. Deal yak. Bapak itu Thomas, ibuk itu Bodat. Thomas cepat sembuh ya, jangan buat Bodat khawatir.. jangan bandel... ingat nasehat bodat, di lakuin juga.. awas kalau di langgar! Hidungnya mancung ke dalam lho."

Dan seperti itulah awal mula panggilan kesayangan absurd mereka tercipta.






Continue Reading

You'll Also Like

792K 7.6K 9
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...
557K 40.5K 39
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
2.8M 196K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...