OBVIOUSLY PAIN

By yuli_nia

32.9K 5.2K 417

Dia berjanji akan pergi sebentar saja, tapi tidak pernah kembali sampai bertahun kemudian. Kepergiannya menin... More

FLOWERS SERIES
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Visual of all cast
Ebook OBVIOUSLY PAIN

Part 30

1.4K 142 43
By yuli_nia

“Gara-gara dirimu, Jovanka dan Vio selalu menderita, Berengsek! Harusnya kamu jauhin mereka. Tidak mendekat layaknya virus dan menambah beban di hidupnya. Lihat sekarang, dari pihakmu, nyawa Vio dan Jovanka terancam. Bajingan sepertimu tidak pantas berada di sekitar mereka, berengsek memang.” Baru saja masuk di ruang rawat Violetta dan masih pagi-pagi sekali, Brian mencaci maki Vincent. Bahkan, ia hampir menerjang lelaki itu jika saja Jovanka tidak menahan.

“Bi, tolong tenang. Kalau caramu seperti ini bisa mengganggu Vio tidur. Dan sekarang ini bukan waktunya untuk saingan memperlihatkan siapa yang lebih baik. Aku mohon, Bi, jangan pakai emosi. Aku tahu kamu sangat marah sama Vincent. Tapi, demi Vio, kita butuh pemikiran yang dingin agar bisa mencari solusi dan jalan keluarnya.” Sambil menahan tubuh Brian, Jovanka berucap penuh permohonan. Ia tahu Brian sangat marah dan emosi kepada Vincent. Setelah semalam Vincent mengabari lelaki itu dan membutuhkan pertolongannya.

“Aku memang salah, aku minta maaf, Bri. Aku memang lelaki berengsek, aku mengakui itu. Tapi, untuk melepaskan Vio dan Jovanka, aku tidak akan melakukannya. Sudah waktunya aku bertanggung jawab kepada mereka. Menjaga mereka dari mara bahaya. Dan di sini, aku memang sangat membutuhkan pertolonganmu, membutuhkan bantuanmu. Karena aku percaya, kamu memiliki satu tujuan yang sama denganku, melindungi Jovanka dan Vio.”

Vincent masih duduk anteng di sofa. Pandangannya tertuju kepada Brian yang menatapnya bengis. Meski begitu, ketegangan dan kekalutan masih menyelimuti dirinya. Hatinya sama sekali tidak tenang jika mengingat di luar sana, ada banyak orang jahat yang sedang mengintai keselamatan Jovanka dan Violetta.

Brian mengempaskan tangan Jovanka yang menahan lengannya, lantas mendaratkan pantat di sofa tunggal. Deru napasnya masih menggebu. Tatapannya masih menajam memandang Vincent. Sambil mengatur pernapasan agar emosi mereda, ia bertanya dengan sangat enggan. “Lalu, apa rencanamu untuk melindungi Jo dan Vio? Mereka tentu tidak akan tinggal diam. Namanya orang jahat pasti memiliki banyak cara untuk menjatuhkan lawan.”

“Yang pertama, kami akan keluar dari rumah sakit ini sebelum jam tujuh. Semalam aku sudah mengurus semua administrasi dan aku sudah meminta surat keterangan dari pihak rumah sakit atas penyakit yang diderita Vio. Dan aku memutuskan akan melanjutkan pengobatannya di luar negeri. Vio menderita anemia aplastik yang membutuhkan donor sumsum tulang belakang, bukan? Mungkin punyaku akan cocok.”

“Jadi, kamu sudah tahu?” tanya Jovanka, terkejut. Pasalnya, ia tidak pernah memberi tahu Vincent selama ini.

“Iya, Jo. Aku bukan orang yang akan tinggal diam untuk mencari tahu sesuatu, yang memang seharusnya aku tahu.”

Brian terdiam. Jovanka benar, ini bukan saatnya ia membesarkan emosi untuk bersikap keras kepala. Sementara itu, di satu sisi, ia merasa lega karena Violetta sudah menemukan obat penyakitnya.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Brian bertanya dengan nada rendah.

“Untuk mengelabuhi mereka, kami akan keluar dari rumah sakit menggunakan jalur udara. Aku sudah meminta bantuan dari temanku yang memiliki helikopter. Dan dari informasi pihak rumah sakit, rooftop rumah sakit ini bisa digunakan sebagai tempat mendarat helikopter. Nanti kami akan lewat sana. Lalu, tugasmu di sini untuk membawakan barang-barang kami. Nanti bisa diantar ke tempat temanku, untuk sementara waktu kami akan bersembunyi di sana sampai semua urusan selesai.”

“Baiklah. Beri tahu aku alamat temanmu itu. Lalu, apa lagi yang harus aku lakukan?”

“Nanti aku kirim di chat alamatnya. Aku juga minta tolong sama kamu, Bri, untuk mengambilkan semua dokumen identitas Jovanka dan Vio. Aku butuh itu untuk membuatkan paspor dan kepentingan lainnya nanti.”

“Jadi, kalian sungguh-sungguh akan ke luar negeri?” Brian menatap Vincent dan Jovanka bergantian. Ada rasa tidak rela melepas dua orang yang dicintainya sekaligus.

Vincent mengangguk mantap. “Iya. Aku dan Jovanka sudah merundingkan ini semalam. Aku akan membawa mereka ke luar negeri mencari tempat yang aman untuk berlindung. Juga untuk memulai hidup baru. Melepaskan mereka dari masalah-masalah yang berat. Jo dan Vio patut bahagia, Bri. Dan aku, sebagai orang yang membuat mereka kesusahan, akan mengembalikan kebahagiaan yang seharusnya ada. Semoga kamu paham akan hal ini. Aku juga minta maaf kepadamu, Bri.”

Brian mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Matanya memanas. Pandangannya pun jadi memburam. Ia menahan sesak karena telah kalah oleh keadaan. Ia kalah oleh Vincent yang bisa mendapatkan keduanya. Namun, ia juga sadar mau sekuat apa pun menggenggam Jovanka, kalau perempuan itu tidak bisa menyeimbanginya juga akan percuma.

“Boleh aku ngelonin Violetta?” Suara Brian tertahan, terdengar begitu menyakitkan. Saat air matanya berhasil lolos dari pertahanan, ia mengusapnya gusar.

Hal itu tidak lepas dari pandangan Jovanka. Ia ikut meluruhkan air mata, tidak tega melihat Brian.

“Boleh, Bri. Vio anak kita berdua. Kamu masih bisa menganggapnya anak, meskipun Vio memang anak kandungku. Aku tidak akan melarangmu untuk menyayangi Vio. Aku justru berterima kasih banyak kepadamu, karena kamu mau menjadi ayah pengganti selama aku tidak ada,” ucap Vincent penuh pengertian.

Brian pun langsung beranjak. Ia melangkah menuju ranjang pasien dan menurunkan side rail agar memudahkan dirinya naik ke ranjang. Setelah membaringkan tubuh, ia merengkuh tubuh Violetta dan meluruhkan kesedihannya. Ia menangis tersedu di sana.

Sementara itu, Violetta terbangun saat sadar ada tangan yang merengkuh tubuhnya.

“Papa pasti akan sangat merindukan Vio nanti. Yang harus Vio tahu, Papa Brian sangat sayang sama Vio,” ucap Brian di sela tangisnya. Ia memejamkan mata sembari mengecup kening gadis kecilnya, yang sudah mewarnai hidupnya selama bertahun-tahun ini.

“Papa Brian nangis?”

“Vio harus sembuh, ya, Sayang. Papa akan menunggu kepulangan Vio. Papa sayang sama Vio.”

“Vio juga sayang sama Papa Brian.”

“Vio tidak boleh lupa sama Papa kalau sudah di tempat baru, ya.”

“Memangnya Vio mau ke mana, Papa Brian?” Gadis kecil itu bertanya sangat lugu.

“Vio akan berobat ke luar negeri sama Papa Vincent dan Mama. Papa Brian tidak bisa ikut karena harus bekerja di sini, Sayang.”

Violetta mengangguk paham. “Papa Brian jangan sedih, ya. Nanti Vio sama Papa Brian menikah biar bisa tinggal serumah. Kata Papa Vincent, harus menikah dulu biar bisa tinggal serumah.” Dengan polosnya, ia berkata.

Brian yang awalnya sedih, jadi tergelak mendengar penuturan Violetta. Ia mengurai pelukan, lalu bertanya, “Papa Vincent yang bilang seperti itu?”

Violetta mengangguk. “Iya. Papa mau menikah sama Mama biar bisa hidup serumah. Nanti Vio menikah sama Papa Brian biar bisa hidup serumah.”

“Astagaaa, kenapa anakku punya pikiran seperti itu? Vincent, kamu tuh, yang mengajari Vio gak bener.” Jovanka berseru kesal sambil mengusap jejak air matanya.

Vincent mengedikkan bahu tak acuh. “Hanya racauan anak kecil, Jo. Jangan dianggap serius. Lagian benar, kan, kita harus menikah biar bisa hidup serumah?” Beranjak berdiri, ia mulai mengemas barang-barangnya ke tas. Jovanka pun ikut membantu.

Sementara itu, Brian masih dalam posisi sama. Ia memeluk Violetta sembari mendongeng meski dalam hati harus menahan sedih.

Tepat jam tujuh pagi, Vincent, Jovanka, dan Violetta meninggalkan ruang rawat. Mereka sudah berada di rooftop rumah sakit sekarang, menunggu helikopter mendarat.

“Papa, kita mau naik helikopter?” Dalam gendongan Vincent, Violetta bertanya antusias. Matanya berbinar bahagia saat menatap baling-baling helikopter yang berputar cepat. Rambut panjangnya yang tergerai melambai-lambai.

“Iya, Sayang. Vio sudah pernah naik helikopter?” Vincent mengecup pipi anaknya.

Violetta menggeleng. “Belum, Papa. Berarti kalau naik helikopter, Vio bisa terbang, ya?”

“Vio bisa melihat gedung-gedung dari atas. Masih ingat tidak waktu bermain di sekolahan, Vio ingin bisa terbang, ‘kan?”

Gadis kecil itu manggut-manggut.

“Nah, sekarang waktunya Papa mewujudkan keinginan Vio yang sebenarnya. Bisa terbang menggunakan helikopter.”

“Yeee! Vio sayang Papa. Papa Vincent baik.”

“Terus ... Mama enggak baik, Vio?” Berdiri di sebelah Vincent, Jovanka bertanya. Ia cemburu dengan Vincent karena selalu dipuji oleh anaknya.

“Mama baik kalau mencintai Papa. Bilang gitu, Nak,” bisik Vincent di sebelah telinga Violetta, dan diangguki gadis kecil itu.

“Mama, kata Papa, Mama baik kalau mencintai Papa.”

Vincent menepuk jidat. “Bukan gitu konsepnya, Sayang. Jangan bilang kata Papa.”

“Tapi, Papa yang bilang, kok.” Violetta mencari pembelaan.

Jovanka menatap garang Vincent, lantas menjewernya. “Ajarin anak yang baik-baik, Vincent. Lihat hasilnya tadi, ngajak Brian nikah segala.”

“Iya, Sayang. Lepasin, dong. Nanti kalau Vio ikut ngejewer aku juga bahaya, tahu.”

“Aku mendukung untuk itu,” ketus Jovanka. Namun, ia melepaskan jewerannya.

“Lebih baik seperti ini.” Dengan segera, Vincent merengkuh Jovanka dari samping, lantas mengecup pipi perempuan itu.

Jovanka terkejut dan langsung memelototkan mata. Akan tetapi, justru ditertawakan Vincent karena ia terlihat menggemaskan.

“Ayo, helikopternya sudah siap itu,” ajak Vincent. Ia menggandeng tangan Jovanka, melangkah mendekati helikopter yang sudah mendarat.

***

Saat memandangi orang-orang yang telah berperan penting dalam hidupnya berkumpul, Jovanka tersenyum sedih. Hari ini, ia, Vincent, dan Violetta harus meninggalkan Indonesia setelah dua minggu bersembunyi dan menunggu semua urusan selesai; dari mulai pembuatan paspor, mengurus tempat tinggal, dan pekerjaan Vincent selama tinggal di negara yang akan dituju terancang rapi.

“Aku hanya ingin kamu bahagia, Jo. Jemputlah bahagiamu yang telah lama hilang. Berbahagialah bersama Vincent, kekasihmu yang selama ini kamu tunggu-tunggu kedatangannya kembali. Dan percaya, ‘kan? Sebuah penantian panjang tidak akan terbuang sia-sia. Vincent akan tetap kembali kepadamu lagi.” Dokter Laluna memandangi paras cantik Jovanka sambil menyelipkan rambut perempuan itu ke belakang telinga. Sementara itu, ia terus meluruhkan air mata sedari tadi. Ia sedih karena akan kehilangan Jovanka dan Violetta dalam waktu yang lama.

“Dok, aku mau berterima kasih banyak sama, Dokter. Selama ini, selama aku mengenal Dokter, Dokterlah orang yang paling berpengaruh penting dalam hidupku. Saat semua orang pergi menjauh, hanya Dokter Laluna yang masih setia menemaniku. Merawatku layaknya adik sendiri. Terima kasih banyak atas kebaikanmu selama ini, Dok.”

Jovanka terguguk. Ia langsung merengkuh Dokter Laluna. Mengingat semua kebaikan perempuan itu kepada dirinya, benar-benar membuatnya sedih dan terharu. Ia bahkan bingung, tidak tahu harus membalas kebaikan Dokter Laluna dengan cara apa.

“Kamu akan tetap menjadi adikku, Jo. Aku bahagia bisa mengenal wanita sepertimu. Wanita yang tegar meskipun masalah terus berdatangan menghampirimu.”

Jovanka mengangguk. “Karena aku memiliki Tuhan. Di balik itu, aku memiliki Dokter dan yang lain. Orang-orang hebat yang selalu memberiku support saat dalam kesusahan.”

Usai mengurai pelukan, Jovaka beralih kepada Brian. Mata lelaki itu sudah memerah, bahkan berkali-kali meluruhkan air mata.

“Bi,” panggil Jovanka, bibirnya bergetar. Ia masih sesenggukan. “Maafkan aku yang selalu merepotkanmu selama ini.” Ia menghambur ke pelukan Brian, lantas menangis tersedu-sedu di sana. “Maafkan aku, Bi.”

Maaf juga karena aku tidak bisa membalas cintamu. Bagiku, kamu tetap Kakak terbaik yang aku miliki, Bi. Kakak pelindung yang selalu ada untukku selama ini. Maafkan aku kalau banyak salah sama kamu. Rasanya, Jovanka tak lagi sanggup bersuara.

“Jika kamu bahagia dengan Vincent, aku akan mengikhlaskan kamu untuknya, Jo. Tapi, janji sama aku, kamu harus bahagia di tempat yang baru. Raihlah bahagia yang seharusnya kamu dapat.”

Dalam pelukan Brian, Jovanka manggut-manggut. Tangisnya semakin tersedu-sedu. Membuat Ely, Varisca, Dokter Laluna, dan Aira—sang pemilik rumah—menangis sesenggukan.

Begitu pun Vincent, matanya berkaca-kaca. Sementara itu, Violetta menatap bingung semua orang. Akan tetapi, gadis kecil itu juga merasa sedih karena sang mama menangis.

“Kak, baik-baik di sana, ya. Kabari aku kalau sudah sampai. Aku juga akan terus mengabari kamu tentang perkembangan di rumah. Dan saat ini, keadaan masih belum aman. Mereka masih mencari keberadaan kalian.” Berdiri di sebelah Vincent, Varisca berkata di sela sesenggukannya.

“Aku pasti akan mengabari kamu. Papa juga sudah bersepakat akan menyembunyikan persembunyian kami sampai Mama sadar dengan sendirinya. Nanti, kalau aku dan Jo sudah menemukan tanggal pernikahan yang tepat, kamu sama Papa ke sana, ya.”

Varisca mengangguk. “Sudah pasti, Kak.” Lantas, ia beralih menatap Violetta. “Keponakan Aunty cepat sembuh, ya. Biar bisa main sama Amora lagi.”

Sambil mengangguk-angguk, Violetta menjawab, “Iya, Aunty.”

Aunty mau cium Vio dulu, dong.” Varisca langsung mengecupi pipi Violetta.

Jovanka yang sudah mengurai pelukan Brian, beralih memeluk Ely. Tangis keduanya saling bersahutan, sama-sama merasakan kehilangan yang mendalam.

“Aku bakal kangen banget sama kalian, Mbak.” Ely terisak-isak. “Jika saja kalian tidak ada dalam bahaya, aku tidak akan melepaskan Mbak Jo dan Vio pergi. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri.” Tangisnya semakin pecah. Ia tidak bisa membayangkan kesepian yang akan menghampirinya setelah ini, setelah Jovanka dan Vio benar-benar pergi dari Indonesia, meninggalkan dirinya.

“El, terima kasih banyak atas kebaikanmu selama ini. Tanpa kamu, aku pun tidak tahu akan seperti apa. Kamu sama seperti Dokter Laluna dan Brian, orang terpenting dalam perjalanan hidupku.”

Ely sudah tidak sanggup berbicara. Ia hanya manggut-manggut sambil mengeratkan pelukannya. Rasanya tidak ingin melepas Jovanka, ingin tetap seperti sekarang.

“Tetaplah tinggal di ruko itu, El. Anggap saja itu rumahmu sendiri.”

“Iya, Mbak.”

Mengurai pelukan, kini Jovanka beralih kepada Aira. “Mbak Aira, terima kasih atas dua minggunya selama aku di sini. Mbak Aira sangat baik mau menerimaku dan Vio menumpang, padahal sebelumnya kita belum pernah kenal.”

“Iya, Jo.” Aira mengangguk. “Aku juga senang bisa mengenal dirimu. Baik-baik di sana, ya. Semoga pengobatannya Vio juga berjalan lancar.”

Jovanka mengangguk. Lalu, ia beralih kepada Varisca. “Var, maafkan aku.”

“Enggak, Jo. Aku yang seharusnya minta maaf. Karena Mama dan Emberlyn, kamu dan Vio dalam bahaya. Aku sebagai anak, malu rasanya. Tapi, aku percaya kalau Kak Vincent bisa menjaga kalian di sana.”

Jovanka memeluk Varisca cukup lama. Sebelum akhirnya, ia mengurai pelukan dan menatap Vincent sembari mengangguk, menandakan jika dirinya telah siap pergi.

Paham yang dimaksud, Vincent pun langsung menggandeng tangan perempuan itu, kemudian berpamitan kepada mereka. Setelahnya, ia menuntun Jovanka melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman depan teras.

Sampainya di samping mobil, Jovanka terdiam sejenak. Ia menoleh ke belakang, menatap tak tega kepada mereka. Semakin tersayat perih hatinya saat ia melihat Ely menangis histeris dalam pelukan Dokter Laluna.

“Ayo, Jo.” Vincent yang sudah masuk, memberi instruksi.

Dengan berat hati, Jovanka menurut. Tangisnya pecah lagi, bersamaan dengan kendaraan yang ia tumpangi melesat pergi.

ENDING

***

Yang ini bener-bener ending versi wattpad dari pertama publish, ya. Tapi, kelanjutannya masih ada dan bisa dibaca di ebook. Untuk novelnya sudah tidak tersedia lagi.

Thank you yang sudah mampir dan baca. 🫶🫶

Semoga dari cerita ini bisa mengambil hikmah positifnya, dan buang yang negatif.

Semoga, kita yang sebagai perempuan, bisa menjadi woman support woman. Bisa menjaga diri yang belum menikah. Dan kalau pun ada yang mengalami nasib seperti Jovanka, semoga diberi kekuatan, jangan mudah putus asa dan tidak mengakhiri hidupnya begitu saja.

Dan itulah kenapa aku menulis cerita mengangkat soal perempuan. Semoga kita-kita ini, bisa lebih menghargai perempuan yang membutuhkan dukungan dan pelukan.🥰🥰

Continue Reading

You'll Also Like

859 59 7
kisah absurd 3 bersaudara Madl, yaitu Orter, Ruinn, dan Wirth vomentnya sengkuh OOC ©®:Hajime Komoto
6.2K 843 26
Tujuh tahun menjalin hubungan dengan Mario Putra Winata, Alifia Febriana yakin bisa menaklukkan jarak yang terbentang antara Jakarta-Surabaya. Namun...
6.2M 322K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
725K 72.5K 23
Saat ketenangan sudah mulai bersahabat dengannya, pria itu datang, kembali membuat kehidupan Mawar menjadi 'tidak' baik-baik saja. Selalu, Kris hanya...