OBVIOUSLY PAIN

Bởi yuli_nia

32.9K 5.2K 417

Dia berjanji akan pergi sebentar saja, tapi tidak pernah kembali sampai bertahun kemudian. Kepergiannya menin... Xem Thêm

FLOWERS SERIES
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Visual of all cast
Ebook OBVIOUSLY PAIN

Part 24

666 139 8
Bởi yuli_nia

"Sudah, jangan menangis lagi." Vincent mengusap-usap kepala Jovanka, sesekali mengecupnya. Akan tetapi, perempuan itu masih tergugu dan semakin mengeratkan pelukan. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Ia berpikir, ucapannya barusan biasa-biasa saja, hanya mengeluarkan uneg-uneg dalam hati. Namun, tak ia sangka jika ternyata justru membuat perempuan itu sedih.

"Aku tidak bermaksud membuatmu sedih, Jo." Vincent merasa sangat bersalah.

Jovanka pun mengangguk. Ia terisak-isak, untuk bersuara saja rasanya sangat alot dan tertahan di tenggorokan. Vincent benar-benar memporak porandakan hatinya sekarang. Mampu membawa pikirannya tertarik ke beberapa tahun lalu. Di mana saat dirinya sedang dirawat di rumah sakit, awal pertama merasakan gerakan Violetta di dalam kandungan, dan yang ia harapkan adalah kedatangan lelaki itu. Namun, justru Brian yang menggantikan, yang mengusap-usap perutnya untuk pertama kali. Lalu, setelah mendengar alasan Vincent yang berulang kali sama dan begitu meyakinkan, benar-benar membuat hatinya meluluh, kacau, dan sangat sedih. Ia bisa merasakan bagaimana rasa bersalahnya lelaki itu, bagaimana rasa keinginannya yang ingin menemani dirinya sewaktu masih hamil.

'Apa aku terlalu egois kepada Vincent, Tuhan? Apa aku harus memaafkannya, walaupun aku telah dikecewakan? Tapi, jujur dari hati yang terdalam, aku masih sangat mencintainya. Sampai detik ini aku masih mencintainya.' Jovanka hanya bisa berucap dalam hati. Tangisnya bahkan tak henti-henti. Kemudian, ia menunduk saat Vincent mengurai pelukan, dengan kedua tangan menangkup wajahnya.

"Kita sama-sama tersakiti oleh takdir,  Jo. Aku yang mengalami kecelakaan sampai tak bisa kembali untuk menemani hari-hari sulitmu dulu. Tuhan memang setega itu dengan kita, ya, ketika memberi ujian hidup. Tidak kasihan dengan batin kita yang tersiksa." Vincent terkekeh miris. "Tapi, ternyata Tuhan juga masih sangat baik dengan kita, karena telah mempertemukan kita kembali," lanjutnya lagi.

Jovanka tidak menjawab dan masih menunduk, tetapi ia mendengarkan dengan jelas ucapan lelaki itu.

"Aku berharap kamu mau memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku masih sama seperti dulu, masih sangat mencintaimu, Jo. Dan seperti yang kamu harapkan dari bunga violet, aku ingin menjadi salah satunya untukmu. Menjadi orang yang setia menemanimu sampai kapan pun, dan menjadi seorang lelaki yang mencintaimu sepenuh hati. Tolong, beri aku kesempatan, Sayang," ucap Vincent penuh harap.

Sementara Jovanka menggeleng. "Aku belum tahu. Aku belum bisa memutuskan, sedangkan dirimu masih memiliki tunangan."

"Aku sudah memutuskan dia. Bertunangan dengan memanfaatkan kondisiku yang sedang tidak baik-baik saja, sama saja bohong, 'kan? Aku bahkan tidak dekat dengan dia sebelumnya, kalau dia tidak mengaku-ngaku sebagai kekasihku."

"Tapi, semua keluargamu sudah merestui hubungan kalian. Bahkan, Mama kamu juga tidak menyukaiku, Vincent. Apa kata keluarga kamu nanti, kalau kamu masih denganku dan menikahiku. Mereka pasti akan malu. Apalagi dengan setatusku yang sekarang, memiliki anak sebelum nikah."

"Dan itu anakku jika kamu ingat, Jo. Darah dagingku."

Jovanka mengangkat kepala, menatap manik mata lelaki itu dalam-dalam. "Aku tidak ingin penderitaanku akan menurun ke Vio. Cukup aku saja yang mengalami ini, Vincent. Jika kami masuk ke keluargamu, akan banyak orang yang memandang Vio buruk. Mereka sudah pasti akan menaburkan cela ke anak kita."

"Aku akan melindungi kalian." Vincent membalas cepat.

"Tidak semudah itu."

"Aku mohon, Sayang. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Vincent mengamati lamat-lamat wajah sembab perempuan di depannya.

"Aku belum bisa." Jovanka menggeleng. Untuk kembali lagi dengan Vincent tentu membutuhkan pikiran yang matang. Ia tidak bisa mengambil keputusan secepatnya, sedangkan di depan masih banyak masalah yang menghadang.

Mendesah lelah, Vincent mengangguk. Ia berusaha mengerti Jovanka. Meskipun begitu ia tidak akan menyerah untuk mengambil hati perempuan yang dicintainya itu. "Aku menerima keputusanmu sekarang, Jo. Aku tidak akan memaksamu. Tapi, tolong, biarkan aku dekat Vio dan memperjuangkanmu sampai aku layak untuk dirimu."

Jovanka menunduk lagi. Hatinya sangat gamang, risau dengan perasaan yang campur aduk tak karuan. Saat Vincent memajukan kepala dan mengecup keningnya, ia menurut saja tanpa menolak.

"Nanti aku akan pulang mengambil pakaian untuk ganti selama di sini. Nanti punyamu juga aku ambilkan sekalian," ucap Vincent, setelah menjauhkan kepalanya dari kening Jovanka.

Perempuan itu mengangguk. Ia berucap lirih, "Iya, terserah kamu saja."

"Sekarang biarkan aku tidur dulu, Sayang. Aku pinjam pangkuanmu buat bantalan."

Jovanka mengangguk lagi tanpa membantah. Membuat lelaki itu tersenyum dan mengecup bibirnya begitu saja.

Merebahkan diri ke posisi semula, Vincent menduselkan kepala ke perut Jovanka dan merengkuh pinggang perempuan itu. Sembari memejamkan mata, ia tersenyum saat merasakan tangan Jovanka mengusap penuh kelembutan kepalanya. Ia bisa merasakan jika sebenarnya perempuan itu masih mencintai dirinya begitu besar. Hanya saja terhalang dari rasa sakit hatinya dan keminderan dari kastanya yang berbeda. Namun, tak apa. Ia akan terus berusaha sampai Jovanka menerima dirinya lagi seperti dulu.

***

Siang menjelang sore ini Vincent sudah berada di restoran, setelah tadi pulang ke apartemen untuk mengambil beberapa helai pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan. Sambil menunggu seseorang datang, ia menyeruput jus jeruk yang baru datang diantar pelayan.

Pandangan dirinya meneliti ke penjuru restoran. Tidak terlalu ramai pengunjung siang hari ini, membuat suasana cukup tenang dan nyaman untuk berbincang. Lalu, ia mengalihkan pandangan ke Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari sepuluh menit, tetapi orang yang ditunggu pun belum kunjung datang.

"Sayang, maaf, aku terlambat datang."
Mendengar suara perempuan yang sangat ia kenal, lelaki itu mengangkat kepala. Ia melihat Emberlyn melangkah mendekat. Lantas, ia mengangguk dan mempersilakannya duduk.

"Aku senang banget kamu mau mengajak ketemuan. Kamu pasti nyesel, 'kan, sudah memutuskan hubungan kita?" Emberlyn berucap semangat, bibirnya tersenyum lebar. "Kamu juga pasti mengingat seberapa besar pengorbananku untukmu saat di Kanada. Dan itu yang membuatmu berpikir lagi untuk tidak memutuskan aku, 'kan?" lanjutnya lagi.

Vincent bersandar sembari bersedekap mendengar celotehan perempuan di hadapannya. Ia belum menanggapinya.

"Tentu aku yang lebih pantas untukmu daripada perempuan itu, Sayang. Kita sekasta, karierku lebih bagus, juga asal-usulku lebih jelas yang terlahir dari keluarga terpandang."

Melihat kesombongan Emberlyn, Vincent semakin muak. Dan ia baru tahu sifat asli perempuan itu hari ini, yang memiliki sifat kesombongan tingkat dewa suka merendahkan orang yang lebih rendah derajatnya. Meskipun benar, Emberlyn berasal dari keluarga terpandang. Namun, perempuan itu tidak masuk dalam daftar kriteria perempuan yang ia sukai. Berbeda dengan Jovanka yang memiliki sifat kerendahan hati. Meskipun asal-usulnya tidak jelas siapa orang tuanya, tetapi perempuan itu memiliki good attitude juga lebih dewasa pemikirannya.

'Aku baru ingat kenapa perasaanku begitu hambar kepada dia. Ternyata sebelumnya memang tidak ada hubungan yang spesial dan tidak ada rasa ketertarikan sama sekali. Yeah, serapi apa pun orang memasang topeng untuk menutupi jati dirinya, pasti akan terbuka jika waktunya telah tiba. Dan akan memperlihatkan siapa dia sebenarnya.'

Selesai membatin, Vincent berdeham lalu melemparkan pertanyaan kepada perempuan yang masih tersenyum bangga, "Sudah berbicaranya, Em?" Intonasinya terdengar datar. "Aku mengundangmu ke sini bukan untuk mengajakmu balikan, tapi untuk menegaskan kalau di antara kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi. Aku minta, kamu juga tidak mengganggu Jovanka," lanjutnya.

Emberlyn mematung, matanya terbelalak. Tidak percaya mendengar keputusan Vincent yang masih sama.

"Aku ingatkan kepada dirimu lagi. Sebelum kecelakaan itu terjadi, kekasihku yang sesungguhnya adalah Jovanka, bukan dirimu. Aku bahkan tidak mengenalmu terlalu dekat sebelumnya. Lalu, dengan kondisiku yang hilang ingatan kamu memanfaatkan keadaan dan mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Heh, licik caramu, Em." Vincent mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum miring. Ia menatap sinis Emberlyn.

"Jadi, hubungan dan pertunangan kita selama ini hanya bentuk kebohongan besar yang kamu dan keluargaku ciptakan. Sangat wajar jika aku memutuskan hubungan ini dan kembali kepada kekasihku yang sesungguhnya. Kekasih yang sudah kukecewakan selama bertahun-tahun. Maka dari itu, aku harap kamu jangan lagi menggangguku maupun Jovanka," sambung Vincent lagi.

"Tidak, Vincent. Perempuan itu yang sudah merebutmu dariku. Sebelumnya kita sudah dijodohkan, tapi kedatangan perempuan itu, kamu meninggalkan aku dan tidak menganggapku. Lalu, apa salah kalau aku mempertahankan yang seharusnya menjadi milikku?"

"Ini diriku, hatiku, dan yang bisa menghandle semua tentang perasaanku adalah aku. Bukan orang lain maupun keluargaku sendiri. Mungkin, kamu akan bahagia dan senang jika bersamaku. Tapi, aku tidak, Em. Aku tidak memiliki perasaan cinta kepadamu, selayaknya seorang pria yang mencintai wanitanya." Vincent menjeda ucapannya, setelahnya melanjutkan lagi, "Aku ingin kita pisah secara baik-baik, saling mengerti, dan saling memahami. Untuk masalah kamu yang merawatku selama di Kanada sampai aku membaik seperti sekarang, aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku anggap ini hutang budiku kepadamu. Namun, untuk membayar, aku tidak bisa menggadaikan hatiku untukmu. Maaf untuk itu."

Emberlyn membuang muka menatap halaman samping restoran yang berkonsep garden. Pandangannya agak berkabut karena terhalang air mata yang mulai mengelumpuk. Hatinya dongkol seketika. Ia sakit hati dan semakin benci kepada Jovanka yang sudah berhasil merebut Vincent kembali.

"Kamu egois, Vincent. Hanya memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan perasaanku dan keluarga besar kita," ucap Emberlyn, bibirnya bergetar menahan tangis.

"Sama seperti kalian, yang tidak memikirkan perasaanku dan membodohiku selama ini." Vincent membalas santai.

"Itu karena keluarga kita memikirkan masa depan kita agar lebih baik."

"Ya, untuk kebaikan kalian pribadi, bukan untukku." Lelaki itu menarik napas dalam-dalam, dan diembuskan kasar. "Aku rasa pembahasan kita cukup sampai di sini, Em. Aku ingatkan lagi kepadamu, hubungan kita sudah selesai dan jangan pernah mengganggu Jovanka maupun orang terdekatnya. Untuk hutang budiku kepadamu, akan mengganti dengan hal lain, kecuali perasaanku."

Lelaki itu mengambil dompet dari saku celana jinsnya dan mengambil selembar uang warna merah, lalu ia selipkan ke papan kertas bills.

"Aku permisi. Semoga kamu paham dengan semua omonganku." Vincent beranjak berdiri, lantas mengayunkan kaki meninggalkan Emberlyn yang menangis pilu.

"Aku mohon jangan tinggalkan aku, Vincent. Jangan memutuskan hubungan kita."

Langkah Vincent terhenti saat Emberlyn merengkuhnya dari belakang. Perempuan itu menangis tersedu-sedu di punggungnya, membuat semua orang yang di dalam restoran fokus memerhatikan. Ia bahkan mendengar bisik-bisik dari orang-orang tersebut, tetapi ia abaikan.

Melepas paksa tangan perempuan itu dan berhasil, Vincent berkata, "Keputusanku sudah bulat, kita tetap berpisah." Lalu, ia melanjutkan langkahnya lagi tanpa menoleh ke belakang. Sebenarnya, ia pun kasihan dengan Emberlyn. Namun, ia harus memutuskan dan tega. Ia tidak bisa memiliki keduanya. Harus memilih salah satu dengan ketetapan hati tetap bersama cinta pertamanya, Jovanka.

Sampai di parkiran, Vincent langsung menuju mobilnya. Ia masuk, duduk di jok kemudi dan terdiam sejenak sebelum melajukan kendaraan roda empatnya itu, untuk meredakan hatinya yang masih kacau.

"Keputusan yang paling tepat kamu ambil, Vincent. Dan sekarang, sudah waktunya kamu memperjuangkan perempuanmu kembali." Bergumam, setelahnya ia menstarter mobilnya dan melajukan memasuki jalan raya. Mengarahkan jalannya menuju ruko Jovanka, untuk mengambil pakaian perempuan itu.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

198K 23.6K 55
Atas bujukan Noah yang gencar ingin mengalahkan Jamia sebagai kakak tertua, Dariel tiba-tiba diharuskan menikah di atas kontrak dengan gadis pemilik...
58.5K 4.3K 20
Love is a passion. Obsession. One can't live without. "I love you," ucapku. Karena mungkin aku tidak akan mempunyai sisa hari untuk mengatakannya. Ka...
261K 16K 36
Sepuluh tahun yang lalu, Jena dan Dika bertemu secara tidak sengaja dan meninggalkan kesan di hati masing-masing. Konyolnya, mereka kemudian berpisah...
97K 15.2K 33
Song Series #2 But you'll never know unless you walk in my shoes You'll never know, my tangled strings 'Cause everybody sees what they wanna see It's...