SHAGA (SELESAI)

By destharan

5M 663K 228K

JUDUl AWAL HAZEL. *** Shaga Putra Mahatama, menyesal karena menyetujui perjodohan nya dengan gadis asing, ena... More

SHAGA || PROLOG
SHAGA || ONE
SHAGA || TWO
SHAGA || THREE
SHAGA || FOUR
SHAGA || FIVE
SHAGA || SIX
SHAGA || SEVEN
SHAGA || EIGHT
SHAGA || NINE
SHAGA || TEN
SHAGA || ELEVEN
SHAGA || TWELVE
SHAGA || THIRTEEN
SHAGA || FOURTEEN
SHAGA || FIFTEEN
SHAGA || SIXTEEN
SHAGA || SEVENTEEN
SHAGA || EIGHTEEN
SHAGA || NINETEEN
SHAGA || TWENTY
SHAGA || TWENTY ONE
SHAGA || TWENTY TWO
SHAGA || TWENTY THREE
SHAGA || TWENTY FOUR
SHAGA || TWENTY FIVE
SHAGA || TWENTY SIX
SHAGA || TWENTY SEVEN
SHAGA || TWENTY EIGHT
SHAGA || TWENTY NINE
SHAGA || THIRTY
SHAGA || THIRTY ONE
SHAGA || THIRTY TWO
SHAGA || THIRTY THREE
SHAGA || THIRTY FOUR
SHAGA || THIRTY FIVE
SHAGA || THIRTY SIX
SHAGA || THIRTY SEVEN
SHAGA || THIRTY EIGHT
SHAGA || THIRTY NINE
SHAGA || QnA
SHAGA | QnA
SHAGA || FORTY ONE
SHAGA || FORTY TWO
SHAGA || FORTY THREE
SHAGA || FORTY FOUR
SHAGA || FORTY FIVE
SHAGA || FOURTY SIX
SHAGA || FORTY SEVEN
SHAGA || FORTY EIGHT
SHAGA || FORTY NINE
SHAGA || FIFTY
SHAGA || FIFTY ONE
SHAGA || FIFTY TWO
SHAGA || FIFTY THREE
SHAGA || FIFTY FOUR
SHAGA || FIFTY FIVE
SHAGA || FIFTY FIVE (2)
SHAGA EKSTRA CHAPTER
SHAGA EKSTRA CHAPTER 01
TERBIT + VOTE COVER

SHAGA|| FORTY

83.1K 11K 1.8K
By destharan

Hai. 

Miss me bestieeeee? 

Kalau aku lama update berarti ada bab yang vote nya bolong yaaa, cek lagi tiap bab nya ya 🤗

Happy Reading... 

***

"Yang, handuk!" Shaga membuka pintu toilet sementara kepalanya melongok keluar, menatap Hazel yang seketika mendelik dengan wajahnya yang ketus. "Lupa atuh, maaf. Ambilin, yang."

Shaga perhatikan Hazel yang berusaha turun dari ranjang sembari sibuk mengatur infus, Shaga tepuk dahinya sendiri. Lupa bahwa Hazel tengah sakit. "Nggak usah nggak jadi. Biar aku aja, tapi kamu ngadep sana."

"Ribet banget sih, Ga! Pake mandi di sini segala." Hazel mengomel kemudian berbaring membelakangi arah toilet. Shaga gunakan kesempatan itu untuk lari seperti ninja demi mendapatkan selembar handuk dari rak samping pintu. Shaga gunakan kain tersebut untuk menutup tubuh bawahnya.

"Habis kamu bilang aku bau terus," dengkus Shaga.

"Ya tapi nggak perlu mandi sekarang juga."

"Harus sekarang, aku pengen peluk kamu. Biar kamu nggak ngeluh bau jadi aku mandi," ucap Shaga. Dia berjalan menuju sofa yang letaknya di ujung ranjang, menyeringai jahil tatkala menemukan mata Hazel sempat meliriknya namun segera memejam mata. "Jangan ngintip, yang! Belum sah kita."

Terdengar Hazel berdeham di buat-buat, seringai Shaga semakin lebar karena itu. Dia lanjut membuka travel bag yang Pak Karyo kirim tadi sebelum dia mandi. Isinya baju Shaga untuk ganti selama di sini serta perlengkapan mandi. Selain mengantar pakaian ganti, Pak Karyo di panggil kesini juga dengan tujuan menukar kendaraan. Shaga butuh mobil untuk nanti jika mereka pulang.

Setelah mendapat satu pasang pakaian, Shaga kembali masuk ke toilet. Tidak butuh waktu lama dia keluar dengan keadaan rapi namun rambutnya masih berantakan. Cowok itu terkekeh melihat Hazel yang masih membelakanginya. Berjalan mengendap, Shaga berhasil sampai tepat di belakang Hazel lalu kemudian....

Cup.

Satu kecupan berhasil Shaga curi dari si putri tukang nyinyir. Begitu Hazel membalik badan Shaga langsung mundur dengan langkah lebar, menyeringai puas melihat wajah Hazel memerah.

"Kamu—"

"Kangen," jelas Shaga cepat-cepat, dia mendelik tak terima ketika Hazel menepuk pipinya sendiri seolah ada kotoran di sana. "Jangan di lap gitu lah, emang ciuman dari ku jijik?"

"Bukan jijik."

"Apa, dong?"

"Najis."

Shaga tersenyum masam. Tidak apa, dia sudah biasa dan kebal dengan semua nyinyiran yang gadis itu ucapkan. Menyimpan handuk di rak, Shaga kemudian berjalan memutar untuk sampai di sisi kiri brankar Hazel. Mengambil nampan berisi makan siang yang di kirim oleh suster tadi, dia lalu duduk di sisi Hazel sementara nampan dia simpan di paha.

"Makan dulu." Shaga berujar sambil menyiapkan satu suapan untuk Hazel. Nasi dengan sayur bayam.

"Aku bisa sendiri."

Shaga berdecak tidak suka. "Aku ada di sini. Buat temenin sama bantuin kamu," terangnya. "Aaa!" Shaga tersenyum sambil mencubit hidung mungil gadisnya saat Hazel menurut juga. "Habisin, makan yang banyak."

"Shaga."

"Mm?"

"Sebenarnya, malam di mana Natasya meninggal, memang ada telepon ke rumahku, Ga. Aku yang angkat, tapi baru bilang Halo, telepon di matiin dari sana. Bukan dari aku." Hazel berucap dengan dengan tenang setelah dia berhasil menelan nasi yang Shaga suapi.

Shaga mengangguk mendengar jawaban dari pertanyaan yang dia lempar tadi sebelum pergi mandi. Mengenai apakah benar Natasya menghubungi Hazel sebelum meninggal. Ternyata yang Lilian katakan di makam hanyalah kebohongan, tidak heran sebenarnya, tapi Shaga menanyakan hal ini hanya untuk memastikan saja, bagaimanapun, Hazel pasti akan di jadikan salah satu saksi jika kasus ini di terima laporannya oleh kepolisian.

"Sebelum benar-benar di matiin, aku dengar teriakan Natasya. Memang kedengaran lagi sakit, tapi...." Hazel tersenyum kecil menatap Shaga. "Aku nggak peduli, dan nggak ada niat telepon balik. Mungkin kedengaran jahat tap—" Hazel mendelik, memukul lengan Shaga ketika cowok itu mendadak memasukkan nasi ke mulutnya.

"Nggak apa. Mungkin kalau aku jadi kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama. Rasa kecewa dan marah kadang bikin kita nggak peduli. Bukan kamu aja yang abai sama Nat, tapi aku juga, bahkan lebih parah," jelas Shaga.

"Menyesali, sedikitpun nggak akan bikin keadaan lebih baik. Aku bilang gini karena aku mengalaminya sendiri. Jadi..., sekarang aku cuma ingin bantu Natasya dapat keadilan. Walau mungkin tante Lilian gak berniat membunuh, tapi menyiksa anak sampai kehilangan nyawa, ya, sama aja kasusnya. Kamu marah nggak kalau aku masih bantu Nat?"

"Kalau aku marah, memang kenapa?"

Shaga menunduk, menatap piring di tangannya. "Nggak apa-apa, marah aja. Tapi aku bakal tetap bantu Nat, buat terakhir kali. Sebagai balasan kebaikan dia juga yang dulu selalu ada buat aku."

Bibir Hazel berkedut geli melihat Shaga yang mengatakan tidak apa-apa, tapi gelagat cowok itu menunjukkan bahwa dia gelisah. "Ya udah, sih. Lakuin aja, kamu memang nggak peduli kalaupun aku marah."

Shaga langsung mendongak, melihat Hazel yang menatapnya datar. "Nggak apa-apa kalau kamu marah, aku punya waktu seumur hidup buat minta maaf."

Hazel mendecih. "Kamu pikir aku maafin?"

Shaga mengangguk. "Karena aku ganteng kayaknya kamu bakal maafin," ujarnya membuat Hazel melengos. Shaga dan kepercayaan dirinya, selalu berhasil membuat orang sekitarnya malu sendiri.

"Jadi papa udah laporin kasus ini?" tanya Hazel.

Shaga mengangguk. "Tadi ada kabarin aku, kalau dia udah di kantor polisi. Bawa Mbak Nur juga karena dia juga saksi," urainya dengan helaan napas panjang. "Semoga mbak Nur mau jujur di sana."

"Memang kamu pikir mbak Nur nggak jujur?"

"Ya jelas. Dia tadi malam bohong sama aku. Bilang bahwa kamu orang yang nyuruh Tante Lilian buat siksa Natasya. Itu namanya nggak jujur."

"Mungkin mbak Nur—"

"Udahlah aku nggak mau bahas ini, rasanya kepala mau pecah. Biarin Papa aja yang urus, yang penting buatku bukan kamu dan kamu nggak terlibat dalam kematian Natasya. Udah cukup buat aku tenang."

Hazel diam saja tidak menjawab apapun lagi. Entah apa yang gadis itu pikirkan karena Hazel tampak melamun walau mulutnya beberapa kali menerima suapan yang Shaga beri. Gadis itu sendiri sampai tidak sadar bahwa alasnya sudah kosong dan kini Shaga menyodorkan gelas berisi air putih beserta beberapa butir obat.

Hazel terima obat itu, memasukan semuanya ke mulut lalu menenggak air sampai habis.

"Obat kamu banyak banget, yang." Shaga berujar heran, dia mendekat dengan tangan membawa dua botol obat sirup.

Hazel tidak menanggapi, lebih memilih diam dan menurut saat Shaga membantunya meminum dua sendok obat itu. "Udah semua, 'kan?" Hazel mengangguk, dia mulai berbenah brankarnya. Mengatur bantal agar nyaman karena efek obat mulai bereaksi memberikan efek mengantuk.

Baru saja Hazel menutup mata, kelopaknya berkedut dan terpaksa ia buka kembali ketika merasakan sisi kirinya seperti tertekan beban berat seseorang, dan benar saja, si beban itu ternyata Shaga yang kini bersiap membaringkan badan di sampingnya namun segera Hazel dorong hingga terjengkang. "Kamu ngapain?" serunya kaget.

"Tidur, aku juga ngantuk, yang. Empat malam nggak tidur."

"Jangan tidur di sini, lah. Tuh, sana di sofa." Hazel menunjuk sofa di ujung ranjang, cukup besar dan terlihat nyaman. Tidak buruk sama sekali untuk di jadikan pengganti kasur.

Shaga mencebik, namun tak urung berdiri lalu menuju ujung ranjang, menarik sofa itu sampai suara decit kaki sofa bergesekan dengan lantai granit membuat Hazel meringis. "Ngapain sih, Ga?!"

Shaga tidak menjawab, sibuk mendorong nakas di sisi ranjang agar menjauh ke pojokan, kemudian lahan kosong itu dia gunakan untuk sofanya. Membuat posisi sofa itu merapat pada sisi ranjang Hazel tanpa sedikitpun jarak.

Hap

Hazel memutar bola mata ketika Shaga melompat ke sofa, kemudian berbaring miring menghadapnya. Beruntunglah tinggi sofa itu sedikit di bawah brankar sehingga mereka tidak sejajar.

Shaga menumpuk kedua tangannya lalu ia simpan di bawah pipi. Menjadikannya bantal. "Apa, sih, masih melotot-melotot begitu?" tanya Shaga sebal.

"Jijik banget hadapan sama kamu tidurnya."

Sabar, Ga. Sabar. Orang sabar di kasih pintu Surga yang lebar. Hibur Shaga untuk dirinya sendiri.

"Sana, Ga. Pindah." Hazel mengusir.

"Di biasain biar nggak jijik. Nanti kalau kita udah nikah, kita nggak tidur hadapan doang, tapi pelukan," decak Shaga sambil menutup mata.

"Lagaknya ngomongin nikah, tunangan aja minta udahan," cibir Hazel. "Nggak usah mikirin nikah, satu bulan setengah lagi juga kita pisah, Ga."

Shaga diam saja, tidak ingin menanggapi. Lebih tepatnya tak tahu harus menanggapi apa, karena mendadak, ada rasa tidak suka ketika membayangkan dirinya akan berpisah dengan Hazel.

Lama Shaga terdiam, lama juga ruangan itu di isi keheningan. Demi Tuhan, Shaga sangat mengantuk sekarang. Tapi rasa tidak nyaman di hatinya membuatnya terjaga. "Yang...."

"Hmm?"

Shaga membuka mata, mendongak dan sedikit kaget menemukan Hazel ternyata dekat dengannya dan sedang menatap padanya. "Usapin kepala aku."

"Nggak. Kepala kam— Shaga!" Hazel membentak ketika tangan bebas infusnya di tarik –di paksa untuk mengusap rambut Shaga– dengan tiba-tiba.

"Rambut aku bersih, ya. Nggak ada kutu, nggak ada ketombe. Nggak berminyak, lembut lagi. Mau ngejek apa hah? Nggak ada, 'kan?" dengkus Shaga sebal. Berhasil membungkam Hazel yang memang berniat menyiyir.

Hazel mengulum senyum geli ketika Shaga mendelik, lalu perlahan dengan sadar dia mengusap kepala Shaga lembut.

Shaga terbuai, hampir terlelap. Namun gemerincing yang terdengar dari lonceng yang saling beradu dari gelang Hazel membutnya mendongak lagi sambil menyetuh gelang berantai tipis itu. "Gelang siapa ini?" tanya Shaga.

"Punyaku."

"Beli?"

Hazel menggeleng. "Di kasih. Bagus, ya?" tanyanya dengan binar terang di mata. "Di kasihnya dari lama, tapi baru bisa aku pakai sekar—"

"Di kasih siapa?" tanya Shaga curiga, gelang pemberian dari siapa sampai Hazel terlihat senang begitu? Apakah dari Elang?

Hazel mengerjap, menyadari kecurigaan Shaga dari suaranya yang datar dan sedikit dingin. "Dari seseorang."

"Orang penting?"

"Hmm."

"Lebih penting dari aku?"

Hazel terdiam, menatap Shaga lama.

"Hazel!"

"Sama pentingnya."

Shaga berdecih, "Siapa?"

"Kamu nggak harus tahu Shag—" Hazel terkesiap, tersentak sampai membulat matanya ketika Shaga menarik gelang di tangannya sampai terputus rantainya. "SHAGA!"

Shaga duduk, menatap tidak suka pada gelang yang dia genggam. Beberapa kali dia mengangkat tangan ke atas, menjauhkan benda mas putih itu dari jangkauan Hazel yang ingin merebutnya kembali.

"Balikin Shaga!"

Shaga menggeleng."Nanti aku beliin yang lebih bagus," kata Shaga. Dia memeperhatikan gelang itu, modelnya cukup jadul. Tangan Hazel pasti akan lebih cantik dengan gelang model baru, dan yang terpenting itu adalah pemberian dariny nanti.

"Please, balikin," bisik Hazel, menatap nanar pada gelang yang bagian rantai nya kini berjatuhan dari rangkaian nya.

"Nggak. Gelang ini jelek."

Shaga alihkan tatapan dari gelang ke wajah Hazel. Seketika panik karena ternyata gadis itu sedang berusaha menahan tangis. "Hazel..."

"Pergi!"

Shaga tersentak mendapat usiran itu. "Hazel ak—"

"Pergi gue bilang!" Hazel berteriak, kemudian membalik badan, membelakangi Shaga sambil menahan isak tangis. "Dasar bodoh! Dia marah dan ngejek gelang yang dia kasih sendiri!" gumam Hazel kesal.

"Sayang aku...."

"SHAGA JELEK, BEGO KELUAR LO!" Hazel membentak lagi, kemudian menutup seluruh badannya sampai kepala dengan selimut. Menangis kencang karena gelang itu. Gelang yang Shaga berikan ketika mereka kecil. Gelang yang Shaga beli sendiri. Walau tidak sebagus gelang yang lain, tapi Hazel tahu, Shaga belikan itu sepenuh hati. Hasil dari uang tabungannya saat mereka TK.

Sementara Hazel sibuk menahan tangis, Shaga sendiri di buat bingung, marah dan merasa bersalah. Bingung sendiri dengan apa yang dia lakukan sebenarnya. Dia kesal karena Hazel memakai gelang yang kemungkinan pemberian Elang, tapi dia juga merasa bersalah karena membuat gadis itu menangis.

"Arrgghh bangsat!" makinya pada diri sendiri.

Shaga turun dari sofa, mendorong sofa itu agar mundur, lalu dia berjongkok memungut butiran rantai yang terlepas, bercecer di lantai. Cukup banyak sampai Shaga harus menghabiskan waktu hampir sepuluh menit hanya untuk mengumpulkan semua butir itu.

Usai memungut, Shaga kemudian duduk dengan serius, menghabiskan waktu siangnya sampai sore hanya untuk menyatukan lagi gelang itu sampai utuh. Mengabaikan mata perih dan rasa kantuknya, hanya agar bisa melihat Hazel tersenyum saat bangun nanti karena gelangnya tidak rusak.

Shaga bersimpuh di sisi ranjang, dengan pelan dia menyingkap selimut yang menutup kepala Hazel. Hatinya terasa tidak nyaman melihat mata gadisnya bengkak dan merah. "Maafin aku, jangan marah lagi ya...." bisiknya sambil memasangkan gelang itu lagi dengan pelan dan hati-hati.

Shaga cium punggung tangan Hazel setelah selesai memasang gelang itu. "Tapi beneran, itu gelang jelek banget, yang. Besok aku beliin yang bagus," dengkusnya masih kesal.

Shaga kemudian menggusur sofanya ke arah kanan, ke mana Hazel mengarah. Lalu kemudian berbenah seperti tadi saat menyatukan sofa dan ranjang. Setelah siap, Shaga lalu berbaring, menghadap Hazel sambil tangan menggantung ke atas, menggenggam tangan Hazel dalam tidurnya.

Shaga tidak tahu saja, saat dia mulai lelap saat itu juga Hazel membuka mata. Mengakhiri kepura-puraan tidurnya. Hazel tersenyum lemah. "Shaga jelek, nyebelin," ejeknya sambil menatap wajah Shaga dan gelang bergantian. 

***

To be continued...

Published : 02 Febuari 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

2M 334K 55
[SUDAH TERBIT | PART LENGKAP] Shaquilla Lioraca Naraya mengalami amnesia retrograde yang menyebabkannya melupakan 2 tahun belakangan. Dia tidak menge...
8.2M 451K 51
[COMPLETED] "Seandainya aja gue gak kenal dia, hidup gue nggak akan merana." Dia Abel Ghisa, seorang siswi dengan penuh penderitaan di sekolah barun...
8.7M 202K 32
Siapa yang tidak kenal dengan keluarga alexander?? Keluarga yang harmonis dan selalu 'tampak' bahagia , merupakan keluarga terkaya ke-2 setelah kelua...
21.3M 1.1M 59
#1 in teenfiction 10.6.2017 [TELAH TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA INDONESIA] "Mulai sekarang lo jadi pacar gue!" ucap Darka dengan tatapan datarnya. ...