AVENGEMENT ( ✔ )

By dilselflovetion

279K 22.9K 1.7K

Khansa Nuria Pramadita hanyalah seorang gadis yang ingin merasakan setidaknya 1 kali kebahagiaan didalam hidu... More

INTRODUCTION
AVENGEMENT - 1
AVENGEMENT - 2
AVENGEMENT - 3
AVENGEMENT - 4
AVENGEMENT - 5
AVENGEMENT - 6
AVENGEMENT - 7
AVENGEMENT - 8
AVENGEMENT - 9
AVENGEMENT - 10
AVENGEMENT - 11
AVENGEMENT - 12
AVENGEMENT - 13
AVENGEMENT - 14
AVENGEMENT - 15
AVENGEMENT - 16
AVENGEMENT - 17
AVENGEMENT - 18
AVENGEMENT - 19
AVENGEMENT - 20
AVENGEMENT - 21
AVENGEMENT - 22
AVENGEMENT - 23
AVENGEMENT - 24
AVENGEMENT - 25
AVENGEMENT - 26
AVENGEMENT - 27
AVENGEMENT - 29
AVENGEMENT - 30
AVENGEMENT - EPILOG
AVENGEMENT - EXTRA : Jerome's POV

AVENGEMENT - 28

7K 628 32
By dilselflovetion



"Mama lagi di New Zealand?"

Khansa mengangkat kepalanya dari dada Jerome begitu dia mendengar informasi dari sang suami perihal kepergian ibu mertuanya menuju negara kiwi itu 2 bulan yang lalu. Tangan Jerome yang semula aktif mengusap-usap rambut Khansa pun terhenti sejenak dan berganti dengan melipatnya di atas dada diiringi dengan kepalanya yang mengangguk sebagai konfirmasi dari pertanyaan sang istri.

"Sendirian aja? Nggak ada yang nemenin?" tanya Khansa lagi dengan nada khawatir.

"Nope. She's an independent woman after all." Jerome mengangkat kedua bahunya. "Laura bilang kalau tadinya dia mau mengajukan diri untuk nemenin, tapi dia takut mama nggak mau makanya dia cuma nganterin sampe bandara aja. Dia bener-bener dengerin semua kata-kata kamu untuk nggak menjauh dari mama."

Khansa tersenyum antara merasa lega dan juga miris. Lega karena Laura benar-benar mengikuti kata-katanya untuk tidak menjauhi sang mama, tapi juga miris karena nampaknya sang ibu mertua masih belum ingin berkomunikasi dengan Jerome. Perceraian antara dirinya dan papa juga ternyata cukup mempengaruhi psikisnya. Sekarang papa memilih untuk tinggal di rumah yang telah dibelinya 3 bulan yang lalu sendirian. Terkadang Laura datang untuk menginap dan menemaninya di sana dan melakukan hal-hal yang sering dilakukan oleh ayah dan anak seperti jalan-jalan, olahraga atau makan bersama.

Tidak ada pasangan yang suka dengan perceraian. Tak ada satu pun dari mereka juga yang ingin bercerai dari pasangannya masing-masing. Tapi kalau pernikahan itu hanya akan membawa kekacauan dalam kehidupan rumah tangga mereka, lalu untuk apa dipertahankan? Setidaknya itulah yang ada di pikiran Jerome saat dia mengizinkan kedua orang tuanya untuk bercerai. Mereka sudah terlalu lama saling menyakiti dan melibatkan orang-orang tak bersalah ke dalam masalah internal mereka berdua.

Mama sendiri juga tidak banyak bicara. Setelah resmi bercerai, dia dan papa saling memberikan penghormatan terakhir dengan sebuah pelukan kaku. Mama tidak menangis sama sekali, emosinya tenggelam begitu dalam di balik raut datar dan tanpa emosi yang tergambar di wajah tuanya yang masih terlihat cantik. Tapi dari sorot matanya, Jerome bisa melihat bahwa mamanya juga sedih dan kacau dengan perceraian itu.

"The divorce... it hit her so bad, right?" tanya Khansa ragu.

Jerome tersenyum tipis. "Itu lebih baik daripada bertahan dalam rumah tangga yang nggak harmonis."

"Jei, kamu tau kan kalau Allah itu membenci perceraian?"

"Tau kok," Jerome menatap Khansa dalam-dalam. "Tapi Allah benci perceraiannya, bukan pelakunya."

"Kenapa mama sama papa nggak coba untuk mediasi dulu aja? Kenapa mereka berdua langsung setuju aja untuk cerai?"

"Untuk hubungan yang udah kacau dan mendingin selama lebih dari 10 tahun, mediasi hanya akan jadi hal yang sangat sia-sia untuk dilakukan," Jerome menyandarkan tubuhnya ke headboard. "Ditambah lagi dengan sikap mama yang nggak mau berubah dan kasus perselingkuhan papa. Semuanya udah nggak bisa dibenerin lagi, Kei. Jadi menurut aku, kakak dan Laura, bercerai mungkin bisa bikin mereka berdua lepas dari pernikahan toxic itu. Biarin mereka bebas dulu sekarang. Kalau setelah itu mereka mau rujuk lagi atau memilih untuk tetap hidup sendiri dengan caranya masing-masing, itu terserah mereka."

Kepala Khansa tertunduk. Rasa bersalah yang dulu sempat memudar itu kini muncul lagi ke permukaan. Dan semua penyesalan yang diawali dengan kata 'seandainya' mulai mengisi hati dan pikirannya.

"Maaf ya Jei... seandainya aja-"

"Mau perselingkuhan itu terjadi atau nggak, pernikahan mereka emang udah nggak bisa diselamatkan lagi, Kei," potong Jerome tegas membuat Khansa yang hendak mengeluarkan unek-uneknya terdiam. "Dan itu bukan salah kamu ataupun salah aku. yang salah itu orang tua kita, dan mereka mengakuinya."

"Aku takut, Jei." Khansa menggigit bibir bawahnya. "Aku takut kalau suatu saat nanti pernikahan kita juga kayak mereka. aku takut banget."

Jerome terkekeh. "It's okay. Wajar aja kok kalau kamu takut, karena aku sendiri juga pernah ngerasain itu. Tapi semuanya itu balik lagi ke kita kan? Kita udah liat contoh pernikahan yang udah nggak bisa terselamatkan itu dengan mata kepala kita sendiri, so, do we really want to follow their lead? Do we really want to have a kind of marriage life like that? we don't, right? kamu nggak mau jadi ibu yang lebih mentingin mimpi dan karirnya daripada anak-anaknya sendiri kan?"

Khansa menggeleng cepat.

"Kalau gitu aku juga sama. Aku juga nggak mau melampiaskan rasa frustrasi aku ke wanita lain." Jerome mengusap-usap pipi Khansa dengan lembut. "Selingkuh itu musuh aku, Kei. Daripada harus selingkuh dari kamu, mendingan aku hidup sendirian aja sampe mati."

"Kalau misalnya nggak sama aku, kira-kira kamu bakalan tetep nikah nggak?"

Jerome berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya dia menggeleng. Gelengan itu langsung menciptakan sebuah kerutan samar di dahi Khansa. Sebenarnya Khansa sudah tahu alasan kenapa Jerome tidak mau menikah dengan perempuan lain selain dirinya dan dia pun sempat merasa yakin bahwa Jerome pasti akan berubah pikiran mengenai prinsipnya itu. Tapi ternyata pria itu masih tetap memegang prinsip yang sama. Kalau bukan dengan dirinya, dia lebih baik hidup sendiri hingga akhir hayatnya.

"Kenapa? kan pasti ada banyak juga cewek yang lebih baik dari aku, yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih sempurna dari aku."

"Aku nggak nyari cewek yang sempurna, Kei. Tapi aku nyari cewek yang dengan cuma ngeliat wajahnya aja aku udah ngerasa bahagia. Aku nyari cewek yang bisa jadi guru dan madrasah pertama untuk anak-anakku dan aku juga nyari cewek yang bisa menerima dan melengkapi kekuranganku, begitu pula sebaliknya," Jerome meraih tangan Khansa dan mengecupnya pelan. "And i found them in you."

"Jei..."

"Gini deh," Jerome memiringkan tubuhnya dan mensejajarkan wajahnya dengan wajah cantik Khansa. "Penggambaranku tadi mungkin terlalu berlebihan menurut kamu, jadi aku mau jelasin dengan gambaran yang lebih simpel aja. Kamu pernah nggak ketemu sama seseorang untuk pertama kalinya terus hati kamu langsung tiba-tiba klik aja gitu ke dia?"

"Hmm... pernah sih. Aku ngerasa kayak gitu waktu pertama kali ketemu dan kenalan sama Jira."

"Dan kalian bersahabat terus sampe sekarang kan?"

Khansa mengangguk.

"Nah, itu juga yang aku rasain waktu pertama kali ketemu kamu, tentunya dengan konteks yang berbeda ya," Jerome menyelipkan helaian rambut hitam Khansa ke belakang telinganya. "Hati aku langsung klik aja ke kamu waktu aku pertama kali ketemu kamu di gerbang Ranajaya waktu itu. Bahkan ketika aku tau kalau kamu itu anak selingkuhan papa, rasa benciku masih kalah sama rasa sukaku."

Sekali lagi Khansa terdiam. Jerome tertawa kecil sembari meneliti ekspresi Khansa yang masih ragu dan tidak percaya. Andaikan saja Jerome bisa memutar kembali waktu dan merekam semua hal-hal yang berkaitan dengan Khansa, mulai dari pertemuan pertama mereka sampai akhirnya mereka berada di titik ini, mungkin perempuan itu akan percaya dengan semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi.

"Sebenernya nggak bisa dibilang ketemu juga sih," kata Jerome lagi membuat Khansa kembali menatapnya dengan sorot penasaran. "Mungkin lebih tepat kalau dibilang aku yang ngeliat kamu karena waktu itu kamu nggak ngeliat aku di gerbang itu. pertemuan resmi kita itu waktu di pensi Paramarta dan aku lagi benci-bencinya banget sama kamu. But still, I can't hate you for too long. Hatiku udah klik banget ke kamu kayaknya sampe-sampe aku harus kabur keluar negeri dulu untuk menghindari semuanya termasuk perasaanku ke kamu itu."

"Perasaan itu juga yang bikin aku nggak perlu mikir dua kali lagi buat nikahin kamu. Aku juga bertekad sama diriku sendiri kalau bukan sama kamu, mendingan aku nggak usah nikah aja selamanya. " lanjut Jerome lagi sambil mengusap-usap perut buncit Khansa. Dalam waktu beberapa hari lagi, wanitanya itu akan segera melahirkan anak pertama mereka ke dunia, jadi Jerome memutuskan untuk mengambil cuti agar bisa menemani Khansa selama proses persalinannya nanti. "Intinya aku cuma mau kamu. aku cuma mau Khansa Nuria Pramadita, nggak mau yang lain."

"Bucin banget ih kamu, gemes!" Khansa mencubit hidung Jerome gemas.

"Yang penting bucinnya ke istri sendiri, bukan ke yang lain." balas Jerome kalem yang mana langsung membuat Khansa melayangkan pukulan gemas lain ke bahunya. Jerome terkekeh sembari menciumi perut sang istri. "Assalamualaikum, anak ayah lagi apa di dalam? Kok tumben nggak aktif, nak?"

"Bobo kayaknya nih, biasanya mah perut aku ditendang terus." jawab Khansa. "Kemarin-kemarin dia aktif banget tiap malem sampe-sampe aku jadi susah tidur. Kayaknya dia tau deh kalau sebentar lagi mau keluar dari perut bundanya."

"Ya udah yuk keluar yuk, sayang. Ayah nggak sabar pengen liat kamu." Jerome kembali menciumi perut Khansa dan sang istri tertawa lagi sambil mengusap-usap rambut hitam Jerome lembut.

Selama beberapa saat, Khansa membiarkan Jerome berbicara dengan calon anak mereka. Dia terdengar sangat bahagia dan berkali-kali mengatakan bahwa dia tidak sabar untuk bertemu dengan si bayi. Jerome dan Khansa juga sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin sang bayi agar mereka bisa melihatnya sendiri setelah dia lahir ke dunia nanti.

"Jei, minggu lalu Jira sama ibun telepon aku," kata Khansa masih dengan tangannya yang aktif membelai rambut Jerome. Pria itu menengadahkan kepalanya untuk menatap sang istri tepat di manik mata. Ada sorot bertanya yang terpancar dari kedua matanya yang bulat. "Mereka ngasih aku semangat dan bilang kalau Jira udah sepenuhnya pulih pasca melahirkan, mereka bakalan dateng buat nemenin aku selama persalinan nanti. Terus..."

"Terus?"

"Terus aku kan nanya-nanya sama Jira soal gimana rasanya melahirkan, tapi dia nggak mau ngasih tau aku. kata ibun sih dia cuma nggak mau bikin aku khawatir dan takut sama ceritanya dia. intinya dia cuma bilang kalau pas proses melahirkannya itu agak sakit dan lumayan menguras tenaga juga, tapi setelah itu semuanya akan kembali normal lagi." Tangan Khansa mulai agak bergetar sedikit. "Kalau Jira bisa ngelewatin itu semua, berarti aku juga bisa kan ya Jei? aku nggak akan kenapa-napa kan ya?"

Jerome tersenyum seraya mengubah posisinya agar wajah mereka kembali sejajar. Sejujurnya Jerome sendiri juga merasa takut. Bahkan mungkin rasa takutnya jauh lebih besar daripada yang sedang dirasakan Khansa sekarang. Tapi dia percaya bahwa Khansa adalah perempuan yang kuat. Dia sudah terlalu lama menjadi orang yang sangat kuat sehingga dia mulai agak lupa seperti apa rasanya takut itu. Dengan lembut, Jerome meraih kedua tangan Khansa yang bergetar lalu kemudian menggenggamnya erat-erat.

"Kei, kamu udah terlalu lama jadi perempuan yang kuat dan tangguh. Jadi kalau kamu ngerasa takut, kamu bisa tunjukkin itu semua ke aku." ujar Jerome lembut. "It's okay to feel scared and It's okay to feel anxious sometimes, But you need to remember that you're not alone. Kamu nggak akan sendirian menghadapi itu semua karena aku akan ada terus di samping kamu. You'll be okay, love. You'll always be."

Khansa melingkarkan kedua lengannya ke leher Jerome. Dia menghirup wangi sabun mandi serta aroma maskulin Jerome yang tidak pernah gagal membuatnya merasa lebih tenang. Sejujurnya Khansa memang agak sedikit takut dan gugup karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk melahirkan seorang bayi. Khansa berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan ketakutannya sejak Hemma memberitahunya bahwa sebentar lagi dia akan segera melahirkan. Dan di malam ini, Khansa sudah tidak mampu lagi menutupinya di depan Jerome.

"Nanti kalau anak kita lahir, aku bakalan ceritain ke dia kalau bundanya adalah wanita paling kuat, paling berani dan paling luar biasa yang pernah Allah ciptakan di muka bumi ini," bisik Jerome lembut. "Dia harus tau setangguh apa bundanya ini dalam mengahadapi kerasnya dunia sekaligus sehebat apa dia sampai bisa bikin hati ayahnya jatuh sejatuh-jatuhnya hanya ke dia aja."

Khansa tertawa geli. Jerome dan segala macam tingkah lucu dan menggemaskannya memang tidak pernah gagal untuk membuat perasaan Khansa menjadi lebih baik. Jerome yang selalu tersenyum dan mengatakan 'nggak apa-apa' setiap kali Khansa mengomelinya akibat perubahan mood yang dibawa oleh bayi mereka. Jerome yang tidak pernah membentak balik apalagi mendiamkannya saat mereka sedang terlibat dalam sebuah perdebatan sengit atau sedang bertengkar akan suatu hal. Jerome yang selalu sabar dan tidak pernah mengharapkan apapun setiap kali dia melakukan sesuatu untuknya.

Mereka berdua saling membutuhkan satu sama lain. Jerome butuh Khansa untuk menariknya dari jeratan rasa marah dan dendam yang membelit hati serta pikirannya dan Khansa juga butuh Jerome untuk membuatnya lepas dari rasa bersalah atas suatu hal yang bukan merupakan kesalahannya. Intinya mereka diciptakan untuk bertemu dan bersama-sama menyelesaikan semua masalah ini.

Tentunya rencana Tuhan yang mempertemukan mereka berdua memang tidak pernah salah. Semuanya hanya perkara waktu. Dan Jerome serta Khansa, mereka benar-benar tidak menyesali ini semua. Mereka tidak akan pernah menukar takdir ini dengan emas atau apapun itu. Karena kebersamaan mereka yang lahir dari beragam masalah dan cobaan ini jauh lebih berharga daripada itu semua.

"I love you, Jerromy." bisik Khansa sebelum akhirnya dia menyentuhkan bibirnya ke bibir Jerome yang masih tersenyum. "I love you so much."

"I love you more, Khansa. " Jerome menciumi bibir Khansa berkali-kali sebelum akhirnya dia mengecup dahi sang istri. "I love you to the moon and back. I really do. Always and forever."




***




Dua hari yang lalu ibu Khansa landing dari Semarang untuk menemani putrinya menjelang kelahiran sang cucu. Jadi selama menunggu, Amaya pun menetap di apartemen tempat dimana Khansa dan Jerome tinggal. Tentu saja setelah obrolan yang cukup dalam waktu itu, Jerome benar-benar sudah sepenuhnya memaafkannya dan memperlakukannya selayaknya ibu mertua pada umumnya meski Amaya masih bisa merasakan adanya kecanggungan dan juga kekakuan yang muncul dari sikap Jerome terhadapnya. Tapi dia memutuskan untuk mengabaikan itu dan memperlakukan Jerome sebagaimana dia memperlakukan Khansa.

Dan sekarang Khansa sedang berbaring dengan menjadikan pangkuan ibunya sebagai bantal. Jerome sendiri sedang pergi menemani Laura ke toko buku untuk membeli beberapa peralatan melukis sekaligus memberi ruang pada Khansa dan ibunya untuk berbicara dengan lebih leluasa.

"Bu, waktu ibu mau melahirkan aku, ibu ngerasa takut juga nggak?" tanya Khansa sambil memainkan jemari ibunya yang sudah mulai berkeriput.

"Takut," jawab Amaya tenang. Tangannya bergerak di area surai hitam Khansa yang lembut. "Tapi melahirkan itu kan sudah kodratnya wanita. Jadi mau nggak mau kita harus bisa ngelawan rasa takut itu kan?"

"Jujur aku takut banget bu," Khansa tersenyum tipis. "Aku takut kalau nanti terjadi apa-apa sama aku atau anakku. Aku takut kalau hal itu sampe terjadi, Jerome jadi hancur lagi bu. Aku nggak mau liat dia hancur lagi kayak dulu."

"Ssst, kamu jangan mikir yang aneh-aneh," bisik Amaya. "Justru ketika menjelang melahirkan itu kita harus bisa kasih energi positif ke diri kita sendiri dan si jabang bayi. Kamu harus yakin kalau kamu bisa melewati proses itu dengan baik dan anak kamu bisa lahir dengan sehat dan sempurna ke dunia. Serahin semuanya ke Allah nak, jangan pernah ragu sama rencana Allah untuk hidup kamu."

Khansa menghela nafas sedih. "Bu sebenernya aku juga punya satu keinginan lagi sebelum aku masuk ke ruang bersalin nanti."

"Kamu ingin apa, nak?"

"Aku... pengen ditemenin juga sama mama Hilda selama proses melahirkan itu." Khansa menundukkan kepalanya sementara sang ibu hanya bisa terdiam. "Tapi kayaknya dia nggak akan mau dateng ya bu? Mungkin dia masih marah dan benci sama aku kali ya?"

Amaya masih diam sambil tangannya terus aktif mengusap-usap rambut Khansa. Seulas senyum terpatri di bibirnya yang tipis.

"Sebenernya ibu udah ketemu sama dia sebelum dia berangkat ke New Zealand 2 bulan yang lalu, Sa. Dia datang ke Semarang dan kita ngobrol lumayan lama di toko ibu." ujar Amaya tiba-tiba yang mana langsung membuat sepasang mata Khansa membelalak kaget dan secara reflek dia mengubah posisinya menjadi duduk. "Ibu juga sudah minta maaf yang sedalam-dalamnya ke dia tapi responnya tetap dingin dan sulit ditebak. Ibu nggak minta dia untuk memaafkan ibu, tapi setidaknya dia harus tau kalau ibu sudah benar-benar memutuskan hubungan dengan mantan suaminya dan kami juga udah nggak ada niatan untuk kembali bersama lagi."

Amaya menyugar rambut Khansa masih dengan senyum hangat yang sama. "Karena fokus ibu sekarang cuma untuk kamu, Jerome dan calon cucu ibu. Dan ibu rasa, ayah mertua kamu juga pasti punya pemikiran yang sama. Kami udah sama-sama tua, udah nggak punya waktu lagi untuk cinta-cintaan."

"Ibu kenapa nggak cerita sama aku? Terus mama Hilda ngomong apa aja?"

"Dia nggak terlalu banyak bicara, tapi sekalinya bersuara pasti kalimatnya sangat dingin dan ketus. Ibu paham sekali sama sifatnya yang itu jadi ibu sama sekali nggak tersinggung. Lagipula di sini juga posisinya ibu yang sudah melakukan kesalahan yang fatal," kekeh Amaya. "Intinya dia datang menemui ibu itu cuma untuk melihat dan memastikan apa ibu beneran udah selesai sama mantan suaminya atau belum dan setelah tau kenyataannya, dia nggak membahas itu lagi. Ibu nggak tau dia udah maafin ibu atau belum, tapi ibu nggak akan bertanya karena mau memaafkan atau nggak itu semua adalah hak dia sebagai pihak yang tersakiti."

"Jerome tau?"

"Entah. Hilda sendiri cuma bilang kalau dia sedang menjauh dari keluarganya untuk menenangkan diri. Jadi ibu rasa, suamimu itu belum tau."

"Kira-kira mama masih marah sama Jerome nggak ya bu? Terakhir ketemu, mereka beneran berantem hebat banget sampe akhirnya nggak kontak-kontakkan lagi. Apa masih ada kesempatan buat mereka untuk baikan? Apa mama masih mau maafin Jerome?"

Amaya tersenyum penuh arti. Dia jelas paham sekali kekhawatiran yang sedang dirasakan oleh Khansa sekarang. Putrinya itu selalu rajin menceritakan semua hal yang terjadi padanya sejak awal menikah dengan Jerome hingga akhirnya dia bisa mengandung seperti ini, dan jujur saja, Amaya benar-benar merasa sangat bersalah namun di saat yang bersamaan dia juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu anak dan menantunya itu. Yang bisa Amaya lakukan saat itu hanyalah meminta ampun serta berdoa sebanyak-banyaknya pada yang maha kuasa agar hukuman akibat perbuatannya itu tidak terus mendera kehidupan rumah tangga Jerome dan Khansa.

Namun setelah dia berhasil berbicara dan menyampaikan permintaan maaf nya kepada Hilda dalam kondisi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya, Amaya merasa bahwa Hilda sendiri sepertinya sudah menyadari kesalahannya terhadap anak-anaknya. Wanita itu memang tidak mengakuinya secara langsung, tapi sebagai sahabat lama, Amaya jelas tahu bahwa Hilda memang memiliki rasa gengsi yang cukup tinggi.

"Ibu lumayan lama kenal sama mamanya Jerome, Sa. dan dia itu tipe orang yang sangat gengsi untuk mengakui kesalahannya," ucap Amaya tenang. Sorot matanya terlihat begitu berkilau seiring dengan kenangan masa SMA nya yang ia lewati bersama Hilda mulai memasuki ruang memorinya satu-persatu. "Hilda itu memang sangat keras, tempramen dan terkadang suka mau menang sendiri, tapi dia juga mempunyai sisi yang baik. Dia cerdas, pekerja keras dan sangat optimis. Jadi ibu sama sekali nggak heran kalau karir dia di dalam dunia bisnis juga bagus."

"Tapi mau sehebat apapun karirnya, dia tetaplah seorang ibu. Mau sejelek apapun sifat dan perilakunya, nggak ada ibu yang bener-bener benci sama anaknya. Dan kalaupun ada, mungkin kesehatan mentalnya yang perlu diperiksa," lanjut Amaya lagi. "Hilda mungkin memang nggak bisa memberi afeksi selayaknya seorang ibu ke anak-anaknya, tapi dia sayang sama mereka. Dia sayang Tiara, sayang Jerome dan sayang Laura, tapi saat itu dia juga punya mimpi. Mimpi yang membuat dia kerap dicemooh dan diremehkan oleh teman-teman dan saudara-saudara laki-lakinya. Mereka bilang perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, perempuan itu nggak akan bisa jadi pemimpin, perempuan itu cukup di rumah aja ngurus anak dan suami. Ucapan-ucapan itu yang membuat Hilda tergerak untuk bisa menjadi lebih pintar, lebih hebat dan lebih segala-galanya di atas mereka semua."

Khansa masih diam mendengarkan semua cerita ibunya soal mama mertuanya yang tidak pernah ia tahu itu. Tangannya aktif bergerak di atas perutnya yang sudah membesar sambil sesekali meringis karena si bayi kerap bergerak dan menyikutnya dari dalam.

"Dia benar-benar mewujudkan mimpinya. Menjadi lulusan terbaik di SMA, mendapat predikat cum laude saat lulus kuliah, dia ambil S2 dan S3 nya di universitas terbaik di Amerika, dan sekarang dia menjadi pemimpin suatu perusahaan besar dan bonafit di Jakarta. She reached her goal flawlessly. Tapi itu semua harus dia ganti dengan hubungannya yang mendingin dengan suami dan anak-anaknya. Ibu pernah dengar ungkapan kalau ingin mencapai suatu hal yang besar maka kita juga harus mengorbankan hal besar yang lain. Dan di kasus ini, Hilda memilih untuk mengorbankan keluarganya. Ibu tau kalau itu adalah hal yang salah, tapi waktu itu dia masih muda, dia masih punya mimpi yang ingin dia capai tapi disaat yang bersamaan dia juga nggak bisa menolak pesona dan kebaikan hati papanya Jerome."

"Hilda pikir dia bisa handle keduanya, mimpi dan keluarganya. Tapi ternyata nggak bisa. Begitu Tiara lahir, dia mulai merasa mendapatkan hambatan untuk mengejar mimpinya. Dan mentalnya semakin kacau saat Jerome dan Laura juga lahir. Hilda merasa mereka semua seolah seperti bekerjasama untuk menjegal ambisinya that's why... she slowly lost her motherly sense. Dia jadi dingin, kaku dan mendidik anak-anaknya seperti mendidik seorang karyawan baru di kantor. Ini juga yang menjadi pemicu pertengkaran dia dengan papanya Jerome. Semuanya kacau, nak. Papanya Jerome sendiri yang cerita ke ibu dulu.

"Aku nggak tau kalau ternyata mama punya ambisi yang sebesar itu sampe rela ngalahin anak-anaknya bu." ucap Khansa sedih.

"Tapi itu dulu," Amaya mengusap bahu Khansa lagi. "Hilda udah mulai sadar bahwa tindakannya dulu itu salah dan sekarang yang dia butuhkan itu hanya waktu. Waktu untuk berpikir dan mengintrospeksi dirinya, waktu untuk menyembuhkan hatinya pasca bercerai dan waktu untuk menerima semua kenyataan bahwa kehidupannya sekarang nggak akan lagi sama. Ibu yakin setelah semuanya selesai, semesta pasti akan mempertemukan Jerome dan mamanya agar bisa berdamai lagi. Kita hanya perlu percayakan semuanya itu ke Allah, nak."

Khansa menganggukkan kepalanya perlahan. Tapi tiba-tiba saja perutnya kembali ditendang oleh bayinya yang mana langsung membuatnya meringis kesakitan entah untuk yang keberapa kalinya sejak tadi malam. Tadinya dia pikir rasa sakit itu hanya sebentar saja karena biasanya pun selalu seperti itu. Calon anaknya itu memang sedang aktif-aktifnya jadi Khansa sering kali tidak bisa tidur karenanya. Tapi kali ini rasa sakit itu terus terasa dan bahkan semakin besar.

"Bu," Tangan kiri Khansa meremas tangan ibunya sedangkan tangan kanannya memegangi perutnya. "Bu perut aku sakit banget!"

Amaya tersentak kaget begitu Khansa mulai merintih-rintih kesakitan. Dilihat dari gejalanya, nampaknya putrinya itu sudah mulai merasakan kontraksi. Tanpa berpikir lagi, dia langsung meraih ponselnya dan menghubungi nomor Jerome.

"Assalamualaikum, ya bu?" suara Jerome terdengar dari seberang sana tepat setelah nada sambung pertama.

"Waalaikumsalam Jerome, nak kamu dimana sekarang?" tanya Amaya dengan nada tenang sembari mengusap-usap bahu Khansa yang sesekali merintih menahan sakit.

"Ini aku udah masuk area apartemen bu sama Laura juga, ada apa bu?"

"Nanti mobil kamu parkir di lobi aja ya, Jer? Khansa udah mulai kontraksi jadi kita harus segera ke rumah sakit sekarang sebelum air ketubannya pecah."

Sempat ada keheningan selama beberapa detik di seberang sana sebelum akhirnya suara Jerome yang terdengar agak bergetar kembali menjawab ibu mertuanya.

"2 menit lagi aku sampe bu."

Dan setelah berbicara seperti itu, Jerome langsung menambah kecepatan mobilnya tanpa memedulikan teriakkan kaget Laura di sebelahnya. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dan butiran keringat mulai menghiasi dahinya. Akhirnya waktunya telah tiba. Waktu dimana Khansa akan segera melahirkan anak mereka ke dunia. Jerome beristighfar dalam hati, berharap bahwa kalimat sakral itu bisa sedikit meredam rasa takutnya.

"You'll be okay, love." gumam Jerome berkali-kali sembari membayangkan wajah cantik Khansa. "You'll be okay."






Dils' Note:

Heyho! Maaf updatenya kemaleman ya guys karena tadi aku lagi pergi dulu hahaha

Kayaknya tinggal 2 chapter lagi cerita ini bakalan selesai, dan mungkin bakalan ada epilognya juga, but let's see!

Berhubung tanggal 20 ini aku mau pulang kampung, mungkin aku bakalan usahain Avengement selesai sebelum aku berangkat dan mulai lanjutin Adaptation + nyicil Pretense setelah pulang dari sana.

Enjoy!

I'll see you guys on next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

179K 15.8K 32
Harya Al Ghazi dan Agista Sasmaya telah berteman sejak bayi. Suatu hari hati mereka sama-sama dipatahkan oleh orang yang mereka cintai dan memutuskan...
705K 45.2K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
7K 1K 15
(Masuk daftar Wattpad Romance ID bulan April 2023 tema Bittersweet of Marriage) Impian menjalankan kehidupan pernikahan yang sederhana dan modern tid...
3M 148K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞