MATE FROM THE DARK [END ✔️]

By Mangokornet

84K 7.8K 658

[JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE DAN KOMENT] ⚠️UNTUK DI BACA BUKAN DI TULIS ULANG ALIAS PLAGIAT. MIKIR ALUR SUSAH... More

CAST
P R O L O G
CHAPT 1
CHAPT 2
CHAPT 3
CHAPT 4
CHAPT 5
CHAPT 6
CHAPT 7
CHAPT 8
CHAPT 9
CHAPT 10
CHAPT 11
CHAPT 12
CHAPT 13
CHAPT 14
CHAPT 15
CHAPT 17
CHAPT 18
CHAPT 19
CHAPT 20
CHAPT 21
CHAPT 22
CHAPT 23
CHAPT 24
CHAPT 25
CHAPT 26
CHAPT 27
CHAPT 28
CHAPT 29
CHAPT 30
CHAPT 31
CHAPT 32
CHAPT 33
CHAPT 34
CHAPT 35
CHAPT 36
CHAPT 37
CHAPT 38
CHAPT 39
CHAPT 40
CHAPT 41
CHAPT 42
CHAPT 43
E P I L O G U E
EXTRA CHAPT-GODDESS OF THE HUNT
EXTRA CHAPT-EVONSHIELD BROTHERS
EXTRA CHAPT-DEATH PRISON
EXTRA CHAPT-BABY DRAKE
EXTRA CHAPT-HUNGRY BISTRO
THE SILENT KILLERS

CHAPT 16

941 101 1
By Mangokornet

MATE FROM THE DARK

Entah sudah berapa jam Gale berjongkok didepan gundukan tanah berukuran kecil itu. Dari matahari tepat berada di atas kepala hingga kini telah berpulang keperaduan Gale masih tetap berdiam disana.

Sejak tiga puluh menit kebelakang matanya tidak lepas memandangi sebaris nama yang ia tulis di atas papan kecil tersebut.

Little Vaga

Begitulah kata yang tertulis di papan kecil tadi. Vaga singkatan dari nama Valerie dan namanya.

Gale mendongakkan kepalanya, membuang napas kasar. "Apa aku hidup hanya di takdirkan untuk membaca nama di atas nisan," gumam laki-laki itu.

Ia lantas kembali menggeser netranya pada gundukan tanah tadi. Tangannya terulur mengusap sebaris nama di atas nisan kayu itu.

"Sweetheart, maaf belum bisa menjadi orangtua yang baik untukmu. Maaf membuatmu kesakitan karena melihat dunia sebelum waktunya. Maaf," ujar Gale pilu

"Semoga kita bisa bertemu di lain waktu dalam keadaan sama-sama bisa melihat."

Entah bisa melihat bagaimana yang Gale maksud. Laki-laki itu masih dirundung rasa bersalah karena mengajak Valerie ke bukit heavrn kemarin. Andai saja ia tidak mengajak Valerie pasti tidak akan ada kejadian sepedih ini.

Gale menoleh kebelakang ke arah jam dinding besar di tembok halaman belakang. Pukul enam, ia harus bersiap untuk pergi ke gereja karena ini adalah akhir pekan.

Laki-laki itu beranjak tanpa mengatakan apa-apa lagi. Semakin ia banyak bicara hatinya justru semakin sakit tak karuan.

******

"Hei brother! Mendung sekali wajahmu?" Deli bertanya sambil merangkul bahu Gale.

Gale tersenyum tipis lalu menggeleng "tidak hujan kan tapi?"

Deli mengangkat sudut bibirnya, terkadang cara bercanda Gale itu susah dimengerti. "Kau tidak mengajak istrimu?"

Kedua laki-laki itu beriringan masuk kedalam gereja yang berada di pusat kota Voresfox. Sebenarnya di komplek perumahan Gale juga ada gereja, tapi Gale lebih suka beribadah di gereja pusat kota.

"Dia bukan sosok religius," Gale mengulas senyum tipis. Lagipula sepertinya tidak ada sejarahnya dewa pergi ke gereja. Entah tidak ada atau Gale yang tidak tahu.

Deli mengangguk "ah iya dia kan dewi."

Gale dan Deli mengambil duduk di baris ketiga dari depan. Mata Gale mengedar kesembarang arah. Gereja ini selalu ramai setiap kali ibadah akhir pekan. Lalu tak sengaja matanya menangkap sosok Jaeden dengan seorang gadis juga Jerome, adik Deli.

"Del!" Gale menepuk bahu Deli membuat laki-laki berdarah bangsawan Wilson itu menoleh.

"Apa?"

"Jaeden!" Tunjuk Gale "Jaeden, kenapa anak itu ke gereja?"

Deli mengikuti arah pandang Gale. Laki-laki itu lantas tertawa pelan. "Kau baru tahu? Dia bahkan juga pergi ke kuil dengan salah satu temannya yang beribadah disana," Deli menjelaskan

Gale terperangah kaget "benarkah?"

"Benar. Dia selalu penasaran dengan cara orang beribadah. Kenapa berbeda," Deli menggeleng heran melihat Jaeden. Anak itu sangat konyol.

"Dia lebih ajaib dari yang kau kira."

Jujur saja Gale masih shock karena melihat Jaeden disini. Sungguh ia tidak tahu apa yang ada dipikiran adik iparnya itu.






Deli dan Jerome berpamitan pada Gale untuk pulang terlebih dahulu. Sekarang di depan gereja megah itu Gale berdiri sendirian. Matanya sedikit bengkak karena ia tak mampu menahan air mata ketika berdoa tadi. Berdoa untuk anaknya yang telah berpulang dan untuk istrinya yang tengah berjuang keluar dari kesedihan.

"Kakak ipar!"

Gale berbalik badan, melihat Jaeden keluar dari dalam gereja sendirian. Gale mengulas senyum ketika Jaeden mendekat.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Gale

"Beribadah seperti Jerome dan Deli juga seperti kekasihku."

Gale menepuk pelan dahinya "astaga. Untuk apa?"

Jaeden tersenyum miring tampak mencurigakan "berlatih saja, kalau nanti aku menikah dan diajak ke gereja oleh istriku."

Seketika Gale tertawa "kau. Usiamu bukankah masih enam belas tahun?"

"Tidak!" Jaeden menggeleng "aku sudah dua puluh tahun. Aku dan Valerie sebaya meski selisih tujuh tahun."

Gale memiringkan kepalanya, bingung. "Sebaya meski selisih?" Ulang Gale berpikir

Jaeden berdecak "karena kita dewa lebih mudahnya. Ya ya usia manusiaku baru enam belas tahun, tapi sepertinya aku lebih dari itu."

"Aku tidak paham." Gale menggeleng polos

"Ah sudahlah jangan membahas usia." Jaeden melambaikan tangannya "bagaimana keadaan Valerie? Apa dia baik-baik saja?"

Pertanyaan simpel itu berhasil menohok Gale. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya, berusaha menghindari kontak mata dengan Jaeden. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Hei, kakak ipar! Aku bertanya bagaimana keadaan Valerie?" Jaeden mengulang. Sebenarnya maksud di balik pertanyaan Jaeden bukalah seperti yang Gale pikir.

Jaeden khawatir tentang Vale yang memiliki sikap kurang ramah. Itu tidak masalah bagi Jaeden jika terjadi di istana. Tapi jika terjadi di luar? Dan Vale bertindak demikian pada orangtua Gale bagaimana?

Itulah yang Jaeden pertanyakan. Bukan masalah yang lain.

"Gale!" Sebut Jaeden "aku sedang mengkhawatirkan sikap kurang ramah Vale bukan hal lain." Jaeden menepuk pelan sebelah bahu Gale.

"Ahh," Gale tergagap "ya ya dia baik-baik saja. Sudah tidak separah dulu. Dia sangat akrab dengan ibu dan ayahku. Kau tidak perlu khawatir,"

Jaeden mengangguk paham "baiklah. Apa kau sedang mengerjakan sebuah proyek dengannya? Aku penasaran bagaimana anak kalian. Uh pasti sangat menggemaskan sepertiku." Ucap Jaeden sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya sendiri.

Gale terkekeh "ya doakan agar cepat jadi." Gale mengangkat tangan kirinya melihat arloji yang menunjukkan pukul sembilan malam. "baiklah, Jaed! Aku harus kembali ke kastil. Valerie pasti menungguku,"

"Okey. Sampaikan salamku padanya ya?"

"Tentu saja."

******

Sedangkan jauh di kastil Valerie tengah menangis dipelukan sang ibu hampir empat puluh menit lamanya. Suaranya yang amat pilu mengundang Lucia ikut meneteskan air mata. 

Lucia datang secara mendadak karena sejak siang hari ia merasa tidak tenang, terus kepikiran Valerie. Ia sangat-sangat takut terjadi hal buruk pada putrinya. Dan ternyata firasatnya tidak meleset sama sekali.

"Sweety." Bisik Lucia "berhenti menangis. Kau membuat mommy ikut menangis. It's okey it's okey. This is not your fault."  Ujar Lucia lembut sambil terus membelai rambut halus Valerie.

"Ini bukan salahmu, sayang. Ini murni kecelakaan dan tidak sengaja. Kau tidak tahu dan Gale juga tidak tahu, jangan terus-terusan menghakimi diri sendiri." Yoshi ikut bersuara setelah sekian lama terdiam.

"Mom!" Panggil Vale di tengah Isak tangisnya.

"Mommy disini." Lucia membalas. Berusaha tegar, berusaha kuat meski nyatanya ia juga butuh pelukan untuk menenangkan hatinya. Tapi disini Vale yang paling butuh support.

"Sudah jangan menangis lagi," Lucia melerai pelukan, menghampus jejak air mata di pipi putrinya kemudian mengecup ringan kelopak mata Vale secara bergantian.

"Tidak ada yang salah, okey!" Ujar Lucia menatap Vale tepat pada iris abu-abunya. "Kau tetaplah seorang calon ibu yang terbaik."

Tokk..tokk... Tokkk

"Masuk!" Yoshi membalas.

Pintu kamar terbuka menampakkan Lyla dengan senampan minuman dan makanan ringan. Wanita paruh baya itu melangkah masuk menaruh nampan tadi di atas nakas.

"Yang Mulia, silahkan dinikmati hidangan sederhana ini." Ucap Lyla sopan

Yoshi dan Lucia mengangguk bersama "terimakasih."

Lyla menunduk sebelum keluar dari kamar.

"Sekarang Gale ada dimana?" Tanya Yoshi

Vale menggeleng "dia hanya berkata ingin menguburkan calon bayinya. Tapi aku tidak tahu dimana dia menguburnya,"

"Honey!"

Lucia menoleh dengan ekspresi tanya.

"Aku keluar. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Lyla."

"Baiklah." Lucia mengangguk.

Yoshi mengulas senyum pada Valerie sebelum keluar dari kamar. Saat ia datang tadi Charles tidak ada di kastil. Lyla berkata Charles masih berada di tempat kerja. Pria itu bekerja sebagai sipir di pusat penahanan Voresaint.

*****

"Ibu. Ini ada surat dari Paman Andreas." Gale melangkah masuk, ia menunduk memeriksa surat pemberian dari Andreas tadi hingga tidak menyadari bahwa di ruang tamu juga ada Yoshi.

"Yang Mulia. Anda datang," Gale buru-buru menunduk hormat begitu menyadari keberadaan Yoshi. "maaf atas perilaku saya yang kurang sopan." Lanjut Gale

Yoshi berdiri menghampiri Gale yang masih berada di ambang pintu. Lelaki itu menepuk pelan sebelah bahu Gale.

"Tidak apa-apa. Kau baru datang dari mana?"

Perlahan Gale mengangkat pandangannya "saya baru saja dari gereja di pusat kota." Balas Gale

Yoshi mengangguk "begitu. Valerie sepertinya menunggumu didalam,"

Gale membalasnya dengan senyuman kemudian melangkah masuk ke kamar setelah memberikan surat tadi pada Lyla.

Sepeninggalan Gale, Yoshi kembali duduk dan Lyla membuka surat tadi.

"Surat apa itu?"

"Ah ini sepertinya Charles memberitahu saya untuk tidak pulang lagi malam ini."

"Apa dia sering demikian?"

Lyla mengangguk "benar, Yang Mulia. Dia sering menggantikan waktu jaga malam rekannya kalau rekannya ada keperluan dengan keluarga atau keperluan mendadak lainnya."

Yoshi diam, memikirkan sesuatu. Benar kata Lucia, Charles itu mencurigakan.

******

"Suamimu sudah datang. Mommy keluar sebentar ya untuk berbicara dengan ibu Gale." Ujar Lucia

Vale mengangguk, Lucia meremat lembut tangan Valerie sebelum beranjak.

Gale menunduk ketika Lucia berjalan melewatinya. Setelah pintu tertutup laki-laki itu lantas duduk di samping Valerie.

"Masih ada yang sakit?"

Vale menggeleng "tidak ada. Kau baru dari mana saja?"

"Aku menguburkan calon anak kita dan pergi ke gereja, maaf tidak memberitahumu."

"Dimana kau menguburkannya?" Vale mengangkat sebelah tangannya, mengusap wajah laki-laki di hadapannya.

Gale menangkup tangan Vale yang berada di pipinya "di suatu tempat. Kau tahu aku memberinya nama,"

"Nama?"

Gale mengangguk "hmm. Little Vaga,"

Mata Vale membola mendengar kata itu "little Vaga? What is that?"

Senyum tipis menghiasi wajah rupawan Gale "little Valerie dan Gale."

Vale tidak bisa menahan senyumnya mendengar ucapan Gale. Gadis itu tertawa kecil, tawa yang berhasil meredakan rasa bersalah Gale.

"Aku akan mengajakmu kesana. Tapi kau harus berjanji suatu hal padaku." Dipandanginya mata Valerie dalam-dalam.

"Janji apa?"

Gale menurunkan tangan Vale dari wajahnya lalu digenggamnya. "jangan bersedih terlalu lama. Bukankah kita memiliki banyak rencana di musim semi ini? Kalau kau terus-terusan bersedih bagaimana rencana itu bisa terealisasi?"

"Tidak baik berendam terlalu lama. Nanti kulitmu bisa keriput, kau bisa menggigil. Kau paham?"

Entah bagaimana lagi Vale menunjukkan rasanya pada Gale. Laki-laki itu benar-benar sosok yang apa adanya, lembut, polos, penyayang dan amat tulus. Dengan penuh tekat Valerie bersumpah bahwa dia akan sungguhan berjuang dengan Gale hingga akhir.

"Gale!"

"Hmm,"

Sebelah tangan Vale mencengkeram erat lengan Gale hingga kuku panjangnya membekas disana. "Kau telah membuatku jatuh sedemikian dalam. Aku akan membunuhmu jika kau berani meninggalkanku," Vale menatap manik coklat terang itu, ucapannya yang kelewat serius membawa hawa-hawa tak nyaman bagi Gale yang hanya manusia biasa.

Tidak dapat dipungkiri, bulu kuduk Gale meremang.

"Bagaimana bisa aku meninggalkan sosok yang telah menyeretku dan membuatku harus berurusan dengan para dewa?"

"Kau tahu, darah yang kuteteskan di tanah lapang waktu itu menjadi sebuah tanda."

"Tanda apa?"

Gale mengangguk misterius. Tidak menjawab pertanyaan Valerie.

"Gale! Kau tidak menjawab?"

Gale mendesah lirih "Drake mengunci aroma darahku di hidung dan otaknya. Dia akan mengejar ku hingga ke ujung semesta jika aku berani meninggalkanmu ataupun menyakitimu,"

"Benarkah?" Mata Vale memicing curiga. Merasa tidak puas dengan jawaban Gale meski itu adalah hal yang sebenarnya ingin Gale katakan.

"Kau tidak berbohong?" Vale menarik Gale mendekat.

"Tidak," Gale menggeleng "keuntungan apa yang aku dapat jika membohongimu? Yang ada aku malah dikejar kematian,"

Gale mengangkat sebelah tangannya mengusap-usap rambut Valerie.

"Kembalilah menjadi Valerie yang galak dan tidak ramah. Aku lebih suka kau seperti itu dari pada seperti ini. Kalau kau terus-terusan seperti ini, yang sedih bukan hanya kau saja. Tapi ayahmu, ibumu, ayahku, ibuku, juga saudaramu."

"Jangan pula memikirkan hal yang tidak-tidak. Perlu ku ingatkan lagi alasanku menikahimu?"

Vale menggeleng "jangan. Aku bosan mendengarnya,"

Gale tersenyum tipis "ah iya aku tadi bertemu Jaeden di gereja. Dia menitipkan salam kepadamu,"

"Jaeden?" Kaget Vale "dia pergi ke gereja?"

"Iya dengan Jerome dan seorang gadis aku tidak tahu siapa."

"Wah," Vale berdecak heran "semakin tidak terkendali saja anak itu."

"Kau sudah minum obatnya?"

"Sudah. Tadi ibumu membantuku minum obat. Ngomong-ngomong ayah Charles kenapa belum pulang?"

"Ah, ayah menggantikan jadwal malam rekannya karena rekannya memiliki keperluan yang tidak bisa ditunda," Gale menjelaskan

"Apa boleh seperti itu? Aku baru tahu,"

Gale menghela napas, mengangkat kedua bahunya "aku tidak tahu. Tapi ayah sudah berkali-kali seperti ini."

"Gale!"

"Ya Valerie Graciella. Ada yang ingin kau katakan?"

"Love you!"

Gale mengulum bibir, "love you more and more," laki-laki itu membalas dengan suaranya yang rendah dan lembut.

Laki-laki itu mendekat, menggesekkan hidungnya dengan hidung Valerie lantas mengecup ringan bibir gadis itu beberapa kali.

Setelah itu Gale kembali mengangkat pandangannya, menatap mata Vale amat dalam dan teduh lalu tersenyum tipis. Ditatap seperti itu oleh Gale rasanya Valerie seperti diseret-seret oleh pesona suaminya sendiri.

******

Hari ini Drake mengajak Rigel pergi ke tengah hutan Nuvoleon untuk memanen getah deathwoods.

Tanaman rambat itu memang di tanam di tengah hutan Nuvoleon tapi pada dimensi yang berbeda. Gerbang menuju lahan deathwoods itu hanya bisa dilihat oleh dewa, keturunan dewa serta manusia yang diberi keistimewaan oleh dewa secara langsung. Bukan hasil mempelajari ilmu hitam. Bahkan manusia yang memiliki ilmu hitam akan terpental begitu tubuhnya menyentuh pembatas tak terlihat diambang gebang.

Drake memangkas ujung tanaman rambat itu hingga cairan didalamnya merembes keluar. Drake menampungnya kedalam botol-botol kecil.

"Drake!"

Pria bersetelan hitam itu menoleh pada Rigel yang juga melakukan hal sama sepertinya.

"Apa?"

"Kau yakin kita sedang berdiri pada dimensi yang berbeda dengan manusia?" Tanya laki-laki berjubah merah itu.

Drake mengangguk, tapi raut wajahnya terlihat meragu. "Kenapa memangnya?"

"Coba kau kemari," kata Rigel

"Sebentar." Drake memperhatikan tetesan racun yang masuk kedalam botol. Warnanya sangat persis dengan warna darahnya. Merah pekat hampir ke hitam.

Menurut cerita, Dewa Gerard membuat warnanya demikian karena terinspirasi dari warna darah Drake.

Pria itu melangkah pada Rigel yang masih menampung tetesan racun deathwoods ke dalam botolnya.

"Coba kau lihat bagian ini. Seperti baru saja di pangkas, kan?" Rigel menunjuk batang deathwoods yang merambat pada pohon disebelahnya.

Batang tanaman rambat itu sebenarnya utuh, karena setelah dipangkas untuk diambil getahnya, deathwoods akan langsung kembali seperti semula.

Tapi tentu saja mata dewa Rigel tidak bisa di bohongi. Laki-laki itu tahu mana batang rambat yang lama dipangkas mana yang baru.

Satu botol kecil racun deathwoods bisa digunakan selama dua puluh tahun lamanya. Jadi tidak setiap saat Drake datang kesini untuk mengambil getahnya.

"Satu botol ini bisa digunakan hingga dua puluh tahun. Yang artinya kau tentu tidak setiap saat datang kemari, kan?" Rigel menoleh

"Ayolah Drake! Kau jangan terlalu sabar. Ini sungguh bukan kau, BUKAN KAU DRAKE EVONSHIELD YANG TERKENAL BRUTAL ITU. Cepat selidiki sebelum ayahmu tahu dan kau akan dihukum," lagi-lagi Rigel memperingatkan.

Drake melirik Rigel sekilas lalu memperhatikan batang tanaman deathwoods yang ditunjukkan Rigel tadi. Benar, batang tanaman itu seperti baru saja di pangkas. Dan dalam ingatannya, Drake belum pernah memanen getah di bagian sini.

Lalu tangan lancang siapa yang berani beraninya menyentuh tanaman sang dewa kematian?

*****

Haiii gengss apa kabar klean

Gimana chapt ini? Masih enjoy?

Jangan lupa vote dan komen ya 🔪🔪🔪🔪

See you next chapt





Valerie

Gale (gantengnya suami orang)

Drake

Rigel


Deli

Continue Reading

You'll Also Like

240K 20.7K 20
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
603K 44.6K 45
Amber Cessia harus mendekam dipenjara selama tiga hari karena orang tuanya sudah lelah menjemputnya darisana. Namun keesokan harinya, bukan lagi petu...
122K 7.8K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
309K 18.2K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...