AVENGEMENT ( ✔ )

By dilselflovetion

279K 22.9K 1.7K

Khansa Nuria Pramadita hanyalah seorang gadis yang ingin merasakan setidaknya 1 kali kebahagiaan didalam hidu... More

INTRODUCTION
AVENGEMENT - 1
AVENGEMENT - 2
AVENGEMENT - 3
AVENGEMENT - 4
AVENGEMENT - 5
AVENGEMENT - 6
AVENGEMENT - 7
AVENGEMENT - 8
AVENGEMENT - 9
AVENGEMENT - 10
AVENGEMENT - 11
AVENGEMENT - 12
AVENGEMENT - 13
AVENGEMENT - 14
AVENGEMENT - 15
AVENGEMENT - 16
AVENGEMENT - 17
AVENGEMENT - 18
AVENGEMENT - 19
AVENGEMENT - 20
AVENGEMENT - 21
AVENGEMENT - 23
AVENGEMENT - 24
AVENGEMENT - 25
AVENGEMENT - 26
AVENGEMENT - 27
AVENGEMENT - 28
AVENGEMENT - 29
AVENGEMENT - 30
AVENGEMENT - EPILOG
AVENGEMENT - EXTRA : Jerome's POV

AVENGEMENT - 22

7K 632 37
By dilselflovetion


"Naresh lagi di Bali?! Kapan berangkatnya itu anak?!"

Jerome duduk di pinggir tempat tidur sambil memegang ponsel yang menempel di telinganya sementara Khansa yang sedang menyelesaikan riasannya di meja rias langsung menoleh ke arah Jerome begitu mendengar kabar bahwa salah satu sahabat suaminya yang sangat misterius itu sedang ada di Bali.

"Nggak tau dah gue, tu bocah kan emang rada-rada!" sahut Reksa di seberang sana. "Tapi bulan lalu dia emang udah bilang ke Harya sih kalau dia nggak bisa ikut ngumpul di rumah barunya, soalnya dia ada urusan penting yang harus diberesin. Cuma dia nggak bilang urusannya apa dan di mana."

"Oh gitu. Ya udah kita nunggu klarifikasi nya aja pas dia balik dari Bali nanti."

"Iya. Si Harya kepo banget anjir, dia sampe niat pengen nyusulin Naresh ke Bali buat nyari tau tapi langsung kicep pas diomelin sama Gista, tolol banget emang!" Reksa tertawa geli. "Ngomong-ngomong lo udah jalan belom? Gue lagi nungguin Sadine kelar dandan nih. Lama banget buset!"

Jerome ikut tertawa seraya melirik Khansa yang ternyata sudah siap.

"Gue udah mau jalan nih," Jerome beranjak dari tempat tidur sembari meraih kunci mobilnya. "I'll see you there, yeah?"

"Sure. Safe drive, bro!"

"Naresh ngapain ke Bali, Jei?" tanya Khansa penasaran.

Jerome mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau tuh. Naresh cuma bilang kalau dia ada urusan yang harus dia selesain dari bulan lalu, tapi dia nggak bilang kalau urusannya itu di Bali."

Khansa manggut-manggut sembari berjalan beriringan dengan Jerome menuruni tangga. Dan seperti biasa, keduanya akan disambut oleh pemandangan dimana Chyntia yang sedang sibuk bercengkrama dengan mama dan Laura. Sedangkan papa tidak terlihat dimanapun yang mana mereka yakini beliau pasti sudah pergi untuk bermain tenis sesuai dengan jadwal akhir pekannya. Sejak berdamai kembali dengan Jerome, papa mengganti jadwal olahraga nya yang semula ia lakukan di hari sabtu menjadi di hari minggu agar hari sabtunya dia bisa menghabiskan waktu untuk jalan-jalan atau makan malam bersama dengan Jerome, Khansa, Tiara, Irgi dan kedua cucunya.

Masih belum ada tanda-tanda perdamaian yang terjadi antara papa dan mama yang mana Jerome meyakini bahwa papa mungkin belum membicarakan perihal keinginannya untuk bercerai dari mama.

"Kalian mau ke mana? Kalau mau jalan-jalan, ajak Chyntia sekalian ya. kasian dia nggak ada temennya di rumah karena mama sama Laura sibuk." tegur mama santai.

"Males. Siapa suruh nggak punya temen." balas Jerome pedas membuat wajah sumringah Chyntia berubah sedih. Pria itu mengenakan sneakers nya tanpa peduli dengan raut wajah dongkol yang menghiasi ketiga perempuan di area meja makan itu. "Kalau nggak punya temen ya cari sendiri lah, jangan ngerecokin acara orang lain. Orang kok suka banget jadi beban."

"Jer lo kenapa sih jutek banget sama gue? emang gue punya salah apa sama lo?" tanya Chyntia dengan nada sedih.

Jerome mendengkus menahan tawa. "Salah? banyak banget salah lo bangsat. Gue aja heran lo masih punya muka buat tinggal di sini."

Dan ternyata tidak hanya Jerome yang ingin tertawa, Khansa pun mati-matian berusaha menahan tawanya karena kalimat terakhir yang dilontarkan oleh sang suami benar-benar terdengat sangat lucu di telinganya. Sungguh jika Khansa ada di posisi Chyntia sekarang, dia lebih baik segera keluar dari rumah itu dan bersembunyi di tempat yang tak akan pernah bisa dijangkau agar tidak terus-terusan terjebak dalam rasa malu.

"Kenapa lo ketawa-ketawa?! ada yang lucu?!" bentak Laura galak pada Khansa yang langsung menutup mulutnya dan menggeleng.

"Temen satu spesies lo itu yang lucu," Jerome merapikan kemeja flanelnya seraya melirik Chyntia yang kini sedang menatap tajam ke arah Khansa. "Makanya istri gue yang cantik banget ini ketawa. lagian ketawa nggak ada larangannya juga kan? kenapa lo ngomel?"

"Terus aja lo belain dia bang!" tukas Laura sengit.

"Oh iyalah pasti gue belain dia. Gue kan membela yang benar, bukan yang membela yang salah tapi dibenarkan, iya nggak ma?" Jerome menyeringai sembari menatap sang mama yang terlihat sudah kesal setengah mati.

"Pengaruh Khansa memang udah benar-benar buruk buat kamu!" desis mama.

"No. Bukan pengaruh dari Khansa, tapi pengaruh dari mama. Jangan suka nyalahin orang lain kalau diri sendiri aja masih sering bikin kesalahan. Introspeksi diri coba ma, sholat, sujud sama Allah biar dosa-dosanya diampuni, sekalian minta dikasih hidayah juga biar aku nggak perlu durhaka terus sama mama."

Tanpa menunggu balasan dari mama, Jerome langsung menarik Khansa untuk keluar dari rumah. Di dalam mobil, Jerome berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol amarah nya sedangkan Khansa terus mengusap-usap dadanya untuk memberinya sedikit ketenangan.

"Istighfar, Jei. Jangan marah lagi ya." pinta Khansa dengan nada yang begitu halus dan lembut sementara Jerome mencengkram setir mobilnya berusaha setengah mati menahan emosinya agar tidak meledak. "Jerromy, calm down."

"Dosa aku ke mama nambah lagi," tutur Jerome sendu. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil sambil terus membiarkan Khansa mengusap-usap dadanya. Dan seperti biasa, sentuhan itu selalu berhasil membuat Jerome kembali mendapatkan ketenangannya. "I'll probably rot in hell once i got in."

"Sst nggak boleh ngomong gitu! inget loh, semua omongan itu bisa jadi doa!" Khansa meraih tangan Jerome dan mengecupnya. "Aku tau kamu ngelakuin itu untuk membela dan melindungi aku, tapi lain kali kamu coba untuk kontrol emosi kamu lagi ya? jangan terlalu keras ngomong sama mama."

"Aku nggak tau cara ngontrol emosi itu kayak gimana," Jerome menundukan kepalanya. "When I got triggered, it's just exploding."

"Itu karena kamu udah nyimpen semua emosi kamu dari dulu. kamu nggak punya tempat untuk mengeluarkan itu semua makanya pas kamu udah nggak tahan lagi dan momen nya juga pas banget bikin kamu ke-trigger, akhirnya itu semua meledak begitu aja tanpa bisa kamu tahan apalagi kontrol," Khansa menghela nafas seraya menarik Jerome ke dalam dekapannya. "Pelan-pelan aja ya. aku yakin kamu pasti bisa kontrol emosi kamu."

Jerome menghela nafas dan balas memeluk Khansa. "Maaf Kei..."

Khansa menggelengkan kepalanya sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar itu. Dia tidak bisa membenarkan ucapan Jerome kepada sang mama tadi, tapi dia juga tidak ingin membuat suaminya itu merasa semakin bersalah. Dan rasa bersalah itu juga turut muncul di dalam hatinya sendiri. Entah kenapa Khansa merasa bahwa dia lah penyebab kenapa semakin kacaunya hubungan antara ibu dan anak itu.

"Kamu pasti lagi nyalahin diri kamu sendiri lagi ya?" tanya Jerome tiba-tiba membuat Khansa tersentak kaget. Bagaimana pria ini bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya?

"Nggak kok. sok tau ih kamu." Khansa melepaskan pelukannya seraya menjulurkan lidahnya berniat untuk mengajak Jerome bercanda, tapi raut pria itu tetap terlihat mendung. "Jei, serius. Aku nggak mikir yang macem-macem kok, beneran deh."

"You're not good at lying, you know?"

Khansa mengerucutkan bibirnya sebal. "Iya, aku emang sempet mikir yang nggak-nggak tadi, tapi aku nggak akan baper kok!"

Jerome tersenyum tipis seraya mengecup tangan Khansa. "Apapun yang terjadi kedepannya nanti, kamu sama sekali nggak salah, oke? Jangan mikir yang aneh-aneh, mendingan juga kamu mikirin aku aja sampe gumoh."

"Kayaknya aku mikirin kamu tiap waktu deh. kamu kan orang nya suka bikin khawatir. Suka lupa makan, lupa istirahat, lupa tidur. Kalau nggak dicubit dulu pasti nggak akan sadar-sadar."

"Emang aku gitu?"

"IYA!" Khansa melotot galak hingga berhasil membuat Jerome tertawa geli. "Udah ah ayo kita berangkat! Kasian Harya sama Gista, mereka pasti udah nungguin kita!"

Masih setengah tertawa, Jerome pun langsung menyalakan mobilnya sementara Khansa mengirim chat pada Sadine dan Gista untuk mengabarkan bahwa dirinya dan Jerome sedang dalam perjalanan menuju rumahnya.

Selama di perjalanan, baik Jerome maupun Khansa mengobrolkan banyak hal. Mulai dari yang pembahasannya berat seperti pekerjaan mereka masing-masing dan juga politik, hingga yang ringan-ringan seperti film, musik dan juga destinasi liburan yang bagus. Dan ini adalah pertama kalinya mereka berbicara selayaknya pasangan suami-istri pada umumnya. Jerome dan Khansa juga saling menemukan banyak hal yang ada pada diri mereka masing-masing yang sebelumnya tidak pernah mereka sadari. Salah satu contohnya adalah Jerome baru tahu bahwa Khansa adalah seorang perempuan yang sangat suka berbicara panjang lebar dan Khansa juga baru tahu bahwa Jerome itu ternyata suka bercanda juga.

Penemuan-penemuan baru itu akhirnya berhasil mengantarkan mereka untuk menjadi semakin dekat dan nyaman satu sama lain. Terlepas dari semua konflik dan kekacauan yang menghajar mereka dari segala sisi, setidaknya hubungan mereka sudah menjadi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Tapi masih ada satu hal lagi yang sering kali mengganggu benak Khansa. Yaitu, anak.

"Jei," panggil Khansa ragu.

"Hm?" balas Jerome yang masih fokus menyetir.

"Kamu mau punya anak berapa?"

Jerome mengalihkan pandangannya dari jalan ke arah Khansa dalam hitungan detik. Setelah sekian lama akhirnya Khansa memberanikan diri untuk bertanya soal anak lagi padanya, padahal Jerome sengaja tidak ingin membahasnya agar tidak membuat istrinya itu sedih.

"Kamu sendiri maunya berapa?" Jerome balik bertanya diiringi dengan senyumannya yang menyejukan.

"Ih kamu mah ditanya malah balik nanya!"

Jerome terkekeh. "Ya kan yang nanti hamil kan kamu, yang ngerasain mualnya kamu, yang melahirkan kamu, yang lebih banyak ngurus juga pasti kamu karena aku harus kerja dan cuma punya waktu buat bantuin pas malam hari sama weekend doang. Kamu sendiri sanggup nya ngurus berapa orang?"

Khansa terdiam. Terlahir sebagai anak tunggal yang hanya tinggal berdua saja dengan ibunya benar-benar membuat Khansa merasa sangat kesepian dulu. Belum lagi kesibukan ibunya sebagai pencari nafkah utama di keluarga kecilnya sering kali mengharuskan Khansa tinggal sendirian di rumah hingga malam hari. Terkadang Khansa merasa sedikit iri pada Jira yang memiliki seorang kakak laki-laki yang begitu menyayanginya. Karena itu Khansa bertekad untuk mempunyai banyak anak agar dirinya tidak merasa kesepian lagi.

"Aku sanggup ngurus 5 orang." jawab Khansa yakin.

"Kalau dikasihnya kurang dari itu?"

"Hmm ya udah maksimal 2!"

Jerome tertawa lagi. Tak pernah ia sangka bahwa membicarakan anak akan terasa menyenangkan seperti ini.

"Amin. Semoga keinginan kita cepet terkabul ya?" Jerome mengulurkan tangannya ke kepala Khansa dan mengusap rambut hitam wanita itu.

"Tapi gimana kalau misalnya aku nggak bisa ham-"

"Kei," tegur Jerome dengan nada rendah membuat Khansa langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. "Katanya kamu pengen punya anak, tapi pikiran kamu masih aja negatif kayak gitu."

"Eh iya maaf." Khansa menutup mulutnya seraya tersenyum penuh rasa bersalah.

Jerome meraih tangan Khansa dan mengecupnya. "Kamu harus percaya kalau kamu pasti bisa hamil. Kita udah ikhtiar, udah sering doa juga ke yang maha kuasa, tinggal tunggu hasilnya aja. Kalau kamu nggak yakin sama usaha kamu sendiri, gimana Allah mau mengabulkan permintaan kamu?"

"Hmm iya Jei, maaaaf." rengek Khansa sambil memeluk lengan Jerome dengan perasaan bersalah.

Mendengar nada bersalah dari suara Khansa, Jerome pun memutuskan untuk melunakkan nada suara dan juga ekspresinya sendiri. Dia bukanlah tipe pria yang bisa marah lama-lama hanya karena sebuah kesalahan kecil. Karena sifatnya yang sangat legowo dan cenderung menghindari konflik inilah kenapa Jerome tidak pernah memiliki musuh dimanapun. Semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, selalu ingin menjadi temannya dan tak pernah ada dari mereka yang ingin memusuhinya bahkan ketika mereka merasa iri dengannya sekalipun.

"Aku masih mikirin cara untuk nendang perempuan itu dari rumah," kata Jerome tiba-tiba membuat Khansa yang sedang memeluk lengannya menoleh cepat. Pria itu tersenyum tipis. "Chyntia. Do you know how much I want to kick her ass out of my parent's house? She's really a nuisance."

"Mama loves her. She will always protect her no matter what happen." Khansa balas tersenyum dengan sorot sendu.

"Love? Kamu masih percaya mama tau dan ngerti apa itu cinta?" Jerome tertawa geli. "Sama anak-anaknya aja dia nggak pernah sayang, apalagi sama orang asing kayak Chyntia."

Ah iya juga. Khansa seperti tersadar akan sesuatu begitu mendengar kalimat terakhir Jerome barusan bahwa mama mertuanya itu memang tidak pernah melihat Jerome dan kedua saudara perempuan nya dengan sorot sayang layaknya seorang ibu pada anaknya. Berbeda sekali dengan sorot papa yang selalu hangat dan lembut setiap kali sedang memandang ketiga anaknya meski Laura masih terus bersikap sinis pada beliau.

"Satu-satunya cara untuk ngusir dia itu ya dengan berita kehamilanku." Khansa terkekeh.

"Right. makanya kita harus makin rajin bikinnya biar cepet goal." sahut Jerome setuju diiringi dengan kekehannya juga.

"Jerome ih!"


***




Rumah Harya terletak di salah satu komplek perumahan yang lumayan mewah di daerah Bintaro. Bekerja sebagai seorang produser dan penulis lagu yang tenar dan arsitek membuat dia dan sang istri, Gista, akhirnya berhasil memiliki rumah di kawasan yang cukup elit itu. Harya membeli rumah itu dengan uang hasil keringatnya sendiri juga sedikit bantuan dari ayahnya yang memaksa ingin ikut andil dalam pembeliannya dengan dalih sebagai hadiah pernikahannya dengan Gista.

Rumah itu didesain dengan sangat bagus dan unik oleh Gista, baik itu di area luar maupun di dalam. Semuanya tertata rapi sesuai dengan tempatnya masing-masing sehingga benar-benar memanjakan mata semua orang yang melihatnya. Harya dan Gista juga sepakat untuk tidak membuat kolam renang di rumah mereka dan menggantinya dengan halaman luas yang dipenuhi oleh berbagai macam tanaman. Khansa bahkan sampai terkagum-kagum melihat halaman depan rumah dengan desain minimalis itu.

"Rumah arsitek emang beda ya," puji Khansa ceria begitu dia dan Jerome sudah keluar dari mobil. "Bentuk rumahnya sama semua padahal, tapi begitu didesain sama Gista langsung jadi beda sendiri dari yang lain."

"Aku denger ada beberapa spot yang di renovasi buat ngikutin desainnya Gista, makanya nggak heran kalau rumah ini jadi eye-catching banget," Jerome tertawa kecil sembari memandangi rumah dengan nuansa hitam-putih itu. "Tadinya Harya sempet protes sama Gista soal warna cat rumah mereka ini, dia pikir kalau pake warna hitam-putih gini nanti rumahnya berasa gelap dan suram gitu, eh tapi ternyata hasilnya justru malah cool dan elegan."

Tak lama kemudian, pintu rumah itu terbuka dan menampakan Harya yang langsung tersenyum berseri-seri melihat kehadiran sahabatnya beserta sang istri itu.

"Selamat datang wahai sahabatku tersayang," Harya merentangkan tangannya untuk memeluk Jerome tapi pria itu langsung menahan dahinya dengan telapak tangan agar dia tidak bisa memeluknya. "Jer sini gue peluk dulu anjir!"

"Ogah. Reksa mana?" Jerome mendorong dahi Harya sekali lagi hingga pria itu nyaris terjungkal dan langsung melesat masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan Harya yang misuh-misuh di belakangnya.

"Sumpah Sa, laki lo beneran gak punya adab banget! Amit dah!" umpat Harya pada Khansa yang hanya tertawa menanggapinya.

Tidak butuh waktu lama bagi para pasangan itu untuk berbaur dengan sesamanya. Para istri melakukan house tour yang dipandu oleh Gista, sedangkan para suami mengobrol dengan ditemani secangkir kopi susu, minuman bersoda dan camilan di halaman belakang. Gista akan memanggil mereka untuk makan bersama setelah house tour nya selesai nanti. Jerome mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotaknya lalu kemudian membiarkan Harya menyulutkan api dari pemantik yang sedang dipegangnya.

"Jadi, gimana menurut lo soal tampilan rumah gue ini?" tanya Harya pada Reksa dan Jerome yang sedang menikmati rokok masing-masing.

"Keren sih menurut gue. Apalagi desain luar sama warna cat nya. Beda banget sama rumah-rumah yang lain padahal tipenya sama." jawab Jerome jujur.

"Setuju. Interior dalem rumahnya juga keren. Penataan semua barangnya mulai dari sofa, meja makan, area dapur sampe tanaman-tanaman hias aja pas banget. Bikin seger mata," Reksa mengacungkan jempolnya. Sebagai seseorang yang bekerja di bidang desain interior, tentu saja Reksa sangat menyukai rumah Harya ini. "Tapi gue mau nanya dah, Har. Dari sekian banyak warna cat buat rumah, kenapa harus warna hitam deh?"

"Tau tuh si Gista! Padahal sebelumnya gue udah protes sama dia buat ganti warna, tapi dia tetep pengen warna hitam! Itu emang warna favorit dia sih, tapi ya nggak harus di apply ke rumah juga kan ya?" Harya memijat pelipisnya dongkol.

"Tapi jadinya bagus kok." puji Jerome lagi. "Rumah lo jadi beda sendiri gitu, gampang dikenalin juga."

Harya menghela nafas seraya menghisap rokoknya lagi. "Jadi, udah ada kabar dari Naresh belum?"

Baik Jerome maupun Reksa menggelengkan kepalanya bersamaan.

"Penasaran dah gue. dia ada urusan apa sih sampe mendadak berangkat ke Bali gitu?"

"Urusan keluarga kali. Dia kan kalau nggak cerita-cerita pasti ada hubungannya sama keluarga dan dia juga paling jago ngejaga privasi keluarganya." kata Reksa yang langsung diangguki Jerome.

"Iya sih." Harya menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu kemudian dia tersenyum lebar seraya meraih ponselnya. "Gue mau nitip oleh-oleh ah."

Jerome tertawa kecil sedangkan Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Ditengah kesibukan Harya bertukar chat dengan Naresh, Jerome dan Reksa memutuskan untuk membicarakan apa saja yang terjadi di tempat kerja mereka masing-masing sampai akhirnya Jerome menceritakan pada mereka berdua bahwa dia sudah berbaikan dengan ayahnya. Mendengar kabar itu, Harya pun langsung mengalihkan pandangannya dari ponsel ke wajah Jerome yang terlihat santai.

"Seriusan lo udah baikan sama bokap lo?" tanya Harya tidak percaya.

"Iya. Capek juga nyimpen dendam sama dia. lagian kejadiannya udah lewat juga. kalau aja gue punya time-turner kayak Hermione Granger, mungkin gue bakalan balikin semuanya ke masa-masa dimana perselingkuhan itu nggak pernah terjadi. atau kalau perlu sekalian aja ke masa dimana sikap nyokap gue nggak sekacau sekarang."

"Lo masih perang dingin sama nyokap lo?" kali ini Reksa yang bertanya dengan nada hati-hati. Dia jelas paham sekali bahwa topik ini cukup sensitif untuk Jerome.

"Masih lah. Selama dia masih musuhin Khansa, gue nggak akan pernah mundur dari perang dingin ini," Jerome menjentikkan abu rokoknya ke asbak lalu kemudian menghisapnya lagi. "Emang pada dasarnya nyokap gue ini biang kerok dari semua permasalahan dramatis di dalam hidup gue. Dia yang bikin suasana rumah berasa kayak di penjara."

"Pindah aja Jer," kata Harya tiba-tiba. Bahkan ekspresinya pun berubah menjadi lebih serius bercampur khawatir. "Serius deh, kelamaan tinggal di sana juga nggak bagus buat mental lo sama Khansa. Belum lagi lo nabung dosa juga ke nyokap lo."

Jerome tertawa hampa. "Gue lagi usahain buat nyari apartemen juga kok, tapi kayaknya Khansa masih belum mau pindah. Dia nggak mau bikin hubungan gue sama nyokap makin parah lagi katanya."

"Yah sebelum dia masuk ke dalam hidup lo juga sebenernya hubungan lo sama nyokap emang udah kacau kan?" Reksa menatap Jerome penuh simpati. "Terus cewek yang tinggal di rumah lo itu belum cabut juga?"

Jerome menggeleng singkat.

"Buset deh! ngapain dah dia tinggal lama-lama di rumah lo? mau jadi benalu?!"

"Nggak tau tuh," Jerome mengangkat bahunya singkat. "Nyokap bilang kalau dalam waktu dekat ini Khansa nggak hamil juga, gue disuruh nikah sama tu cewek. Dan dia ngomongnya langsung di depan Khansa."

"DIH!" Harya dan Reksa berteriak bersamaan dengan nada emosi tingkat tinggi. Keduanya saling pandang dengan pupil mata yang membesar karena terkejut sekaligus kesal.

"Gue sayang nyokap, bro. sayang banget. Tapi itu bukan berarti gue akan menuruti semua perintah dia," Jerome mematikan rokoknya yang sudah memendek lalu kemudian mengambil satu batang lagi. "My life, my rules. Simpel."

"Itu sih keterlaluan, Jer!" tukas Harya jengkel. "Gue nggak habis pikir apa yang sebenernya ada di dalam pikiran tante Hilda itu. kok bisa-bisanya dia nyuruh anaknya buat nikah lagi di depan menantunya sendiri? udah kayak emak-emak di sinetron aja tingkahnya!"

"Setuju. Walaupun lo itu anaknya, lo tetep berhak untuk memilih dan memutuskan jalan mana yang mau lo ambil untuk masa depan lo," Reksa memijat pelipisnya yang mendadak pusing. "Gue pengen banget bantuin lo, tapi gue nggak tau caranya gimana karena ini udah masuk ke ranah keluarga."

"Santai aja, Rex. I can handle it now," Jerome tersenyum tipis. "Gue bukan Jerome yang anak baik dan penurut kayak dulu lagi sekarang. I have my own way to manage my life. Lagian udah ada Khansa juga. Dengan dia ada di sisi gue aja udah lebih dari cukup kok, gue nggak mau minta apapun lagi."

"Jer, you love her?" tanya Reksa kaget. "Maksud gue, bukannya lo nikah sama dia supaya bokap lo nggak jadi nikah sama nyokap nya dia kan?"

"I loved her already, even since beginning," jawab Jerome tegas. "Mungkin lo berdua taunya gue ketemu sama dia pas acara pensi sekolah kita waktu itu, tapi sebenernya gue udah pernah ketemu dia di depan gerbang SMA Ranajaya pas lagi nungguin Hazmi. Saat itu gue belum tau kalau dia anak selingkuhan bokap dan gue tertarik sama dia."

"Man, lo nggak pernah cerita ke kita soal pertemuan pertama lo sama Khansa! Ada berapa rahasia lagi sih yang lo sembunyiin? Pertama, lo pernah nginep di Jogja selama seminggu buat mantau kehidupan dia, dan sekarang, lo bilang pertemuan pertama lo sama dia itu di gerbang Ranajaya, bukan pas di pensi sekolah kita. You sick man!" Harya geleng-geleng kepala takjub.

Jerome tertawa lagi. "Seriusan deh, kalau gue nggak mabok waktu itu, mungkin gue nggak akan pernah cerita soal itu ke lo sama Naresh."

"Biar apa sih lo rahasiain itu semua dari kita, hm? Biar apa coba gue tanya!" Reksa meraih kotak rokoknya dan mengarahkannya ke wajah Jerome seolah seperti ingin melemparnya.

"Dia mah masih mending mau berbagi cerita sama kita, Rex. Coba kalau dia kayak Naresh, mungkin selamanya kita nggak akan pernah bisa tahu tentang semua rahasia dia. Cuma Allah sama dia doang yang tau dah pokoknya!" cibir Harya membuat Jerome tertawa geli.

Reksa menarik nafas dalam-dalam lalu kemudian ekspresinya kembali serius lagi. Sejujurnya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Jerome dan Khansa serta pernikahan mereka yang kerap kali di hantam badai di sana-sini. Masalah yang sedang ia hadapi bersama Sadine benar-benar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan masalah sahabatnya itu. Bayangkan betapa lelahnya menjadi seorang Jerromy Radhitya Aksa yang harus berdiri di tengah-tengah antara sang ibu dan juga sang istri. Dan bayangkan juga sudah sebanyak apa dosa yang dia kumpulkan karena terlalu sering melawan ibunya itu.

"Terus mau sampe kapan lo ngumpulin dosa kayak gini terus, Jer?"

"Nggak tau, Rex." Jerome menyandarkan tubuhnya ke bangku seraya memandangi langit yang mulai menggelap. "Gue mungkin bukan orang yang religius banget, tapi lo berdua harus tau kalau setiap kali gue abis ribut sama nyokap, gue selalu sujud di atas sajadah gue buat minta ampun sama Allah. I did it everyday. Entah itu pas lagi di kantor, di mesjid pas lagi perjalanan pulang kerja, bahkan di rumah pas Khansa lagi tidur. I beg Him for forgiveness, I beg Him to soften my mom's heart to forgive Khansa, I beg Him to erase every sins that I did to her. Everyday, guys. Gue nggak pernah berhenti meminta ampun dan tolong sama yang maha kuasa agar hidup gue bisa sedikit dimudahkan. Gue cuma mau hidup tenang sama Khansa walaupun hanya dengan sedikit kebahagiaan. Itu aja kok."

Harya dan Reksa langsung terdiam. Ini adalah pertama kalinya mereka mendengar ada nada lelah dan pedih yang terdengar dari suara Jerome karena biasanya laki-laki itu selalu menyembunyikannya dengan nada yang dingin dan datar. Mereka tidak menyangka bahwa Jerome, yang pada dasarnya bukanlah orang yang sangat agamis sekali, sampai bersujud di hadapan yang maha kuasa atas semua dosa dan juga masalah yang secara bergantian menyerangnya dari segala arah.

Jerome menegakan tubuhnya lagi dan menatap kedua sahabatnya itu dalam-dalam.

"Kalau cewek yang gue nikahin bukan Khansa, mungkin gue nggak akan bisa bertahan sampe sejauh ini," Jerome tersenyum tipis. Matanya sedikit berkaca-kaca. "If it wasn't her, maybe I'll die inside. Slowly but sure."

Harya tertawa dengan nada sedih lalu kemudian memajukan tubuhnya untuk menepuk-nepuk bahu Jerome.

"World is suck, isn't it?" Pria berkulit kecoklatan itu tertawa lagi. "But we still continue to live in it even though it sucks as fuck. Kalau kata salah satu ulama kondang mah, dunia itu emang tempatnya capek, kalau nggak mau capek ya pulang aja ke sang pencipta. Tapi kan bukan itu solusinya. Mau sebangsat apapun dunia sama kita, ya kita tetep harus jalanin semuanya dengan terus berbuat baik sampe Allah bilang cukup terus manggil kita dengan caranya sendiri."

"Yah yang namanya manusia pasti nggak akan lepas dari yang namanya ujian, Jer. Nabi-nabi aja yang utusan Allah sering di kasih ujian berat, masa kita yang manusia biasa nggak sih?" Reksa nyengir lebar. "But just so you know, bro. we, the three of us, will always be here for you. Kalau ada apa-apa tuh langsung cerita, walaupun kita nggak bisa bantu, at least lo punya orang-orang yang bisa dengerin semua cerita dan keluh kesah lo. Jangan bebanin semuanya ke Khansa. Jangan bikin kita keliatan kayak nggak berguna jadi temen gitu."

"Bener tuh! Lo mah kalau ada apa-apa bukannya langsung cerita malah diem aja!" protes Harya keki.

"Tau nih! Jangan lo kira kita bakal lupa ya pas lo tiba-tiba kabur ke Jerman waktu itu! nggak ada angin, nggak ada ujan, tiba-tiba lo pamitan buat kuliah di sana secara tiba-tiba! Untung aja ada Eric yang bisa kita mintain tolong buat mantau kelakuan lo selama tinggal di sana!"

Jerome tertawa geli. "Ya abis gue nggak mau ngerepotin. lo bertiga kan pasti punya masalah sendiri-sendiri, masa iya gue nambah-nambahin pake masalah gue juga sih. Nggak enak lah."

"Nggak enak mah kasih kucing aja!" balas Harya lagi tanpa perlu repot-repot menyembunyikan kedongkolannya.

"Nggak ngerepotin, Jer. yang ngerepotin itu kalau lo cuma diem terus tiba-tiba ngilang gitu aja tanpa penjelasan. Jangan sok bertingkah kayak fuckboy yang hobi nya nge-ghosting orang doang deh lo! kagak pantes, sumpah!" seru Reksa keki.

Sekali lagi Jerome tergelak. Dia baru menyadari bahwa selama ini ketiga sahabatnya itu selalu menunggunya untuk bercerita lebih dulu. Meskipun sudah bersahabat lama, mereka berempat selalu berusaha untuk saling menjaga privasi masing-masing. Mereka hanya akan saling bertanya jika masalah yang dihadapi sudah terlalu besar, tapi jika tidak ada jawaban mereka tak akan bertanya lagi sampai yang sedang bermasalah mau menceritakannya sendiri.

Dan ini juga adalah tawa bahagia Jerome yang kedua setelah dia merasakannya lagi saat sedang bersama Khansa. Tawa bahagia yang dihasilkan oleh celotehan keki dari para sahabatnya. Tawa yang sangat dan selalu Jerome rindukan, karena sejak terkurung dalam penjara berkedok 'rumah' itu, Jerome sempat hampir lupa bagaimana caranya tertawa hingga dadanya sesak. Sesak oleh rasa bahagia yang begitu memuncah karena terlalu sering hidup dalam tekanan.

Tapi sekarang dia sudah mulai mendapatkanya lagi secara perlahan-lahan. Dia sudah mendapatkan lagi senyum dan tawa bahagianya satu-persatu. Mulai dari Khansa, Tiara, papanya, dan juga ketiga sahabat dekatnya. Dan setelah ini, dia juga harus berusaha untuk mendapatkannya dari sang mama. Tentu saja itu tak akan mudah, tapi jika tidak terus berusaha, maka tidak akan pernah ada hasil bukan?

"Ngetawain apa sih? kok seru banget!" celetuk Gista yang muncul dari balik pintu kaca.

"Boys talk, sayang. Lo nggak akan paham!" balas Harya sombong yang langsung dihadiahi cibiran dari sang istri.

"Rex sini makan dulu, kamu kan belum sempet makan siang tadi." panggil Sadine yang mana langsung membuat Reksa buru-buru mematikan rokoknya dan melesat ke arah sang istri dengan begitu cepat seolah dia takut Sadine akan menghilang dalam sekejap jika dia tidak langsung menurut.

Harya menyusul di belakangnya sambil sesekali menggoda dan meledek Gista. Sedangkan Khansa menghampiri Jerome yang sedang mematikan rokoknya di asbak lalu kemudian dia memeluk pria itu dari belakang dengan erat. Seulas senyum tercetak di bibirnya yang kemerahan.

"Kenapa?" tanya Jerome keheranan saat dia merasakan wangi parfum Khansa yang dengan sangat lembut menyapa indera penciumannya.

"Gitu dong." bisik Khansa bangga.

Jerome tertawa heran. "Gitu apanya?"

"Pokoknya gitu!" Khansa tertawa kecil seraya mengecup pipi Jerome sekilas lalu kemudian meraih tangannya. "Yuk kita makan juga!"

Kedua alis Jerome terangkat sedikit namun dia tetap tersenyum. Apapun alasannya, yang pasti Jerome tahu bahwa Khansa bangga padanya. Dan dia juga yakin bahwa Khansa telah benar-benar mencintainya sebagaimana dia telah benar-benar mencintai perempuan itu sepenuh hati.







Dils's Note:

Assalamualaikum!

Maaf baru bisa update hehe soalnya kemarin-kemarin aku sibuk ngurusin kucingku yang lagi sakit panleu, jadinya aku nggak sempet buat nulis.

Tapi sekarang kucing aku udah nggak ada huhuhu dia pergi ke tempat yang lebih baik kemarin malam. Sedih banget aku tuh... aku nangis semaleman sampe besoknya mataku bengkak wkwkwk. 

kalian ada yang punya kucing juga kah? Kalau ada, kucingnya jangan lupa di vaksin dan dijaga bener-bener ya, soalnya virus panleu lagi mewabah lagi dan virusnya itu belum ada obatnya, dan satu-satunya cara untuk menghindari itu ya dengan di vaksin.

Yah pokoknya kemarin itu aku beneran down parah, tapi sekarang alhamdulillah udah oke. Udah coba buat iklhas juga walaupun kadang masih suka keingetan :')

So yeah, i'll see you guys on next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

931 109 6
⚠️Warning : story contains sex scenes, violence, harsh words, suicide, anxiety. Sabita dan Niko kembali melanjutkan kisah mereka sebagai sepasang sua...
Photograph By gee

Fanfiction

77.7K 14.1K 38
(Series #8 Maier - TAMAT) Bagaimana kalau lensa kamera diam-diam mengabadikan betapa indahnya Awan Biru dan Langit Senja? [Cerita belum direvisi seja...
976 103 4
Ketika semesta selalu mempertemukan dua orang yang sedang berusaha saling melupakan. *** Trisha dan Javier memutuskan berpisah setelah tiga tahun men...
3M 148K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞