Equal

By kinky_geek

143K 27.8K 2.8K

Impian Ibnu adalah menjadi musisi, berharap bisa menghidupi diri dengan itu dan membuktikan ke orang-orang ka... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN
TIGA PULUH

SEBELAS

4K 992 81
By kinky_geek

Gue menatap jadwal yang baru dikirim Tika lamat-lamat, nggak nyangka bakal sepadat itu dan isinya rata-rata masuk kelas, dimulai Senin nanti. “Singing Class”, “Dance Class”, “Acting Class”, sampai pelatihan public speaking dan attitude juga ada. Buat yang terakhir nggak terlalu asing sih buat gue. Orang tua gue mewajibkan gue dan kakak-kakak gue buat tahu manner biar nggak malu-maluin kalau diajak ke acara penting. Tapi tetap aja gue nggak nyangka kalau segininya.

Pantas aja talent Geminos rata-rata berkualitas tinggi. Skill-nya beneran diasah, nggak dibiarin gitu aja. Sampai soal attitude aja diperhatiin. Gue jadi bangga bisa gabung, walaupun kontrak gue terbilang cukup singkat buat percobaan. Nggak apa-apa singkat, masih ada kesempatan buat diperpanjang nanti.

Dengan jadwal gue sekarang, kerjaan nyanyi di kafe terpaksa gue lepas biar gue ada hari kosong buat istirahat. Pas gue bilang soal itu ke Wahyu, manajer kafe, tanggapannya bikin gue terdiam beberapa saat.

“Satu-satunya alasan gue masih ngasih live music ya karena elo yang ngisi. Gue beneran suka sama suara lo. Gue selalu ngarep bakal kayak cerita orang-orang, ada produser musik lagi makan di sini, denger lo nyanyi, terus lo direkrut. Walaupun nggak kejadian di sini, gue tetap ikut senang denger lo akhirnya di tempat yang tepat.”

“Makasih banyak, Bang,” ucap gue. "Buat semuanya."

Wahyu menepuk pelan bahu gue. “Jadi, malam ini terakhir ya?”

Gue mengangguk.

“Gue rekam deh. Lumayan ntar bisa gue pake kalau lo udah terkenal.” Wahyu menyeringai, membuat gue ikut tertawa.

Saat menduduki kursi tinggi di panggung mini itu buat terakhir kali, gue akhirnya ngerasain lagi gimana senengnya gue dikasih kesempatan buat nyanyi di tempat ini pas pertama kali, hampir dua tahun yang lalu. Rasa gugup campur excited.

Feline yang ngerekomendasiin gue supaya bisa tampil rutin di sini. Mantan pacar Wahyu dulu teman kerja Feline. Karena gue belum pede tampil sendirian di panggung festival, Feline nyaranin buat mulai dari kafe, biar gue terbiasa. Dan gue beneran terbiasa. Walaupun kadang kesal karena suara pengunjung kafe yang terlalu berisik sampai suara gue tenggelam, nggak ada satu pun yang merhatiin penampilan gue, gue menikmati bisa nyanyi di sini. Gue bakal kangen tempat ini.

Dua jam yang menyenangkan, dan kali ini nggak berasa. Selesai tampil, gue balik ke ruangan manager buat ambil bayaran sekaligus pamit.

Ada satu orang lagi yang pengin banget gue temuin dan berbagi cerita. Gue udah coba nahan dari pas tanda tangan kontrak beberapa hari lalu.  Karena besok jadwal gue dimulai, kayaknya cuma malam ini gue bisa ketemu. Sambil berdiri di samping motor, gue mengeluarkan ponsel, menekan nomor yang udah gue hapal di luar kepala, dan menempelkan benda itu di telinga.

“Halo?”

Suaranya masih selembut yang gue ingat. Gue kangen banget. Dua bulan lebih nggak ketemu, ajaib banget gue masih waras.

“Nu?”

“Hai,” balas gue. “Kamu di apartemen nggak?”

“Iya, barusan pulang.”

“Aku boleh ke sana?”

Hening beberapa saat. Senyap banget, sampai gue bisa dengar detak jantung gue sendiri.

“Fel?” Gantian gue yang negur dia.

Okay...” ujarnya kemudian.

Gue menghela napas lega, nggak sadar udah nahan napas selama nunggu jawaban dia. “Mau dibawain sesuatu? Belum makan, kan, kamu?”

“Nggak usah, aku udah pesen online. Bawa buat kamu aja. Aku cuma pesen buat aku soalnya.” Dia tertawa pelan.

Tawanya masih nular ke gue, bikin gue pengin lihat langsung, bikin dia ketawa di depan gue lagi.

“Tungguin ya,” ucap gue.

“Iya...” balasnya, lalu menutup telepon lebih dulu.

Gue lapar, tapi rasa nggak sabar buat ketemu Feline jauh lebih besar. Gue bisa pesan online aja nanti. Sekarang gue cuma mau lihat dia. Peluk dia, kalau boleh. Begitu mesin motor menyala, gue bergegas pergi dari sana.

*~*

Feline nunggu di lobi apartemennya, karena gue udah nggak punya kartu akses lagi. Dia masih mengenakan pakaian kerjanya. Rambutnya digulung berantakan, dengan sisa makeup di muka yang kayaknya belum sempat dibersihin. Di mata gue, dia tetap cantik. Perempuan paling cantik yang pernah gue lihat. Terutama pas sekarang, saat senyumnya muncul begitu dia lihat gue mendekat.

Begitu kami berdiri berhadapan, gue bisa melihat lingkar hitam di bawah matanya. “Hai,” sapa gue. “Aku ganggu ya?”

Dia menggeleng. “Nggak kok,” balasnya, seraya meraih tangan gue dan menggandengnya sambil melangkah menuju lift.

Oke. Gue kira, kami bakal awkward. Ternyata nggak sama sekali. Pas udah di dalam lift, Feline menarik gue bersandar di dinding dan merebahkan kepalanya di bahu gue.

I’m tired...”

Gue mengusap kepalanya pelan.

“... and miss you,” tambahnya, mengangkat kepalanya untuk menatap gue. “Kangen dipijetin kamu tiap aku habis lembur.”

Gue terkekeh. “Iya, ntar aku pijetin.”

Feline balas menyeringai, lalu kembali menyandarkan kepalanya hingga lift itu berhenti di Lantai unit miliknya. Dia melangkah keluar lebih dulu, berjalan di depan gue, sementara gue berjalan pelan di belakangnya dan baru menyejajarkan langkah saat udah berada di depan pintu unit Feline.

Aroma kuat kare tercium begitu Feline membuka pintunya, seolah ngasih sinyal ke perut gue buat keroncongan saat itu juga. Feline ternyata dengar suara memalukan itu, menatap gue beberapa saat, lalu terbahak.

“Kamu belum makan?”

Gue menggaruk kepala, ngerasa malu sendiri. “Belum. Rencananya mau pesen pas udah di sini.”

Feline berjalan ke dapur, dan gue mengikutinya. “Kenapa nggak beli pas sekalian jalan tadi?”

“Nggak sabar ketemu kamu.”

Feline geleng-geleng kepala. “Sini, makan bareng. Porsinya banyak, aku nggak bakal abis juga makan sendirian.”

Gue nggak membantah, memilih duduk di kursi bar sebelah Feline. Porsi nasi karenya emang lumayan besar. Gue sendiri juga bakal kewalahan kalau harus ngabisin sendiri. Nggak cuma itu, Feline juga meletakkan piring berisi enam potong samosa.

“Kamu nunggu tamu ya?” tanya gue. “Selain aku.”

Feline menggeleng, mulai menyendok nasi karenya. “Kenapa?”

“Nggak, tumben aja kamu pesen banyak buat makan malam.”

“Bawaan laper tadi, jadi khilaf,” balasnya. “Samosanya kalau nggak habis bisa buat sarapan besok.”

Gue nggak membantah. Kami kemudian makan dengan tenang. Begitu nasi kare itu habis, gue mutusin buat mencuci piring kotornya, sementara Feline mandi.

Rasanya kayak deja vu. Terakhir kali gue ke sini, kejadiannya mirip. Makan malam bareng, Feline bersih-bersih, setelahnya kami duduk bersebelahan di sofa panjang depan TV. Bedanya, nggak ada adegan gue ngelihat dia diantar pulang sama kakak gue.

“Aku dikontrak Geminos.” Gue membuka percakapan, sambil menikmati teh hangat buatannya.

Feline mengerjap. “Nyanyi? Apa dubbing lagi?”

“Kali ini nyanyi.”

Oh my God....” Feline menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Serius? Beneran?”

Gue mengangguk.

Feline menjerit kecil, kelewat girang kayaknya, seraya memeluk gue. Gelas di tangan gue hampir jatuh karena pergerakannya. Gue menyelamatkan gelas itu lebih dulu, meletakan di meja, lalu membalas pelukan Feline. Dia berkali-kali ngucapin selamat dengan nada excited. Bikin gue senang banget karena ngerasa dihargai.

“Aku juga udah ngerti maksud kalimat kamu tempo hari. Soal aku yang terlalu nyaman sama kamu.”

Senyum Feline berubah sedih. Dia mengusap pelan pipi gue. “Maaf ya kalau caraku dorong kamu agak ekstrem.”

Gue menggenggam tangannya yang berada di pipi gue, mengecup telapaknya. Feline balas mencubit pipi gue sebelum menarik tangannya.

“Kamu tadi bilang mau pijetin aku, kan?”

Gue mengangguk. “Sini...”

Feline mengubah posisi, meletakkan kedua kakinya di paha gue, lalu berbaring di sofa itu. “Kaki aja. Capek banget aku abis keliling ngecek barang.”

Gue menurut, mulai memijat betisnya sambil terus mengobrol, ditemani TV menyala yang menayangkan salah satu series Netflix tentang laki-laki yang hobi menguntit.

Creepy banget, asli,” komentar gue saat si tokoh utama tiba-tiba saja udah berada di depan rumah perempuan yang ditaksirnya.

“Tapi ganteng,” balas Feline.

Freak.”

Feline berdecak. “Udah, kamu fokus pijetin aja. Biar aku yang nonton,” omelnya.

Gue nggak bersuara lagi, membiarkan dia nonton si ganteng freak creepy itu dengan tenang, sementara gue fokus memijat kakinya.

Nggak lama, suasana beneran sunyi. Nggak ada lagi celetukan Feline, cuma suara pelan dari TV. Saat menoleh, gue melihat gadis itu ketiduran di posisinya. Dia kelihatan beneran capek banget. Gue bergerak sepelan mungkin, berusaha nggak bikin dia kebangun, lalu beranjak meraih remote untuk mematikan TV. Setelahnya, gue mengangkat tubuh lelap Feline dan memindahkannya ke kamar. Dia cuma bergerak pelan, meraih guling di tengah kasur, lalu melanjutkan tidurnya.

Gue membereskan cangkir teh, mencuci dan meletakkannya ke tempat semula. Mata gue menangkap ponsel Feline di meja dapur. Gue meraih benda itu, berniat membawanya ke kamar, ketika layarnya tiba-tiba menyala. Pemberitahuan kalau baterenya lemah. Namun, bukan itu yang bikin gue terpaku menatap layar ponsel Feline.

Foto screensaver-nya berubah, menampilkan gelas Starbuck dengan tulisan “Have a nice day, Feline”.

Bagi sebagian besar orang, itu hal biasa aja mungkin. Orang-orang biasa ganti homescreen atau screensaver ponselnya sesuai suasana hati. Tapi gue tahu Feline. Lima tahun pacaran, foto di layar ponselnya selalu sama. Mau berapa kali pun ganti ponsel, gambarnya nggak berubah. Foto tangan gue sama dia yang lagi berpegangan. Foto pertama yang kami ambil pas resmi pacaran. Selalu itu.

Sama kayak tampilan layar di ponsel gue.

Berusaha nggak terlalu ambil pusing, gue kembali ke kamar Feline, berniat mengecas ponselnya. Dia bakal panik kalau bangun besok pagi dan lihat ponselnya lowbat. Gue membuka laci nakas paling atas, tempat Feline biasa menyimpat charger-nya, dan lagi-lagi dibuat membeku. Laci itu nyaris kosong. Cuma ada charger ponsel, iPad, sama charger laptop. Padahal gue ingat banget masih ada barang-barang gue di sana yang gue tinggal.

Kali ini gue nggak bisa lagi mau cuek. Setelah menyambungkan pengisi daya ponsel Feline, gue beneran mengecek sekeliling. Nggak cuma laci. Barang gue di meja rias Feline lenyap. Pigura ukuran 8R berisi foto wisuda gue sama dia juga udah nggak di sana lagi. Gue ganti memeriksa kamar mandi, hasilnya sama. Sikat gigi gue, deodoran, sampo, sabun, sampai conditioner yang biasa gue pakai, udah nggak ditempatnya.

Dari awal, gue sama Feline terbiasa stok perlengkapan double. Satu buat di sini, satu di tempat gue. Biar pas kami lagi nginep, nggak perlu repot bawa-bawa. Gue masih ngebiarin semua barang Feline di tempatnya, di apartemen gue, sementara barang gue di tempat Feline udah nggak tahu ke mana.

Seolah Feline emang nggak berharap gue balik lagi ke sini. Atau ke hidup dia.

Dia beneran pengin gue pergi? For good?

Tinggal satu tempat yang harus gue cek buat mastiin. Gue meninggalkan kamar mandi, ganti memasuki walk-in closet Feline. Baju gue nggak banyak, pas dibagi di dua tempat jadinya makin dikit. Cuma kebanyakan baju formal gue emang disimpan Feline, karena kalau ada acara formal yang harus kami datangi, berangkatnya selalu dari sini. Sementara buat pakaian sehari-hari, gue cuma butuh satu rak di lemarinya.

Itu tujuan utama gue pas masuk ke walk-in closet-nya. Menggeser pintu salah satu lemari di sana hingga terbuka.

Dan hati gue mencelus.

Rak yang tadinya berisi baju gue, sekarang udah diisi selimut sama sprei. Rasa bahagia yang gue rasain seharian ini, ditambah kesenangan gue ketemu lagi sama Feline, menguap nggak bersisa.

Ternyata emang cuma gue yang ngerasa nggak ada yang berubah. Cuma gue yang berharap hubungan kami masih bisa jalan. Tinggal nunggu waktu sampai Feline bernyali buat ngomong langsung ke gue, kalau dia beneran pengin semuanya selesai.

Gue terduduk di ruangan itu, sekali lagi ngerasain hati gue patah.

*~*

Continue Reading

You'll Also Like

Cafuné By REDUYERM

General Fiction

63K 6.3K 28
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
565K 53K 43
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
338K 2.2K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
Threesome By abcdfg

General Fiction

110K 337 8
🔞 hanya untuk 18+ untuk adek adek di larangan baca kecuali tanggung sendiri akibatnya !!! Lapak penambah dosa ⚠️⚠️ 80% isinya ngentot!!!