AVENGEMENT ( ✔ )

By dilselflovetion

279K 22.9K 1.7K

Khansa Nuria Pramadita hanyalah seorang gadis yang ingin merasakan setidaknya 1 kali kebahagiaan didalam hidu... More

INTRODUCTION
AVENGEMENT - 1
AVENGEMENT - 2
AVENGEMENT - 3
AVENGEMENT - 4
AVENGEMENT - 5
AVENGEMENT - 6
AVENGEMENT - 7
AVENGEMENT - 8
AVENGEMENT - 10
AVENGEMENT - 11
AVENGEMENT - 12
AVENGEMENT - 13
AVENGEMENT - 14
AVENGEMENT - 15
AVENGEMENT - 16
AVENGEMENT - 17
AVENGEMENT - 18
AVENGEMENT - 19
AVENGEMENT - 20
AVENGEMENT - 21
AVENGEMENT - 22
AVENGEMENT - 23
AVENGEMENT - 24
AVENGEMENT - 25
AVENGEMENT - 26
AVENGEMENT - 27
AVENGEMENT - 28
AVENGEMENT - 29
AVENGEMENT - 30
AVENGEMENT - EPILOG
AVENGEMENT - EXTRA : Jerome's POV

AVENGEMENT - 9

7.1K 703 30
By dilselflovetion



Jerome menyampirkan tas olahraga miliknya ke bahu setelah dia selesai mengenakan kaus tanpa lengan favoritnya. Malam ini dia memang berencana untuk bermain basket bersama teman-temannya dan tentu saja dia juga akan membawa Khansa untuk ikut serta sebab meninggalkan perempuan itu sendiri di rumah bersama ibu dan adik perempuannya yang buas itu sama saja seperti memberikan sebuah umpan besar ke dalam kandang buaya.

Jadi daripada kejadian yang tidak mengenakan saat sarapan beberapa hari yang lalu terulang lagi, lebih baik Khansa terus berada di sisinya kapanpun dan dimanapun agar mama dan Laura tidak mempunyai kesempatan untuk mengganggu istrinya lagi. Sikap protektifnya itu pun mau tak mau membuat kedua perempuan itu kesal setengah mati, terutama mama yang memang jelas mempunyai niat untuk menyiksa Khansa secara psikis sebagai wujud balas dendamnya atas perselingkuhan yang terjadi antara papa dan ibu perempuan itu.

"Kei, gue tunggu di bawah ya?" pesan Jerome pada Khansa yang masih berada di kamar mandi.

"Iya! nanti gue susul ke bawah ya Jei!" balas Khansa.

Jerome berjalan keluar dari kamarnya sembari membawa kaus kaki di tangan kiri, serta kartu ATM yang beberapa waktu lalu dikembalikan oleh Khansa padanya. Mungkin sebaiknya dia segera memberikan kartu ini pada sang pemilik agar Khansa bisa merasa sedikit lebih tenang. Dan biasanya, si pemilik asli kartu ATM ini pasti sedang berada di ruang kerjanya sekarang.

Tanpa banyak bicara lagi, Jerome segera mengarahkan langkahnya ke ruang kerja papa dan mengetuknya 2 kali. Terdengar jawaban 'masuk' dari dalam sana dan Jerome langsung masuk ke dalam dengan ekspresi datar. Papa yang melihat kemunculan tiba-tiba sang putra semata wayang di ruang kerjanya pun hanya bisa melongo kaget. Tapi belum sempat pria paruh baya itu menyambutnya dengan senyuman, Jerome langsung meletakkan benda tipis yang sedari tadi dipegangnya itu di atas meja. Papa menatap kartu ATM itu dengan dahi berkerut.

"Khansa minta aku untuk balikkin ini ke papa," jelas Jerome to the point. "Dia nggak pernah pake uang dari situ, dan dia juga nggak pernah ngecek nominal yang ada di dalamnya setelah pengiriman pertama. Jadi papa nggak usah khawatir kalau uangnya itu akan berkurang. She lived with her own money all this time."

Papa masih diam namun tangannya tak sekalipun bergerak untuk menyentuh kartu itu.

"Dia bilang nominal pertama yang masuk kedalam kartu itu ada 12 juta," Jerome tersenyum miring. "Ibu mertuaku kaya banget ya ternyata?"

"Jerome, papa nggak ada maksud apa-apa. Papa cuma mau bantu Khansa saja karena papa tau kalau dia dan ibunya sedang kesulitan secara finansial. Ditambah lagi Khansa juga perlu banyak biaya untuk kuliah dan tempat kosnya, makanya papa-"

"Dia sebenernya mau aja kuliah disini," potong Jerome dingin. "Bahkan kalau dia disuruh untuk milih universitas bagus yang dia dapat lewat jalur beasiswa atau universitas biasa yang lebih deket sama rumah dan ibunya, mungkin dia akan milih universitas biasa. Tapi hubungan haram papa sama ibunya yang bikin dia harus belajar mati-matian supaya bisa dapet beasiswa ke universitas bagus di luar kota dan kerja serabutan untuk memenuhi biaya hidupnya sendiri karena dia nggak mau pake uang kiriman dari ibunya yang sumbernya nggak jelas dari siapa."

"Kerja serabutan? Maksud kamu?"

Jerome berdecak. "Dia kerja part-time di restoran dan kafe berbeda selama kuliah di Jogja dan dia hidup dari uang yang dia kumpulin dari situ. Kenapa aku bisa tau? Ya karena aku liat sendiri gimana kacaunya hidup dia disana. Apa papa pikir aku nggak bakal observasi dulu soal siapa perempuan yang bakal aku nikahin?"

Papa terhenyak.

"Hidup Khansa nggak lebih baik dari aku pa, bahkan mungkin jauh lebih parah. Dan itu semua gara-gara kalian semua. papa, mama dan si pelakor sialan itu," Jerome menatap mata papanya tajam-tajam. "Papa harus tau beban moral seperti apa yang ada di pundak Khansa sejak skandal kalian terungkap. Dia nggak cuma di hina dan di bully aja, tapi juga sampe harus kerja sana-sini supaya dia bisa bayar uang kuliah sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saking nggak mau nya dia pake uang itu. She had the worst and it's all because of you."

Papa melepas kacamatanya lalu kemudian tersenyum penuh arti. Tentu saja dia harus menerima fakta bahwa apa yang Jerome katakan memang benar. Dia adalah penyebab kenapa Khansa harus merasakan penderitaan ini. Sepasang matanya yang selalu berkilauan kembali terarah pada mata sang putra yang masih menatapnya dengan sorot dingin dan datar.

"Ambil lagi." titah papa seraya mendorong kartu ATM itu kembali kepada Jerome.

"Nggak usah, makasih. Aku bisa biayain hidup Khansa dengan uangku sendiri. Dan lagi aku ragu kalau Khansa mau nerima uang itu. She'd rather die, i guess." tolak Jerome tegas.

"Anggap aja ini hadiah pernikahan untuk kalian dari papa," pinta papa lagi kali ini dengan nada yang lebih tulus dan juga setengah memohon. "Dan kalau kalian nggak mau pake uang itu untuk kebutuhan pribadi, kalian bisa pake untuk kebutuhan calon anak-anak kalian nanti."

Kali ini gantian Jerome yang terdiam. Papanya tersenyum lembut.

"Apa papa juga nggak boleh ngasih hadiah untuk calon cucu papa nanti?"

Jerome menghela nafas seraya meraih kembali kartu ATM itu dan memasukkannya lagi ke dalam dompetnya. Papa tersenyum lega. Setidaknya Jerome masih punya hati untuk tidak menolak mentah-mentah uang pemberian darinya yang seharusnya bisa untuk membiayai hidup dan juga kuliah Khansa dulu.

"Aku pergi dulu." pamit Jerome diiringi dengan tangannya yang tergerak untuk mencium tangan sang papa.

Begitu keluar dari ruang kerja, Jerome mendapati Khansa yang kini sudah dihadang oleh Laura dan juga mama. Dilihat dari gelagatnya, tampaknya kedua wanita yang sangat ia sayangi itu berniat melarang Khansa untuk ikut dengannya. Jerome berdecak jengkel. Entah sampai kapan dia harus melihat sisi kekanakkan dari ibu dan juga adik perempuannya itu.

"Lagi pada ngapain sih?" Jerome duduk di sofa sambil memakai kaus kaki dan juga sepatunya.

"Nggak ngapa-ngapain kok. mama cuma mau ngobrol aja sama menantu kesayangan mama ini," mama tersenyum hangat pada Jerome lalu kemudian melirik Khansa dengan sinis. "Kamu yang mau olahraga, kenapa dia juga ikut, Jer? Emangnya nanti dia nggak akan bikin kamu susah disana?"

"Tau nih abang! Ngapain coba bawa-bawa dia buat nemenin main basket?! Mendingan juga dia nyuci piring di rumah sekalian bantuin bi Hanum!" sambung Laura pedas.

"Bacot lo." Jerome menatap ibu dan adik perempuannya itu dengan datar lalu kemudian memberi isyarat pada Khansa yang sudah siap dengan pakaian kasualnya untuk mendekat. "Aku yang minta Khansa ikut. Ada masalah?"

Mama dan Laura tersentak kaget melihat sorot dingin Jerome yang tidak pernah sekalipun mereka lihat sebelumnya. Khansa menggigit bibir bawahnya takut sekaligus gugup seraya berlari kecil menghampiri Jerome. Dalam hati dia berharap agar tidak ada peperangan yang terjadi lagi antara ibu dan anak ini nanti.

"Jer, tapi mama rasa dia nggak perlu ikut deh. Lagian gimana kalau misalnya temen-temen kamu tau skandal yang terjadi antara ibunya sama papa kamu?"

"Mereka udah pada tau dan mereka juga yang pengen Khansa ikut. Lagian disana nggak cuma aku sama temen-temen aku aja kok, mereka pada bawa istri sama pacarnya masing-masing juga. Not big deal."

Baik mama maupun Laura keduanya sama-sama bungkam karena sorot mata Jerome kian menajam dan juga menakutkan. Mama melempar tatapan memperingatkan pada Jerome, namun sang putra tetap pada pendiriannya. Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Khansa dan dia langsung membawa istrinya itu keluar dari rumah. Jika terus berlama-lama disana, mamanya pasti akan mengajaknya bicara empat mata mengenai perjanjian yang pernah mereka buat. Atau lebih tepatnya, perjanjian sepihak yang hanya disetujui oleh pihak mamanya sendiri. Perjanjian mengenai alasan kenapa sang ibu memaksanya untuk menikahi Khansa.

"Kita harus bicara nanti, Jerromy Radhitya Aksa," desis mama dengan nada sedingin es tepat sebelum Jerome dan Khansa membuka pintu utama. Pemuda itu menoleh sedikit untuk menatap wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. Mama menyeringai. "Berdua aja."

Jerome balas menyeringai. "Sure mama. I'll see you later."

Setelahnya Jerome langsung menarik Khansa lagi keluar dari rumah menuju motor sport berwarna hitam miliknya. Khansa masih belum berani mengatakan apa-apa, bahkan saat Jerome menyerahkan sebuah helm berwarna ungu padanya sekalipun. Namun tepat sebelum naik ke boncengan motor, Khansa menyentuh pelan lengan Jerome yang sudah terbalut jaket berwarna abu-abu nya itu.

"Kenapa, hm?" tanya Jerome lembut.

"Jangan berantem sama mama ya nanti..." pinta Khansa sambil menggigit bibir bawahnya cemas.

Jerome terdiam sejenak lalu kemudian tersenyum penuh kehangatan. Tangannya menyentuh rambut panjang Khansa yang merupakan salah satu bagian tubuh dari istrinya yang sangat ia sukai setelah bibir dan leher.

"Iya, nggak akan kok." Jerome mengacak-acak rambut Khansa sebelum akhirnya membantu wanitanya itu untuk mengenakan helm. "Yuk berangkat. Anak-anak udah nungguin di sana."

Meskipun masih merasa sedikit ragu, Khansa tetap menurut. Mungkin memang sebaiknya dia tidak perlu terlalu ikut campur soal hubungan Jerome dan mama yang terlihat tidak begitu baik tadi. Padahal yang Khansa tahu, Jerome sangat sayang dan juga patuh pada sang mama. Tapi melihat aura gelap yang tercipta di antara mereka tadi, entah kenapa Khansa seolah seperti mendapatkan firasat yang tidak mengenakkan. Mudah-mudahan saja hubungan ibu dan anak itu tetap baik-baik saja karena kalau sampai mereka bertengkar, maka orang yang patut untuk disalahkan sudah pasti adalah dirinya sendiri.

Sepanjang perjalanan pun Khansa masih tetap terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi saat Jerome berbicara secara 4 mata dengan mamanya nanti. Saking terlalu sibuk memikirkan hal itu, tanpa sadar kedua tangan Khansa yang melingkar di pinggang Jerome pun semakin mengerat. Jerome menundukkan kepalanya untuk melihat tangan Khansa yang melilit pinggangnya dengan begitu erat lalu kemudian dia menatap wanitanya itu dari spion motor. Raut wajah Khansa terlihat cemas dan juga takut. Jerome tersenyum geli seraya menepuk tangan perempuan itu 2 kali lalu mengusapnya.

Dan begitu sampai di lapangan basket outdoor yang sudah dipesan oleh Reksa sejak 3 hari yang lalu itu, Jerome segera memarkirkan motornya disebelah motor milik Harya. Nampaknya semua temannya sudah sampai disana.

"Kayaknya udah pada sampe semua nih," Jerome meletakkan helmnya dan juga helm Khansa di atas jok motornya. Khansa sendiri hanya menjawabnya dengan dehaman. "Masih overthinking?"

"Keliatan ya?" Khansa meringis malu.

"Banget."

Khansa langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jerome terkekeh seraya menggandeng tangan sang istri untuk masuk ke lapangan basket dimana semua teman-teman mereka sudah menunggu. Khansa melihat ada Jira, Hemma, Sadine, dan Lila yang merupakan para istri dari Hazmi, Eric, Reksa dan Arjun. Keempat wanita itu langsung melambaikan tangannya pada Khansa yang baru saja datang bersama Jerome. Sedangkan para pria sedang melakukan pemanasan di pinggir lapangan.

"Wih akhirnya dateng juga nih pasangan dewa-dewi khayangan kita!" seru Harya riang.

"Kirain udah pada main," Jerome meletakkan tasnya di bangku lalu kemudian melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Khansa. "Gista mana, Har? Nggak lo ajak?"

"Lagi ada kerjaan dia, makanya nggak bisa ikut nemenin."

Jerome beralih pada Naresh yang terlihat malas dan juga kesal seperti biasanya. "Tumben lo mau ikut. Biasanya juga mager."

"Dipaksa gue nih sama curut-curut ini!" sewot Naresh sambil menunjuk ke arah Harya dan Hazmi yang kompak menertawainya.

"Gandengannya mana, Resh? kasian amat lo jones!" ledek Eric yang langsung diiringi dengan tawa geli dari Sakti dan Arjun.

"Yee ngeledek aja lo pada! Ntar kalau gue tiba-tiba kawin, lo pada shock lagi!"

Para wanita tertawa geli mendengarnya. Memang di antara para lelaki itu, hanya Naresh yang paling misterius perihal status dan perempuan. Setahu mereka, Naresh dulu pernah menyukai adik kelasnya dan kedekatan mereka cukup menggemparkan tak hanya untuk penghuni SMA Paramarta saja, tapi juga SMA Ranajaya dan juga Kastara International High School, karena memang Naresh sepopuler itu dulu, Bahkan mungkin sampai sekarang. Tapi sayangnya mereka berdua sudah tidak pernah bertemu lagi sejak si adik kelas melanjutkan kuliahnya di Australia dan nampaknya Naresh masih belum bisa move on sepenuhnya dari gadis itu.

Khansa pernah dengar dari Jerome juga bahwa Naresh adalah tipe pria yang hanya bisa mencintai satu wanita saja. Bahkan di saat adik kelasnya itu pergi begitu saja tanpa memberinya kabar pun, Naresh masih setia menunggu sampai akhirnya ada suatu kejadian tak menyenangkan yang membuat Naresh akhirnya memutuskan untuk melupakan gadis itu dan mulai mencoba untuk move on. Dan kejadian tak menyenangkan itu telah mengubah sifat Naresh yang tadinya periang dan humoris menjadi dingin dan sangat apatis.

Mendengar cerita Jerome soal Naresh yang begitu setia dan sangat menjaga perasaannya dan juga perasaan orang yang dicintainya itu, Khansa berharap suatu saat nanti Naresh bisa dipertemukan dengan perempuan yang juga bisa melakukan itu untuknya. Menurut Khansa, hanya perempuan bodoh yang berani menyia-nyiakan pria tulus dan baik hati seperti Naresh.

"Kei," panggil Jerome yang sudah bersiap untuk bergabung bersama teman-temannya di lapangan. "Berdiri dulu dong."

"Eh? Mau ngapain?" Khansa mengerutkan dahinya heran namun tetap menuruti permintaan Jerome untuk berdiri.

"Mau charge energi." Jerome langsung mencium bibir Khansa dan memeluknya erat-erat seraya berbisik. "Gue baik-baik aja sama mama, jadi jangan overthinking lagi ya? just think about us. Only us. Okay?"

Khansa terdiam sejenak lalu kemudian senyumnya pun mulai terbit di bibirnya yang tipis. Rasa takut, cemas dan juga gelisah yang tadi sempat berakar di hatinya pun perlahan terangkat begitu dia merasakan tangan Jerome yang mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Pria itu melepaskan pelukannya lalu kemudian dia berlari ke lapangan yang mana langsung disambut oleh ledekan-ledekan serta godaan-godaan iseng dari teman-temannya yang lain.

"Wih si Jerome bisa romantis juga ternyata! Gue kira dia cuma bisa romantis sama buku-bukunya doang!" seru Hemma kagum lalu kemudian dia melirik ke arah Khansa dengan seringai nakal. "Cuma lo doang tuh Sa yang bisa bikin dia jadi bucin kayak gitu!"

"Malah tadinya gue pikir dia itu bego soal percintaan loh." celetuk Jira asal membuat Khansa langsung mencubit bibirnya gemas.

"Mulutnya nih minta disambelin."

"Bercanda cinta." Jira nyengir.

"Eh tapi Jira nggak salah juga kok, Sa." sahut Hemma membenarkan perkataan Jira. "Jerome tuh jenius kalau udah soal pelajaran, olahraga sama game, tapi  bego banget soal percintaan. Makanya dari dulu nggak pernah punya pacar."

"Loh bukannya dulu dia pernah deket sama Silena ya? inget nggak, Hem? Anak IPA 3 yang dulu pernah menang olimpiade Matematika di Yunani? Eh-Maaf Sa! Gue nggak bermaksud-" Sadine buru-buru menutup mulutnya begitu matanya bertemu dengan mata Khansa. Tapi gadis berambut indah itu hanya tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Nggak apa-apa kok, Din. Lagian Jerome juga udah pernah cerita tentang cewek yang namanya Silena itu ke gue."

Sadine menghela nafas lega tapi dia memutuskan untuk tidak membahas soal Silena lagi karena dia jelas tahu sekali seperti apa kedekatan yang terjadi antara Jerome dengan perempuan itu. Mereka bahkan sampai dijuluki sebagai 'Romeo and Juliet' nya SMA Paramarta.

"Hmm sorry, ini yang lagi kalian omongin itu Silena Jyotika Dahayu bukan sih?" tanya Lila penasaran.

"Iya bener, La! Lo kenal dia emang?" tanya Sadine kaget.

"Bukan gue sih yang kenal, tapi Gista. Kalau nggak salah dia satu jurusan sama Gista di jurusan Arsi nya UPH dulu."

"Wih sempit banget deh emang dunia ini!" Hemma bertepuk tangan kagum.

"Gista juga masih kontak-kontakkan sma dia kok walaupun nggak sesering dulu. katanya sih Silena berencana mau nikah tahun ini kalau nggak ada halangan." lanjut Lila lagi yang entah kenapa berhasil membuat Khansa merasa sedikit lega.

"Aman ya sis?" Jira menyikut lengan Khansa iseng dan hal itu langsung membuat kedua pipi Khansa merona dan dia segera menyembunyikan wajahnya di balik jaket Jerome. "Tenang aja, Jerome nggak bakalan kemana-mana. Kalau dia berani ngelirik cewek lain, gue orang pertama yang bakalan hajar dia!"

"Tapi jujur ya, Sa. Bertahun-tahun hidup berdampingan sama dia sejak kita masih sama-sama berbentuk bayi sampe akhirnya punya pasangan masing-masing gini, ini adalah pertama kalinya gue ngeliat Jerome bener-bener peduli sama cewek." kata Hemma lagi. "Padahal sama Laura yang adiknya sendiri aja dia nggak pernah mau nunjukkin afeksinya loh, tapi sama lo? man, he's literally kissing you right in front of our eyes! That's insane!"

"Bener sih. Kayaknya gue juga nggak pernah liat Jerome naksir sama cewek deh waktu SMA dulu. itu juga dia deket sama Silena karena mereka sama-sama pinter dan sering diminta sama guru buat jadi icon sekolah kita dulu kan ya?" sambung Sadine yang langsung dibalas anggukkan oleh Hemma. Sadine tersenyum pada Khansa. "You're so lucky, Sa. You better don't let him go."

Khansa tertegun sejenak lalu kemudian dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Entah apakah dia pantas untuk mendapatkan afeksi dari Jerome atau tidak? Baginya semua omongan itu terlalu berlebihan. Jerome jelas pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik, perempuan yang lebih layak untuk menerima afeksi darinya. Khansa pun kembali memikirkan kebodohannya untuk meminta afeksi dari pria itu saat mereka berbulan madu di Phuket waktu itu. Jika megingat obrolan itu, rasanya Khansa ingin sekali menenggelamkan dirinya ke dasar bumi.

"Nggak boleh insecure ya, sayang." Jira merangkul Khansa erat-erat. "Jerome udah milih lo, kalau lo insecure dan ngerasa nggak pantes buat dia. berarti lo yang bodoh."

"Setuju. Terlepas dari skandal dan kontroversi yang terjadi di dalam internal keluarga kalian, Jerome udah menetapkan lo sebagai pasangan hidup dia. Jadi lo jangan sia-siain dia ya, Sa." sambung Sadine.

"Well, gue nggak tau masalah apa yang terjadi antara kalian berdua. But I hope you and Jerome will always stay together forever, Sa." Lila tersenyum lembut seraya meraih tangan Khansa dan menggenggamnya erat-erat. "Tetap saling menguatkan ya? jangan nyerah."

"Kalau ada apa-apa, lo juga bisa cerita ke gue kok, Sa. Jadi jangan dipendam sendiri ya? jangan takut untuk minta perlindungan dan dukungan karena lo sama sekali nggak salah disini. Gue selalu ada buat lo kalau lo butuh temen cerita." Hemma pindah tempat untuk duduk di sebelah kiri Khansa dan langsung memeluknya. "Khansa best girl! Best woman! Best wife!"

Dan tanpa sempat ia sadari apalagi hentikan, setetes air mata pun jatuh menuruni pipi kanan Khansa. Dan tetesan itu pun saling berlomba untuk terus berjatuhan sehingga membentuk sebuah sungai kecil di kedua pipi gadis itu.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya sendiri, Khansa berharap bahwa momen dimana semua teman-temannya mendukungnya seperti ini tidak akan pernah berakhir. Dan kalaupun obrolan ini hanya sebuah mimpi belaka, Khansa juga berharap untuk tidak akan pernah bisa bangun lagi selamanya.






***





"Kenapa tadi nangis?"

Jerome menyerahkan gelas berisi air jahe yang uapnya masih mengepul lalu kemudian duduk di depan Khansa yang sedari tadi sedang melamun. Kedua matanya masih sembab akibat menangis terlalu banyak tadi sampai-sampai Jira beserta para cewek yang lain butuh waktu yang cukup lama untuk menenangkannya. Hemma, Sadine dan Lila terlihat sangat panik, tapi Jira tetap tenang malah cenderung santai. Dia jelas sudah tahu apa yang harus dilakukannya saat Khansa menangis.

Dan sekarang Jerome dan Khansa sudah berada di salah satu warung kopi di daerah puncak. Tentu saja, hanya orang gila seperti Jerome yang berani sekaligus nekat membawa istrinya pergi kesana secara tiba-tiba seperti itu. Mau kaget dan protes pun Khansa sudah tidak sempat karena Jerome langsung menyuruhnya masuk ke dalam mobil milik Reksa tanpa banyak bicara lagi.

Khansa bahkan tidak sempat bertanya kenapa mereka malah bertukar kendaraan dengan Reksa.

"Nggak apa-apa kok. Lagi kepengen aja," jawab Khansa berusaha untuk terdengar biasa saja. "Soalnya gue udah lama banget nggak nangis."

"Emang kapan terakhir kali lo nangis?" tanya Jerome lagi.

"Hmm... lupa. Kayaknya pas gue dibawa ke rumah Jira terus curhat ke ibun setelah nyoba untuk bunuh diri."

"Terus kalau yang tadi penyebabnya apa? nggak mungkin lo tiba-tiba pengen nangis kalau nggak ada sebab kan? mereka pada cerita siapa aja cewek yang deket sama gue dulu gitu? apa soal Silena?"

Khansa menggeleng. "Bukan, bukan itu."

"Then?"

Tentu saja. Bukan Jerome namanya kalau dia tidak menuntut penjelasan soal penyebab kenapa dirinya menangis tadi. Dan Khansa juga tahu bahwa Jerome tidak akan pernah berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban yang pasti.

"Gue cuma terharu aja," ujar Khansa akhirnya. "Selama ini gue pikir cuma Jira sama ibun aja yang sayang dan peduli sama gue. Tapi ternyata Hemma, Sadine, Lila dan beberapa temen-temen SMA kita yang lain masih ada yang menganggap kalau gue bukanlah orang yang harus disalahkan juga atas skandal orang tua kita. Dan... denger mereka bilang kalau itu bukan kesalahan gue, I feel like... relieved, perhaps?"

Jerome mengangguk-anggukkan kepalanya paham.

"Dan... mereka bilang katanya gue beruntung karena lo milih gue buat jadi pendamping hidup lo. walaupun gue rasa hal itu terlalu berlebihan karena masih ada banyak perempuan di luar sana yang pantas bersanding dengan lo dan-"

"They're right," potong Jerome tegas. "Dan kalaupun ada perempuan di luar sana yang jauh lebih baik dari lo, gue akan tetap milih lo."

"Kenapa?"

"Karena belum tentu cewek-cewek itu dipilih langsung sama yang maha kuasa untuk jadi pendamping gue."

Khansa tertegun lalu kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Lo cowok baik. harusnya ketemu sama cewek yang baik juga." kata Khansa sembari meremas gelasnya. "Dan gue bukan orang baik."

"Dengan lo patuh sama setiap omongan gue aja lo udah termasuk jadi orang baik, Kei," Jerome meneguk air jahenya sendiri. "Perempuan yang udah menikah itu kalau mau masuk surga tuh gampang banget tau nggak? cukup rajin sholat, berbuat baik dan patuh sama suami aja udah bisa bikin mereka masuk surga melalui pintu mana aja yang mereka suka."

Jerome menghela nafas seraya menatap Khansa yang sudah menundukkan kepalanya lagi.

"Gue tau apa yang lagi lo takutin, Kei," kata Jerome lagi. Tangannya terulur untuk mengangkat dagu Khansa agar mata mereka bisa kembali terkunci satu sama lain lagi. "Apapun yang terjadi antara gue dan mama, itu adalah urusan kami berdua. Sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama lo. Dan kalaupun emang ada, itu sama sekali bukan kesalahan lo."

"Jei..."

"Dan gue sayang sama mama." tegas Jerome membuat Khansa langsung bungkam seketika. "Gue sayang sama mama, jadi nggak ada alasan buat gue untuk durhaka sama dia. I know what i'm doing Kei. Don't worry too much."

"Kalau gitu lo jangan sampe berantem sama mama ya?" Khansa mengulurkan jari kelingkingnya pada Jerome. Meminta pria itu untuk mengaitkannya dengan jari kelingking miliknya. "Janji?"

"Gue nggak bisa janji soal itu," Jerome meraih kelingking Khansa lalu kemudian membuka telapak tangan perempuan itu dan mengecupnya. "Gue nggak mau janji untuk suatu hal yang mungkin nggak akan bisa gue tepatin."

Bibir Khansa langsung mengerucut kesal.

"Capek ya?" Jerome terkekeh seraya menciumi tangan Khansa lembut.

"Capek apa?"

"Capek jadi istri gue? mau nyerah aja?"

"Capek sih," Khansa memainkan jemari Jerome yang panjang lalu kemudian menatap prianya itu dalam-dalam. "Tapi gue bakalan ngerasa lebih capek lagi kalau nggak ada lo di sisi gue."

"Then don't give up," Jerome membawa tangan Khansa untuk menyentuh pipinya. "Don't give up on us cause I won't do that either. Lo udah bertahan sampe di titik ini. Dan kita cuma perlu bertahan sedikit lagi sampe semuanya selesai, Kei."

Khansa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya dan Jerome kembali melanjutkan.

"Dan kalau semuanya udah selesai, whether we're still together or not, I'll make sure that you'll get your happiness back. You'll be the happiest woman ever. That's why I need you to stay with me a little longer," Jerome tersenyum lembut seraya menatap Khansa dengan mata yang berkilauan. "Cause I'll work harder to return that pretty and happy smile back on your face. I'll do my best for that."

"I know, and I trust you, Jei. Always." Khansa mengusap pipi dan rahang Jerome dengan sangat lembut. Hatinya mulai menghangat dan rasa bersalah, takut, sedih dan segala hal negatif yang sempat berkecamuk di pikirannya pun perlahan menguap hingga tak bersisa. "Kita pulang yuk? udah malem, nanti kita dicariin orang rumah."

"Siapa bilang kita bakalan pulang?" balas Jerome kalem.

"Hah? Maksud lo?"

"Gue udah minjem vila keluarganya Reksa tadi, jadi kita bakalan nginep disana malam ini. lagian besok juga hari sabtu kan? santai aja berarti."

"Ya ampun Jei! Pantesan tadi lo sampe bela-belain tukeran kendaraan sama Reksa, ternyata ini udah lo rencanain?"

Jerome menganggukkan kepalanya santai. "Yuk kita berangkat ke sana aja, kita kan harus ngomong sama penjaga vila nya dulu nanti."

Khansa yang masih kaget hanya bisa mengikuti Jerome yang sudah membayar minuman mereka dan menggandengnya menuju mobil milik Reksa. Jerome dan segala rencana random sekaligus dadakannya benar-benar tak pernah gagal membuat Khansa takjub.

"Tadinya gue mau nyobain di mobil malam ini," bisik Jerome sensual pada Khansa yang mana langsung membuat kedua pipi Khansa merona. "Tapi sayang ini mobilnya Reksa, dia bakalan ngamuk ke gue nanti kalau kita ketahuan main di sini. So I think, it'll be nice if we do it in his Villa instead."

"Jei, astaga!" 











Dils' Note:

Halooo maaf baru update ya karena dari kemarin aku nginep di rumah tante jadi nggak sempet buat nulis hehehe

Enjoy!

I'll see you guys on next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

Photograph By gee

Fanfiction

77.7K 14.1K 38
(Series #8 Maier - TAMAT) Bagaimana kalau lensa kamera diam-diam mengabadikan betapa indahnya Awan Biru dan Langit Senja? [Cerita belum direvisi seja...
974 103 4
Ketika semesta selalu mempertemukan dua orang yang sedang berusaha saling melupakan. *** Trisha dan Javier memutuskan berpisah setelah tiga tahun men...
7K 1K 15
(Masuk daftar Wattpad Romance ID bulan April 2023 tema Bittersweet of Marriage) Impian menjalankan kehidupan pernikahan yang sederhana dan modern tid...
2.9M 147K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞