Anyelir. Katanya bunga Anyelir itu memiliki arti kesetiaan. Bunga Anyelir putih mewakilkan perasaan ataupun rasa syukur yang murni, menggebu, dan mendalam.
~Devano Alendra Demiand~
“Na, maaf.” Lirih Alendra penuh penyesalan. Kepalanya menunduk dalam, merasa menyesal atas kejadian yang menimpa Leviana. Andai saja tadi Alendra tetap bersikeras menemani Leviana ke kamar mandi, pasti semua ini tidak akan terjadi. Alendra belum bisa menjadi yang terbaik, meskipun kejadian ini bukan kesalahannya. Alendra tetap merasa bersalah.
Leviana menghela napas lemah. Ia menggerakkan ujung kakinya gelisah, terhitung hampir 15 menit lebih ia dan Alendra berdiri di depan pintu gerbang rumahnya hanya dengan saling bungkam penuh kecanggungan. Sungguh, Leviana tidak menyalahkan Alendra atas kejadian yang menimpanya tadi. Leviana hanya masih terlalu shock, apalagi melihat Alendra yang babak belur karena bertengkar dengan Arthur dan berhasil membuat Leviana diliputi rasa bersalah.
Sudah banyak hal yang Alendra lakukan untuknya, sampai sekarang pun Leviana masih tidak tahu harus mengatakan apa.
“Maafin gue, Na.” ulang Alendra sekali lagi “Gue salah, Na. kenapa gue bodoh banget sih? Gue minta maaf, Na.” racau Alendra putus asa.
“Dev.” Panggil Leviana pelan, “Ini bukan salah lo kok. Andai tadi gue lebih bisa membela diri, mungkin kejadian memalukan ini nggak akan terjadi. Lo stop buat menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah ya. Karena emang bukan salah lo.”
Alendra mengangkat wajahnya, menatap Leviana lekat. Darah yang sudah mengering memberi jejak disudut bibir kanan Alendra. Seluruh wajahnya penuh luka, namun bagi Alendra luka semacam ini sudah biasa ia terima. Tapi, melihat Leviana diperlakukan tidak senonoh oleh Arthur membuat Alendra dibuat jauh lebih merasakan sakit.
“Dev, lo udah jadi yang terbaik.” Leviana mengusap kening Alendra menggunakan jempolnya, “Makasih ya, makasih atas pembelaan lo. Dan maaf, karena gue lo malah babak belur gini.”
“Na, gue bodoh ya. Gue nggak bisa jagain lo."
“Dev, udah gue bilang ini bukan kesalahan lo.”
“Gue minta maaf.”
“Dev, pliss.”
“Na, maafin gue ya.”
Mata Leviana berkaca-kaca, kenapa Alendra justru yang diliputi rasa bersalah. Harusnya hal itu berlaku pada Arthur. Alendra sudah menjaganya dengan baik, hanya saja tentang kejadian tadi siapa yang sangka akan terjadi.
“Lo tau nggak, Dev? Waktu gue pacarana sama Jovian, dia itu bahkan nggak seperhatian lo. Kalau tau gue dilecehin kayak gini, Jovian nggak bakalan peduli.” Leviana mengusap matanya kala mengingat rentetan peristiwa Ketika ia masih Bersama dengan Jovian.
“Lo nggak salah kok, Dev. Lagian kejadian kayak gini bukan yang pertama kali buat gue.”
“Maksud, lo?”
Leviana meneguk ludah kasar. Sejujurnya ia belum siap harus berterus terang pada Alendra kalau ia hampir pernah menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Jovian. Namun, Leviana percaya jika Alendra tidak akan merasa jijik atas peristiwa buruk yang pernah menimpanya dimasa lalu.
“Gu_”
“Gue…, Gue hampir pernah jadi korban pemerkosaan Jovian.” Lirih Leviana dengan kepala tertunduk malu.
Mata Alendra membulat, merasa tidak yakin dengan ucapan Leviana. Jovian? Kini rasa benci Alendra kepada Jovian semakin besar. Bisa-bisanya Jovian sebejat itu?
“Na.”
Leviana mengangguk lirih, “Jadi, lo nggak perlu merasa bersalah. Gue udah biasa dilecehin, Dev. Ini nggak seberapa dibandingkan Jovian dulu. Bahkan, dia dul_”
Alendra menarik punggung Leviana untuk ia dekap dengan erat seraya mengusap lembut belakang kepala Leviana. Alendra tidak percaya, dibalik semua sikap galak dan jutek Leviana ternyata cewek ini mempunyai peristiwa kelam.
Apa ini alasan Leviana saja? Untuk membentengi diri tidak ingin berdekatan dengannya karena masih merasa trauma? Selama ini Alendra berpikir Leviana baik-baik saja. Siapa yang menyangka jika semua itu hanya kepura-puraan semata.
“Gu…, gue malu. Dev. Hiks… hiks….” Isak Leviana membalas pelukan Alendra.
“Na, buat apa lo malu? Dengan lo bercerita kaya gini ke gue, itu artunya lo mulai percaya sama gue. Dan, gue semakin ingin melindungi lo.” Bisik Alendra.
“Dev, lo nggak jijik sama gue?”
“Kenapa harus jijik sih? Lo itu tetap kesayangannya Devano.”
Leviana melonggarkan pelukannya, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Alendra selalu bisa menjadi orang Leviana harapkan. Disatu sisi Alendra terkadang menyebalkan dan seperti anak kecil, tetapi disatu sisi lainnya tidak banyak yang tahu betapa dewasanya Alendra Ketika sedang serius. Jika sedang dalam kondisi seperti ini pun Leviana baru bisa percaya bahwa Alendra memang anak Jack Demiand.
“Jangan nangis lagi ya, Na. gue nggak mau liat lo nangis, dan lo tau gak? Setiap ngeliat lo nangis, hati gue sakit banget.” Alendra menunjuk dadanya.
Leviana tertawa kecil seraya menyeka air matanya, “Dev, lo lelaki yang selalu perhatian ke gue setelah Papah.”
Alendra sedikit membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengan Leviana. Sebelah tangannya terulur mengacak pucuk kepala Leviana dengan ekspresi wajah gemas. “Lo harus selalu tersenyum.” Alendra menarik sudut bibir Leviana menggunakan kedua jari telunjuknya membentuk lengkungan tipis. “Nah, kalau gini kan cantik.”
Pipi Leviana merona, jantungnya semakin berdegup dengan kencang. Apalagi jarak wajahnya dengan Alendra begitu dekat membuat Leviana semakin sulit untuk bernapas. Leviana berpura-pura membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Alendra.
“Na, gue ada sesuatu buat lo,” ujar Alendra Kembali menegakkan tubuhnya kemudian mengambil sesuatu di dalam tasnya. “Tutup mata lo.” Titahnya.
Menurut, Leviana pun memejamkan matanya.
“Lo udah boleh buka mata,” ucap Alendra
Begitu matanya terbuka, Leviana dibuat terkejut dengan sebuah bunga yang Alendra pegang. Ia masih bingung, bunga apa yang Alendra pegang.
Leviana menatap kalung dan Alendra secara bergantian. Masih merasa bingung apa yang Alendra lakukan dengan bunga itu.
“Dev, bunga ini?” tanya Leviana ragu-ragu.
“Bunganya indah kan, Na?”
“Indah, ini bunga apa. Dev?”
Alendra menggaruk belakang lehernya “Anyelir.”
“Lo tau nggak kenapa gue ngasih lo bunga Anyelir? Kenapa nggak bunga mawar aja?” tanya Alendra memberikan bunga yang di pegang nya kepada Leviana.
Leviana menggeleng takt ahu.
“Anyelir. Katanya bunga Anyelir itu memiliki arti kesetiaan. Bunga Anyelir putih mewakilkan perasaan ataupun rasa syukur yang murni, menggebu, dan mendalam.” Alendra menarik napas sejenak, dan melanjutkan uacapannya, “Sama seperti Bunga Anyelir ini, gue mau setia aja sama lo. Dan, gue pun sangat amat bersyukur karena bisa bertemu, kenal, dan dekat sama lo. Perasaan gue ke lo selalu menggebu dan juga mendalam. Sama seperti Bunga Anyelir ini.” Alendra tersenyum puas dengan ucapannya.
Leviana terdiam, rona pipinya kini Kembali muncul. Benarkah ini Alendra? Sejak kapan Alendra bisa semanis ini?
“Makasih ya, Dev. Gue suka bunganya.” Lirih Leviana terharu.
Alendra tersenyum manis, “Na, waktu tinggal 2 minggu lagi. Gue bakal terus berjuang buat dapetin lo. Kalaupun nanti gue gagal, gua nggak akan pernah menyesal. Lo anggap aja ini bunga kenang-kenangan dari gue, sengaja gue belinya yang palsu. Soalnya kalau layu, gue nggak suka. Karena gue nggak mau seluruh makna Anyelir nya layu. Ini tanda dari Devano Alendra Demiand pernah hadir di hidup lo.”
“Gue bakalan simpan bunga ini, dan gue suka banget sama ini bunga,” ujar Leviana membalas senyum Alendra.
“Na, mungkin buat beberapa hari ini gue nggak bisa nemuin lo dulu ya.”
“Kenapa?” tanya Leviana cepat. Namun, ia buru-buru berdehem mencoba menetralkan suaranya “Maksud gue, lo mau kemana?”
“Gue lagi ada urusan penting. Tugas negara, soalnya ini menyangkut harga diri dan juga masalah hati gue,” ujar Alendra ambigu.
“Sepenting itu?”
“Banget.”
Leviana menghela napas kecewa, “Yau dah deh, semoga urusan lo cepat selesai ya.” “Biar lo bisa selalu ada lagi buat gue.” Lanjut Leviana di dalam hati.
“Jangan kangen ya,” ujar Alendra tersenyum meledek.
“Pede sekali anda ini.” Jawab Leviana.
“Gue balik ya.”
“Luka lo biar gue obatin dulu.”
“Nggak perlu, gue bisa obatin sendiri kok. Lagian nggak enak, kok bisa gitu ya kalau setiap ke rumah lo muka gue babak belur. Nanti, apa kata calon mertua gue. Na”
”Dev, apaan sih.” Raung Leviana memukul punggung tangan Alendra.
“Yau dah, gue balik nih.”
“Hati-hati.”
Alendra mengangguk lirih, “Assalamualaikum.” Pamit Alendra melambaikan tangannya sekilas, kemudian mengegas motornya meninggalkan Leviana yang masih mematung di tempatnya.
Begitu Alendra menghilang ditikungan jalan, Leviana merasa kehilangan. Untuk beberapa hari ini Alendra tidak akan menemuinya karena sibuk dengan urusannya. Sepenting itu kah? Jujur saja, Leviana merasa tidak rela jika Alendra sibuk dengan urusannya sendiri. Apakah ini pertanda? Pertanda bahwa Leviana sudah benar-benar menaruh perasaan pada Alendra?
“Cepet balik ya, Dev. Gue pasti bakalan kangen sama cowok macam lo.” Gumam Leviana mendekap bunganya erat. Dengan bunga ini, Leviana merasa semakin dekat dengan Alendra.
Paling tidak, rindunya bisa terobati sedikit.
✨
Jangan lupa buat ajak teman-teman kalian untuk baca Alendra. Yuk, bantu share cerita Alendra disosial media kalian ya.
Jangan lupa juga buat COMMENT DAN VOTE yang selalu paling ditunggu dari teman-teman semua.
Salam,
AnRisma