Long Way Home

By cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... More

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
08 - How Can I Say?
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
12 - Falling for You
13 - Trying My Best
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
16 - Popo
17 - What Am I To You
18 - Cliché
19 - Heart Out
Extra Chapter - Cry Baby

20 - Love Me Like That (END)

479 35 3
By cloudiens


To treat me soft and tender
Love me hard and true
Keep my heart from building walls
So high, you can't get through
Treat me soft and tender

Love Me Like That - Sam Kim

***

Warning⚠️: Mature Content🔞

Bagi yang merasa masih di bawah umur silakan meninggalkan lapak ini kalau masih ngeyel juga so read with your own risk.

Happy reading!

***

Gladys

Kenapa gue bisa senekat ini memutuskan untuk balik ke Jakarta padahal jatah libur gue cuma dua hari, sejujurnya gue juga nggak mengerti. Padahal selama semingguan ini tuh gue uring-uringan pengen libur buat istirahat karena cukup overwhelmed dengan tugas-tugas permagister-an yang ternyata jauh lebih memusingkan daripada tugas mahasiswa S1. Namun, saat dikasih jadwal libur, alih-alih istirahat gue malah sibuk nyari flight subuh ke Jakarta.

Bahkan saat itu niatnya gue ingin berangkat Jum'at malam, tapi sialnya gue masih ada deadline tugas yang mengharuskan gue mengurungkan niat gue itu. Gue sengaja nggak memberitahu Elang karena ya memang gue ingin memberinya kejutan. Saat mendapat info gue dapat libur di hari anniversary gue dan Elang yang ketiga, gue senang bukan main. Teman se-dorm gue bahkan sampai bingung kenapa gue bisa seantusias ini padahal liburnya cuma dua hari.

Setibanya di Jakarta gue langsung menghubungi Sion untuk menjemput dan memintanya mampir sebentar di salah satu cake shop yang berada di kawasan Kasablanka. Gue ingat banget belum lama ini Elang bilang dia lagi kepengen cheesecake, tapi nggak sempat buat mampir karena jadwalnya yang kelewat padat itu. Akhirnya dengan penuh inisiatif dan demi gelar pacar perhatian, gue memutuskan untuk membelikannya.

Begitu sampai di apartemennya, gue memang nggak berharap langsung bertemunya karena gue tau dia pasti masih di studio. Cuma gue dibuat tercengang bukan main saat melihat kondisi apartemennya yang seperti kapal pecah. Pasti dia habis mengundang teman-temannya lagi ke sini dan karena saking kelelahannya dia nggak sempat membereskannya. Kayaknya juga dia belum dapat ART baru setelah Mbak Asri resign bulan lalu karena alasan harus menemani suaminya yang udah tua di kampung.

Maka dari itu, dengan telaten gue membersihkan setiap sudut ruangan yang terbengkalai ini karena pemiliknya seorang workaholic yang pasti tiap pulang kerja kalau nggak sibuk sama laptop lagi ya langsung molor.

Kalau ditanya apa gue kangen Elang, maka gue akan menjawab dengan tegas, "Kangeeeeen bangeeeeeet!"

Rasanya kalau gue egois gue mau berhenti kuliah aja biar nggak perlu repot-repot LDR dan nanggung kangen tiap hari. Sayangnya, udah setengah jalan dan gue nggak bisa berhenti begitu aja. Apalagi ini keputusan gue sendiri.

"Gimana Spore, Dys? Betah?"

Saat ini gue dan Windy udah duduk berhadapan di meja paling pojok sebuah cafe shop yang ada di lantai dasar apartemen Elang sambil menyantap dessert kami masing-masing. Sebenarnya gue yang memintanya datang ke sini karena ada beberapa hal tentang Elang yang ingin gue tanyakan ke dia. Sayangnya, gue nggak tahu kalau dia bakal datang di moment itu.

Aduuuuh, kok tiba-tiba aja pipi gue panas, sih?!

"Biasa aja. Masih enakan di negeri sendiri."

"Yeeeh, bilang aja nggak enak soalnya nggak ada Elang!"

Setelahnya kami berdua tertawa. Gue akui iya. Asli deh, gue juga nggak ngerti sejak kapan gue jadi begini-jadi lebay banget gara-gara jauh dari cowok sendiri. Dulu waktu masih sama Alden gue nggak masalah dengan dia yang sering ninggal-ninggalin gue ke Bandung, bahkan ke Belanda. Gue tetap bisa menjalani hidup gue dengan tenang meskipun kadang tetap dihantui rasa kangen, sih. Ya, tapi nggak sealay ini.

Gue kayaknya beneran udah dipelet.

"So... apa yang mau lo tanyain?"

"Kok lo tau gue mau nanya sesuatu?"

Seingat gue, gue cuma bilang pengen ketemu aja sama dia begitu gue sampai di Jakarta. Sayangnya, gue lupa kalau Windy sepeka itu.

"Ya, ngapain lagi coba lo ngajak gue ketemu kalau nggak mau nanyain soal hari-harinya cowok lo di sini tanpa lo?"

Gue tersenyum meringis. Jadi malu.

"Dia... biasa aja, sih. Emang lagi lebih sibuk aja akhir-akhir ini karena mau debutin band baru 'kan. Gue juga nggak ke apart dia setiap saat karena 'kan sekarang gue udah punya apart sendiri. Paling udah, sih, gitu aja hari-harinya layaknya workaholic pada umumnya. Gue udah enek banget ngingetin dia buat jangan terlalu memforsir diri, tapi anaknya batu banget."

Iya, gue paham banget sekeras kepala apa Elang. Terlebih lagi, gue pun mengerti alasannya menyibukkan diri seperti ini untuk apa.

Distraksi.

Itu yang dia butuhkan.

"Ah kalau urusan cewek lo nggak perlu khawatir! Dia bener-bener udah kena pelet lo kayaknya, mau cewek mana pun yang nyoba caper sama dia nggak dihirauin!"

Tanpa sadar pipi gue memanas. Jujur bagian yang paling ingin gue dengar adalah ini....

Nggak mau munafik, jujur gue khawatir setiap ingat kalau Elang bekerja di industri yang dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik yang jelas jika disandingkan dengan gue nggak ada apa-apanya. Bukannya gue nggak percaya dia, gue hanya... entah lah, perasaan risau ini muncul tanpa sebab dan nggak bisa gue elak.

"Tesis lo selesai sekitar akhir Desember ini nggak, sih?"

"Harusnya. Semoga nggak meleset," kata gue sambil menyeruput matcha latte gue.

"Lo udah bicarin soal... ehm.. wedding plan?"

"Belum. Gue mau nanya, tapi takut terkesan terburu-buru nggak, sih? Apalagi urusan guenya juga belum selesai. Gue nggak mau seakan-akan kayak ngasih harapan berlebihan sama dia."

"Asal bukan harapan palsu mah nggak apa-apa sih kata gue mah."

Setelahnya kita berdua tertawa kemudian kembali sibuk menyantap dessert masing-masing.

Dalam diam, otak gue sibuk menerka-nerka apa pernah Elang terpikirkan soal ini? Lamarannya tahun lalu cuma sebatas lamaran antara gue dan dia, belum ada pembicaraan lebih lanjut ke masing-masing keluarga. Dan ya... seperti yang gue bilang tadi, sebenarnya gue nggak begitu mempermasalahkannya karena gue juga nggak mau terkesan memburu-burui. Cuma ya gue penasaran aja. Pernah nggak sih dia terpikirkan soal ini?

Windy pamit pulang karena tiba-tiba aja dia dapat telepon dari managernya-kayaknya masalah urgent karena kelihatan sangat teburu-buru. Setelah kepergiannya gue memutuskan untuk kembali ke atas setelah membeli satu ice americano untuk Elang.

Begitu sampai, gue mendapati sosoknya tengah duduk di atas ranjang sambil sibuk berkutat degan iPad di genggamannya. Rambutnya yang separuh basah dan udah mulai memanjang itu terlihat berantakan karena sepertinya belum disisir dengan benar.

"Udah malem nggak, sih? Masih kerja aja?"

Dia mengalihkan pandangannya begitu mendengar suara gue. Gue pikir setelah kejadian tadi dia akan ngambek dan berujung mendiamkan gue, tapi yang dilakukannya kini malah tersenyum sumringah sambil menepuk-nepuk spot kosong di sebelahnya. Dengan senang hati gue melangkah mendekatinya.

Gue mengulurkan cup kopi yang ada digenggaman gue ke arahnya dan diterimanya degan senang hati. Gue juga meletakkan paper bag pemberian Windy yang katanya oleh-oleh buat sepupu kesayangannya itu di atas kasur, tepat di sebelahnya.

"Apa nih?"

"Oleh-oleh. Jangan marahin Windy, gitu-gitu dia peduli tau sama kamu," kata gue sambil berusaha mencari posisi nyaman berbaring di sebelahnya.

"Cih, kalau iya harusnya tuh tadi-"

"Aku kok yang minta dia dateng."

Jawaban gue ternyata mengundang kerutan di dahinya.

"Ada yang mau diobrolin aja."

"Soal?"

"Ada lah, women things."

"Ya elah!" setelahnya dia tertawa kemudian mengusak rambut gue.

"Ngapain, sih?" gue sedikit mendekatkan tubuh gue ke arahnya untuk melihat isi iPadnya lebih jelas.

Ternyata dia lagi ngisi note.

Sebelum gue selesai membaca tiap tulisan yang tertera di layar, dia udah keburu menekan exit dan yang tersisa hanya wallpaper homescreen yang menampakan foto gue dan dia waktu liburan ke Labuan Bajo dua tahun lalu.

"Issss, pelit banget!"

"Bodo, wlee!!"

Gue melayangkan cubitan kencang pada pingganya begitu melihat ekpresi menyebalkannya itu saat sedang meledek gue.

"Dys, kamu di sini sampe kapan?"

Ah, gue emang belum bilang ya sama dia?

"Besok malem balik."

"DIH, YANG BENER AJA?"

Sesuai dugaan, reaksinya pasti bakalan seheboh ini.

"Beneran. Aku cuma libur dua hari."

"Ck, males banget," raut mukanya terlihat bete dan kesal. Dia bahkan sampai mengalihkan pandangannya, enggan menatap gue.

"Ngapain, sih, repot-repot mikirin besok? 'Kan sekarang akunya masih di sini."

Di situasi seperti ini memang harus ada yang mengalah. Gue mencoba untuk membujuknya dengan melingkarkan tangan gue pada lengannya yang sepertinya terasa lebih kurus dari terakhir kali kita ketemu.

"Kamu di sini tuh makan teratur nggak, sih?"

Dia nggak menjawab, tapi gue bisa dengar kalau dia baru aja menghela napas.

"Aku besok niatnya mau ngajak kamu ke Bandung," katanya masih tanpa menoleh ke arah gue. Namun, kali ini suaranya nggak setinggi tadi.

"Ya udah, ayuk. Aku ambil flight malem aja."

"Gila kali? Emangnya kamu robot?" tanyanya masih dengan nada suara yang terdengar sensi.

"Ya, emang kenapa? Seninnya juga aku ada kelasnya siang jadi masih ada waktu buat istirahat. Nggak apa-apa kalau mau ke Bandung besok."

"Nggak usah. Nggak jadi," katanya sambil meletakkan iPadnya ke atas nakas. Dia menyingkarkan lengan rangkulan gue pada lengannya, kemudian mengubah posisinya menjadi berbaring.

"Emang ke Bandung mau ngapain? Nengokin Mami?" gue tahu mungkin dia masih kesal, tapi gue tetap ingin mengajaknya bicara.

"Ketemu Bunda kamu."

Hah? Ngapain?

Sebelum ke sini gue memang sempat menghubungi nyokap gue kalau gue akan ke Jakarta. Namun, gue nggak bilang kalau gue akan mampir ke Bandung, beliau malah menyuruh gue buat di apartemen Elang aja jangan ke mana-mana karena katanya nanti gue capek. Makanya gue heran kok tiba-tiba Elang pengen ke sana.

"Mau ngapain?"

"Ketemu Bunda, Dys. Apa kamu nggak merasa udah saatnya kita omongin soal planning ke depannya ke pihak orang tua?"

Seketika gue tertegun. Rasanya benar-benar mati kutu.

"Lang, tapi aku-"

"Iya aku tau. Kuliah kamu belum selesai, tapi menurut aku itu bukan masalah besar. Toh, perkiraan selesainya akhir tahun ini 'kan?"

"Tapi itu 'kan belum fix, Lang. 'Kan belum tentu penelitian aku nanti mulus-mulus aja. Aku nggak mau kalau nantinya aku malah ngasih kamu harapan palsu."

"Kenapa harapan palsu? 'Kan dari awal emang planning kita udah ke arah sana. Kecuali kalau kamu emang nggak nganggap serius ajakan aku buat nikah tahun lalu."

Gue tersentak mendengar ucapannya. Jujur gue cukup merasa tersinggung. Anggaplah gue terlalu sensitif, tapi tuduhannya itu benar-benar mengusik hati gue. Gue menarik diri gue menjauh sehingga posisi kami nggak sedekat itu lagi. Dia kelihatan kebingungan. Dia pasti menyadari perubahan ekspresi gue saat ini.

"Kenapa?"

"Aku se-nggak serius itu ya di mata kamu?" tanya gue dengan nada suara yang mungkin udah terdengar menyebalkan.

Mendengar pertanyaan gue, keningnya berkerut. Dia nggak langsung menjawab, akhirnya hening yang cukup panjang tercipta di tengah-tengah kami.

"Aku pikir kita udah selesai bahas soal ini tadi," kata gue memecah keheningan. Gue nggak bisa diam lebih lama lagi. Pikiran gue benar-benar terusik.

"Gak gitu maksud aku, Dys."

Gue tahu kok. Mungkin memang guenya aja yang terlalu sensitif. Gue juga sadar kalau gue bukan tipe orang yang bisa menunjukkan perasaan secara terang-terangan. Gue juga bukan tipe yang suka menyatakan cinta tiap saat dengan mudah. Nggak heran kalau mungkin Elang mempertanyakan keseriusan perasaan gue buat dia.

"Udah malem, mending kita tidur aja, yuk? Kita sama-sama capek, nggak bagus kalau lanjut diskusiin ini."

Gue nggak menyahut. Secara impulsif gue malah beranjak dari kasur kemudian melangkah menuju pantry. Nggak menghiraukan panggilan Elang yang terdengar sangat lelah dari suaranya. Gue nggak marah. Gue hanya butuh waktu buat berpikir dan menenangkan pikiran. Gue meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas beling yang ada di rak piring.
Tangan gue bergerak membuka jendela. Membiarkan dinginnya angin malam menyapa kulit tangan gue yang nggak tertutup apa-apa. Menatap gamang sorot lampu yang berasal dari gedung-gedung pencakar langit kemudian menghela napas panjang.

Gue sedikit tersentak saat merasakan sepasang lengan besar melingkar di pinggang gue. Deru napas hangat menjalar tepat di leher gue. Rasanya masih senyaman itu. Dekapan Erlangga Jevander masih menjadi tempat ternyaman gue sampai saat ini.

"Maaf."

Gue nggak menyahut. Memilih untuk menikmati situasi saat ini dalam keheningan. Aroma citrus yang berasal dari parfume andalannya itu selalu menjadi aroma kesukaan gue. Gue sesayang itu sama dia, dan sedih rasanya saat orang yang kita sayang menganggap perasaan kita ke dia nggak sebesar itu. Namun, lagi-lagi gue sadar kalau ini mungkin memang kesalahan gue. Gue yang nggak bisa menunjukkan rasa sayang ke orang yang berarti banget di hidup gue secara eksplisit. Gue pikir dia udah mengerti, tapi kelihatannya nggak begitu. Dan bukan kuasa gue memaksa dia buat mengerti bagian diri gue yang seperti itu.

"Oh my goodness! Are you crying?!"

Hah? Emang iya?

Spontan gue menyentuh pipi gue dan ternyata benar, basah. Sialan, gue kenapa jadi lebay gini, sih?!

"Dys, look at me," gue pasrah aja waktu dia memutar balik tubuh gue. Bahkan saat kedua tangannya menangkup pipi gue, menghapus jejak air mata yang tanpa gue duga dengan kurang ajarnya keluar begitu aja.

"Did my words hurt you that much?"

Gue menggeleng. Karena memang benar begitu adanya. Kata-katanya sebenarnya gak sejahat itu sampai membuat gue merasa tersakiti. Gue juga nggak mengerti kenapa gue sesensitif ini. Gue merasa kecil. Gue merasa nggak cukup baik buat Elang. Gue merasa... anjir apaan, sih?! Gue mau mens apa, ya? Jadi mellow lebay begini! Tapi, perasaan tanggalnya masih lama deh.

"I'm so sorry. Really. I didn't mean to offended you. Maaf kalau ucapan aku terkesan meremehkan dan nggak percaya sama kamu, tapi enggak, Dys. Aku percaya sama kamu, perasaan kamu, hubungan kita. I'm just... I know it will be sounds clingy or maybe annoying at the same time. I'm just... to scared too lose you. I'm not scared to lose anything except my family... and you."

Andai dia tahu gue pun merasakan ketakutan yang sama.

Bertemu Elang adalah salah satu bagian terbaik di hidup gue. Nggak terhitung berapa kali gue memanjatkan syukur karena bertemu sosok seperti dia, dicintai dengan sebegitu besarnya oleh sosok sepertinya. Besar tanpa merasakan afeksi penuh dari seorang ayah. Menjalanin hubungan yang 'ga sehat' selama kurang lebih dua tahun sama sosok yang ternyata nggak mencintai gue sebesar gue mencintainya-karena iya dia nggak mungkin meninggalkan gue dan memilih wanita lain- semua itu membuat gue skeptis sama yang namanya 'cinta'.

Cowok yang dekat dan gue percaya juga cuma Sion dan Raiden. Sion jelas karena dia adik gue satu-satunya. Raiden karena dia sahabat gue yang udah menemani gue di masa-masa terberat dalam hidup gue. Namun, Sion udah beranjak dewasa. Kehidupannya bukan cuma soal kakaknya yang udah hopeless romantic. Begitu pula dengan Raiden. Akan sangat egois jika gue meminta mereka untuk selalu ada di sisi gue.

Sampai akhirnya Elang hadir. Dengan segala hal-hal baik yang dia bawa dalam dirinya. Cara dia memperlakukan gue. Cara dia berbicara menyampaikan isi kepalanya. Cara dia menunjukkan perasaannya untuk gue. Semuanya berhasil membuat gue jatuh tersungkur buat dia. Meskipun awalnya gue bertindak bodoh karena terlalu lama berpikir dan membuatnya menunggu begitu lama, tapi gue sadar kalau sejak lama... gue memang udah jatuh buat dia. Dia berhasil merobohkan tembok yang gue bangun selama ini. Dia berhasil membuat gue percaya akan hal itu lagi.

Cinta.

Mungkin terdengar sangat clingy dan terkesan seperti anak remaja baru puber, but when I said I love him that much, I really mean it.

Dengan perasaan membuncah di dada gue, gue memberanikan diri untuk mempersempit jarak di antara gue dengannya. Sampai tanpa sadar kedua hidung kami sudah bersentuhan. Napas hangatnya menerpa wajah gue dan aroma tubuhnya yang memabukkan itu berhasil membuat gue nyaris gila.

Tangannya belum beranjak dari kedua pipi gue. Saat ini gue pun udah mengalungkan kedua tangan gue ke lehernya. Sedikit berjinjit untuk menyentuh bibir ranumnya. Awalnya gue hanya berniat mengecupnya, tapi ternyata dia nggak membiarkan ini berakhir begitu aja. Kecupan itu perlahan berubah menjadi lumatan. Gue meringis pelan saat dia menggigit bibir bawah gue. Dan begitu lidahnya melesak masuk, gue tahu kalau malam ini akan menjadi malam yang panjang.

Semua ini terlalu memabukkan. Gue nyaris kehilangan akal-atau mungkin udah.

Tangannya berpindah ke pinggang gue. Posisi kami saat ini masih berdiri di depan jendela. Tubuh gue udah bersandar pada dinding karena kaki gue perlahan mulai melemas. Erlangga Jevander really a good kisser. Gue nggak pernah nggak kewalahan mengimbanginya.
Gue hanya bisa pasrah saat dia mulai mengangkat tubuh gue menggunakan kedua tangannya yang kekar itu, gue melingkarkan kedua kaki gue pada pinggangnya. Tanpa melepaskan tautan kami, kakinya melangkah menuju ranjang yang siap menjadi tempat pertempuran malam ini.

Mungkin gue akan terdengar seperti perempuan binal, tapi gue nggak peduli. Baik gue dan Elang kita sama-sama udah dewasa. Sama-sama punya hasrat yang memaksa untuk tersalurkan. Gue benar-benar menginginkan Elang malam ini. Dan dia pun sepertinya sama.

Begitu merebahkan gue, dia melepaskan tautan bibir kami. Gue memanfaatkan itu untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. Gue hanya bisa melenguh saat merasakan sesuatu benda lunak menempel di leher gue. Gue benar-benar dibuat nggak berdaya. Dan lucunya gue nggak keberatan untuk itu.

Tangannya nggak tinggal diam. Tangan kanannya berusaha melepas kancing kemeja gue, sedang tangan lainnya udah turun ke bawah sana. Gue hanya bisa memejamkan mata gue sambil terus mendesah. Benar-benar seperti wanita murahan.

"Langhhhh..."

I swear to god, he really know how to play.

Penampilan gue benar-benar udah sangat kacau. Bagian atas tubuh gue udah nggak satupun benang yang menempel. Elang sibuk dengan benda kesayangannya yang permainannya benar-benar membuat gue gila. Tangannya di bawah sana juga ikut andil dalam menyiksa gue. Setiap sentuhannya, kecupannya, semuanya berhasil membuat gue kehilangan kewarasan.

"Hhhh..." gue hampir sampai puncak sebelum dengan jahatnya dia menarik jemarinya dari pusat diri gue dan menjauhkan wajahnya dari dada gue.

Gue benar-benar mau menangis. Rasanya benar-benar seperti dipermainkan.

"It's too early to come, dear."

"You're bastard," maki gue dengan emosi yang udah memenuhi rongga dada.

"A lucky bastard?" alih-alih tersinggung dia malah menampilkan smirk menyebalkannya. Dia benar-benar meledek gue.

"Come here," dia menarik lengan gue untuk membuat gue duduk. Dia tahu nggak, sih kalau gue udah nggak ada tenaga?

Posisi gue sekarang duduk di tepi ranjang, sedangkan dia berdiri di hadapan gue. Gue hanya bisa menahan napas saat menyaksikan bagaimana dia melepas kaus oblongnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Posisi gue saat ini tepat berhadapan dengan perut sixpacknya yang berhasil membuat gue menelan saliva gue sendiri. Brengsek. Gue nggak pernah merasa semurahan ini sebelumnya. But Elang's body such a hotest thing in this world.

"I know you know what to do."

Ya, gue nggak sepolos itu. Akhirnya dengan keberanian penuh dan hanya bermodalkan insting, tangan gue bergerak untuk meraih celana tidurnya dan menurunkannya dengan gerakan seduktif. Dia udah mempermainkan gue dan ini saat yang tepat untuk balas dendam.

And glad to know that he already turn on. So.. it's my turn to show him how the heaven taste, right?

Gue memulai aksi gue dengan ritme pelan. Sangat pelan. Sampai saking pelannya dia sampai menarik rambut gue-gue tahu itu gerakan refleks-agar gue mempercepat tempo permainan gue. As he wish, I play faster. Jujur ini pertama kalinya gue melakukan ini dan awalnya gue pikir ini sangat menjijikan, but who knows the taste is not that bad. Fuck, Gladysa Tasanee lo benar-benar kayak cewek murahan.

"Dyshh... Fasterhhhh... please..."

Tanpa sadar gue tersenyum di sela-sela permainan gue. Gue bisa merasakan benda yang ada di dalam mulut gue ini kian membesar sampai rasanya gue mau muntah. Gue menarik diri saat merasakan kedutan yang gue tahu betul apa tandanya. Dan hal itu berhasil membuat laki-laki di hadapan gue ini mengumpat.

"Don't you think you're so mean?" tanyanya dengan suara sengau.

Gue tertawa, "Then how about you?" tanya gue balik.

Alih-alih menjawab, dia malah mendorong tubuh gue untuk kembali berbaring. Mengecupi seluruh wajah gue sampai gue bergedik geli.

"Bad news, I don't have any safety right know."

Gue kaget bukan main mendengarnya. Refleks gue mendorong dadanya supaya menjauh.

"Terus gimana?!"

"Ya nggak gimana-gimana? Masa mau berhenti?!" raut wajahnya udah terlihat sangat putus asa.

"Lang, tapi-"

"Nggak bisa, Dys. Gila kali ya kamu aku udah pengen meledak. You're really driving me crazy."

Gue bisa merasakan kedua pipi gue memanas. Sialan, bisa banget ini buaya satu ngacak-ngacak perasaan orang.

"I'll throw it outside."

Gue nggak berkata apa-apa lagi karena setelahnya yang terdengar hanya lenguhan panjang yang keluar dari mulut gue because something big and hard hits my sensitive area. Ini pertama kalinya buat gue, jujur rasanya sakit sampai gue nyaris menangis.

"Did I hurt you? Shall we stop?"

"No," kata gue dengan kesadaran penuh.

"But you looks so-"

"No, Lang. No need to stop. Just do it."

Begitu mendapat lampu hijau dari gue. Dia mulai menggerakkan tubuhnya dan hanya bisa mendesah dan mendesah sambil meremas kuat bahu lebarnya. Tubuh gue seperti terbelah. Hancur berantakan. Elang melumat bibir gue lembut, sama lembutnya dengan permainannya malam ini. He really treat me well.

Begitu titik pencapaian itu semakin dekat, Elang mempercepat pergerakkanya. Sebelah tangannya menggenggam tangan gue kuat-kuat, sedangkan tanganya yang lain digunakan untuk bermain dengan benda kesayangannya.

Dan begitu aja... kami mencapai titik itu secara bersamaan. Elang buru-buru melepaskan penyatuan kami. Dengan napas yang masih sama-sama meburu, dia mengecup kening gue lembut.

"I love you. So damn much," he whispered.

"I love you more. Like a crazy."

Dia menarik gue ke dalam dekapannya. Hangat. Dekapan Elang selalu hangat. Nggak peduli dengan keringat yang masih menempel di tubuhnya, gue tetap menempelkan wajah gue pada dada bidangnya. Menghirup aroma citrus yang terasa sangat memabukkan.

Pulang memang selalu identik dengan rumah. Namun, rumah nggak selalu merujuk pada bagunan kokoh yang memiliki atap dan pintu. Definisi rumah juga bisa merujuk pada seseorang. Dan bagi gue, Erlanga Jevander adalah rumah ternyaman yang pernah gue singgahi. Seberapa jauh pun gue pergi. Gue akan selalu mencari jalan untuk pulang ke rumah.

~The End~

*tarik napas* HHHHHH YEY SELESAI!!!

Aku mau ngucapin banyak-banyak terima kasih buat kalian yang masih mau nungguin updatean work ini meskipun updatenya suka suka author alias luamaaaaaaa banget!!!!😭

Makasih banyak buat feedback positivenye huhuuu. Maaf kalau cerita ini banyak kurangnyaaa.

Selamat tahun baru 2022! Semoga tahun ini kita dilimpahi banyak keberkahan dan hal-hal baik, ya! (dan semoga tahun ini rajin update huhuu)

Sampai ketemu di epilog dan bonus chapter (semoga ada)

Sekali lagi happy new year guys! Selamat mam enak!✨✨

- Dee











Continue Reading

You'll Also Like

80.4K 9.1K 25
Ahn hye young harus mengurusi awal kandungannya seorang diri tanpa kekasihnya, ia tak pernah memaki hidupnya meski sesulit apapun. Meski banyak orang...
679K 24.8K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
451K 22K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
27.2K 3.8K 102
[Cerita Lengkap] ✔ Maaf kalau agak berantakan, sedang dalam tahap revisi 🐣 Kalau mau baca FOLLOW dulu dong 😗 . . _______ Apakah jodohmu itu adalah...