Catatan sang Musafir (Complet...

By Amaranteya

6.2K 1.4K 176

Dunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi... More

Prolog: Catatan Kecil Eksodus
1. Patung Telanjang dan Hakikat Tubuh
2. Perempuan Bertopi dan Kemanusiaan
3. Hak Asasi dan Hubungan Darah
4. Perihal Menggadaikan Tuhan
5. Fana Waktu di Zytglogge
6. Intoleransi pada Objek Fantasi
7. Santo Nicholas of Flue
8. Tak Memiliki Kepemilikan
9. Memori Singkat Samarra
10. Logika Sakyanasta
11. Ultimatum dalam Cinta
12. Kota Saleh yang Diazab
13. Kemahatahuan Allah
14. Tuduhan Pelecehan
15. Pemimpin yang Zalim
16. Yang Diraup para Korup
17. Embel-Embel Agama
18. Geliat Aya Sofya
19. Kisah Kelam Topkapi
20. Di Luar Pintu Cistern
21. Hitam Putih
22. Rasio Aristotle
23. Korban Imbas Pembelotan
24. La Cosa Nostra
25. Maha Pemaaf?
26. Dominasi Aggye
27. Ujung Tombak Perlawanan
28. Awal Tragedi Palermo
29. Kehilangan Eksistensi
30. Nihil Identitas
32. Tentang Tuhan
33. Semuanya Akan Pulang
34. Akhir dari Cinta (Ending)
Epilog: Awal Catatan Baru

31. Via Suara

100 34 2
By Amaranteya

Tubuhnya kaku, semua seakan mati rasa. Mengedipkan mata pun hanya bisa dilakukannya perlahan. Satu yang ia sadari bahwa sekujur tubuhnya terpasang alat penunjng hidup sebelum satu per satu dilepas, kecuali alat bantu napas tentu saja.

Dilihatnya sekeliling dengan memutar bola mata, yang tampak hanya plafon putih dengan dinding samping berwarna abu. Tidak lupa orang-orang yang mengelilingi, dokter juga perawat.

Ia sempat ditanyai beberapa pertanyaan untuk mengetahui fungsi indranya dan hanya kedipan mata yang ia beri sebagai jawaban. Normal. Ia hanya perlu waktu dan beberapa kali fisioterapi untuk pulih.

Sampai dokter dan perawat itu pergi, Nizwa baru mendekat. Raut keterkejutan jelas kentara di wajah lelaki itu mendapati Nizwa di sana. Asgard ingin berbicara, tetapi kesulitan.

Nizwa menggeleng beberapa kali. "Jangan dipaksakan, Asgard." Perempuan itu tersenyum seraya menjatuhkan setitik air mata. "Allah sangat baik padaku hari ini."

Sampai sore, Nizwa tetap berada di ruangan tempat Asgard dipindahkan, kecuali jika melakukan kepentingan lain seperti salat. Ia bahkan tidak peduli bahwa dirinya belum istirahat sama sekali sejak tiba di Italia subuh tadi.

Saat maghrib menjelang, dua kata berhasil lolos dari bibir Asgard. "Nizwa, lapar."

Sejenak Nizwa tertegun sebelum melemparkan tawa. Ia yang tadinya duduk di sofa, segera bangkit dan mendekat.

"Mau sedikit kutinggikan bagian kepala? Kamu sudah mampu?" Pertanyaan itu disambut anggukan pelan oleh Asgard. Dari tadi siang memang sudah ada kemajuan, Asgard mulai bisa menyesuaikan diri.

Selesai mengatur brankar lelaki itu, diraihnya semangkuk bubur yang disediakan rumah sakit. Nizwa lantas duduk di kursi yang ada dan mulai menyuapi Asgard dengan sabar.

Pandangan Asgard sama sekali tidak lepas dari Nizwa. Ia tidak tahu ini akan terhitung zina atau tidak, yang pasti ... Asgard sangat bersyukur perempuan itu ada di sana.

Setelah tandas, Nizwa meletakkan mangkuk kosong ke nakas dan beralih pada segelas air mineral. Perempuan itu dalam posisi berdiri saat membantu Asgard minum. "Maaf jika tanganku tidak sengaja menyentuh kepala atau rambutmu."

Karena ucapan itu, mau tak mau Asgard tersenyum sambil meringis pelan.

Selesai dengan itu, Nizwa pamit untuk menunaikan salat Maghrib. Kembali ke ruang rawat lelaki itu, ia dibuat terkejut karena Asgard nekat berusaha meraih tasnya yang berada di ujung nakas.

"Bahaya, Asgard," omelnya. Perempuan itu berakhir dengan mengambil ransel milik Asgard. "Apa yang kamu cari? Aku carikan. Tidak apa-apa, kan?"

Sekali anggukan diberi Asgard. "Jurnal."

Tanpa diminta dua kali, Nizwa mencari benda yang dimaksud Asgard. Ketemu, itu jurnal hitam yang pernah dilihatnya di pesawat.

Nizwa menyodorkannya pada Asgard. "Aku bingung, apa kamu tidak menuliskan identitas, alamat, atau semacamnya di jurnal itu? Juga, semua dokumenmu. Pihak rumah sakit benar-benar tidak menemukan apa pun."

Asgard menggeleng. Ia lantas membuka catatan terakhirnya. Hanya berhenti pada Januari 2019. Tunggu!

"Berapa lama aku tidur, Nizwa?"

Perempuan itu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Empat bulan kurang lebih. Kamu koma selama itu."

Hati Asgard mencelos. Tidakkah itu terlalu lama? Ia telah melewatkan banyak hal.

Menyadari sesuatu, Asgard menatap Nizwa sangsi. "Keluargaku?"

Perempuan itu pun seakan baru ingat ada hal yang harus dilakukan, menghubungi Gahya dan mengatakan bahwa Asgard tidak apa-apa sekarang. Lelaki itu aman.

Nizwa meraih ponselnya dari nakas dengan cepat. Belum sempat menekan ikon panggil, Asgard menghentikannya.

"Jangan."

Dipandangnya lelaki itu dengan sorot tak percaya. Matanya bahkan sudah membulat. "Asgard, bagi mereka kamu sudah menghilang selama empat bulan, tanpa kabar sedikit pun. Mereka khawatir padamu dan bodohnya aku, aku baru tahu bahwa kamu sudah hilang selama itu tadi pagi, secara tidak sengaja pula karena melihatmu di sini."

Ucapan berapi-api itu sungguh menggelikan bagi Asgard.

"Maksudku, katakan saja aku baik-baik saja. Jika katakan yang sebenarnya, mereka bisa langsung terbang ke sini karena tahu putranya hampir mati."

Tak ada pilihan lain, Nizwa hanya mengangguk. "Sebelum itu, boleh aku minta satu hal, Asgard?"

Asgard mengangkat sebelah alisnya. Ah ... ia sepertinya sudah benar-benar sehat terlepas dari kakinya yang masih bisa dikatakan trauma, hingga lumpuh sementara.

"Bisa ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Sejenak mata itu Asgard pejamkan sebelum kembali terbuka. Ia kemudian melayangkan senyum dan mengangguk.

"Sepakat. Aku akan menghubungi Gahya sekarang."

Dua kali ia mencoba menghubungi gadis itu, tetapi tidak diangkat. Sampai panggilan ketiga, Gahya baru mengangkatnya.

"Mbak kenapa tadi tiba-tiba tutup teleponnya, sih? Mbak marah sama Aya karena nggak kasih tahu berita tentang Mas Asgard? Lagian mana Aya tahu sih, kalau Mbak pengen tahu?"

Cecaran pertanyaan itu membuat Nizwa menjauhkan ponsel dari telinga. Asgard yang juga bisa mendengar pun tersenyum kecil. Salahkan saja Nizwa, kenapa saat sudah menyalakan loud speaker, malah mendekatkan benda itu ke telinga.

"Assalamu'alaikum, Aya," sapa Nizwa.

Balasan salah canggung dari seberang langsung terdengar.

"Maaf, tadi tiba-tiba tutup telepon. Bukan karena marah, tapi memang ada hal yang sangat mendesak. Sebelumnya Mbak minta maaf kalau ganggu waktu belajar kamu. Mbak cuma mau ... ada yang ingin ngomong sama kamu." Nizwa melirik ke arah Asgard. "Kalau bisa, sambungkan juga dengan orang tua kamu. Tapi Mbak tidak enak sebenarnya, Ya. Pasti di Indonesia sudah tengah malam. Tapi ini benar-benar penting."

Di luar dugaan, Gahya langsung menyanggupinya. Beberapa kali nada panggilan terdengar sebelum sebuah suara lagi bergabung.

"Assalamu'alaikum, Pak Kiai. Maaf mengganggu, ini Nizwa," tutur Nizwa seketika.

"Wa'alaikumussalam, Nizwa. Bagaimana keadaan kamu di Norwegia?"

Gahya setia menjadi pendengar, pun Asgard yang sejak tadi menahan buncah dalam dada, ia sangat rindu dengan mereka.

"Alhamdulillah, Nizwa baik. Sebenarnya, Nizwa menghubungi karena ada sesuatu."

"Apa itu, Niz?" tanya ayah Asgard.

Nizwa mengangguk pada Asgard, memberi kode agar lelaki itu berbicara.

"Assalamu'alaikum, Ayah, Aya?" Sapaan Asgard sukses membuat baik Gahya maupun ayahnya terdiam.

"Mas? Ini beneran suaranya Mas Asgard?" Tangis Gahya sudah terdengar pecah di sana.

"Is that you, Boy?" Kali ini suara lain yang menimpali. Suara bunda Asgard.

Tangis seketika bersahutan dari seberang, tak terkecuali ayah lelaki itu. Nizwa sendiri sudah berkaca-kaca.

"Iya, ini Asgard. Asgard baik-baik saja, sangat baik." Dilihatnya Nizwa sekilas. "Jangan khawatir, ada Nizwa sekarang. Maaf tidak menghubungi terlalu lama."

Mereka berbincang hingga satu jam lamanya. Tak peduli jika biayanya akan sangat mahal. Mati-matian Asgard meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja dan akan segera kembali ke Indonesia. Ya, secepatnya. Selain karena kondisinya belum memungkinkan, masih ada satu hal yang harus dia lakukan.

-o0o-

Pagi menjelang dengan cepat. Mentari bahkan sudah bertakhta kokoh di atas sana. Setelah sarapan tadi, Nizwa langsung menodong Asgard perihal cerita ia bisa berakhir di sana.

Asgard menceritakan semuanya, tanpa terkecuali. Pertemuannya dengan Da Xia, keterlibatannya dengan para mafiosi, melarikan diri sana-sini, hingga ia yang hampir dibunuh.

Sepanjang kisah itu pun Nizwa tak henti melongo, membayangkannya saja sudah mengerikan.

"Jadi, perempuan yang mengangkat telepon Snotra subuh-subuh itu ... bernama Da Xia?" tanya Nizwa. Jujur, ia masih penasaran satu hal dan sedang berusaha mengoreknya. Biarkan saja dianggap sebagai orang kepo, Nizwa tidak peduli.

Asgard hanya mengangguk.

"Em ... maaf, Asgard. Kalau boleh tahu, apa hubunganmu dengannya? Juga, kenapa subuh-subuh dia ada di kamar yang sama denganmu, juga ... ah, dia mengatakan banyak hal aneh."

Sungguh, Asgard ingin terbahak saat ini. Kenapa Nizwa tampak seperti orang yang tengah cemburu?

Sebelum menjawab, Asgard mengembuskan napas panjang. "Aku sempat tertarik dengannya, sangat tertarik. Dia berhasil mengambil perhatianku dengan senyum manis juga penampilan sederhananya, sesederhana itu. Namun, aku segera sadar kami berbeda, Nizwa. Dia ateis."

Kembali diembuskannya napas panjang, kali ini terdengar lebih berat. "Malam itu aku terlibat cekcok dengannya di tengah-tengah makan malam dengan orang-orang di bar, tempat persembunyian kami. Dia marah dan melakukan hal tidak terduga. Maaf karena harus mengatakannya, Nizwa. Dia menciumku, memaksaku meminum alkohol dari bibirnya. Aku ... benar-benar tidak bisa berpikir saat itu."

Hati Nizwa tercubit. Ah ... ternyata rasanya lumayan menyakitkan.

"Kenapa dia bisa mengangkat panggilan Snotra waktu itu, jangan salah paham, aku bahkan tidur terpisah darinya. Kami benar-benar tidak melakukan apa pun. Aku mabuk karena seteguk alkohol itu. Payah, bukan? Entahlah kenapa dia seenaknya mengangkat panggilanku."

Setidaknya, penjelasan itu membuat Nizwa lega, sangat lega.

"Oh iya, ada yang ingin kutanyakan juga padamu," sambar Asgard, "kenapa kamu ada di sini? Kenapa kamu bisa menemukanku? Sejak kapan kamu sadar bahwa aku Asgard, yang biasa dipanggil Gus Asgard sama anak-anak pesantren? Juga, tentang namamu. Kenapa kamu bilang barat daya Rusia, sedangkan Samarra ada di sekitaran Baghdad?"

Nizwa menjelaskan secara rinci kenapa bisa ada di sana. Pertemuannya dengan Lily ternyata membawanya bertemu pada lelaki itu. Ya, meskipun tujuan awalnya datang ke Palermo batal. 

"Sejak di pesawat menuju Norwegia. Aku sudah sadar saat kamu mengenalkan diri sebagai Asgard al Fatih. Tentang namaku, aku memang bilang barat daya Rusia, tapi tidak bilang dekat sana, kan? Jika kamu menarik garis lurus dari Rusia ke arah barat daya, kamu akan bertemu dengan Samarra. Apa aku salah?"

Asgard menggeleng tak habis pikir. Perempuan itu benar-benar cerdik.

"Ada lagi yang ingin kutanyakan, Niz. Kamu bilang, kamu mahasiswi Teologi, kan?" Asgard memastikan.

"Tidak lagi, aku sudah wisuda seminggu lalu. Tesisku dimudahkan oleh Allah," ralatnya.

"Terserahlah. Aku serius ingin bertanya. Aku harap, kamu punya jawaban yang memuaskan."

Nizwa memicingkan mata. "Apa itu?"

-o0o-


Buat part selanjutnya, harap siapkan otak dan mental🤣

Continue Reading

You'll Also Like

8.5K 2.7K 21
"Kita ini beda keyakinan. Aku yakin suka sama kamu. Kamu yakin gak suka aku." Kalimat itu relate banget sama kehidupan seluruh umat manusia kayaknya...
57.9K 4.6K 31
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
Wikrama By Ni Wury

Historical Fiction

3K 643 25
(Part lengkap dan sudah diterbitkan di Teori Kata Publishing. Pembelian buku bisa melalui WhatsApp Teori Kata (0877-5202-0061) atau DM @orenertaja)🙏...