Catatan sang Musafir (Complet...

By Amaranteya

6.2K 1.4K 176

Dunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi... More

Prolog: Catatan Kecil Eksodus
1. Patung Telanjang dan Hakikat Tubuh
2. Perempuan Bertopi dan Kemanusiaan
3. Hak Asasi dan Hubungan Darah
4. Perihal Menggadaikan Tuhan
5. Fana Waktu di Zytglogge
6. Intoleransi pada Objek Fantasi
7. Santo Nicholas of Flue
8. Tak Memiliki Kepemilikan
9. Memori Singkat Samarra
10. Logika Sakyanasta
11. Ultimatum dalam Cinta
12. Kota Saleh yang Diazab
13. Kemahatahuan Allah
14. Tuduhan Pelecehan
15. Pemimpin yang Zalim
16. Yang Diraup para Korup
17. Embel-Embel Agama
18. Geliat Aya Sofya
19. Kisah Kelam Topkapi
20. Di Luar Pintu Cistern
21. Hitam Putih
22. Rasio Aristotle
23. Korban Imbas Pembelotan
24. La Cosa Nostra
25. Maha Pemaaf?
26. Dominasi Aggye
27. Ujung Tombak Perlawanan
28. Awal Tragedi Palermo
29. Kehilangan Eksistensi
31. Via Suara
32. Tentang Tuhan
33. Semuanya Akan Pulang
34. Akhir dari Cinta (Ending)
Epilog: Awal Catatan Baru

30. Nihil Identitas

99 33 1
By Amaranteya

Let me know if you find a mistake(s).

-o0o-

"Aku tidak tahu ada di mana sekarang. Setelah naik taksi tadi, aku diturunkan begitu saja di pinggir jalan." Ia terus berbicara di telepon sambil menoleh kiri-kanan, berharap ada rambu atau petunjuk di mana keberadaannya. Namun nihil, hanya ada jalanan yang cukup lengang. Entah apa kesalahannya pada supir taksi itu. Benar-benar tak terduga.

"Baiklah-baiklah, aku akan berjalan beberapa meter hingga menemukan halte bus. Nanti kuhubungi lagi, Daisy."

Panggilan diputusnya begitu saja. Apa lagi sekarang? Baiklah, berjalan kaki sambil menyeret koper tidak terlalu buruk untuk dilakukan. Ia hanya perlu menemukan sebuah halte, lalu naik bus, sama sekali tidak susah.

Namun, ekspektasi hanyalah ekspektasi. Sudah dua kilo jauhnya berjalan, ia tidak menemukan halte satu pun. Apakah mungkin itu bukan jalur yang dilalui transportasi umum?

"Haruskah kamu mengeluh, Nizwa? Ah ... tidak, aku tidak boleh mengeluh," bisiknya pada diri sendiri.

Ia menepuk pelan kedua pipinya, lalu beranjak. Perempuan itu memilih menyeberang jalan untuk berjalan di sisi lain yang tampak lebih teduh. Ditolehkannya kepala kanan-kiri sebelum menyeberang. Maklum, tak ada jembatan penyeberangan atau zebra cross di sana.

Yakin dengan itu, ia mulai melangkahkan kaki dengan mantap. Belum mencapai ujung, klakson tiba-tiba memekik, membuat Nizwa tak bisa bergerak. Betul saja, tubuhnya terserempet bodi mobil hingga ia terjerembab jatuh. Tidak keras memang, tetapi cukup membuatnya lemas dengan beberapa luka lecet di tangan dan kaki.

"Perbacco. Stai bene? Sono davvero, davvero dispiaciuto." Seorang perempuan yang baru keluar dari mobil berjongkok, bergerak gelisah sambil mengulurkan tangan ke arah Nizwa. (Astaga. Apa kamu tidak apa-apa? Aku benar-benar minta maaf).

Ditatapnya perempuan itu teduh. Lengkungan bibir itu spontan diberikan Nizwa. "Sorry, I don't know what are you talking about, but I am okay."

"Oh ... I am sorry. This is my fault, I drove my car carelessly. Let me take my responsibilty for this. I'll take you to the hospital." Dengan cekatan perempuan itu membantu Nizwa berdiri dan menuntunnya ke mobil. Tak lupa ia kembali mengambil koper Nizwa.

"I am really sorry. I did't mean to do that."

Nizwa terkekeh kecil. Sepanjang perjalanan, perempuan itu tak berhenti meminta maaf. Padahal, ia tak separah itu.

"It's okay. It's not a big problem. Ah ... I am Nizwa and you?" tanya Nizwa.

"Lily. Once more, sorry." Lily melirik gelisah. Ia sungguh takut terjadi apa-apa dengan Nizwa.

Sementara itu, Nizwa masih terus tersenyum, kali ini lengkap dengan sebuah anggukan.

Sampai di Maria Eleonora Hospital, Nizwa segera dituntun Lily ke unit gawat darurat. Di sana, ia langsung mendapat perawatan atas lecet-lecetnya. Nizwa bersyukur, yang menanganinya adalah perawat perempuan. Jadi, ia tidak merasa canggung saat harus menyingsingkan lengan panjang gamis.

"It's done," ucap perawat itu setelah menangani Nizwa. Senyum tersungging manis di bibirnya.

"Thank you," balas Lily dan Nizwa bersamaan.

Setelah parawat itu meninggalkan keduanya, mereka berdua berbincang.

"Kalau boleh tahu, apa tujuanmu ke sini, Nizwa? Kulihat, kamu seperti orang kebingungan tadi." Alis Lily tertaut.

Senyum kembali tersungging di bibir Nizwa. "Menghadiri pernikahan teman, tapi aku tersesat. Dari stasiun tadi, aku naik taksi, tapi entah apa kesalahanku, aku diturunkan di pinggir jalan begitu saja."

Lily tertawa kali ini, merasa lucu. "Menarik. Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu ke tempat temanmu."

Nizwa turun dari brankar, dibantu oleh Lily. Ia lantas menggeleng pelan. "Tidak apa, tidak usah. Aku yakin akan mudah menemukan transportasi dari sini."

Beberapa kali Lily terlihat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan Nizwa menyadari itu.

"Apa kamu yakin tidak apa-apa aku tinggal di sini? Sebenarnya, ada yang harus aku lakukan." Dahi Lily berkerut. Masih merasa tak enak sebenarnya jika meninggalkan Nizwa begitu saja.

Anggukan lagi-lagi berikan Nizwa. "Aku tidak apa-apa. Lagi pula, kamu sudah repot-repot mengurus administrasi tadi. Em ... jika tidak keberatan, aku hanya minta tolong titipkan koperku di resepsionis. Aku harus ke kamar kecil sekarang."

Sejenak kedua alis Lily terangkat. "Ah ... begitu. Baiklah, aku titipkan kopermu di resepsionis. Sekali lagi, aku minta maaf dan hati-hati."

Perempuan itu segera berlalu dari hadapan Nizwa. Ia berlari sampai hilang ditelan belokan.

Nizwa pun berjalan dengan pincang, mencari kamar mandi. Beberapa kali ditanyainya perawat yang melintas.

Setelah menuntaskan hajat, ia berniat langsung ke resepsionis untuk mengambil koper dan pergi dari sana. Namun, beberapa orang yang berlarian menghentikan langkah Nizwa.

Dahi perempuan itu berkerut. Ia yakin pasti ada pasien yang kondisinya memburuk. Namun, bukannya kembali melanjutkan langkah, ia justru pergi ke arah dokter dan perawat-perawat itu berlarian. Sebuah ruang ICU.

Rasa penasaran Nizwa benar-benar berbeda kali ini. Ia merasa perlu melihatnya. Diam-diam, ia mengintip dari balik jendela kaca, memperhatikan sosok yang terbaring di sana.

Tak terlihat, seorang perawat menghalangi pandangannya. Merasa terlalu lama, Nizwa kembali berniat beranjak, tetapi urung saat perawat itu sudah sepenuhnya beralih.

Selesai sudah, penglihatannya tak mungkin berbohong. Beberapa kali mengerjap pun, tak mengubah segalanya, tetap sosok itu yang dilihat.

Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga. Mencelos sudah. Gemetar tangannya pun tak bisa disembunyikan.

"Asgard."

Perempuan itu mundur beberapa langkah dengan kepala tertunduk. Hanya diam. Saat salah seorang perawat keluar, ia merangsek. "I am sorry, but may I know who he is?"

Perawat itu tak langsung menjawab, melainkan menatap Nizwa lekat. Ada kebingungan di raut wajahnya.

"Are you his family? No one knows him. Beberapa bulan lalu ada tunawisma yang membawanya ke sini dalam keadaan antara hidup dan mati, tanpa identitas sedikit pun. Kami tidak bisa menemukan apa pun dalam tas yang ikut dibawa bersamanya. Tidak dengan ponsel, paspor, tanda pengenal, dan yang lain," jelas perawat itu, "pihak rumah sakit memutuskan merawatnya, setidaknya sampai ada yang mencari."

Mata Nizwa membola. Apa yang didengarnya itu nyata?

"Beberapa bulan lalu? Kapan tepatnya?" kejar Nizwa.

"Sudah sekitar empat bulan dan sejak itu pula, lelaki itu koma."

Nizwa tak ingin menangis. Bisa saja itu bukan Asgard, ia pasti salah lihat. "Boleh aku masuk? Aku ingin memastikan apa dia orang yang aku kenal."

Perawat itu pun mempersilakannya masuk setelah dokter dan yang lain keluar ruangan. Sampai di sana, Nizwa semakin dibuat membatu. Titik demi titik air matanya jatuh membasahi pipi kemerahannya.

"Ini benar kamu, Asgard? Bukannya, seharusnya kamu sudah kembali ke Indonesia? Kenapa masih di Palermo?"

Perempuan itu mendekat ke brankar di mana Asgard berbaring. Dipandanginya lelaki itu lekat, sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Dengan alat pernapasan terpasang, Asgard tampak lebih kurus dengan wajah pucatnya. Meski begitu, pemuda itu terlihat sangat damai.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Asgard?" lirih perempuan itu lagi.

Fokusnya beralih pada tangan serta jemari lelaki itu. Masih tampak banyak bekas luka di sana. Tak kuasa menahan perasaannya sendiri, Nizwa berakhir dengan membekap mulut dengan tangan, menahan isakan yang hampir saja lolos.

Dipejamkannya mata sejenak sebelum kembali melepas tangan. Jari lentiknya tanpa sadar terulur, hendak menyentuh rambut Asgard yang sudah memanjang. Namun, tepat se-centi sebelum menyentuhnya, Nizwa berhenti. "Tidak, tidak boleh."

Perempuan itu segera beranjak pergi dari sana. Ia tidak berniat meninggalkan Asgard, sama sekali tidak. Nizwa ingin mengambil koper di resepsionis serta mengurus semuanya. Ya, Asgard menemukan kembali identitasnya.

Sampai di depan ruangan lelaki itu, Nizwa tidak masuk, melainkan mengontak salah satu nomor yang ada di sana.

Setelah tersambung dan mengucapkan salam, Nizwa segera berkata, "Daisy, aku benar-benar minta maaf. Aku ... tidak bisa datang ke pernikahanmu. Ada hal yang sangat mendesak. Sekali lagi aku minta maaf dan aku tidak apa-apa. Jadi, jangan khawatir."

Selesai memberikan kabar itu, Nizwa kembali mencari salah satu nama dalam daftar kontaknya. Perempuan bergamis warna salmon itu bergerak gelisah sembari menunggu panggilannya direspons.

Tepat pada dering ketiga, seseorang di seberang mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Aya."

"Wa'alaikumussalam, Mbak Nizwa. Ada apa? Tumben telepon Aya," balas Gahya.

Sekuat tenaga Nizwa menahan diri agar tetap tenang. "Ya, Mbak mau tanya, tolong jawab jujur. Ada kejadian atau kabar apa di pesantren? Ah ... tidak-tidak, bukan itu. Apa yang terjadi sama masmu? Sepertinya ada yang tidak Mbak tahu."

Di sana, Gahya membisu, tak tahu harus menjawab bagaimana. Nizwa sendiri tetap sabar menanti jawaban adik Asgard itu. Sampai, suara tangisan Gahya terdengar.

Gadis itu sesenggukan. Dengan tersendat, Gahya mulai berkata, "Ka-kami nggak ada yang tahu kabar Mas Asgard, Mbak. Udah empat bu-lan Mas Asgard nggak ada kabar. Kami nggak tahu dia di mana. Ayah ud-dah tanya ke sana-kemari, tapi nggak ada satu pun teman Mas Asgard yang tahu dia di mana."

Jika tidak ada dinding, Nizwa pasti sudah luruh ke lantai. Jadi, semua orang tidak tahu jika Asgard di sini? Bersamanya?

Jujur, Nizwa ingin marah karena mungkin, hanya dia yang tidak tahu tentang hal ini. Ia yakin bahwa alumni pondok satu angkatannya atau angkatan Asgard pasti tahu, tetapi kenapa dia tidak?

Sejak panggilan Snotra yang ditanggapi seorang perempuan itu, Nizwa benar-benar bertekat tidak memikirkan apa pun selain tesis sampai sekarang sudah wisuda. Namun, malah begini jadinya, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Baru akan mengatakan kabar mengejutkan itu, mata Nizwa membulat saat samar-samar dilihatnya Asgard kembali kejang hebat dari jendela kaca. Tanpa salam, ia memutus panggilan sepihak dan berlari memanggil dokter. Ah ... pincangnya pun seakan hilang begitu saja.

Dalam penanganan itu, tak henti Nizwa berdoa, "Aku serahkan semuanya pada-Mu. Allah ...."

-o0o-

I don't know what to say.

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 235 6
Kisah suka dan duka tentang para hantu penghuni rumah. :) Kocak, bikin merinding, tapi mengsad bareng. Yuk, dibaca!
5.7K 1K 29
🌾 Menyukai cerita yang objektif dan dekat dengan keseharian? Menyukai medis, psikologi dan kritik sosial? Mari yang menyukai hal baru merapat di sin...
409 88 5
Cerita-cerita pendek islami dari Mantra Universe untuk menemani ngabuburit kamu selama bulan Ramadhan. DISCLAIMER : Ga ada kaitan/hubungannya sama al...
Wikrama By Ni Wury

Historical Fiction

3K 643 25
(Part lengkap dan sudah diterbitkan di Teori Kata Publishing. Pembelian buku bisa melalui WhatsApp Teori Kata (0877-5202-0061) atau DM @orenertaja)🙏...